Busyet!
Lagi enak-enaknya memeluk guling, ada saja gangguan. Ketukan di pintu
berulangkali, terpaksa membuatku beringsut turun dari tempat tidur. Dinginnya
malam ini, bikin gigi nyaris beradu. Niat nyelesaiin novel keduaku, terkalahkan.
Bantal dan guling, lebih menggoda ketimbang laptop dan setumpuk revisian dari
penerbitku. Bukan ide bijaksana sebenarnya, memilih menyepi di villa yang ada
di kawasan Cipanas, Garut ini. Karena ide yang diharapkan mengalir lancar,
malah sebaliknya. Bawaannya pengen makan dan tidur… Males banget! Apalagi
sehabis magrib, jalanan sudah sepi. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan
lagi.
Tek…tek…tek…
Astaga. Nyaris lupa, ada tamu. Tadinya kuberharap, tamu itu berubah pikiran.
Lantas pergi. Eh, tahunya masih mengetuk pintu juga. Kaget. Asli! Dua bocah
cilik, berambut plontos, wajah tirus dan pucat lengkap dengan kaos lusuh sudah
ada di depan mataku, begitu pintu kubuka.
“Malam, kak…” tegur bocah yang memiliki tompel di
dagu kirinya itu. “Maaf, kami ganggu. Mau numpang ke kamar kecil…Boleh?”
Glek. Jantungnya
berdebar kencang. Nggak biasanya, perasaanku nggak enak begini. Malam-malam di
tempat asing, kedatangan dua bocah cilik, tak jelas asal usulnya. Bulu kudukku
meremang. Apalagi kuingat, malam ini malam Jum’at. Apes bener, kalau sampai aku
nemuin yang beginian…
“Kak, boleh? Nenek
kami saja yang numpang ke belakang kok. Kami nggak ikutan. Kasihan nenek…”
Nenek? Baru
kusadar, dua bocah ini tidak sendiri. Tak jauh dari mereka berdiri, seorang
wanita tua dengan rambut memutih digelung tak beraturan, berselendang warna
hijau tua duduk di kursi teras. Kasihan. Iba juga, ngelihat malam-malam begini
mereka masih keluyuran di luar. Rumahnya masih jauh kali ya?
Aku nggak sempat
bertanya banyak. Nenek itu kuantarkan ke kamar kecil, tepat di sebelah kamarku.
Lantas, kubalik ke depan sambil membawakan sekaleng biskuit. Lumayan. Siapa
tahu, bocah-bocah itu lapar.
Blas! Tak ada
siapa-siapa di depan. Kedua anak laki-laki itu kemana? Pulang nggak
bilang-bilang…Kasihan sekali, sang nenek ditinggalkan begitu saja. Setengah
bersungut, aku balik ke kamar mandi. Maksudnya ingin memanggil nenek itu, kali
saja sudah selesai. Tapi kok, pintu kamar mandi masih terkunci dari dalam.
Satu, dua ketukan…beliau tak menjawab juga. Aduh. Jangan-jangan terjatuh,
pingsan di kamar kecil?
Panik. Aku
buru-buru mengambil linggis di bawah gudang belakang, buat ngejebol pintu. Niat
belum dilaksanakan, pintu kamar mandi sudah setengah terbuka. Dan…nenek itu
tidak ada! Kucari-cari di teras depan pun, beliau sudah tidak ada. Jantungku
kembali berdetak kencang. Keringat mengucur deras. Meski udara begitu dingin
membekukan, tapi ketakutan yang amat sangat terasa mencekik, membuat tulang-tulangku
seperti dilolosi. Lemas. Tak bertenaga.
Dua bocah plontos
dengan nenek-nenek? Astaga. Kubasuh wajahku dengan air di kamar mandi. Nggak
boleh takut, batinku. Andai mereka bermaksud jahat, pasti sejak awal aku sudah
dikerjain. Nyatanya mereka hanya numpang kamar kecil…Itu saja. Untung saja, udara dingin dan mata berat ini
membuatku langsung terlelap. Lupa dengan kejadian yang baru saja kualami.
*****
Kebiasaan. Pak
Bayu, tukang kebun villa ini selalu meletakkan barang-barang tidak kembali pada
tempatnya. Gemas. Setengah menggerutu, aku merapikan sapu lidi dengan gunting
pemotong rumput yang digeletakkan di teras. Kulihat, beberapa potongan kayu,
bekas bongkaran gudang belakang juga teronggok begitu saja. Nyaris tadi sewaktu
mau masuk rumah, aku jatuh benda-benda itu.
“Maaf,
kak…Saya bantuin boleh?” Seraut wajah pucat itu, sudah ada tepat di depanku,
tanpa kusadari kapan dia datang. Tubuhku spontan terhuyung ke belakang, karena
kaget. Kedua tanganku bergetar hebat. Bocah itu… ya, bocah berambut plontos
dengan tompel di dagu kirinya.
“Ka…ka…kamuuu!”
“Ya, saya kak…Masih
ingat? Kemarin nganterin nenek, numpang ke kamar kecil bareng Aryo, kakak saya.
Kenalin saya Arya,” kata bocah itu, sambil menggenggam tanganku. Dingin.
Refleks, buru-buru kulepaskan genggamannya. Bocah itu mengeryitkan dahi. Heran.
“Kakak nggak suka
ya, berteman sama kami? Orang kampung?”
Ya ampun…kaget juga
aku mendengar pernyataan bocah sekecil ini. Padahal bukan maksudku meremehkan
statusnya, tapi sungguh…hatiku masih takut. Amat sangat takut…
“Bener kata
Aryo…Orang kota sombong. Nggak suka ngebantuin orang kampung seperti kita…”
kata bocah itu lirih. Mata bulatnya berkaca-kaca. Astaga. Apa yang sudah aku
lakukan? Melukai hati bocah tak berdosa ini, hanya karena ketakutan berlebihan?
“Maaf, Arya. Maafin
kakak…Kamu sih, suka muncul tiba-tiba. Ngagetin kakak, tahu?” sahutku, coba
bercanda. Ngobrol dengan bocah ini, ternyata menyenangkan. Aryo yang menyusul
belakangan juga seru. Meski jujur saja, hati kecilku masih sering berdebar tidak
jelas. Aroma melati itu langsung menusuk indra penciumanku, tiap aku berdekatan
dengan mereka. Belum lagi, udara di sekelilingku tiba-tiba terasa lebih dingin
dari biasanya. Sampai-sampai bulu kuduk ini berdiri.
“Aryo, kapan-kapan
ajak kakak main ke rumah kamu ya? Nggak jauh dari sini kan?” tanyaku, sore itu.
Bocah berkulit sawo matang itu menggeleng, berat. Heran. Nggak Aryo, nggak
Arya… Keduanya selalu kelihatan bete dan malas, tiap kali aku menyinggung
tempat tinggal mereka.
*********
Malam Minggu, kelabu.
Nggak ada pacar, apalagi teman…Sendirian lagi, aku menghabiskan waktu di villa.
Padahal siang tadi, Radit tunanganku bilang mau datang. Tiba-tiba saja, dia sms
batal. Karena harus menemani mamanya yang sakit. Ya, sudahlah. Toh aku bisa
ngebut, menyelesaikan tugas utamaku…novel kedua. Sengaja, sore ini kupindahkan
semua pekerjaanku di ruang tamu. Biar nggak tergoda, tidur.
Tek…tek…tek…! Tamu
lagi? Gggrhh…Padahal moodku lagi bagus. Tiga halaman baru saja kuselesaikan…
“Siapa?” Pintu
kubuka. Aryo dan Arya! Dua bocah itu termangu, berdiri di depanku. Mirip
tentara tengah berbaris, menunggu perintah sang komandan. Senyumku langsung
mengembang…Malam-malam, tumben nih anak-anak main?
“Maaf Kak Rini…
Nenek mau numpang ke kamar kecil. Boleh ya?” Aku mengusap mata ini yang terasa
gatal, tiba-tiba. Nenek? Bener saja. Tidak jauh dari Aryo dan Arya, nenek tua
yang pernah numpang ke kamar mandiku itu,
berdiri tertunduk. Selendang yang dia kenakan, menutupi sebagian
wajahnya yang sudah keriput, termakan usia.
“Oh iya..iya…boleh.
Masuk nek…silahkan… Aryo dan Arya tunggu di depan atau masuk juga? “ kataku,
sambil membuka pintu lebar-lebar. Wanita tua itu setengah terhuyung, masuk ke
belakang. Arah kamar kecil.
“Nggak ikutan
masuk, kak…Di sini saja,” sahut Arya, sambil menggaruk-garuk kepala plontosnya.
Aroma melati itu kembali tercium. Bulu kudukku meremang tiba-tiba. Duh Tuhan, kenapa
tangan bocah ini begitu dingin ketika kugenggam? Baru kusadar, cukup lama nenek
itu kutinggalkan di kamar kecil. Siapa tahu dia membutuhkan bantuanku…
“Nek…Sudah belum?”
tanyaku, sambil mengetuk pintu kamar mandi. Nggak ada sahutan. Sepi. Bahkan
suara air kran yang tadi kunyalakan, sebelum nenek itu masuk pun sudah
dimatikan. Ketukan ketiga, masih sama. Sepi. Akhirnya kucoba membuka pintu
kamar mandi yang ternyata tidak dikunci… Kosong!
Entah kenapa,
jantungku berdetak begitu kencang. Perasaan nggak enak, menyergapku
tiba-tiba...Mungkin aku saja yang nggak nyadar, wanita tua itu sudah keluar
kamar mandi dari tadi.
“Makasih ya nak…”
Dug! Astaga. Tuh nenek ternyata tengah berdiri di belakangku. Wajah pucatnya
kelihatan lebih segar. Syukurlah, beliau
tidak apa-apa. Khawatir bener aku, andaikan wanita yang jalannya sempoyongan
ini, jatuh di kamar mandi.
Tanpa menunggu
jawabanku, wanita itu ngeloyor saja keluar. Aryo dan Arya yang masih menunggu
di depan, hanya mengucap salam, lantas mengekor di belakang perempuan tua ini
pergi. Kasihan juga. Setua itu keluyuran malam-malam. Seharusnya dia sudah
menikmati masa tuanya di rumah, bersama anak dan cucunya.
Ingin aku bertanya,
mengapa dia selalu ditemani Aryo dan Arya…Apakah si nenek nggak punya anak?
Tapi selalu saja aku lupa, setiap nenek itu numpang ke kamar kecil. Soalnya
beliau juga kelihatan malas bicara, paling hanya mengucap salam, lantas pergi.
********
Malam Jum’at
Kliwon…Hih! Sebagian orang percaya, malam ini setan-setan berbagai wujud
berpesta atau gentayangan. Sengaja, aku memilih diam di kamar dengan setumpuk
CD, sepiring pisang goreng dan segelas kopi. Tujuannya, biar bisa fokus menyelesaikan
novelku. Nyatanya? Pikiranku malah melayang ke mana-mana.
Bayangan Aryo dan
Arya, muncul begitu saja. Mereka sebenarnya anak siapa dan tinggal di mana? Kok
bisa-bisanya ngeluyur sampai ke villaku, tiap sehabis magrib? Iseng, tanganku mencolok modem dan membuka
situs internet. Beberapa artikel seram, kubaca. Astaga. Bego banget. Bukannya
menenangkan hati, malah iseng cari yang beginian…Mitos tentang jin, kuntilanak,
sampai tuyul…
Bulu kudukku
berdiri. Dingin. Sweater yang kukenakan, seperti tidak ada gunanya. Aroma
melati itu kembali tercium. Halusinasi lagi dah! Bujuk hati kecilku. Nyatanya
bau itu tidak juga hilang, malah semakin terasa begitu dekat…
Bodohnya aku!
Internet kumatikan. Laptop kututup. Setengah bersungut, aku naik ke atas
kasur…Lebih baik tidur!
Tek…tek…tek…. Tamu? Aku coba cuek, tak
bergeming dari kasur. Tapi ketukannya makin keras dan jelas.
“Malam? Siapa ya?”
kataku dengan nada tinggi.
Aryo dan Arya lagi…
Dua bocah itu berdiri di depanku, begitu pintu kubuka. Mereka tidak sendiri.
Seperti biasa, bersama nenek itu…Alasannya pun sama. Numpang ke kamar kecil.
Aku
menggeleng-gelengkan kepala. Ingin marah, protes, karena ngerasa terganggu,
tapi hati kecilku juga kasihan. Nolongin orang ke toilet saja kok pelit…pasti
bakal diomelin mama, kalau beliau tahu.
Nenek berselendang
lusuh itu pun berjalan terhuyung-huyung ke toilet. Tanpa perlu kuantar, tanpa
perlu kutunjukkan tempatnya. Dia sudah hafal, seperti rumahnya sendiri.
Aku terduduk di
meja, ruang tamu. Aryo dan Arya, kelihatan salah tingkah. Mereka berdiri saja
sejak tadi di depan pintu. Kasihan juga. Kupegang tangan Aryo. Dingin. Wajah
kedua bocah itu begitu pucat…
“Masuk yuk…duduk di
dalam?”
Aryo menggeleng.
Arya juga…Bulu kuduk ini kembali meremang. Dingin di sekitarku. Gemerisik
batang bambu dan bugenvil yang ada di sekitar villa, terdengar begitu giris.
Aku mencoba menghapus ketakutanku dengan mengutak-atik BB yang tadi kukantongi.
Hingga detik berikutnya, ketika
pandanganku kembali ke depan. Aryo dan Arya sudah tidak ada! Malas banget deh,
kalau sudah begini…Mereka main selonong saja, pulang. Nggak pamit. Mmm, sopan!
*******
Pagi yang sempurna.
Segelas kopi, setangkup roti bakar dan omelet dengan mushroom sebagai sarapan
pagiku. Rencananya, siang ini aku balik ke Jakarta. Cukup sudah, satu minggu
berlibur sekaligus bekerja di villa ini…Sebenarnya, rencana awal dua sampai
tiga minggu. Nyatanya, aku nggak betah…Bukannya banyak ide, malah semua
pekerjaan tertunda…
Pak Trisna, sopir
pribadiku yang baru saja datang langsung memasukkan barang-barang yang sudah
kupacking sejak semalam, termasuk laptop, beberapa kardus buku dan CD.
“Pak Trisna…semua
kardus sudah dimasukkan mobil? Nggak ada yang kelupaan?” tanyaku, ketika
melihat bapak separuh baya yang sudah mengabdi lama di keluargaku itu,
kelihatan santai, duduk di bawah pohon sambil merokok.
“Sudah mbak…Semua
ruangan saya check, sudah nggak ada
kardus tertinggal,” katanya, sambil melanjutkan kebiasaannya. Merokok. Aku
hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Kalau sudah kecanduan rokok, ya gitu
deh…
Suapanku terakhir,
belum selesai, ketika tiba-tiba kulihat Pak Trisna datang tergopoh-gopoh di
depanku.
“Ada yang mau
ketemu sama mbak…” katanya. Nggak perlu kutanya siapa, karena di belakang Pak
Trisna, ada Aryo dan Arya. Dua bocah itu…Kenapa aku sampai lupa pamitan ya?
Tapi bukankah mereka juga tidak pernah mau mengakui, dimana tinggalnya?
“Kak Rini, mau
pulang ya? Jangan kapok balik ke sini ya?” Aryo mencium punggung tanganku.
Terharu aku dibuatnya. Aroma melati itu kembali menusuk indra penciumanku…
Dingin tangan bocah itu…
“Nggak…Nggak
kapok…Kenapa musti malas balik? Kakak suka ada kalian yang menemani. Meski
kadang nyebelin, kalau sudah ngajakin neneknya main. Nggak pamitan, main
kabur…”
Aryo dan Arya
saling pandang. Wajah keduanya tiba-tiba pucat pasi, seperti orang yang tengah
diadili.
“Maafin kami,
kak…Kami terpaksa, karena kami takut dimarahin Nenek Ijah kalau nggak nganterin
ke rumahnya kembali…Tapi kakak tidak digangguin kan?”
Rumahnya? Aku
tersentak, kaget. Kenapa dia bilang, villa ini rumah nenek yang mereka sebut
Nenek Ijah itu?
“Nenek Ijah dulu
bekerja sebagai pembantu di villa ini, sebelum akhirnya terjadi perampokan.
Seluruh penghuni selamat, tetapi Nenek
Ijah ditemukan tewas dengan luka di sekujur tubuhnya. Beliau masih suka
memperlihatkan diri di sekitar dusun ini, Kak, termasuk sama kami berdua.
Karena dulu kami berdua sering diberi jajanan oleh Nek Ijah, tiap main ke sini.
Sekarang, Nenek suka minta dianterin pulang ke villa…”
Tubuhku bergetar,
hebat. Mataku terasa berkunang-kunang. Selama ini yang mereka anterin, nebeng
ke kamar kecil itu Nenek Ijah? Korban pembunuhan sadis? Buru-buru kuselesaikan
sarapanku. Habis berpamitan dengan dua bocah ini, aku pun balik ke Jakarta.
Selamat tinggal Nek Ijah…Aku akan berpikir dua kali untuk balik ke villa ini
lagi….
*******
Energiku
benar-benar terkuras. Tapi lega, sampai juga di kamar kesayanganku. Beberapa
kardus sudah kubongkar, sebelum kardus terakhir. Tiba-tiba, tatapanku nanar. Sebuah
selendang kumal, tak jelas lagi warna dan motifnya kutemukan. Selendang Nenek
Ijah! (ft: berbagai sumber)
2 komentar:
dem!!!!
kirain semuanya hantu haha!
keren ini mbak stey, ngagetin. Untung nek ijah-nya gak jahat. Tapi kenapa si nenek itu senengannya ke kamar mandi? panjangin dong ceritanya, jelasin kenapa harus kamar mandi? apa karena meninggal di kamar mandi atau gimana hehe..
*tetep kepo*
Kereeen banged ceritsnya. Untung si nek ijah ninggalin kmr manndi dlm keadaan bersih, "̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐ ""̮♡hϱϱ♡hϱϱ♡hϱϱ♡"̮.. . Ditunggu lg cerita hantunya. Aku jg ada pengalaman ktmu hantu (jiaaahh) nanti q ceritain ya.
Posting Komentar