Ups.
Pagi-pagi isi twitter seorang musisi bertangan dingin berinisial DA, membuat gw senyum.
Isinya datar saja. Tapi kelihatan banget dia lagi marah. Nggak lama, muncul
lagi message-nya. Intinya sama, soal keberatannya masalah privacy dikulik
infotainmen. Bahkan nggak lama, muncul kasus baru. Kabarnya dia memukul dua
wartawan dari sebuah stasiun televisi. Bukan hal itu yang menarik gw
ngikutinnya…but masalah black journalism yang disebut-sebut artis ini. Dia
bilang, wartawannya nggak punya pendidikan jurnalistik-lah…nggak tahu etika,
etc.
Ngomongin
pendidikan jurnalistik, ya..memang salah kaprah. Dulu banget, gw berpikir kalau
mau jadi wartawan musti kuliah di jurusan komunikasi atau ambil jurusan
jurnalistik. Eh, nyatanya? Sebaliknya… Justru menurut gw, kuliah jurusan lain
lebih bagus. Soal ketrampilan menulis, bisa diasah dengan jam terbang, latihan,
kebiasaan di lapangan kok. Nyatanya, gw belum kuliah, masih berseragam abu-abu
tapi gw sudah menulis di media cetak umum. Kuliah jurnalistik “memperkaya”
kemampuan menulis.. Jam terbang, latihan / praktek langsung lebih penting.
Materi kuliah, seperti: teknik penulisan berita, jurnalistik tv dll, text book
yang bisa makin memperkaya kita dengan praktek.
Gw
malah berpikir, andai seseorang kuliah jurusan lain, misalnya saja psikologi
atau ekonomi atau hukum, lantas menjadi wartawan. Wow, makin kaya tuh. Tulisan
dia diperkaya dengan disiplin ilmu masing-masing. Beda kan, gw udah kuliahnya
tentang teori menulis etc, kerjanya ya menulis…But gw nggak mengecilkan jurusan
gw sendiri…karena ilmu komunikasi luas banget. Orang tahunya, komunikasi
belajar menulis, jadi wartawan doang…nyatanya nggak segampang itu.
Udahlah
ngebahas soal background pendidikan. Intinya, kalau mr X ini mengatakan
wartawannya tidak memiliki pendidikan jurnalistik ya…mungkin saja dia bukan
Sarjana Komunikasi. Tapi…, etika jurnalistik bisa diperoleh ketika dia mulai
berprofesi sebagai jurnalis. Mustinya, sebelum seseorang menenteng ID Card as a
reporter atau journalist, dia tahu benar tanggungjawab profesinya. Aturan main,
“tata krama”, apa saja yang semustinya dia lakuin atau sebaliknya.
Jangan
malah ngerasa “sakti” dengan kartu identitas itu, lantas bisa melakukan
tindakan apa pun… Gimanapun jurnalis Indonesia, tidak sama dengan paparazzi di
barat sana yang sampai-sampai kamera bisa masuk ke ruang paling pribadi
seseorang atau sampai nguntit dan sembunyi di atas genteng seorang tokoh,
misalnya. Juga, ketika seseorang mengatakan “tidak” atau “no comment” kita pun
nggak bisa ngepush dia dengan statement kita sendiri yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jangan karena ngerasa sakti, berlindung dibalik
ID Card dan kamera, lantas kita bisa mengacak-acak “kediaman” seseorang.
Bahkan, ketika ada event resmi sekalipun.Juga nggak lantas karena "sakti" bisa melebih-lebihkan sesuatu dengan kata-kata yang too much, lebay, over, apalah...terlalu didramatisir...
Sebaliknya, seorang nara sumber pun
musti respect dengan profesi seorang
jurnalis. Karena dia dituntut mengabarkan kabar terakurat, terbaru, terdetail,
bahkan kalau bisa “paling beda” dengan media lain. Mereka juga memiliki
kebebasan pers, aturan hukum jelas. Nggak bisa seenaknya dihajar atau dibatasi
gerak tugasnya. Mereka juga bukan “pengemis” berita, musti mohon-mohon sampai
segitunya, agar dapat materi peliputan. Tanpa media, seorang tokoh, selebritis,
siapa pun bukan siapa-siapa. Sebaliknya, tanpa nara sumber, media pun tidak
akan dilirik pembaca/penontonnya. Deal?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar