Konon orang yang
meninggal dengan cara tidak wajar, masih menyisakan energi di tempat yang dia
tinggalkan. Seperti cerita tentang sebuah boneka yang sering “terlihat”
nyangkut di pohon, pinggir jalan di daerah Siliwangi, Bandung. Benarkah boneka
itu milik seorang bocah perempuan, korban tabrak lari?
Ciiittttt!
Jantungku seakan lompat dari tempatnya. Nggak salah! Tadi aku nyaris menabrak
seorang bocah yang menyeberang jalan, tiba-tiba. Nyaris atau bahkan, aku sudah
menabraknya? Benturan keras yang tadi terdengar, sebelum akhirnya mobil
benar-benar berhenti di tepi jalan…bukankah???
Ah, aku nggak mau
membayangkan kemungkinan terburuk yang bakal terjadi. Memang ini kesalahanku,
membawa mobil dengan kecepatan maksimum. Gara-gara ingin buru-buru sampai di
rumah dan jalanan mulai sepi, aku sampai lupa diri. Akibatnya, ketika kendaraan
yang kubawa memasuki kawasan Siliwangi, tiba-tiba entah darimana datangnya,
kulihat seorang bocah perempuan menyeberang begitu saja…
Meski
masih lemas, karena kaget sekaligus merasa bersalah, aku paksakan diri turun
mencari bocah itu…Andai, dia tertabrak, apa yang musti aku lakukan? Gimana
dengan keluarganya? Gimana kalau warga melihat, lantas mengeroyok dan
menghajarku?
Ketakutanku
nggak beralasan, rupanya. Bocah itu, sudah tidak kelihatan batang hidungnya.
Tak ada tanda-tanda mobilku menghantam sesuatu, hingga kupastikan bocah yang
kulihat tadi hanya khayalan. Aku pasti ngantuk…Baru kusadar, sekitarku begitu
sepi. Wajar saja. Hampir tengah malam. Nggak satu pun pedagang atau mobil, lalu
lalang…Kuhapus keringat yang mengucur deras, gara-gara tadi panik. Memang
sepertinya aku butuh istirahat, cari angin sebentar. Jakarta Bandung, pulang
pergi dalam satu hari bikin badan rontok…
Kuambil
sebatang rokok, lantas kunyalakan. Mmm, perasaan lebih baikan sekarang.
Bayangin saja, pulang seminar tadi aku langsung tancap gas. Nggak sempat minum,
ngopi-ngopi atau merokok, seperti kebiasaanku sebelum pulang kantor. Angin
malam yang bertiup, terasa dingin tapi menyejukkan. Jarang-jarang aku bisa
merasakan dinginnya malam di udara terbuka…Biasanya waktu habis dalam mobil
atau ruang kerjaku. Sambil mengecek pesan di BB yang masuk, kusandarkan badanku
yang pegal di mobil…mmm, nggak ada pesan penting. Paling Chelsea yang
mengingatkan aku, besok ada meeting dengan kepala cabang di kawasan Kuningan.
Bbbbrrr!
Dingin…Tiba-tiba saja, tengkukku terasa berat. Angin yang berhembus, seakan
berhenti bertiup. Gemerisik daun-daun di pepohonan, seperti berirama…hingga
tanpa sadar, pandanganku tertuju pada satu bayangan di atas pohon. Bocah?
Boneka? Nggak jelas, seperti sebuah bayangan putih, kecil dan…astaga…mirip
boneka! Ya, boneka berambut ikal dengan tatapan aneh, seakan dia memperhatikan
aku dari tadi…
Mungkinkah, itu milik penduduk setempat yang lagi
main, lantas nyangkut di sana?
Ah,
masa bodoh. Toh, ngapain aku mikirin mainan orang lain …di pohon pula. Pasti
kalau kuceritain, teman-teman di kantor
menganggap aku kurang kerjaan. Gokil. Sebatang rokok, tidak terasa sudah
habis aku hisap. Sekarang waktunya pulang…Moga-moga saja, keluar dari Bandung
nggak kejebak macet. Sebelum menyalakan mesin mobil, sekilas kulihat lagi pohon
yang tak jauh dari tempat kuparkir.. Boneka…boneka itu kok sudah tidak ada di
tempatnya semula?
Belum sempat
berpikir panjang, naluriku seperti mengatakan ada yang tidak beres di seberang
jalan, dan betul saja…pas aku menoleh…Duh! Boneka itu, kenapa dia sudah berada
di situ? Posisinya terduduk di jalan. Matanya yang bulat plus bulu mata lentik
itu, membelalak, seperti menatapku!
Tanpa
komen, tanpa peduli dengan kaca mobil yang masih terbuka, langsung aku tancap
gas. Nggak tahu lagi, berapa kecepatan maksimumku, tapi yang jelas…aku musti
segera menyingkir dari tempat itu.
********
Parah.
Meeting sore ini, hasilnya membuat
migrainku kambuh. Gimana nggak…Baru saja balik dari Bandung, Senin depan aku
musti bertugas lagi ke sana. Padahal masih ada staf lain yang bisa ditugaskan,
kenapa musti aku? Karena aku cowok, masih single
alias nggak punya tanggungan keluarga? Hingga mereka tidak akan mengkhawatirkan
aku yang sering pulang pagi? Dasar. Tahu begini, sejak awal aku sudah menolak
penugasan Bandung.
“Santai
aja lagi…Hitung-hitung refreshing ke luar kota. Tempat shopping dan kuliner di
sana kan seru, banyak pula…” bujuk Sita, adik kelasku dulu yang kini sekantor
denganku.
“Kamu
pikir, sampai di sana sempat jalan-jalan?”
“Ya,
kan kali ini nggak langsung balik? Bukannya tiga hari ditugasin di sana.
Lumayan tuh, masih bisa cuci mata…”
Dasar
cewek. Pasti yang dia bayangkan di Bandung, shopping, shopping dan shopping.
Padahal aku sendiri, paling males keluyuran. Apalagi di kota orang, tanpa
teman…
Ngomong-ngomong
teman, bukannya sepupuku sekarang tinggal di sana? Lama bener nggak ketemuan,
wah boleh juga tuh…
“Gimana,
sudah ada ide?” tanya Sita lagi, mengagetkanku.
“Rahasiaaa!
“ kataku, sambil meninggalkan perempuan bertubuh mungil itu terbengong-bengong
keheranan.
****
Nggak
salah, Bandung memang surganya belanja dan kuliner. Baru sehari saja tinggal di
sini, aku sudah merasakan geliatnya. Ingin makanan apa saja, beragam bentuk,
ada. Dewo, sepupuku yang menjemput di hotel tahu banget gimana meladeni
tamunya. Nggak hanya nunjukkin factory outlet, dia juga mengajakku nongkrong di
kafe tenda.
“Thanks
ya, Wo! Tadinya kubayangin tugas di sini tiga hari, bakal super ngebetein.
Soalnya nggak tahu, mau kemana dan sama siapa…Bosan, kalau tiap kali ngendon di
kamar hotel. Ngadepin meeting seharian saja, bikin kepala berasap,” kataku,
sambil menyeruput segelas coffe latte.
Seporsi
tape dan roti bakar, sudah tandas di depan kami berdua. Tapi kelihatannya,
makin malam makin seru live music di kafe ini. Sayang buat balik buru-buru…
“Lagian,
kamu ngelupain saudara yang sudah lama bener nggak ditemui. Kapan tuh, terakhir
kamu ke rumah mama?” tanyanya, setengah menyelidik. Mau nggak mau, aku hanya
bisa nyengir. Inget, kalau mama dia yang tinggal satu kota denganku saja,
jarang kutengokin…
“Tahu
sendiri, urusan kantor suka bikin lupa segalanya. Balik rumah, capek,
stress…Pengennya langsung cium kasur.”
“Alasan
lho… Inget, sampai sekarang masih aja ngejomblo. Ngundang-ngundangnya mau
kapan? Jangan sampai jadi bujang lapuk, kasihan tuh mama kamu di Yogya…”
Parah…Bagian
ini nih yang selalu kuhindari. Ngomongin soal pasangan hidup. Memang Dewo,
bener. Bayangin saja, karierku oke. Rumah sendiri, ada. Umur, cukup. Tapi masih
saja, belum ada tanda-tanda mau married. Sementara teman-teman di kantor
seumuranku, rata-rata sudah punya momongan satu, bahkan dua. Padahal, biarpun
cowok, aku juga suka banget anak kecil…
“Udah,
jangan kebawa stress gitu. Peer saja, buat kamu di Jakarta ntar…Kita pulang
yuk, udah hampir lewat tengah malam nih,” tegur Dewo, sembari mengenakan
jaketnya kembali dan siap-siap beranjak pergi.
Entah
karena memang sudah mengantuk atau memikirkan omongan Dewo tadi, sepanjang
jalan kami sama-sama lebih banyak diam. Sampai Dewo akhirnya kuturunkan tepat
di depan rumahnya.
“Hati-hati
ya, baliknya ke hotel. Lewat Siliwangi kan? Jangan ngebut,” pesan Dewo, sebelum
membuka pintu pagarnya dan masuk.
Pacar…Pacar…
Gimana mau cari pacar? Dekat dengan cewek saja, kemungkinannya kecil banget.
Maklum saja, teman sekantor rata-rata sudah berkeluarga. Kalau pun belum,
mereka sudah bertunangan atau punya pasangan. Akunya saja yang lemot, masih
bertahan sebagai jombloners sejati.
Huh!
Sepanjang jalan pulang, pertanyaan Dewo ternyata meracuni pikiranku. Andai saja
dulu aku tidak mengenal Rieka, calon tunanganku yang meninggalkan aku begitu
saja tepat di hari pertunangan kami… Sebagai seorang pria, laki-laki dewasa,
harga diriku benar-benar dicabik-cabik. Sakit hati, campur malu, membuatku
bersumpah buat tidak memperdulikan yang namanya “perempuan”. Meski berulangkali
mama dan sahabat-sahabatku berusaha meyakinkan, tidak semua perempuan
berkelakuan sama…percuma. Aku terlanjur dendam dan marah.
Cittttttttt!
Sekelebat bayangan itu, tiba-tiba melintas tepat di depan mobilku. Astaga!
Hampir saja, mobilku selip. Untung, jalanan sepi. Andai ada kendaraan lain,
apalagi motor di dekatku, pasti udah kesamber.
Nggak
salah tuh? Aku mengucek mata, sekali lagi…Bayangan tadi, seperti ada bocah
menyeberang? Gimana sih, malam-malam menyeberang seenaknya di jalan raya…
Takut
sudah mencederai orang, terpaksa mobil kuparkir di tepi jalan. Entah kenapa,
tiba-tiba bulu romaku berdiri. Tengkukku terasa dingin. Kurasakan suasana di
sekitar tempat ini, sunyi banget. Andai ada orang berbisik pun, kedengaran kali
saking sepinya. Belum hilang rasa heranku, tiba-tiba kulihat bocah perempuan
itu lagi…Jalan dengan cueknya, lantas dia menyeberang jalan tepat di depanku!
“Haiiii…dik!
Hati-hati, lihat kanan kiri dulu….” teriakku. Terlambat! Dia sudah nyelonong
saja, menyeberang. Bertepatan dengan dia jalan, dari arah belakangku melaju
sebuah mobil pick up dengan kecepatan tinggi. Tak bisa kucegah lagi, kupastikan
cewek itu bakal terhantam mobil…Takjub, takut, panik, kuhanya bisa menutup mata
dan balik badan…Nggak sanggup, melihat bocah cilik terlindas mobil…
Wuzzz!
Kurang ajar! Pick up itu, kabur begitu saja?! Gila! Batinku mengumpat geram,
benar-benar tidak manusiawi. Buru-buru aku menghampiri arah bocah itu berada
tadi, tapi….nggak ada!
Kucari-cari
di sekitar tempat kejadian…Sama saja. Tidak ada tanda-tanda, bocah itu berada.
Mustinya, andaikan dia tertabrak atau terpental pun, dia nggak bakal jauh dari
posisi mobilku diparkir. Lantas dia di mana?
Bulu
kudukku kembali berdiri. Perasaan khawatirku, berubah menjadi takut dan gamang.
Baru nyadar, tempatku berdiri sekarang bukannya tempat kemarin waktu aku
melihat bocah kecil itu…Bener saja, pas aku balik badan kulihat pohon besar
yang dulu itu juga…tempat…
Deg!
Jantungku nyaris berhenti. Boneka! Boneka berambut ikal dengan mata belok dan
bulu mata lentik itu, kelihatan masih tersangkut di atas sana. Tapi
kenapa…wajahnya kini berdarah-darah??? Ampunnn…meski laki-laki, jujur aku
paling males berurusan dengan hal “beginian”. Tanpa berpikir panjang, aku
langsung masuk kembali ke mobil dan tancap gas. Lewat kaca spion mobil, kulihat
boneka itu tidak lagi di atas pohon, tapi sudah berdiri di bawah! Tolongggg!
********
Kurang
ajar. Bukannya prihatin, Dewo malah menertawakanku pas denger kejadian yang
kualami beberapa kali di daerah itu. Jelang balik ke Jakarta, dia sengaja
mengajakku makan di tempat favoritnya, sambil menitipkan oleh-oleh, camilan
buat anak-anak di kantor.
“Kan
sudah kubilang, hati-hati kalau lewat daerah Siliwangi…Asal kita nggak
berpikiran negatif, pasti aman-aman saja…” katanya, membuatku makin penasaran.
Baru
kutahu, percaya atau tidak di daerah itu dulu pernah ada seorang bocah
perempuan yang tewas, karena tabrak lari. Awalnya, tuh bocah baru dibeliin
boneka oleh sang mama. Turun dari angkot, bocah itu terlalu girang ngeloyor
saja jalannya. Sang ibu yang tengah membayar ongkos angkot, tidak melihat
putrinya menyeberang.
Malang!
Tubuh bocah perempuan ini, langsung disambar mobil yang melaju dengan kecepatan
tinggi dan tewas seketika. Penabraknya kabur. Bonekanya terlempar, entah gimana
tidak ada yang berusaha mencari. Tapi sejak kejadian itu, orang-orang yang
melintas di jalan ini sering melihat boneka nyangkut di pohon. Pas diperhatiin,
bisa tiba-tiba menghilang. Kadang juga, pengendara mobil yang lewat dikecohkan
dengan bayangan seorang bocah perempuan menyeberang jalan dengan tiba-tiba.
Syukur, meski sempat “bertemu” dengannya, aku tidak mengalami gangguan berarti.
(Ft: berbagai sumber/Kisah Dani ini diangkat
berdasarkan hasil penerawangan Fabian Hosoi, mentalis dari The Master3 yang
diceritakan kembali oleh Steph)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar