It’s a wonderful
day…Sambil ngetik, ngedengerin lagu, saya masih bisa ym-an dengan beberapa
kawan. Entah, apa yang sedang dilakukan SBY sekarang. Orang nomor satu di
negeri ini. Duduk di ruang kerjanya, sambil menerima tamu, membaca setumpuk
paper atau meeting dengan petinggi negara…Saya berani taruhan, isi kepala
beliau tidak se-fresh saya. Bayangkan saja, sejumlah tuntutan, protes, bahkan
caci maki beliau terima setiap hari…Itu yang kelihatan, sementara tidak sedikit
orang kita yang suka “ngrundel” di belakang.
Kasihan. Belum
tuntas masalah KPK, Bank Century, Gayus, musibah di beberapa kota, muncul lagi
masalah kedaulatan Yogya, tuntutan petani di daerah bencana soal ternak mereka yang
dijanjikan akan dibeli pemerintah, …etc. Andai sebuah film, pasti soundtracknya
lagu milik Project Pop…Capek deh…capek deh…
He’s only a
human being…dia hanya manusia biasa. Ya, memang no excuse untuk sebuah
tanggungjawab yang sudah bersedia dia pegang. Jujur, saya pun merasakan hal
yang sama, ketika memegang tanggungjawab memegang sebuah rubrik. Anytime…protes,
pertanyaan, sanggahan, musti diterima dengan lapang dada. Edisi ini, fotonya
banyak salah letak. Teks salah cetak, judul-judul tidak menarik, bahan kurang
update, bla…bla…bla…Pusinggg…But, itulah konsekuensi setiap pekerjaan. Tuntutan
tanggungjawab, tuntutan tampil sempurna dan memenuhi selera banyak kepala.
Pernah saya
merasa “cemburu” dan gemas melihat anak muda sekarang too much excuse. Contoh
sederhananya, ketika saya masih “ngantor” di sebuah penerbitan. Ingin menemui
nara sumber, alamat dan nomer telponnya ada yang menyiapkan. Rapat redaksi yang
dahulu dikatakan “acara paling sakral” alias tidak boleh absen, kini bisa
ditinggalkan. Template menulis standar yang berulangkali dijelaskan, tetap saja
dilanggar. Foto tidak lengkap. Sementara saya tidak bisa meninggalkan meja
kerja saya seenaknya. Baik atau jelek output yang keluar, redakturnya dulu yang
dipanggil. Foto kudu sempurna dan lengkap. Sampai-sampai, ketika rasanya semua
masalah terkumpul menjadi bola salju yang siap menghancurkan, saya hanya bisa
bilang,…tangan saya hanya dua, saya manusia biasa… hahahaha…Setelah saya
pikir-pikir lagi, konyol. Kenapa saya musti mencari-cari alasan buat
pembenaran? Ya, silahkan telan bulat-bulat semua resikonya, bila kita sudah
bersedia menerima tanggungjawab itu. Tidak mencari-cari pembenaran…
Siap atau tidak,
ketika kita mengiyakan suatu pekerjaan, tandanya kita siap menjalankan sesuai
porsinya. Kini, saya memang bebas memutar musik keras-keras, menonton televisi
dan chatting anytime, tanpa memikirkan siapa yang melayout tulisan saya,
bagaimana wujudnya saat sudah dicetak atau bagaimana respons pembaca. Namun
hati kecil saya justru merindukan, masa-masa saya musti berkutat dengan
segudang tanggungjawab, tuntutan mengejar target untuk bisa sempurna. Karena
lewat kritikan, tuntutan, teguran, saya terpacu untuk semakin berhati-hati
mengerjakan setiap detail pekerjaan saya. Semua tanggungjawab, jabatan, punya
konsekuensi. Kalaupun SBY dan SBY-SBY lain, di”hajar” beragam kritik, termasuk
kamu…anggap saja, that’s your concequences…Be happy dengan apa pun yang kita
jalani dan miliki. (tx to orang-orang
yang sudah “membesarkan” saya…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar