Hujan baru saja mengguyur kota Semarang, ketika mobil
yang aku kendarai melintas di kawasan Gombel. Dingin. Sepi. Jam di pergelangan
tanganku baru menunjukkan pukul tiga dini hari. Nggak banyak kendaraan lalu
lalang. Mmm, sebentar lagi juga sampai ke rumah budhe Yanti. Kakak dari papa
yang kini tinggal seorang diri itu, sudah beberapa bulan terakhir ini
sakit-sakitan. Penyakit tua…Kasihan juga membayangkan beliau menjalani
hari-harinya seorang diri. Hanya bersama pembantu dan tukang kebun. Wanita yang
pernah menampungku waktu kuliah di kota lumpia ini, memang tidak dikaruniai
anak. Pakdhe meninggal, dua tahun lalu. Tapi budhe menolak, waktu
keponakan-keponakannya mengajaknya tinggal bersama.
“Budhe
ingin menghabiskan waktu bersama pakdhemu…Siapa yang menengok makam, kalau
budhe pindah? Lagipula, rumah peninggalan pakdhe kami bangun dulu bersama dari
nol. Banyak kenangannya…” kata beliau, waktu aku dan sepupu-sepupuku berkumpul
di rumahnya.
Kemauan
budhe, keras. Nggak bergeming sedikit pun, meski kami berjanji bakal sering
mengantarnya mudik untuk nengokin makam.
“Jangan
dipaksa…Biarkan saja budhe kamu menentukan pilihan sendiri. Tugasmu, jagain
beliau. Kalau libur, tengokin di Semarang ya?” pesan mama, ketika kuceritakan
kejadian itu.
Bing!
Tanda ada pesan di BB masuk. Fffuiihhh…males, membuka pesan ketika lagi
mengendarai mobil. Takut celaka. Apalagi jalanan mulai menanjak dan licin,
karena bekas diguyur hujan. Tanjakan di Jatingaleh yang menuju ke arah
Banyumanik ini, memang rawan kecelakaan. Entah sudah berapa kali kubaca di
koran, mobil atau truk salip, rem blong sampai terbalik di kawasan ini.
Bbbbrrr!
Mengapa tiba-tiba perasaanku nggak enak ya? Mungkin karena AC mobil terasa
lebih dingin dari biasanya. Efek cuaca dingin dan masih terlalu pagi di luar,
bikin aku yang menggunakan pendingin semakin membeku…Buru-buru kumatikan ac,
lantas kaca mobil kubuka. Sejuk. Udara pagi yang masih bersih, langsung
menyergap indra penciumanku…
Tiba-tiba,
entah darimana datangnya di depanku seperti ada orang yang akan menyeberang
begitu saja. Tanpa lihat kanan kiri, tanpa peduli kendaraan lalu lalang atau
tidak… Wanita itu…Ampun! Buru-buru aku injak rem, begitu keras, begitu
tiba-tiba, sampai bahuku terdorong ke depan membentur kemudi…Sakitttt!
Thanks
God. Mobil berhenti. Sekilas kulihat, wanita itu cantik, masih muda. Blousenya
putih gading, senada dengan bawahannya yang menutup lutut. Tapi belahan
roknya…busyet deh!
“Mbak…Lihat-lihat
dong, kalau nyebrang!” teriakku, tanpa berusaha turun dari mobil. Wanita itu
hanya senyum, tanpa komentar. Lantas berlalu begitu saja dari depanku. Terlalu!
Minta maaf dulu atau minimal ekspresi bersalahnya ada, kek…Eh, ini malah
nyantai saja, nyelonong pergi.
*********
Kejadian
pagi dini hari itu, hampir saja aku lupakan. Andai malam ini, aku tidak pulang
kemalaman dari rumah Deva, teman kuliahku dulu. Sekalian, mumpung lagi menengok
budhe di Semarang, aku sempat-sempatin reunian dengan teman lama. Siapa sangka,
Deva malah menyiapkan pesta kejutan buatku. Dia juga mengajak teman satu
angkatan dulu yang kini masih tinggal di Semarang, buat reunian kecil-kecilan.
Senang!
Terharu. Nggak nyangka, mereka masih begitu perhatian dan welcome banget. Kami
menghabiskan malam dengan karaokean, makan, bercanda, mengingat-ingat kejadian
tempo dulu yang bikin kami menangis dan
tertawa sama-sama.
“Inget
nggak, pas kita mengospek adik kelas? Trus kamu berhasil ngedeketin Intan, anak
asal Bali itu? Gimana kabar dia sekarang ya?” kata Wisnu, mantan koordinator
angkatan. Bener-bener. Memang sulit dilupakan, kenangan di kampus.
Dulu
sekali, aku pernah beranggapan bakal serius jadian dengan Intan. Gadis asal
Bali, bermata bulat, hitam manis dengan rambut tebal hingga sepinggang. Sayang,
dia keburu dilamar anak jurusan lain. Entah, di mana dia sekarang.
Bbbrrrr…
Dingin. Bagi warga Jakarta, jam segini masih rame jalanan. Tapi bagi warga
Semarang, pukul sebelas malam sepi. Minimal, kawasan Semarang atas…Mataku yang
minus, sebenarnya agak terganggu dengan penerangan jalan yang seadanya, kalau
malam-malam begini. Hal itulah yang membuat mama selalu cerewet ngingetin, agar
aku tidak memilih jalan malam kalau mau ke luar kota dengan mobil.
Ciittttttt!
Suara rem yang kuinjak mendadak, bikin ngilu suaranya. Ampun nih orang, nggak
ada aturannya, main selonong! Gerutuku, waktu tiba-tiba kulihat seorang wanita
berdiri nyaris di tengah jalan, sepertinya lagi mau menyeberang. Untung saja,
aku cekatan dan langsung menginjak rem. Kalau nggak? Wanita itu juga sama
kagetnya. Sampai-sampai jatuh terduduk di pinggir jalan.
“Mbak…bisa
nggak sih, nyeberang lihat kanan kiri?” tegurku, setelah turun dari mobil.
Wanita itu, berusaha bangkit berdiri. Kasihan juga. Dia kelihatan menahan
sakit, kakinya terpincang-pincang. Moga-moga saja, tidak keseleo. Repot,
malam-malam begini musti nganterin anak orang yang belum dikenal lagi. Ya,
kalau dia baik. Andai mau manfaatin keadaan, trus memeras minta duit seperti
yang sering dialami beberapa teman di Jakarta, gimana?
“Maaaf….maaff…”
katanya, terbata-bata. Wajahnya begitu pucat, tangannya pun sampai gemetaran.
Kasihan. Ngerasa bersalah juga, aku marah-marah begitu.
“Mau
ke mana mbak? Rumahnya deket sini?”
“Lumayan,
abis tanjakan ini rumah saya… Niatnya mencari angkot, tapi kemalaman. Nggak
ada…”
Duh,
kasihan juga. Untung dia nggak digangguin cowok iseng. Kutaksir usianya nggak
lebih dari dua puluh tahun. Wajah oval, kulit putih, mata bulat dengan rambut
ikal sebahu…
“Ikut
saya saja, saya anterin ke rumah…Jalan juga sulit kan, kakinya sakit?” tawarku,
sambil membuka pintu mobil. Dia kelihatan ragu-ragu, tapi detik berikutnya mau
juga naik.
Aroma
cendana atau melati ya? Campur aduk gini, parfum nih cewek. Norak banget. Tanpa
sadar, aku senyum-senyum sendiri. Tapi kulirik, cewek itu tidak berekspresi
sama sekali. Busyet. Udah nebeng, diam seribu bahasa. Aku kan paling nggak bisa
memulai obrolan sama cewek…apalagi yang baru dikenal…Itulah mengapa, sampai
sekarang aku masih jomblo dan dijuluki bujang lapuk.
“Bener
di sini?” tanyaku, waktu cewek itu menunjuk ke satu rumah di tepi jalan.
“Bener…Makasih
ya mas..” katanya, lirih. Aku turun dari mobil, lantas berjalan memutar,
bermaksud membukakan pintu untuknya. Tapi…lho kok? Dia sudah nggak ada?
Aroma
cendana campur melati itu, masih tercium jelas di indra penciumanku. Tapi
perempuan yang kutolong, benar-benar tidak ada. Hilang tanpa bekas! Bulu
kudukku mendadak meremang, seperti ada angin dingin meniup tengkuk…. Hiiih!
Kulihat sekilas, sekelilingku sepiiiiiii….Buru-buru aku masuk dalam mobil,
tancap gas!
********
Kejadian
malam itu, benar-benar mengganggu pikiranku. Sampai-sampai tidur pun dihantui,
wanita yang sama. Seperti pagi ini, ketika aku musti terbangun dengan badan
basah, bermandi keringat. Budhe yang sejak tadi menggedor-gedor pintu kamar,
mengejutkan. Ampun! Aku bermimpi…
Segelas
kopi susu bikinan budhe bikin semangatku pagi ini kembali. Mungkin juga karena
habis mandi dan kebayang mama. Yup!
Rencana sehabis sarapan, aku mau menjemput mama yang sedang liburan di rumah
pakdhe Tyo di Tegal, sebelum kami sama-sama balik ke Jakarta.
“Kamu
mimpi buruk, sampai teriak-teriak begitu…” tegur budhe, sambil menyodorkan
sepiring singkong goreng.
“Ya
budhe, gara-gara semalam ketemu perempuan nyebrang sembarangan, tahunya pas
dibantuin. Dia menghilang begitu saja, tanpa bekas…”
“Pasti
pas di tanjakan…” tebak budhe, membuatku nyaris tersedak. Kok budhe tahu?
“Ya,
kan ada cerita…dulu terkenalnya sebutan wewe Gombel…Tanjakan itu rawan
kecelakaan. Banyak korban tewas. Selain itu juga, tempat pembuangan mayat.
Korban perampokan atau pembunuhan, pernah ditemukan di daerah itu…”
Deg!
Jantungku seperti berhenti berdetak. Dua kali aku nemuin cewek, tengah malam di
kawasan itu…Untung saja masih selamat, nggak digangguin. Kejadian itu membuatku
makin berhati-hati. Jalan raya di mana pun, pasti punya cerita sendiri. (ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar