Pusing.
Indra penciumanku merasakan bau anyir yang menusuk hidung. Benar-benar membuat
isi perut seperti diaduk-aduk. Heran. Setahuku, siang tadi seluruh sudut rumah
sudah kubersihkan. Nggak ada sampah, bangkai tikus atau sejenisnya. Tapi kenapa
aroma tidak sedap itu kini begitu mengganggu? Meski mata terasa begitu berat,
kupaksakan juga turun dari tempat tidur buat mencari penyebab bau yang makin
menggila ini.
Deg!
Wanita itu… Entah darimana datangnya, tiba-tiba tepat di depanku berdiri wanita
separuh baya. Tatapannya nanar, tanpa ekspresi. Satu hal yang membuatku
menggigil ketakutan…wajahnya! Paras
cantik itu bermandi darah. Merah… Anyir. Belum lagi luka menganga di kening.
Sepertinya, darah itu menyembur tak henti dari sana. Lemas. Kaki ini seperti
tidak berpijak pada tempatnya. Sekelilingku berputar begitu cepat, terasa
memusingkan…padahal perempuan itu tidak bergeming dari tempatnya. Dia hanya
menatapku dalam diam.
“Siapa
kamu? Ngapain di sini?” tanyaku dengan
suara bergetar. Meski jujur, aku sendiri tidak mengharapkan dia akan menjawab
pertanyaanku. Ketakutan itu benar-benar seperti membunuhku, hingga
tulang-tulang persendian ini terasa kaku.
Wanita
itu tidak juga bergeming dari tempatnya. Meski darah membanjir, hingga
kurasakan kakiku menyentuh cairan yang hangat, kental dan menjijikkan…Darah di
mana-mana! Nggak, nggak boleh pingsan. Pasti semua yang kulihat ini hanya
mimpi…halusinasi! Belum sempat kusadar
apa yang tengah kualami, tiba-tiba saja wajah wanita itu sudah berada tepat di
depanku. Ya… entah bagaimana caranya, tahu-tahu dia berada begitu dekat
denganku. Sampai-sampai wajahnya nyaris menempel dengan wajahku! Matanya…mata
itu seperti menyimpan dendam dan luka begitu dalam.
“Ka…kamuuuu?!”
Detik berikutnya, aku benar-benar ambruk. Pingsan!
********
Kejadian
malam itu, sengaja tidak kuceritakan kepada siapa pun. Takut, halusinasi saja.
Ntar bukannya ditolongin, malah diketawain. Tahu sendiri Mas Wisnu, dia sangat
antipati dengan namanya hantu, penampakan, atau apa pun itu. Laki-laki yang
belum genap setahun ini menikahiku itu, memang selalu berpikir jauh lebih
bijaksana daripadaku. Mungkin karena usianya jauh lebih tua dariku. Kami beda
15 tahun. Aku menerimanya sebagai suami,
karena kulihat kesungguhan dan perhatiannya luar biasa. Meski statusnya duda,
waktu melamarku. Istri pertamanya meninggal dunia, ketika rumahnya disantroni perampok.
Mengaku
tidak ingin terlalu dalam memendam kesedihan, Mas Wisnu pun menempati rumah
baru. Katanya setiap tinggal di rumah lama, dia terbayang-bayang kejadian
mengerikan itu. Makanya, laki-laki bertubuh atletis yang doyan nge-gym itu
berencana menjual rumah lama.
Heran. Meski
berulangkali diiklankan, bangunan itu nggak laku-laku. Mungkin karena posisinya
kurang strategis, tapi harga yang diminta Mas Wisnu tinggi. Sempat juga
dikontrakkan…tapi baru beberapa minggu, penghuninya pindah. Nggak masuk akal.
Mereka rela dipotong sekian prosen, sebagai ganti rugi karena tidak menepati
surat perjanjian kontrak, daripada disuruh bertahan tinggal di sana.
“Gampang-gampang
susah, ngejual atau ngontrakin rumah hari gini. Sayang juga kalau banting
harga,” curhat Mas Wisnu, ketika kami masih pacaran. Cuma butuh waktu tiga
bulan saja, kami resmi pacaran. Lantas penyuka motor gede dan olahraga tae
kwondo itu pun melamarku. Meski jauh sebelumnya, kami sudah saling dekat
layaknya seorang sahabat.
Inget
banget, ekspresi mama waktu Mas Wisnu datang ke rumah. Beliau sama sekali tidak
menduga, kedekatan kami selama ini serius mau dibawa ke jenjang pelaminan
mengingat usia laki-laki itu terlalu jauh. Seumuran dengan adik bungsu mama,
Oomku yang tinggal di Makassar. Belum lagi statusnya duda… Baru setengah tahun ditinggal
mati Mbak Jenar istri pertamanya, sudah berani menikah lagi. Tapi ya…namanya
cinta. Aku tidak perduli dengan tanggapan negatif orang lain, termasuk
penilaian miring dari mama dan keluarga besarnya.
Pernikahan
pun digelar, tanpa resepsi besar-besaran. Sederhana saja. Lantas, kami tinggal
di rumah baru yang sudah Mas Wisnu beli sebelum melamarku. Berhubung rumah
tengah direnovasi, aku pun tidak menolak
waktu diajak pindah sementara ke rumah lama. Resiko. Capek dan repot sedikit, it’s okey. Mumpung kami belum punya
momongan…
Eit
nggak tahunya, capek banget ngebenahin seisi rumah lama. Padahal sudah
dibantuin Bik Inah, pembantu kami. Baru selesai bebenah, sore. Kebetulan Mas
Wisnu hari pertama kami pindah, tugas ke luar kota. Terpaksa kutidur sendirian,
karena Bik Inah tidak menginap. Ya gitu
deh, mungkin karena kecapekan malam itu aku seperti melihat sosok perempuan
bermandikan darah. Padahal kuyakin, nggak ada siapa-siapa bisa masuk dalam
rumah, karena semua pintu terkunci rapat.
**********
Gending
Jawa? Kutajamkan pendengaranku. Bener. Nggak salah! Ada suara wanita seperti
lagi nyinden, atau nembang lagu Jawa. Suaranya lirih, merdu banget. Ah,
perasaan tadi nggak nyalain televisi. Lagipula jam segini, siapa orang yang
iseng dengerin radio?
Bulu
kudukku tiba-tiba merinding. Dingin tengkuk ini, seperti ada es yang ditiupkan
di belakang telinga. Aroma anyir, berpadu dengan bau busuk yang menyengat,
mendadak menyesakkan indra penciumanku. Nyaris terbatuk-batuk dan muntah aku
dibuatnya…Gila! Bau apalagi ini?
Buru-buru
kuambil tissue, lantas sambil menutup hidung kukeluar dari kamar. Mungkin Bik
Inah lupa buang sampah, hingga gundukan sampah yang ada di tempat sampah dapur,
baunya ke mana-mana?
Lirih
suara wanita yang menyanyikan tembang Jawa itu, kini terdengar makin jelas,
bersamaan dengan bau busuk di mana-mana. Sampai-sampai aku dibuat sesak nafas,
karena mualnya. Duh, nggak enaknya tinggal sendiri. Dua hari ini, Mas Wisnu kok
belum pulang juga…batinku mengaduh.
Bersamaan
dengan terbukanya pintu ruang tengah yang menghubungkan dengan dapur kubuka,
tiba-tiba…Astaga! Wanita itu…Wanita bermandi darah dengan tatapan dingin itu
sudah berada tepat di depanku. Dia tidak bergeming sama sekali, hanya tatapannya
saja tajam, menusuk…Darah mengucur dari keningnya yang setengah berlubang.
Menjijikkan. Perut ini rasanya teraduk-aduk, ingin muntah. Tapi ketakutanku
jauh lebih besar dibanding rasa jijik dan mual….
“Siapa
kamu? Pergiiiii!” ujarku, setengah berbisik. Kerongkongan rasanya kering. Suara
ini parau, meski aku berusaha teriak sebisanya.
Wanita itu tak bergeming dari tempatnya. Dia hanya berdiri dan diam,
seperti menunggu…Sebelum aku sempat berteriak, tiba-tiba… deg! Wajah wanita itu
sudah tepat di depanku, hanya sekian sentimeter saja jaraknya dengan mukaku!
Brukkk! Kujatuh pingsan.
********
Sumpah!
Aku nggak mau dianggap kolokan, penakut, atau sejenisnya…tapi menghadapi
gangguan selama dua malam berturut-turut begini, nggak tahan juga. Mas Wisnu
yang baru datang dari luar kota, langsung kuberondong dengan ceritaku.
Gemes. Bener kan
dugaanku? Bukannya dia prihatin, tapi malah setengah menertawakanku. Alasannya
halusinasiku saja…karena nggak pernah sendirian tinggal di rumah. Memang sih,
aku tidak pernah seumur-umur tinggal sendiri dalam rumah. Pasti ada keluarga
atau pembantu, sampai menikah pun begitu. Kebetulan saja, karena pindah
sementara ke rumah lama, pembantu kami nggak bisa menginap lagi seperti dulu.
Mungkin
juga karena kecapekan, sekaligus ketakutan nggak jelas, badanku meriang. Panas
tinggi, meski sudah diberi obat penurun panas. Kasihan juga Mas Wisnu…baru
datang, bukannya aku ladenin malah
sebaliknya. Dokter yang memeriksaku mengatakan, demam biasa. Kecapekan dan
tensi darah drop. Secara aku juga suka
makan telat… Ya, jadi deh. Mmm, bener kali. Halusinasiku akibat kecapekan dan
meriang.
Tahu
hasil test laboratorium, aku nggak kena tipes, demam berdarah atau penyakit
menakutkan lainnya, Mas Wisnu bisa bernafas lega. Maklum, proyek barunya di
Surabaya nggak bisa ditinggalkan. Akhir-akhir ini, dia harus bolak balik ngecek
ke sana, hingga aku pun tinggal sendiri lagi.
“Yakin,
kamu nggak apa-apa kutinggal?” tanya laki-laki bermata elang dan berkulit sawo
matang itu, serius. Aku menggeleng, sambil senyum. Kasihan juga, kalau dia
musti mikirin kepentinganku. Padahal usahanya juga masa depan keluarga kami
juga…
Dugaanku
keliru. Suhu tubuh yang tadinya turun, begitu ditinggal Mas Wisnu langsung naik
lagi. Panas. Badan rasanya terbakar di atas bara. Malam itu, aku belum juga
bisa tertidur pulas, ketika lamat-lamat tembang Jawa terdengar begitu dekat di
telinga.
Ampun!
Jangan lagi deh, batinku. Nggak mungkin gangguan itu datang lagi. Halusinasi!
Kucoba cuek, tetap bersembunyi di balik selimut. Meski jujur saja, kakiku
gemetaran. Detak jantung seperti terdengar jelas, karena ketakutan. Tiba-tiba
suara ketukan itu terdengar, sepertinya ada tamu? Kucoba tajamkan
pendengaranku. Bener. Ada orang mengetuk pintu…Mmm, siapa malam-malam begini
bertamu. Atau jangan-jangan mama nengokin? Mama memang pernah sms, bilang
kangen dan pengen nengokin aku.
Ffuuuih!
Kuturun juga dari tempat tidur, sambil menyambar jaket di kursi. Dinginnya
malam ini, beda dari biasa. Mungkin karena aku sakit dan demam tinggi. Rasanya
dinginnya membekukan, sampai ke tulang-tulang.
“Siapa
ya?” Langkahku terhenti di depan pintu, ketika gorden kaca jendela sudah
kusibak…Tak ada siapa-siapa di luar sana. Sengaja, aku tidak membuka pintu
dulu, karena takut tamunya orang asing.
Sepi.
Tak ada jawaban. Tak ada siapa-siapa. Huh! Iseng. Demam, pikiran jadi kacau
gini, batinku kesal sambil balik badan. Ampuuunn! Tepat di belakangku, wajah
wanita bermandi darah itu ….dia…dia benar-benar begitu dekat dengan wajahku.
Sampai-sampai hembusan nafasnya terdengar dan terasa begitu jelas, meniup
pori-pori wajahku!
“Ka…kaaaa…kammmuuuu!”
Persendianku lemas seketika. Rasanya mau ambruk, tapi berusaha kutahan. Nggak
boleh pingsan! Ntar dia berbuat jahat…Nggak boleh! Batinku, sambil menahan
berat tubuhku sendiri di kursi yang ada di sampingku. Wanita itu tidak
bergeming dari tempatnya. Tatapan nanarnya itu menghujam, dingin. Sementara
luka di keningnya, tak henti mengucurkan darah. Merah….merah di
mana-mana….tiba-tiba, kurasakan tanganku begitu dingin dan lengket. Waktu
kuperhatikan lagi, jemariku sudah penuh darah. Darah!!!
*******
Entah,
sudah berapa lama aku pingsan. Herannya, mama Mas Wisnu malah mengira aku
tertidur di sofa ruang tamu. Soalnya beliau yang kebetulan memiliki kunci
rumah, melihatku tertidur begitu pulas di sana.
“Ma…kapan
datang? Kok aku nggak denger?” tanyaku, sambil buru-buru merapikan rambutku
yang berantakan. Malu. Ketahuan mertua, jam segini masih tertidur di sofa pula…
“Pagi
tadi, tapi mampir dulu ke rumah bude kamu. Jemput Mia…” kata mama, sambil
menyodorkan susu coklat hangat. Ampun. Malu. Masa mertua malah nyediain minum
buat menantunya…
“Mama
denger kamu sakit…Ya, nggak apa-apa…mama saja yang bikinin minum dan tuh ada
sarapan di meja makan. Mandi dulu sana…” kata mama, seakan tahu apa yang tengah
kupikirkan.
Mama
rupanya tidak datang sendiri. Dia membawa Mia yang dulu pernah bekerja di rumah
yang kami tinggali sekarang.
“Mama
kasihan, meskipun ada Bik Inah yang ngeberesin rumah tapi kan nggak nginap.
Kalau malam, pas suamimu tugas luar kota, pasti kesepian. Makanya mama bawa Mia
balik ke sini. Dia lumayan lama bekerja di sini, waktu almarhum Jenar itri
pertama Wisnu masih ada,” kata mama, sebelum pamit pulang.
Asyik
juga, sebenarnya. Ada Mia, ada teman. Aku bersyukur, memiliki mertua sayang dan
perhatian. Beliau juga tidak pernah membanding-bandingkan aku dengan Mbak
Jenar, menantu pertamanya itu. Meski dari status, kami juga beda jauh. Kudengar
Mbak Jenar masih berdarah biru alias bangsawan dan anak pengusaha terpandang.
Keberhasilan bisnis Mas Wisnu sekarang pun, kata mama berkat bantuan modal dari
keluarga Mbak Jenar. Sayang saja, 10
tahun perkawinan, mereka tidak dikaruniai anak sampai peristiwa naas itu
terjadi.
*********
Kondisi
badanku yang mulai membaik, minggu ini sejak kedatangan Mia, ternyata tidak
bertahan lama. Gara-gara nekad menerobos hujan, sepulang dari mall, badanku
demam lagi. Untung Mia tahu banget, apa saja yang kubutuhkan. Hingga aku tidak
perlu repot, turun dari tempat tidur. Secangkir susu coklat hangat dan roti
bakar, sudah dia sajikan di meja, samping tempat tidur sebagai makan malamku.
Bener-bener, mirip orang sakit parah. Aku malas beringsut dari kasur…
Setengah
tertidur, tiba-tiba kudengar tembang Jawa itu lagi. Ah, mimpi kali? Tapi kenapa
suaranya makin terdengar jelas dan begitu dekat? Badanku menggigil. Antara
takut dan demam…Sungguh, aku tak sanggup membayangkan andai sosok wanita
bermandi darah itu muncul lagi.Lagipula, dia bakal muncul di mana? Dapur? Ruang
tamu? Atau jangan-jangan dia bakal nyamperin ke kamar?
Keringat
membanjir di dahi, kaki dan tanganku, bergetar hebat. Gemeretuk gigiku seakan
beradu, bersaing dengan jantung yang berdebar nggak keruan. Terpaksa, daripada
“dia” menghampiriku, kucari saja sumber suara itu berasal…
Ampun!
Nggak salah? Aku mengusap-usap mata, berusaha menajamkan penglihatan…Nyaris tak
percaya, suara itu berasal dari Mia yang tengah menggoreng camilan di dapur.
Perempuan yang kutebak usianya baru dua puluhan itu, kelihatan menikmati banget
pekerjaannya sampai-sampai dia tidak sadar aku sudah berada di belakangnya.
“Mia?
Kamu suka nembang Jawa?” tanyaku, terheran-heran. Bukan masalah kebisaannya
itu, tapi kenapa lagunya sama persis dengan tembang yang sering menghantuiku
belakangan ini?
Mia
tersipu, malu. Sambil menyajikan camilan yang dia goreng, dia menarik kursi di
sampingku…
“Ya,
mbak… Dulu waktu sama Mbak Jenar, kami suka nembang lagu ini sama-sama. Mbak
Jenar malah yang ngajarin…kalau saya kan aslinya bukan dari Jawa. Tadinya nggak
ngerti sama sekali,” kata perempuan berwajah bulat telur dengan rambut ikal
sebahu itu, polos.
“Kamu
deket banget ya sama Mbak Jenar? Saya belum sempat kenal dengannya. Baik banget
ya?” pancingku lagi. Jujur, aku juga penasaran. Karena selama ini cerita
tentang sosok Jenar sendiri belum tahu banget. Maklum, takut bikin Mas Wisnu
sedih, ingat luka lama.
“Baikkk
banget mbak…Meski saya orang kampung, nggak sekolahan…tapi Mbak Jenar rajin
ngajarin masak, menjahit, sampai nembang. Kalau lagi sedih, karena berantem
sama suaminya yang bolak-balik bilang mau menikah lagi, Mbak Jenar suka nembang
sendiri di dapur. “
“Oh,
Mbak Jenar suka nembang lagu yang kamu nyanyiin itu?” Entah kenapa, perasaanku
jadi nggak enak. Bener juga, rumah ini kan tempat wanita itu meninggal, dibunuh
perampok? Mungkin saja, hantunya masih suka muncul? Hih!!
“Kenapa
mbak, kok pucat gitu?” tanya Mia, membuyarkan lamunanku. Konyol. Andai dia
tahu, isi pikiranku pasti diketawain. Mana ada sih, hari gini hantu? Lagipula,
aku kan nggak kenal dengan Jenar? Ngapain dia muncul di depanku…Tapi kenapa aku
baru tahu, dulu Jenar dan Mas Wisnu suka berantem? Mas Wisnu suka ngancam, mau nikah lagi? Sama
siapa? Aku???
“Kasihan
ya mbak…Orang kalau baik, mati muda. Bapak tega banget…” Deg! Jantungku kembali
berdetak kencang. Bapak? Perampok-perampok itu? Bukankah Mia juga ada di tempat
kejadian ketika rumah ini dirampok? Hanya kudengar, dia berhasil selamat karena
sembunyi di lemari dapur….
“Perampoknya
sudah bapak-bapak? Kamu sempat lihat orangnya?” tanyaku, hati-hati. Mia
menggeleng. Matanya menatapku, tajam. Lantas melihat ke kanan dan kiri,
seolah-olah takut ada yang bakal mendengarkan pembicaraan kami….
“Bapak…Suami
Mbak Jenar…Suami mbak…Karena sebenarnya, Mbak Jenar hanya pingsan, kepleset di
dapur. Perampoknya kabur. Nggak lama
bapak datang, tau deh. Seperti orang bingung,
dia hantam kepala Mbak Jenar
dengan ulekan…Saya pura-pura nggak tahu…Takut mbak…takutttt.”
Gelap. Aku tidak bisa mendengar lagi
apa yang dikatakan Mia. Bumi yang kupijak, seperti begitu dingin. Beku. Lantas
bayangan wanita bersimbah darah itu muncul, mengejarku…Wanita idaman lain yang
membuat dirinya mati mengenaskan! (ft: berbagai sumber)
1 komentar:
wow...
kalo cerita ini dipanjangin, bisa jadi novel nih.. ala ala v.lestari gitu hehe...
mungkin karena terlalu pendek, jadi klimaksnya kurang dapet ya..
mas wisnu-nya kurang diceritain detil, gimana personality-nya. Terus si Mia, masa mau aja balik lagi ke rumah tempat dia jadi saksi pembunuhan...
coba panjang, asik nih.. hehe...
Posting Komentar