Sadis. Nggak bisa kubayangkan, sepasang suami istri
dibantai di depan putra kandung mereka. Dendam dan sakit hati ternyata bisa
membuat seseorang kalap, sampai tega menghabisi nyawa orang lain. Bahkan lewat
cerita satpam penjaga apartemen ini, darah berceceran di mana-mana saat polisi
mengamankan mengangkat tubuh korban dari TKP.
Kelihatannya korban yang tengah sekarat, masih berusaha melakukan
perlawanan. Sia-sia saja. Mereka kehabisan banyak darah. Hasil otopsi menyimpulkan,
pasangan suami istri ini ditusuk dengan pisau dapur. Ampun! Giris rasanya
hatiku mendengar tragedi itu. Untung
saja, bocah laki-laki mereka selamat. Petugas menemukan dia meringkuk di bawah
meja ruang tamu, sambil menangis ketakutan. Pasti dia trauma.
Ingin
rasanya aku mengadopsi Nicky, bocah yang kini yatim piatu itu. Tapi omanya yang
baru datang dari Jerman, keberatan. Maklum, dia cucu satu-satunya mereka.
Beliau bermaksud membawa cucunya balik ke negara asal Hitler itu. Papa Nicky
memang berdarah Jerman, sementara sang sama asli Indonesia.
“Maaf
bu, bukannya kami menolak niat baik ibu…Tapi omanya sangat takut kehilangan
dia. Cucu kesayangan, satu-satunya,” kata Ibu Marini, adik kandung dari mama
Nicky sore itu ketika aku bertandang ke apartemennya. Kebetulan, kami memang tinggal
di apartemen yang sama. Tetanggaan.
Aku
terduduk, lemas. Rasanya separuh nyawaku pergi. Ya. Aku sudah terlanjur cinta
dengan bocah berambut kecoklatan, bermata bulat dan dagu belah itu. Nicky
memang suka main ke apartemenku, sejak tragedi memilukan itu terjadi. Apalagi
di rumahku, dia bisa bermain action
figure atau playstation milik Mas
Gading, suamiku. Sebagai ibu rumah tangga yang belum dikaruniai anak, wajar aku
bosan di apartemen sendiri. Hiburanku satu-satunya …Nicky.
Kuingat
banget pertama kali, keluarganya pindah ke apartemen sebelah. Bocah ini masih
malu-malu. Sering menyembunyikan wajahnya dibalik rok sang mama, ketika aku
lewat di depan mereka atau ngobrol dengan orangtuanya. Mungkin, belum begitu
kenal. Masih asing dengan kehadiranku.
************
Sore
itu, pulang dari belanja di supermarket kulihat bocah ini tertunduk, duduk di
depan pintu apartemennya. Kelihatan sedih banget, sampai-sampai kedua bola
matanya yang bulat itu berkaca-kaca.
“Sayang,
kamu kenapa? Sendirian saja? Mama ke mana? Main ke rumah tante yuk…” ajakku,
sambil mengusap kepalanya. Bocah itu menggeleng, kulihat tatapannya seperti menyimpan
luka yang dalam. Nggak lama aku mengajak dia ngobrol, sang mama muncul dari
balik pintu dan ekspresinya sangat terkejut, melihat ada aku di sana…
“Maaf,
Nicky pasti merepotkan lagi ya? Jangan peduliin dia…Maaf!” kata sang mama
dengan nada jutek. Tanpa basa basi, Nicky pun ditarik masuk. Bener-bener, nggak
ada sopan santunnya nih tetangga, batinku.
“Sudahlah,
jangan diambil hati. Mungkin saja dia kecapekan, ngurusin rumah seharian.
Ngapain kamu musti kesal,” protes Mas Gading, waktu aku ceritakan kejadian itu.
“Kita
kan tetanggaan mas. Kalau ada apa-apa, pasti tetangga duluan kan yang bisa
nolongin? Manusia kok tidak ada basa basinya…”
Mas
Gading malah tertawa, melihat aku manyun. Segelas kopi yang tadi sudah kuseduh
untuknya dia minum, hingga tandas tak tersisa. Lantas, laki-laki yang sudah
lima tahun ini menikahiku mengambil tas laptopnya dan beranjak akan pergi…
“Berangkat
dulu ya, sayang…Jangan ngomel-ngomel gitu lagi. Ntar cepet tua, keriput
lho!" Aku hanya bisa angkat bahu,
mendengar ledekannya. Paling bisa tuh, Mas Gading mengademkan aku yang
temperamen.
Kuingat
banget waktu kami baru kenal di kampus. Sebagai senior, dia memang lebih galak
dan jutek dibanding aku. Apalagi saat melakukan perploncoan. Bener-bener tanpa
ampun, tanpa senyum. Sampai-sampai aku sempat berjanji dalam hati, nggak
bakalan mau berdekatan dengan laki-laki sombong itu. Ternyata, benci memang
bisa berubah menjadi cinta.
Usai
perploncoan, baru kusadari Mas Gading jauh dari kata jutek. Sebenarnya dia
cowok yang sangat pengertian, sabar dan bertanggungjawab. Sampai-sampai, dia
bisa meladeni aku si keras kepala ini. Sebagai sesama aktivis di senat
mahasiswa, kami memang sering mengadakan berbagai seminar dan workshop.
Akibatnya kami sering pulang lewat magrib, padahal rumahku terbilang jauh.
Angkutan umum, jarang. Untung, Mas Gading cepat tanggap. Dia rajin mengantarkan
aku pulang. Sampai-sampai teman-temanku satu jurusan ngeledekin dia sebagai tukang
ojek langganan.
Kami
pun jadian, setahun kemudian. Hingga akhirnya, usai wisuda dia melamarku di
depan mama dan papa. Lantas memboyongku ke Jakarta, tinggal di apartemen ini.
Sayang, kami belum juga dikaruniai anak meski sudah memasuki tahun kelima. Dokter
mengatakan ada kista di rahimku. Musti diangkat, agar aku bisa hamil. Nyatanya
usai operasi, sampai sekarang, belum juga positif.
“Breemmm….breeemmmm…
“ Suara itu? Lamunanku buyar. Ya ampun, Mas Gading sudah berangkat dari tadi.
Aku masih saja bengong di depan apartemenku..Kulihat Nicky tengah bermain
mobil-mobilan di depan pintu apartemennya sendirian…
“Nicky…Main
apa sayang?” kuhampiri bocah itu. Kasihan. Mustinya seusia dia lagi
senang-senangnya main dan bermanja dengan kedua orangtuanya.
“Tante,
mobilnya pilih yang mana…. “ tanyanya, sambil menyodorkan dua mobil-mobilan
milik dia. Kutunjuk satu, mobil balap warna biru. Dia tersenyum lebar…
“Kita
adu cepat ya…Nicky yang merah, tante biru…Ntar kalau menang, tante bagi coklat
ya?” Detik berikutnya, kami berdua sudah
asyik bermain. Kuajak Nicky main ke apartemenku, setelah kupastikan tantenya
yang menjadi orangtua asuh dia sementara, tahu.
Nyaris,
seharian kami tertawa dan main bareng. Sungguh, tak bisa aku menahan haru
ketika kulihat Nicky lahap banget makan cookies bikinanku. Lantas dia
menghabiskan segelas susu coklat hangat…
“Makasih
tante, besok boleh main lagi ya…” kata Nicky, waktu tantenya menjemput dia,
untuk pulang. Kupeluk bocah itu, kurasakan detak jantungnya. Hangat. Air mataku
nyaris menetes. Naluriku sebagai perempuan, calon ibu….
*******
Rencana
mengubah tata letak perabot di ruang tamu, tertunda lagi. Seharusnya akhir
pekan ini, Mas Gading bisa menemani aku seharian di rumah. Nyatanya, tugas
mendadak dari kantor membuat dia harus ke Bandung selama dua hari. Ya, sendiri
lagi deh, batinku pedih. Terasa banget, tinggal berdua saja begini, jauh dari
orangtua dan kerabat…Sepi.
Oh
ya, tiba-tiba kuingat Nicky. Ngapain ya dia weekend begini? Main bersama
keluarga dari mamanya yang asli Indonesia atau jalan dengan omanya? Ah, kenapa
nggak coba kubertandang ke apartemennya?
Jantungku
terasa berdebar. Nggak sabar rasanya melihat wajah bocah cilik itu. Sengaja,
kubawakan pudding coklat. Pasti dia suka. Tapi beberapa kali kupencet bel, tak
ada tanda-tanda ada yang akan membukakan pintu. Nyaris aku putus asa dan balik,
tapi tiba-tiba…seraut wajah polos itu muncul dari balik pintu…
“Tante?
Sendiri?” tanya Nicky, sembari melongok ke kiri dan kanan lorong apartemen
kami. Aku mengangguk, sembari menunjukkan apa yang kubawa. Spontan bocah itu
melompat, kegirangan.
“Asyiiik!
Pudding coklat! Masuk tante…” katanya, sambil membuka pintu lebar-lebar. Kasihan.
Hatiku kembali terenyuh melihat Nicky dengan lahapnya makan pudding buatanku.
Rupanya di apartemen, tak ada siapa-siapa. Dia lagi sendirian. Tega banget,
ninggalin anak seusia ini sendiri…
Tanpa
diminta, kusengaja menemani Nicky seharian di apartemennya. Meski ngantuk dan
pegal, kunikmati sekali kebersamaan kami. Bocah ini memang cerdas dan tidak
cengeng. Buktinya dia suka bertanya
dengan hal-hal mengejutkan, sama sekali di luar dugaanku. Seperti, andai orang
meninggal itu akan ke surga atau neraka…Bagaimana kondisi di sana, setelah
mereka nggak ada…Akankah kedua orangtuanya bisa datang lagi, menengok Nicky
yang masih hidup? Benar-benar kewalahan aku menjawab pertanyaannya yang kritis.
“Orang
jahat pasti dapat balasan ya, tante? “
“Iyalah…
setiap kejahatan, pasti ada hukuman setimpal. Misalnya, kita melakukan
kejahatan. Kan ada bapak polisi dan hakim yang mengadili…”
“Tapi
kalau kita menyakiti orang lain, gimana tante?”
“Nggak
boleh dong… Pasti ada hukumannya. Tuhan kan mengajarkan kita saling menghargai,
mencintai sesama.”
“Kalau
kitanya yang disakiti, apa nggak boleh
membalas? Mama dan papa yang sudah di surga, bisa marahin Nicky lagi nggak
kalau Nicky bandel?”
Aku
tersenyum, kritis banget bocah ini sampai aku nyaris kehabisan kata-kata. Obrolan
sore itu nyaris aku lupakan. Apalagi Mas Gading yang baru datang dari luar
kota, membawa kabar membahagiakan. Dia dipindahtugaskan ke Surabaya. Artinya,
aku bisa tinggal satu kota lagi bersama mama dan papa yang memang asli
Surabaya…
*********
Berisik
banget sih?! Habis mengantarkan Mas Gading turun ke lantai dasar apartemen,
kulihat beberapa orang berkerumun di apartemen sebelah, apartemen Nicky.
Beberapa petugas kepolisian, juga terlihat mondar-mandir masuk ke dalam.
Naluriku mengatakan, pasti ada yang tidak beres…Jangan-jangan, omanya Nicky
yang sudah lanjut usia itu kena serangan jantung. Atau tantenya yang pernah
cerita punya asma, kambuh sakitnya?
Kecurigaanku
tak beralasan. Kulihat tante Nicky keluar dari apartemen dengan dipapah seorang
petugas kepolisian. Aku tak bisa berbuat banyak, karena kelihatannya mereka
semua tidak mau diganggu. Ah, sudahlah. Ntar juga kubisa bertanya pada Nicky…
Siang
itu aku bermaksud ke apartemen sebelah, namun kulihat Nicky tengah duduk
termangu di depan pintu apartemennya.
“Ada
apa sayang? Sedih bener? Main yuk ke apartemen tante…” ajakku, sambil mengusap
kepalanya penuh sayang. Dia bersandar di pelukanku, lantas menangis lirih.
Kupegang tangannya begitu dingin. Kasihan. Dia pasti lagi sedih, karena
ditinggal sendirian.
“Yuk,
main sama tante. Jangan nangis lagi…Malu dong anak laki-laki menangis…”
Bocah
itu menggeleng.
“Tinggalin
Nicky sendiri, tante. Lain kali, jangan tungguin Nicky main ya…Nicky musti
pulang, nggak di sini lagi…” Air mataku pun menetes, sedih. Ya, pasti omanya
sudah bilang dia mau diajak balik ke Jerman. Atau jangan-jangan mereka sudah
siap-siap berangkat…
Bip!
HPku berbunyi. Mas Gading! Rupanya ada beberapa berkas ketinggalan, musti aku
titipkan ke receptionis di bawah…Karena menolak kuajak, terpaksa kutinggalkan
Nicky sendiri di depan apartemennya.
Kangen.
Sejak kutinggalkan Nicky di depan apartemennya, bocah itu tidak muncul lagi.
Kebetulan aku juga benar-benar sibuk, musti membereskan beberapa barang buat
pindahan rumah.
***********
“Sore, sayang….”
Mas Gading sudah pulang! Tapi kenapa raut wajahnya nggak segar, kelihatan begitu
sedih…Jangan-jangan, batal deh kepindahan kami ke Surabaya…
“Ada apa Mas?
Sedih banget tampangnya…Kita batal pindah ya?”
“Tabah
ya, Rin…Aku tahu, kamu sayang banget sama Nicky…”
“Nicky…Kenapa?
Dia sakit? Dia sudah balik ke negaranya?” tanyaku, lemas. Meski tahu akan
pindah ke Surabaya, aku tidak menduga dia bakal duluan balik ke Jerman.
“Nggak,
sayang. Nicky berpulang selamanya. Dia melompat dari balkon semalam…” Badanku
lemas seketika, hingga hampir terjerembab ke lantai. Untung Mas Gading menangkap
tubuhku, lantas memapahku duduk di kursi.
“Nggak
mungkin, Mas…Tadi siang aku melihatnya di depan pintu apartemen dia…”
“Benar,
Rin… Pagi tadi, waktu berangkat kerja aku bertemu polisi yang tengah
membereskan lokasi kejadian. Kesimpulannya, semalam Nicky nekad lompat dari
balkon…”
“Tapi
kenapa musti lompat? Kenapa bocah itu nekad? Nggak mau dipaksa balik ke
Jerman?”
“Sabar
ya, Rin. Dia meninggalkan surat untuk omanya…ternyata, dia yang sudah
menghabisi kedua orangtua kandungnya dengan pisau dapur…Alasannya, dia marah
karena selalu dihukum setiap melakukan kesalahan…”
Aku tidak lagi bisa mendengarkan
penjelasan Mas Gading, karena bayanganku sudah langsung gelap. Aku pingsan.(ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar