Ramalan? Nonsens.
Omong kosong. Nggak percaya! Meski
teman-teman di kantor bilang, madame yang
membuka stand di bazaar amal itu terkenal jago membaca keberuntungan seseorang.
Andai bisa menebak setiap kejadian, berarti dia juga bisa memperkaya dirinya
sendiri dong… Ikutan kuis atau pasang nomer undian misalnya? Pasti dia tahu,
angka berapa yang akan keluar. Ngapain capek-capek ngeladenin banyak orang buat
diramal?
“Gila ya, hari gini
masih percaya ramal meramal…Kamu tuh, sarjana lulusan Aussie tapi masih aja
memperhatikan hal kayak begituan… Konyol, tahu!” protesku, tajam. Jujur saja,
aku tidak suka Siska sahabatku sejak kecil mengambil nomor, buat mengantri
masuk ke tenda sang madame.
“Udahlah, Dit…Negative thinking nggak
baik…Hitung-hitung buat lucu-lucuan saja kok, aku pengen tahu peramal itu
beneran bisa ngeramal nggak. Bagusnya aku dengerin, jeleknya aku cuekin.
Gampang kan…”
“Tapi ntarnya,
kamu bakal mikirin itu terus…Susah banget sih diomongin!” Tanpa sadar, nadaku
meninggi membuat Siska pucat pasi. Kasihan. Gara-gara ada masalah di kantor
dengan beberapa klien, aku jadi emosian gini. Siska tidak salah…
Kutarik Siska
menjauh dari tenda, lantas kami duduk berdua di bangku sebuah kafe tenda. Wajah
cewek di depanku itu masih kusut masai. Kelihatan banget, dia ngerasa kikuk dan
gerah dengan kelakuanku tadi…
“Soriiii…Aku
bener-bener minta maaf, tadi emosi. Masalah kantor siang ini, membuat emosiku
nggak bisa dikontrol. Tahu sendiri kan?”
Siska
mengangguk, sambil mengaduk segelas cappucino yang baru saja kami pesan. Tangan
kirinya masih menggenggam nomer antrian, sesekali tatapannya tak lepas dari
tenda sang madame. Dasar. Masih juga penasaran tuh anak…
“Oke…oke… Aku
nyerah deh, kalau kamu mau nyobain ke sana. Jangan diam gitu dong, aku kan
ngerasa bersalah…”
“Bener! Aku mau
ke sana, tapi sama kamu…Iseng saja yuk, buat seru-seruan saja. Nomerku ada dua
nih, tadi kuambilin satu buat kamu sebelum kamu datang lantas nyerocos dan
marah-marah…” Siska menunjukkan dua nomor di tangan kirinya itu…
Ampun deh.
Ngerasa bersalah dan tak ingin mengecewakan cewek berambut ikal sebahu dengan
mata bulat itu, aku pun mengekor saja ketika dia menarikku ke arah tenda. Nggak
apa-apa deh, buat ngilangin suntuk…
Entah kenapa
giliran Siska keluar dari tenda, aku menjadi mati rasa. Grogi. Bingung. Ragu.
Beneran nih, pengen minta diramal? Apa yang musti kutanyain? Kenaikan jabatan
atau gaji? Atau masalah jodoh yang belum ketahuan juga…
Aroma cendana
langsung tercium, ketika aku masuk ke dalam tenda. Sebuah meja beralaskan kain
hitam, bola kristal, beberapa kartu Tarot yang terserak di meja membuat
jantungku berdebar kencang. Konyol banget. Mengapa harus takut? Kenyataannya,
aku memang bisa merasakan bulu kudukku berdiri. Keringat menetes di
kening…Rasanya ada banyak mata mengamati dari seluruh sudut tenda, apalagi
ketika paranormal atau madame yang
sudah sejak tadi duduk di depan meja memandangku dari ujung kaki sampai ujung
rambut.
Gila. Pandai
banget dia mensugesti orang, hingga baru ketemu saja sudah ngeri bawaannya?
Tapi sungguh….nggak seperti acara ramal meramal di mall, lucu-lucuan dan seru.
Kesan yang kutangkap, beneran serem. Sampai-sampai aku belum juga bisa
menyebutkan, apa yang ingin kutanyakan…
“Tenang…Kamu
nggak perlu sebutkan, saya tahu bahaya mengincar keselamatanmu. Sebaiknya jaga
setiap ucapan dan kelakuan kamu di tempat yang baru kamu kunjungi. Mereka tidak
suka, melihat kehadiranmu di sana. Kalau lengah, kamu bisa…” Wanita separuh
baya berpakaian gypsi itu mengocok kartu, lantas mengaturnya sedemikian rupa di
atas meja. Sebuah kartu dia ambil, bertuliskan Death alias kematian…”Kamu akan
celaka!”
Deg! Jantungku
mau copot. Bisa saja madame ini ngomong…Meski aku pernah ngotot tak percaya
ramalan, entah kenapa omongan wanita tua ini membuat aku merasakan ketakutan
yang amat sangat.
“Ada yang mau
jahatin saya? Orang kantor? Sahabat terdekat atau teman jauh? Saya celaka
karena apa?”
“Bukan orang
terdekat, bukan juga dari kantor kamu…Ada…ada satu kejadian yang bikin kamu
bisa celaka. Perhatikan itu! Ingat tempat-tempat yang kamu kunjungi..” Belum
sempat aku bertanya lagi, madame itu sudah memberi kode agar aku keluar.
Huhh..pelit bener datanya. Bagaimana aku bisa tahu, bahaya apa yang
mengancamku?
Konyol banget
Siska. Gara-gara ngikutin kemauannya masuk tenda ramalan, sekarang aku
ketakutan begini. Belum jelas juga sih, siapa yang berani mengancam dan
membahayakan nyawaku. Ah, peduli amat…Paling juga bohongan, batinku berusaha
cuek.
*******
Cuti bersama? Asyiiiikkk…. Artinya, rencanaku
liburan bareng Siska kesampaian juga. Meski nggak bisa ke Bali karena kehabisan
tiket, Siska pun mengajak aku ikut liburan bareng Dante dan Danar, dua kakak
kandungnya ke Jawa Barat…
“Ikut ya,
Dit…Mas Dante udah nanyain mlulu tuh. Kita bakalan bikin tenda di dekat danau.
Lupa namanya, tapi pernah digunakan buat syuting film…Bagus kok, aku pernah
lihat di filmnya…”
“Film drama?
Tumben, kamu melankolis gitu?” ledekku siang itu, ketika kami tengah menikmati
makan siang di kantin kantor.
“Enak saja…Film
horor tahu! “
Glek. Suapanku
terhenti. Nggak salah nih cewek, memilih rujukan tempat karena pernah dijadikan
tempat syuting film horor? Ya, biar aku tomboy tapi soal perhantuan begitu
paling males.
“Tenang saja.
Kan kita bawa dua bodyguard. Mas
Dante dan Mas Danar…” katanya, seakan tahu apa yang kupikirkan. Pikir-pikir
ngapain juga musti takut. Namanya kan hanya dijadikan lokasi buat syuting film
horor, nggak berarti tempatnya serem kan… Buktinya, begitu kami tiba di lokasi,
otakku langsung segar kembali.
Indah banget
danaunya! Belum tercemar. Pohon rindang dan hamparan rerumputan di sekeliling
danau yang kelihatan tenang dan jernih airnya itu. Udara pun begitu dingin,
mengingatkanku pada kawasan wisata di Puncak atau Bromo.
“Banyak penginapan di sekitar sini, meski
nggak sekelas hotel berbintang. Tapi lumayan kan, keren tempatnya. Rencananya
kita bakal pakai tenda saja…Anggap saja piknik, berkemah seperti jaman kuliah
dulu,” kata Dante, ketika melihatku tak henti-hentinya mengambil gambar dengan
kamera saku yang kubawa.
“Bagus
bangettttt! Siska nggak cerita, tempatnya sebagus ini…Tahu gitu, pasti sudah
sejak lama liburan ke sini saja. Nggak masalah kok, nginap di tenda,” kataku
sambil mencubit pipi temben Siska yang baru saja merapikan bawaan kami di
mobil.
Malam
pertama, memang sungguh dingin. Nggak sangka, aku yang paling suka dingin pun
bisa menggigil. Padahal sudah mengenakan kaos dobel plus jaket. Belum lagi,
perut setengah melilit. Mungkin efek dari makan malam tadi. Aku kalap
menghabiskan sambal mangga sendirian, padahal kata Siska pedasnya minta
ampun…Tapi selesai numpang ke kamar kecil milik penduduk, ternyata sakit
perutku bukan karena sambal. Aku baru ingat, kemarin sebelum berangkat hari
terakhir datang bulan. Ternyata masih belum bersih benar, karena tadi celana
dalamku masih terdapat bercak darah hingga musti kuganti.
“Gimana,
Dit? Masih melilit? Gara-gara sambal tadi ya…” tanya Siska, ketika melihat aku
belum juga tidur.
Aku
menggeleng. Malu. Andai Dante dan Danar tahu…Malu! Aku sengaja memilih diam,
apalagi Siska kan suka usil dan keceplosan. Celana dalamku yang kena bercak
darah itu aku bungkus dengan plastik hitam, lantas kulemparkan ke rimbunan
semak dalam perjalanan kembali ke tenda. Paling juga, nggak ada yang tahu…Malas
banget membawa cd kotor …Ntar kan bisa beli lagi, batinku.
“Tidur saja yuk, aku nggak apa-apa kok,” kataku sambil buru-buru mengambil posisi tidur. Siska yang kelihatannya sudah ngantuk banget, nggak banyak bertanya lagi. Dia langsung terlelap, begitu kepalanya mencium bantal.
“Tidur saja yuk, aku nggak apa-apa kok,” kataku sambil buru-buru mengambil posisi tidur. Siska yang kelihatannya sudah ngantuk banget, nggak banyak bertanya lagi. Dia langsung terlelap, begitu kepalanya mencium bantal.
Minggu
pagi, mustinya hari yang menyenangkan bagiku. Ngumpul lagi bareng keluarga
kecilku, setelah kemarin berlibur ke danau bareng Siska, Dante dan Danar. Tapi
nyatanya, balik-balik badanku demam. Kepala berat, berdenyut, menyakitkan. Mama
khawatir, aku kena demam berdarah. Maklum, kalau siang suhu badan normal. Namun
jelang magrib, hingga malam suhu tubuhku mendadak tinggi. Obat pereda turun
panas pun sudah kuminum, tapi tak ada gunanya. Hingga hari kedua, mama
mengajakku ke dokter, sekaligus test laboratorium.
Hasilnya?
Negatif. Bukan demam berdarah, tipes atau sejenisnya yang membahayakan. Dokter
bilang, aku hanya kecapekan dan banyak pikiran saja. Musti santai dan
istirahat. Tapi hingga obat penenang dan vitamin dari dokter habis, demamku
masih saja tinggi. Makin hari, menurut mama yang sering menunggui aku tidur,
sikapku juga makin aneh. Suka meracau atau mengigau, seperti orang ketakutan.
Kadang aku teriak sendiri, lantas menangis… Masa sih? Aku sendiri nggak nyadar…
Belakangan
baru kurasakan, sakit anehku ini sangat mengganggu. Tiap tidur, badanku selalu
meriang dan panas. Mama sampai menyediakan kompres, tapi tetap saja percuma.
Aku juga sering dihantui mimpi buruk. Rasanya tengah berada di sebuah kastil
atau istana kecil dengan banyak anak tangga. Pintu-pintu dan semua perabotnya
dari kayu berukir, kuno dan tua sekali kesannya. Entah di mana aku berada, tapi
setiap aku mencoba keluar dari rumah itu dengan menuruni anak tangganya, aku
tetap tidak bisa menemukan lantai dasarnya. Ya! Seakan tangganya begitu banyak,
tanpa akhir!
Kondisiku
makin drop. Nggak bisa berpikir jernih, karena setiap pagi pasti terbangun
dengan badan menggigil. Semua energiku seakan habis terkuras tiap malam, dalam
mimpi-mimpi panjangku. Tak jelas, kenapa setiap malam selalu dihantui mimpi
yang sama… Mama sudah berulangkali membawaku ke dokter, bahkan psikolog karena
khawatir aku stress akibat pekerjaan…Nyatanya, mereka semua tidak menemukan
penyebab penyakitku…
Siang
itu, Siska muncul di rumah. Pasti dia kehilangan aku, entah berapa lama aku
absen nggak ke kantor. Jangan-jangan, dia datang untuk menyampaikan kabar boss
memecatku? Ternyata sahabatku itu datang dengan seorang laki-laki, setengah
baya yang dia bilang pernah menolong ayahnya saat ditimpa kemalangan.
Kemalangan apa? Aku tak perduli. Akal sehatku sudah nggak bekerja lagi…Aku
mirip orang linglung. Hanya bisa senyum, ketawa dengar cerita Siska, tapi sebenarnya tidak bisa mencerna semua
yang dia omongin.
Tatapanku
nanar. Tak jelas lagi apa yang dilakukan laki-laki setengah baya itu.
Sepertinya dia membacakan doa, lantas mengangsurkan segelas air putih yang
sejak tadi dia pegang sebelum masuk ke kamarku.
“Minum
ya, Dit…Moga kamu bisa baikkan…” kata Siska, sambil membantuku meminum air
putih itu. Dingin. Air yang menyiram kerongkonganku kurasakan begitu dingin,
seperti air es. Perutku mendadak seperti berontak, tapi Siska membantuku seakan
setengah memaksaku menghabiskan semua isi gelas itu.
**********
Aroma
roti bakar, menusuk indra penciumanku. Pasti mama sedang menyiapkan sarapan
pagi. Buru-buru aku mandi, lantas menyusul mama ke dapur…Heran! Mama kok segitu
kagetnya, melihatku. Sendok yang beliau gengam pun sampai terjatuh, hingga
menimbulkan suara berisik…
“Kamu
sudah baikan? Syukur…Sarapan yuk sama mama?” Wanita yang sangat aku cintai itu
tiba-tiba memelukku dan menangis. Pusing. Kenapa mama musti menangis…
“Mama
aneh deh, pagi-pagi heboh gini…Sarapan pagi, komplit banget. Kenapa mama musti
nangis tadi?” tanyaku, setelah kami duduk bareng dan menikmati roti bakar
buatan mama.
“Kamu
nggak sadar, selama ini apa saja yang sudah kamu alami? Kamu sudah bangun dari
tidur panjang nak…Mama takut, takut kehilangan kamu!” tutur mama dengan nada
terbata-bata. Baru kutahu, ternyata aku memang benar-benar nyaris mati karena
kecerobohanku juga.
Peringatan
dari madame gypsi yang kutemui, kuacuhkan. Nyatanya ketika berlibur ke danau,
aku sudah melakukan kesalahan besar dengan membuang cd dengan bekas darah kotor di sembarang
tempat. Padahal daerah danau biasanya banyak bersemayam jin atau makhluk halus
sejenisnya. Mereka marah dengan kekurangajaranku, hingga akhirnya “menempel”
mengikutiku sampai pulang ke Jakarta.
Konon tanda-tanda seseorang
ketempelan makhluk halus ya berawal dari demam biasa, lantas meningkat sampai
terbawa mimpi. Solusinya ya musti
didoakan dan bapak tua yang diajak Siska ke rumah itu berhasil meminta makhluk
yang ngikutin aku itu pergi. Sungguh, gara-gara kejadian itu aku sangat
berhati-hati setiap berkunjung ke tempat-tempat wisata atau alam terbuka.
Karena layaknya bertamu, musti sopan dan tidak mengotori tempat kita
bertandang.(ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar