Sebuah mobil avansa nyebur ke sungai di kawasan
Jakarta Barat, pagi diri hari. Pengemudi diduga mabuk. Lima dari tujuh
penumpangnya, tewas di tempat. Astaga! Hatiku bergidik ngeri. Banyak banget
kecelakaan terjadi, akhir-akhir ini dengan penyebab sama. Pengemudi mabuk atau
ngantuk. Mustinya, mereka berpikir dua kali, sebelum membahayakan jiwanya.
Bahkan, nyawa orang lain pula… seperti kejadian yang dialami Pasha teman satu
kantor. Tiap jelang weekend, dia
memang paling suka mengajak kami menghabiskan waktu di kafe tenda, kawasan
Semarang atas. Maklum, bujangan. Nggak ada yang nungguin dia di rumah. Beda dengan aku yang tinggal hanya berdua dengan mama,
musti berpikir dua kali untuk pulang malam.
“Ayolah,
Cinta. Satu kali ini saja, kamu ikutan kami…Mama kamu kan bisa ditelpon, biar
nggak nungguin…” bujuk Pasha, Jum’at sore itu. Kulihat Rene, Shinta dan Alan
sudah beranjak dari meja masing-masing, lengkap dengan perlengkapan pribadi
mereka. Tanda siap-siap akan pergi.
“Iya,
say…Ngapain juga bengong di rumah? Bosan tau… Kafe ini menunya mukmer lho,
murah meriah. Pasti kamu suka. Home band-nya bagus, kita juga bisa request
lagu. Gimana?” Rene memandangku, penuh harap.
Nggak
tega juga sih, menolak ajakan mereka untuk kesekian kalinya. Apalagi, kami
berlima memang biasa kompak di kantor. Meski berulangkali dihasut sesama
karyawan, berusaha diadu domba, toh kami selalu solid dan tidak tergantikan.
“Gimana?
Ayolah…keburu macet nih, jam segini?” tanya Alan, sembari menunjuk jam di
dinding.
Aku
menggeleng. Wajah mama, terasa sangat berat mengganggu pikiranku. Andai kami
mau jalan bareng, kan bisa weekend. Nggak musti malam hari?
“Sori
banget…bangetttt. Maaf, aku nggak bisa. Kasihan mama, sendirian. Pasti beliau
cemas kalau aku pulang larut…”
Pasha
menggeleng-gelengkan kepala. Teman-teman terbaikku itu menyerah juga, tidak
berhasil membujukku untuk ikut. Mungkin lain waktu, batinku.
*******
Dingin.
Nyaris menggigil, karena air yang mengguyur tubuhku begitu dingin. Sebenarnya
bisa saja aku bikin air panas buat mandi, tapi malas. Boros gas, pula. Belum
selesai mandi, mama tiba-tiba menggedor pintu.
“Cinta…Cinta…Masih
lama mandinya? “
“Ntar
ma, hampir selesai…” jawabku, setengah berteriak. Tumben-tumbenan, mama gedor
kamar mandi. Beliau kan bisa menggunakan kamar mandi di samping kamar mama? Ah,
sudahlah. Buru-buru kuselesaikan urusanku di kamar mandi. Masih dengan rambut
basah, terbalut handuk, kutemui mama yang kelihatan gelisah di meja ruang
makan.
“Kenapa
ma? Mama sakit?”
“Pasha,
Cinta…Pasha!”
“Pasha?
Dia telpon ma? Tadi datang…”
Mama
menggeleng. Wajahnya pucat, seperti habis melihat setan lewat. Tangannya yang
kurasakan begitu dingin, menggenggam tanganku. Mata beliau
berkaca-kaca…Firasatku mengatakan, pasti ada yang tidak beres…
“Pasha
meninggal. Mobilnya selip dan menabrak pembatas jalan. Teman-teman kamu lainnya
masih belum sadarkan diri di rumah sakit….”
Kugenggam
tangan mama, berusaha mencari kekuatan di sana. Kuingin pastikan, mama tidak
bohong dan aku tidak sedang bermimpi. Tapi itulah kenyataannya…Kutahu dari
Rene, satu-satunya korban yang selamat, malam itu Pasha memang ngantuk berat.
Alan sudah menawarkan diri, menggantikan dia bawa mobil. Tapi Pasha menolak…
Mobil
mulai oleng, ketika melewati turunan, lantas kecelakaan tunggal itu pun tidak
bisa dihindarkan. Pasha tewas di tempat, terjepit badan mobil yang ringsek
berat. Alan dan Shinta meninggal di rumah sakit, karena pendarahan hebat di
kepala. Rene saja yang duduk di belakang, masih bisa tertolong.
Astaga!
Tuhan masih melindungi dan memberi kesempatan aku untuk hidup. Andaikan malam
itu, aku ikut mereka pasti mama sudah kehilangan aku. Andaikan selamat, bisa
jadi aku akan cedera berat seperti Rene yang musti istirahat total dengan kaki
kanan digips.
*********
Bip!
Ada pesan singkat masuk ke handphone-ku.
Nggak nyadar, berapa lama aku melamun. Sekilas kubaca, lagi-lagi pesan mama
supaya hati-hati pulangnya ntar malam. Yah, namanya seorang ibu yang hanya
punya aku. Anak satu-satunya.
“Mama
kamu lagi? Sayang banget ya…Jadi ngiri…” teguran Aga mengejutkan. Cowok
berambut cepak yang kini menjadi kepala divisi pemasaran, satu bagian denganku
itu sudah duduk di depan mejaku tanpa aku sadari.
“Tahu
aja sih! “
“Nebak…Kan
aku paranormal…” katanya setengah bercanda, sembari mengambil koran yang sudah
kuletakkan di atas meja. “Kecelakaan
lagi ya? Ngapain kamu baca beginian, hanya bikin sedih tahu!” lanjutnya.
Kutatap matanya, tajam. Kali ini dia serius.
Aga
memang baru setahun bekerja di kantorku, tapi dia tahu banyak kejadian yang mengakibatkan
tiga karyawan di perusahaan ini tewas mengenaskan. Cowok itu juga tahu banget, aku masih
terluka. Bayangkan saja, orang yang sangat aku percaya, begitu dekat, tiba-tiba
semuanya direnggut dalam satu malam saja?
“Haiiii
Cintaaaa, aku masih di sini lho..”
Aku
tergagap, kaget. Ketahuan juga aku masih suka bengong, sendiri.
“Nggak,
aku hanya berpikir saja…Ada cenayang mirip kamu, gimana pasiennya? Sakit jiwa
semua dibohongin….” ledekku, coba bercanda. Aga tertawa lebar, hingga kedua
lesung pipitnya terlihat jelas.
“Udahlah
jangan kebawa suasana… Lebih baik mikirin yang ada di depan kita sekarang. Ntar
siang, kita makan bareng di kafe depan kantor yuk. Bosan tiap hari menu kantin,
sesekali boleh kan?” tawar Aga. Cowok ini memang paling bisa menghibur aku.
Meski sebenarnya dia tahu, dulu aku hampir saja jadian dengan Pasha dan belum
bisa melupakannya sampai sekarang. Sayangnya, Pasha ragu-ragu menembak aku
langsung. Hingga aku baru tahu, setelah dia benar-benar pergi untuk selamanya.
“Dia
sangat mencintai kamu. Malam itu sebenarnya dia mau nembak kamu di depan
kita-kita…Sayangnya, dia pergi secepat itu. Kamu pun tidak pernah mendengar
pengakuannya langsung,” jelas Rene terbata-bata, ketika aku menjenguknya di
rumah sakit. Lewat Rene pula, aku memperoleh kenang-kenangan terakhir dari
Pasha, sebuah kalung dari emas putih dengan liontin sebuah batu safir warna
biru. Satu hal yang sangat memukul perasaanku, tadinya kalung cantik ini akan dia berikan di malam naas itu…Aku pun
mengenakannya, hingga saat ini.
Fuiiih!
Aku menghela nafas, berat. Bener kata Aga, nggak boleh lama-lama memikirkan
masa lalu. Kulirik mejaku, penuh dengan berkas yang harus segera dibereskan.
Buru-buru konsentrasiku hanya tertuju pada tumpukan file, data di laptop dan
telpon dengan sejumlah klien. Cukup.
*************
Panas!
Entah kenapa, malam ini udara terasa begitu panas. AC di kamar pun seperti
tidak berfungsi. Rasanya panas itu berasal dari dalam tubuhku, terbakar… Kulihat
bercak-bercak merah di sekitar leher dan lengan. Ampun. Masa sudah sebesar ini
masih kena penyakit campak? Atau jangan-jangan alergi makanan? Takut
membangunkan mama, malam itu kutidur dengan badan seperti berada di atas oven.
Panas membara. Gendang telinga pun seperti berdenging. Sakit. Ingin menelan,
kerongkongan seakan kering. Padahal sudah berapa gelas air es kutenggak
tadi…Sama saja.
Kuingat-ingat
lagi. Mungkinkah gara-gara salah makan? Toh makan malam bersama Aga tadi di
kafe langganan kami, tidak memilih udang atau kepiting, salah satu pantangan
utamaku… Kocak banget. Pertama kencan dengan Aga, balik-balik bentol-bentol
begini…
Ingat
kejadian malam ini, hatiku terhibur juga. Kehilanganku akan Pasha terobati. Aga
lebih berani, menyatakan isi hatinya. Bahkan jelas-jelas tadi dia mengajakku
dinner hanya berdua, tanpa melibatkan siapa-siapa. Biasanya, Pasha malah selalu
mengajak Rene, Shinta dan Alan, teman satu genk kita di kantor. Aih-aih…kenapa
ngebandingin Pasha dan Aga?
Ketakutanku
nggak bisa masuk kantor esok paginya, nggak beralasan. Karena ketika bangun,
semua bentol merah hilang. Suhu badan pun normal kembali, seakan tidak pernah
terjadi apa-apa semalam. Yah, mungkin saja kecapekan…
Pagi
ini, masuk ke kantor bukannya langsung ke meja kerjanya, Aga malah menghampiri mejaku. Segelas coffe
latte kegemaranku, dia sodorkan di meja.
“Pagi,
sayang….”
Sayang?
Untung nggak ada orang yang dengar. Ingin rasanya aku sembunyi, masuk dalam
perut bumi karena malu. Biasa sih sebenarnya, sesama teman kantor cowok cewek
menyebut dengan panggilan sayang… Tapi aku ingat banget, semalam Aga
mengucapkan janji setianya untuk menjadi pacar dan menjagaku sepenuhnya.
“Jangan
gitu ah… Malu dilihat orang. Kerja sana…” protesku, tanpa mampu menyembunyikan
semburat merah di pipi. Aga hanya senyum simpul, lantar melipir ke meja
kerjanya.
Hubungan
cintaku dengan Aga, boleh dibilang makin serius. Mama pun setuju, bahkan semua
teman-teman di kantor tidak ada yang protes. Kecuali Rene yang kelihatannya
tidak begitu suka. Atau jangan-jangan, dia juga mencintai Aga?
“Bukan
aku tidak setuju, tapi pikir dulu. Keputusan kamu, terlalu cepat tidak menerima
cinta Aga. Pasha pergi kan belum lewat setahun… “ kata Rene, ketika dia kuajak
bicara empat mata.
Entah
mengapa, sejak jadian dengan Aga, Rene memang selalu menarik diri. Biasa jalan
bareng, kini selalu ada saja alasannya buat menolak. Nggak hanya itu saja,
seperti remaja yang baru demam cinta kali, aku selalu panas dingin setiap kali
habis kencan dengan Arga. Malamnya, pasti badan panas membara, bentol merah di
sekujur tubuh. Lucunya, Arga sendiri juga sering mengalami kejadian tidak
menyenangkan ketika jalan denganku. Bannya bocor, kena jebakan paku.
Handphonenya dipalak di lampu merah, mobilnya tiba-tiba mogok saat nganterin
aku ke salon…Sampai-sampai, tanpa sadar aku pun mengaduh…
“Jangan-jangan
ada yang nggak ngerestuin hubungan kita nih? Sial mlulu, kalau abis berduaan…”
candaku. Tanggapan Aga? Cuek. Maklum, cowok itu memang paling anti mengandalkan
perasaan. Dia lebih percaya logika…
********
Minggu
ketiga, aku resmi jalan dengan Aga…kondisiku tiba-tiba drop. Panas dingin,
tidak keruan. Sampai-sampai untuk turun dari tempat tidurku pun, sulit. Aga
yang datang mengunjungiku, kelihatan panik. Dokter pun mengatakan, aku baik-baik
saja. Tapi mengapa semua persendianku seperti ngilu dan tidak bertenaga?
Sepulang
Aga, Rene baru muncul dengan sekotak pizza kesukaanku. Meski rasanya berat dan
pahit, tetap saja kupaksakan makan demi tidak mengecewakan Rene.
“Maaf
ya Cinta, kondisimu makin memburuk…”
“Maaf?
Ngapain minta maaf sayang…Kamu kan nggak tahu apa-apa…” kataku, sambil memeluk
Rene yang kelihatan terpukul. Butiran air matanya mendadak mengalir deras,
membuatku jadi ikutan terharu dan sedih…
“Rene…come
on. Kamu sahabat terbaikku. Jangan gitu dong, aku sedih nih lihat kamu nangis
begitu…Mana ledekanmu, biasanya kan kamu paling kuat…”
Rene
menggeleng. Dia mengusap rambutku, seperti seorang ibu mengusap kepala anaknya
penuh sayang.
“Aku
sudah berusaha memperingatkan kamu, Cinta. Aku nggak menyangka akan separah ini
akibatnya… Soal hubungan kamu dengan Aga. Beneran kamu mencintai dia?”
“Ya
iyalah, Rene. Masa aku main-main? Apa hubungannya dengan Aga…Kamu suka
dengannya? Kamu marah?”
Rene
lagi-lagi menggeleng, hingga membuatku malah makin gemas. Apa-apaan sih
maksudnya, ngomong berbelit-belit begini.
“Malam
sebelum kecelakaan itu, Pasha bilang di depan Alan, Shinta dan aku…Dia
bersumpah akan menjaga dan mencintai kamu, sepenuh hati dan seumur hidupnya.
Dia bilang, dia tidak akan rela kamu dimiliki orang lain. Selamanya dia akan
menjadi bayangan kamu, kamu pun menjadi bayangan dia…Pasha mengatakan itu,
bahkan bersumpah sambil membawa kalung yang kini kamu kenakan…”
Ampun,
Tuhan…Aku tidak mau percaya hal berbau mistis seperti itu. Tapi beberapa
kejadian terakhir yang selalu menimpa aku dan Aga, sepertinya saling terkait.
Aku sadar banget, akhir-akhir ini karena kesibukan di kantor dan hubunganku
dengan Aga, aku tidak pernah lagi menengok makam Pasha, seperti dulu. Minimal
dua minggu, sekali…Bahkan aku jadian pun, kubelum pernah ke makamnya atau
mendoakan dia dalam doa malam seperti biasa. Benar-benar, aku sudah nyaris
menghapusnya dalam memoriku…
Sedih. Tanpa sadar, air mataku pun
menetes. Kupeluk Rene, kami pun menangis bersama. Esok harinya, meski masih
tertatih-tatih jalanku, kupaksakan diri ke makam Pasha bersama Aga. Kami
berdoa, menaburkan bunga, tidak lupa sebelum pulang aku berbisik di dekat
nisannya. Minta ijin, aku jalan dengan Aga…Minta kelegaan hati Pasha untuk
merelakan aku, jalan dengan orang lain. Berangsur-angsur demamku pun turun.
Kondisiku membaik. Hubunganku dengan Aga pun tidak bermasalah lagi, hingga
suatu malam Aga datang ke rumah dengan membawa sebuah cincin , tanda dia
mengajak aku bertunangan….(ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar