Masalah
Nasaruddin “curhat” melalui surat kepada SBY, lagi diomongin minggu ini. Khususnya sejak
kepulangan dia di Indonesia. Meski orang nomor satu di negeri itu sudah menjawab
dengan mengatakan, tidak akan mencampuri masalah hukum yang tengah membelitnya,
tapi efektif juga kan…Nasruddin bisa menyampaikan unek-uneknya.
Ngomongin
surat, kangen juga ngerasain romantismenya surat menyurat. Inget banget, gimana
gw bisa curhat berlembar-lembar dengan sahabat waktu kuliah, setelah kami
terpisah kota karena pekerjaan. Berantem, selisih paham dengan kawan, juga bisa
diluruskan melalui surat. Biasa…kalau ngomong langsung, bawaannya emosi. Suka
nggak terkontrol apa aja yang diomongin dan dipikirin. Tapi kalau dengan
tulisan, kita bisa baca dengan hati
lebih adem. Minimal lebih bisa “disimak”.
Jujur
aja, gw ngerasa kehilangan romantisme itu. Berburu kartu lebaran, kartu natal, jelang hari raya. Bikin surat, nempelin perangko sampai ngeposin.
Kini, semua terjawab dengan teknologi. Ngucapin selamat saja bisa dengan
twitter, facebook, sms, bb’m, ym… Undangan juga bisa di share lewat situs
internet. Nggak perlu repot menulis panjang lebar, nempelin perangko atau
cari-cari amplop. Hanya dalam hitungan detik ucapan sampai. Bahkan kalau
twitter atau facebook, dibaca banyak orang.
Sayang.
Bagi gw, emosinya tetap lain. Nggak bisa meletup-letup, seperti surat. Nggak
bisa terlalu dalam mengekspresikan yang kita rasakan. But it’s ok
lah.. mungkin gw yang terlalu sentimentil, suka ngoceh panjang lebar,
jadi merindukan masa-masa itu. Karena satu sisi, gw juga sadar teknologi
membuat komunikasi lebih simple, praktis, hemat tenaga, biaya, dan jauh lebih
cepat…Nggak tunggu hari, jam, tapi bisa detik itu juga…jadi ya lagi-lagi
gw hanya bisa bilang, enjoy saja…(ft:berbagai sumber)
1 komentar:
Surat itu seperti jembatan hati
Posting Komentar