Bocah laki-laki berambut pirang, bermata kecoklatan
itu bener-bener menggemaskan. Berulangkali dia mencuri pandang dari balik tubuh
mamanya yang tambun, bikin aku pengen menghampiri dan mencubit pipi kemerahan
itu. Sayang, kelihatannya mereka terburu-buru. Sepasang suami istri separuh
baya dengan baju pantai, bermotif bunga-bunga warna cerah menghampiri mereka
dan mengajaknya beranjak, meninggalkan coffe shop ini. Matahari Bali memang
belum tinggi…Kesempatan buat turis seperti mereka untuk berbelanja atau main ke
pantai. Fuiihh, senangnya! Nggak seperti aku yang datang ke Legian, karena
ditugaskan perusahaan tempat aku bekerja. Artinya, nggak ada banyak waktu buat
shopping, apalagi ngerasain ombaknya pantai.
“Pilih
penerbangan terakhir saja dari Jakarta, ntar baliknya juga sama. Kamu bisa
hemat waktu. Rabu pagi, laporannya sudah ada di meja saya ya…” pesan Pak Andry,
atasanku. Mmm, enak saja dia ngomong. Hanya diberi waktu dua hari saja untuk
pulang balik Jakarta, Bali. Memang sih, tugasku hanya mengecek dua butik milik
perusahaan yang baru dibuka setahun di daerah Nusa Dua dan Legian. Tapi bukan
berarti, nggak diberi kesempatan buat cuci mata dong. Jauh-jauh datang ke pulau
dewata itu, kalau tidak menikmati suasananya, rugi banget.
“Silahkan,
ibu…” Seorang pramusaji coffe shop meletakkan seporsi omelet
yang tadi kupesan. Aromanya begitu menggoda…Perut pun langsung berontak, minta
segera diisi. Sarapan pagi yang sempurna. Omelet plus segelas kopi. Sesekali pandanganku menyapu ke sekeliling
coffe shop hotel yang lumayan ramai. Waktunya orang-orang makan pagi.
“Daddy…Please wait for me…” teriak
seorang bocah perempuan, berambut blonde. Rambutnya dikepang kecil-kecil,
banyak. Dia kelihatan tengah mengejar laki-laki yang dipanggilnya dengan
sebutan ayah. Nggak lama, beberapa anak muda sebayaku ikutan bergabung, lantas
mereka beranjak pergi. Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri, melihat keriuhan
di pagi hari ini.
Enjoy
banget, liburan bisa dihabiskan bersama
keluarga dan teman-teman terdekat. Orang bule memang pandai banget memanfaatkan
waktu luang mereka. Sehabis bekerja keras,
mereka tidak segan menggunakan tabungan mereka buat traveling. Kubaca
lagi beberapa catatan penting di laptopku. Lantas buru-buru kumatikan, beranjak
meninggalkan tempat itu. Kerja…kerja…kerja!
Meeting
dan checking butik cabang di Nusa Dua siang ini, berakhir menyenangkan.
Orang-orang yang bertugas di sana, tahu tanggungjawabnya. Mereka begitu detail
dan rapi, menyusun neraca rugi laba, presentasi hasil promo tiga bulan terakhir
ini, sampai mengajukan usulan produk yang lagi trend saat ini. Kupikir, aku
bakal disuguhi basa basi nggak penting dari mereka yang gila hormat. Nyatanya,
nggak… Pak Nyoman dan Ibu Wastu penanggungjawabnya, begitu profesional. Mereka
tidak segan mengkritik rencana kantor pusat, kalau memang tidak sesuai dengan
kondisi daerah mereka. Bagus juga…
Beres sidak ke
Nusa Dua, jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Lebih baik makan malam di hotel saja. Badanku rasanya rontok. Capek. Ozon makin
menipis kali, seharian di luar sana tubuhku seperti terbakar. Panas. Heran tuh
bule-bule, mereka bukannya bersyukur tinggal di negaranya yang dingin, malah
cari terik matahari ke Indonesia.
Brakkk! Kaki ini
menyenggol pot tanaman, hingga terguling gara-gara mendadak menghindari
sepasang bule yang melintas dekat kolam renang, jalan menuju restoran hotel ini.
Astaga. Mungkin ngantuk, mataku sudah tidak bisa fokus lagi. Niatku mau minta
maaf, takut mereka marah…Eh, belum sempat ngomong, pasangan ini sudah
melenggang pergi, seakan tidak terjadi apa-apa.
Makan malam kali
ini, kutuntaskan dengan cepat. Bantal dan kasur empuk begitu menggoda dari
tadi. Sebelum balik ke kamar, masih sempat berpapasan dengan rombongan bule.
Kelihatannya mereka mau dugem, kelihatan dari pakaian yang dikenakan.
Tapi…astaga! Sebuah dompet nyaris terinjak kakiku. Jangan-jangan milik salah satu dari mereka.
Buru-buru kuambil dan berbalik, mau memanggil mereka kembali. Blasss! Lho, kok
nggak ada? Cepet banget sih, mereka pergi? Terpaksa kutitipkan ke receptionis,
karena kucari-cari mereka juga sudah tidak ada di lobi.
**************
Capek banget!
Pinggang rasanya mau patah, mondar mandir Nusa Dua-Kuta di mobil seharian saja
bikin pegel. Kalau kuceritakan hal ini pada Dweko, teman sekantor. Pasti dia
ngeledek…”Faktor U tuh, Win! Usia…” Dasar. Ngantuk yang tadinya menyerang,
malah hilang. Bolak balik di kasur, mataku belum juga bisa terpejam. Ingatan
melayang ke mana-mana. Urusan butik di Legian, laporan keuangan sampai rencana
renovasi halaman belakang rumahku yang berulangkali terbengkalai.
“Ting tong! Ting
tong!”
Aku menajamkan
pendengaran ini. Nggak salah, itu suara bell kamar? Perasaan nggak order
makanan, ngapain malam-malam ada petugas roomservice?
Malas banget. Tapi bell kembali berbunyi.
“Ya, siapa?”
tanyaku, sembari membuka pintu. Kosong! Tak ada siapa-siapa. Kulihat lorong
kanan dan kiri kamar, sama. Sepi. Hanya kulihat dua orang anak muda, berambut
gimbal, berjalan sempoyongan ke ujung kamar di lantai ini. Pasti mereka habis
dugem, minum-minuman keras…
Nyebelin banget.
Bel pintu nggak hanya sekali berbunyi. Tiga kali! Tiap kali kulihat, sama.
Nggak ada siapa-siapa. Jangan-jangan korslet
atau rusak, hingga berulangkali bunyi. Terpaksa istirahatku terganggu.
Kupanggil petugas hotel untuk memeriksanya, tapi kesimpulan mereka belnya
baik-baik saja. Ya, sudahlah. Mungkin halusinasi saja. Moodku sudah drop
banget. Nggak bakal bisa tidur deh, bete begini. Kuambil jaket, IPad dan
dompet, lantas keluar kamar. Niatnya turun ke lantai bawah, buat sekedar
mencari udara segar.
Gara-gara
terlalu serius mikirin pekerjaan, sampai-sampai aku tidak sempat memperhatikan
ada apa saja di hotel ini. Nyatanya, kafe di bawah menyediakan music live,
ruang karaoke, bahkan ada layanan internet 24 jam. Kupilih duduk di sudut kafe,
lantas mulai menyalakan IPad.
“Kursi ini
kosong?” sapa seorang laki-laki separuh baya dengan aksen Indonesia yang
terpatah-patah, sembari menunjuk kursi di seberang mejaku. Mmm, sekilas kulihat
dia bersama satu rombongan. Memang kursi di meja sebelah kurang. Aku tersenyum,
mengiyakan. Lantas kembali asyik dengan IPad lagi. Giliran kuingin memesan
minuman lagi, mereka sudah tidak tak ada di sana.
Wisawatan asing
banyak banget di hotel ini, dibanding turis lokal. Beberapa kali aku sempat
berpapasan dengan wisatawan beraksen Perancis, Belanda, bahkan British di
jalan, dekat taman menuju ke kamar. Seperti pasangan suami istri ini, mereka
begitu enjoy menikmati malam ini, sampai jalan pun nggak perduli dengan orang
di depannya. Nyaris mereka menabrak aku, padahal sudah berusaha minggir…
“Excuse me…”
tegurku, sambil berusaha menepi. Busyet. Cuek bener. Nggak minta maaf atau
ngomong apa kek, ngeloyor saja mereka…pas aku balik badan, mereka sudah tidak
ada!
Beneran nggak punya tata krama, gerutuku.
Tapi langkahku terhenti, ketika sampai di depan sebuah pohon kamboja…Seorang
wanita berjalan terhuyung-huyung, limbung.
Kelihatannya dia mabuk. Tapi kok suaranya mengaduh, seperti orang kesakitan.
Tangannya menutup wajah. Bercak darah terlihat di sela jari-jarinya. Astaga.
Wanita itu berdarah? Jangan-jangan dia habis jatuh atau kecelakaan…
Aku mencoba
mendekati, bermaksud menolong. Tapi dia tidak memperdulikanku, terus saja jalan
sampai dekat tikungan jalan, menuju cottage di samping taman. Lantas, hanya
dalam satu kedipan mata, dia menghilang! Kugeleng-gelengkan kepala. Pusing.
Sadar banget, wanita itu melewatiku dengan ekspresi kesakitan, lantas dia sembunyi ke mana?
“Mas, tadi ada
turis lewat. Kelihatannya dia kesakitan,
tolongin dia mas…kok jalannya cepat banget…” laporku, ketika seorang
petugas hotel, lewat. Laki-laki itu pun buru-buru mengejar ke arah wanita itu
menghilang… Ah, kasihan. Kali saja aku bisa membantu…
Kejadian malam
itu membuatku tidak bisa tidur. Bayangan darah dan ekspresi kesakitan itu,
masih teringat jelas. Mungkinkah dia korban penyiksaan suaminya, seperti di
koran-koran belakangan ini?
Keletihan yang
amat sangat, sampai-sampai aku tidak lagi perduli ketika bel pintu berbunyi dua
kali. Paling juga petugas kebersihan, malas banget. Kulihat jam di pergelangan
tangan, masih pukul enam pagi. Ntar agak siangan saja, aku bangun dan turun ke
bawah untuk sarapan pagi.
Meeting hari
kedua, memuaskan. Kupikir, Pak Andry
juga akan menyambutku dengan senyum lebar. Dan lagi-lagi, aku musti masuk hotel
lewat magrib. Nggak sempat jalan ke mana-mana. Boro-boro shopping, melihat
sekeliling hotel saja nggak. Padahal katanya, hotelku ini di pusat keramaian.
Maklum, jalan masuk ke hotel lumayan dalam dari jalan utama.
Nasi
campur Bali lengkap dengan sate lilit, kupesan buat menu makan malam kali ini.
Sengaja, kupilih tempat duduk dekat kolam renang. Hingga aku bisa makan, sambil
melihat orang lalu lalang. Suntuk banget rasanya, seharian menghadapi setumpuk
laporan. Butuh refreshing!
Lho,
laki-laki itu? Aku nyaris tersedak. Dua cowok sebaya denganku, kelihatan
tergopoh-gopoh melewati jalan di samping kolam renang. Baju mereka kelihatan
kusut, seperti tercabik-cabik. Buru-buru banget, sampai nggak peduli orang di
sekitar mereka. Perhatianku tertuju pada lengan mereka. Jelas banget, seperti
ada bekas-bekas bilur luka dengan darah kering di sana-sini. Astaga…Perutku
mual seketika. Aku memang paling anti, ngelihat darah…Sepertinya bilur-bilur
itu makin jelas dan jelas…Buru-buru kubuang pandangan ke lain arah, lantas
menyeruput lemon tea yang tadi kupesan.
Ketika pandanganku kembali ke mereka, dua cowok itu tak ada lagi!
********
Puas
banget, pagi ini bisa bangun tepat waktu. Rasanya nggak sabar, membayangkan
Jakarta kembali. Semua perlengkapanku
sudah siap di lobi, menunggu jemputan mobil untuk ke bandara. Masih satu jam
lagi…Lumayan, buat jalan ke depan. Kata petugas hotel, keluar saja ke depan sudah jalan besar dan berderet
toko di sana…
Panas.
Untung masih pagi… Benar juga, keluar dari jalan utama ke hotel, sudah jalan
besar. Kanan kirinya langsung kafe-kafe dan toko-toko souvenir. Satu yang
menarik perhatianku, kok ada monumen tepat di seberang sana? Baru sadar itu kan
monumen buat memperingati korban bom Bali, tepatnya di ground zero, Kuta.
Kabarnya banyak banget turis asing dan lokal yang menjadi korban, bahkan ada di
antara mereka tidak berhasil ditemukan jenasahnya karena hancur…
Aku menelan ludah. Pedih. Takut.
Sedih. Campur aduk menjadi satu. Ingatanku langsung ke seorang kawan yang dulu
tinggal di Denpasar. Dia pernah cerita, sejak kejadian bom itu percaya atau
tidak, masih saja suka terlihat bule-bule jalan di sekitar kawasan itu. Saat
mereka didekati, pasti langsung menghilang. Tanpa bekas. Konon energi dari
mereka yang meninggal dengan cara tidak wajar, masih tinggal di lokasi
kejadian. Mereka tidak mengganggu siapa pun, karena dimensinya sudah berbeda. Pertanyaanku
sekarang, turis yang sering kutemui
mereka masih hidup beneran atau sudah meninggal? (ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar