Chicken? Penakut…Pecundang? Peduli amat. Telingaku sudah
kebal dengan ledekan Zeeta, teman satu kost yang paling doyan menakut-nakutin
orang dengan cerita-cerita seremnya itu. Cewek berambut cepak, blasteran Belanda-Sunda
itu memang diakui selain tomboy juga paling berani di rumah ini. Entah karena
sejak kecil, terbiasa hidup keras. Korban broken home. Mamanya balik ke
Belanda, setelah papanya ketahuan kawin lagi. Zeeta ditinggalkan begitu saja
pada sang nenek, sehingga tidak sempat merasakan kasih sayang kedua orangtua
kandungnya.
“Nggak ada yang musti ditakutin dalam hidup
ini, Dee… Apalagi hanya kabar isapan jempol. Mau pocong, kuntilanak, atau apa
pun itu bentuknya...Khayalan manusia saja…” katanya, suatu sore ketika kami
tengah menghabiskan seporsi pisang bakar di teras depan rumah.
“Kalau
kamu ngerasa itu khayalan, ngapain malah suka banget menulis cerita yang
tidak-tidak tentang mereka…Ntar suatu saat beneran datang, nyamperin gimana?”
“Ah,
nggak mungkin lah…Semua itu hanya cerita, khayalan. Puas juga aku bisa
nakut-nakutin pembaca novel-novelku. Semakin mereka ketakutan, semakin puas…” Zeeta
tergelak, melihat ekspresi wajahku yang kelihatan banget tidak setuju dengan
komennya itu.
Kami
memang sama-sama bekerja di sebuah penerbitan. Bedanya, tugasku di bagian
personalia. Zeeta? Cewek mungil, bermata kecoklatan dengan tindik di bibirnya
itu, bagian redaksi. Selain menangani beberapa rubrik, Zeeta juga sudah
menghasilkan tiga buah novel horor. Ya! Horor!
Komentar
pertamaku, ketika membaca novel Zeeta; mengerikan. Kuakui, cewek yang pernah
memperoleh beasiswa di Melbourne, Australia itu mampu menggambarkan setiap
kejadian seolah begitu nyata. Setting lokasi, alur cerita, penokohan, sangat
detail dan nyaris sempurna. Sampai-sampai aku seperti melihat setiap kejadian
yang dia ceritakan, di depan mata.
Bagus?
Memang. Sebagai penulis novel best seller, Zeeta luar biasa. Satu hal yang
tidak kusuka, menurutku ceritanya terlalu sadis. Darah, penyiksaan, ketakutan,
materi utama cerita-ceritanya. Termasuk cerita serial yang dia tulis di media
tempat kami bekerja. Entah, bagaimana dia bisa dengan enak dan tenang
menyelesaikan semua deadline tulisannya…
“Kamu
nggak pernah dihantui dengan tokoh-tokoh yang kamu buat sendiri, Zee? Gara-gara
nonton sebuah film horor saja, aku sampai termimpi-mimpi…Pas ngetik
malam-malam, nggak takut?” Bbbrrr…Bulu kudukku meremang. Ngebayangin aku
sendiri yang tengah menyelesaikan tugas kantor di depan laptop, lantas tiba-tiba
ada sosok asing di sampingku. Wah! Kupastikan, aku bisa mati berdiri.
Tapi
apa komentar Zeeta? Cewek itu malah tertawa, terbahak-bahak sampai bahunya
berguncang…
“Dee,
sekali lagi itu khayalanku. Nggak ada yang namanya poci dan kawan-kawannya. Mitos,
kepercayaan saja.”
“Trus,
cerita-cerita kamu?”
“Ya,
kuangkat dari hasil cerita orang-orang yang katanya mengalami…”
“Nah,
berarti beneran ada kan?’
“Tau
deh… Selama aku sendiri tidak merasakan kehadiran mereka, kuanggap semua itu
omong kosong. Tapi sebagai penulis, aku menikmati sekali bisa membuat adrenalin
pembaca naik…Tunggu saja, kejutan di novel berikutnya. Aku mau kerjain tokoh si
kunti…” Gila. Kuntilanak pun enteng banget, dia sebut si Kunti.
*******
Malam
Jum’at Kliwon. Sengaja, aku sudah sejak sore masuk ke kamar. Bukan karena
penakut seperti ledekan Zeeta selama ini, tapi asam lambung lagi tinggi.
Gara-gara terlambat makan, banyak laporan yang musti diselesaikan siang tadi di
kantor, maag kumat. Bener-bener nggak enak, musti meringkuk tidak berdaya di
atas tempat tidur. Beberapa kali membaca pesan singkat di BB, membuat mata
terasa berat. Ngantuk…
“Deee….Deeta!
Buka dong…Buka pintu!!!” Gedoran di pintu, membuatku tersadar. Berisik banget.
Meski jam di dinding baru menunjukkan pukul delapan malam, tetap saja
mengganggu…
“Deee….tolonggg….Deee…”
Astaga. Kelihatannya, beneran ada orang butuh pertolongan. Dan begitu pintu
terbuka, sosok mungil itu menubrukku, sampai nyaris kami ambruk ke lantai.
“Zeeta?
Ngapain kamu?” tanyaku, begitu sadar siapa cewek yang baru saja merangsak masuk
kamar. Zeeta tak menjawab. Hanya tangis lirihnya saja yang terdengar. Tumben,
bisa juga dia menangis. Tadinya kupikir dia bercanda, akting seperti biasa…tapi
kali ini, kelihatan serius. Tubuh penyuka warna-warna gelap dan musik keras
itu, menggigil ketakutan.
Butuh
waktu cukup lama, buat menenangkan Zeeta, sebelum akhirnya dia tertidur
gara-gara kecapekan di kamarku. Mungkin lebih baik, dia tidur bersamaku malam
ini. Kasihan juga, anak kost lain yang rata-rata masih kuliah, lagi libur
semesteran.
Niat
baikku menolong Zee, ternyata berefek buruk. Semalaman, nggak bisa tidur
gara-gara mendengar ceracaunnya. Cewek ini mengigau sepanjang malam. Kadang
menangis, berteriak ketakutan atau nyumpahin sesuatu…Nggak jelas. Pusing.
Kasihan. Campur aduk. Apalagi selama ini Zee kuanggap seperti saudara sendiri.
Pekerjaan
kantor yang numpuk, bikin aku nggak sempat menanyakan kejadian semalam pada
Zeeta esok paginya. Bahkan nyaris kulupakan, kalau saja Sabtu ini kejadian yang
membuatku giris itu terulang..
********
Retno
dan Bening, dua sahabatku waktu kuliah dulu baru saja pulang. Rumah sepi. Masih
pada liburan, kelihatannya. Sengaja, aku memindahkan laptop ke meja ruang tamu.
Niatnya ingin buka-buka email yang masuk dan meng-update Facebook. Kesibukan
bikin aku tidak sempat buka situs
internet lagi…
Prang!
Suara itu? Belum sadar apa yang terjadi, kulihat Zeeta muncul dari dapur,
tubuhnya limbung, lantas ambruk tepat di depanku. Pingsan! Astaga. Panik,
bingung...Untung, Bik Nah pembantu kost-kostan masih ada. Belum pulang….Kami
berdua berusaha menyadarkannya, sebelum akhirnya memanggil Dio, dokter yang tinggal
di rumah sebelah. Kebetulan, kami berteman cukup lama. Sehingga, kondisi
darurat seperti ini, dia nggak segan nolongin.
Malam
yang melelahkan. Benar-benar aku tidak bisa tidur, karena ngejagain Zeeta.
Selain dia masih suka mengigau, badannya juga demam. Kata dokter, besok mungkin
lebih baikan. Hanya perlu dikompres, minum obat pereda turun panas dan banyak
istirahat. Kesimpulan sementara, gadis itu kecapekan. Gggrh…mungkin saja,
batinku. Karena belakangan ini, Zeeta sering tidur larut, bahkan sampai dini
hari karena mengejar deadline novel
terbarunya.
Minggu
pagi, pulang dari lari pagi kulihat Zeeta sudah kelihatan baikan. Meski matanya
sembab dan tatapan itu…kosong. Selesai mandi, menggoreng pisang dan menyeduh
susu coklat, kutemani Zeeta di teras depan rumah…
“Makan
Zee…masih panas, enak lho…”tawarku, sambil menyodorkan pisang goreng di piring.
Cewek itu masih saja bengong. Tanpa ekspresi. Nggak ceria, konyol, seperti
biasa. Mmm…masih demam, kali. Kuraba keningnya. Dingin. Tapi tatapannya, masih
sama. Kosong. Bahkan seakan-akan, kehadiranku tidak dia perdulikan…
Perubahan
sikap cewek yang pernah dekat dengan sepupuku itu, mau tak mau membuatku
bertanya-tanya. Hingga sore, Zee tetap sama. Lebih banyak diam, dingin, tak
berkomentar apa-apa, meski kuajak dia bercanda. Ya, sudahlah…asal dia sehat,
nggak demam lagi…
*********
Malam
ini, entah kenapa perasaanku nggak enak sejak masuk ke kamar. Udara di
sekelilingku terasa lebih dingin dari biasanya. Padahal seharian tadi, panas
minta ampun. Malam Minggu, waktunya anak kost keluar semua. Pacaran. Tinggal
aku sendiri….Bengong. Mmm, lebih baik nengokin Zeeta. Cewek itu pasti juga
masih di kamarnya. Pintu kamar Zee juga kelihatan setengah terbuka.
“Zee…Lagi
ngapain? Boleh aku masuk?” tanyaku, setelah sebelumnya mengetuk pintu. Tak ada
jawaban. Perlahan, kubuka pintu kamar… Cewek itu? Kulihat dia meringkuk di
sudut kamar, gemetar. Badannya bermandi keringat, tatapan matanya liar, seperti mengawasi setiap sudut ruangan.
Bahkan ketika melihatku datang, dia seperti melihat musuh besarnya muncul.
Tiba-tiba
saja, dia melempariku dengan semua benda yang ada di dekatnya. Bantal, buku, sampai
handphone hingga semua barang-barang berhamburan, pecah, berantakan. Kaget
dengan sambutan Zee, nyaris aku tak sempat menghindar, hingga tiba-tiba kurasa
tubuhku ditarik seseorang, sampai ambruk ke lantai. Nesya! Teman satu kost yang
jago beladiri….
Untung!
Andai Nesya tidak menyelamatkanku, pasti kepalaku sudah bocor dihantam
benda-benda yang dilemparkan Zeeta. Cewek itu seperti kerasukan. Kehilangan
akal sehat. Untung dua kali, Nesya berhasil mengamankan Zee, hingga terkulai
pingsan.
Kesimpulan
dokter, Zee sehat-sehat saja secara fisik. Namun jiwanya terganggu. Ngerasa ada
yang tidak beres, keluarganya membawa dia
berobat ke beberapa pengobatan alternatif, sampai akhirnya ke seorang
pemuka agama.
Nyaris,
dua minggu aku tidak bertemu Zee dan tahu kelanjutan cerita tentang
kesehatannya, sampai sore itu kulihat seorang nenek datang ke rumah bersama
seorang sopir, untuk membereskan semua barang-barangnya yang masih tersisa.
Mereka juga kelihatan kurang bersahabat. Seperti ada yang disembunyikan. Tanpa
banyak bicara, tanpa basa basi, sehabis membereskan semua barang-barang, mereka
cabut.
Misteri
sakit dan kepindahan Zee, tidak ada satu pun anak kost yang tahu, termasuk aku.
Hingga sore itu, ketika Bik Nah tengah membersihkan kamarku….
“Kasihan
mbak Zee ya…Moga-moga bisa hidup normal lagi. Makanya jangan meremehkan setiap
penunggu rumah….” Celetuk Bik Nah, membuatku nyaris tersedak. Baru kutahu, Bik
Nah sempat ngerumpiin kondisi Zee dengan sopir pribadi neneknya waktu datang ke
rumah.
Sahabatku
itu memang jago menulis cerita seram, bahkan kelihatan tidak pernah ada
takutnya sama sekali. Masalahnya Zee sudah melewati batas…Dia suka
mengentengkan pendapat orang, kalau di tempat tertentu kita musti “permisi”,
nggak bisa mengumpat sembarangan atau main-main dengan “mereka” yang tinggal di
alam berbeda. Becandaanya kelewatan, bikin “penghuni” yang tinggal di rumah ini
marah, hingga akhirnya Zee benar-benar diteror oleh sosok yang dia ciptakan
sendiri.
Entah,
apakah Zee masih tetap melanjutkan profesinya sebagai penulis novel-novel seram
atau tidak, tapi yang kutahu gadis itu tak pernah menampakkan dirinya lagi di
kost. Dan kami semua penghuni kost pun tak pernah memperoleh “gangguan” lagi. (ft:berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar