lingsir wengi sliramu tumeking sirno
ojo tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
Lagi-lagi
tembang itu kudengar. Ggrrrh…siapa yang suka iseng, malam-malam begini
menyanyikan lagu berbahasa Jawa yang tidak kumengerti artinya itu. Suara
pelantunnya memang merdu, mirip sinden-sinden yang sering kulihat nembang di
stasiun televisi. Lirih. Sepertinya akrab banget telingaku dengan bait demi
baitnya…Familiar. Entah di mana ya, kukenal lagu itu? Tapi entah mengapa,
sungguh…aku tidak menyukai lagunya.
Setiap
kali wanita yang melantunkannya mulai “beraksi”, perasaan tidak enak langsung
menyergapku. Tak jarang, lantunannya pun disusul dengan suara tawa lirih wanita
yang terdengar lamat-lamat. Sepertinya sangat jauh, suara tawa itu berasal.
Biasa tinggal sendiri di rumah kontrakan, bukan alasan untuk takut. Tapi
feelingku mengatakan lain…Dingin dan beku, seperti mendera tiba-tiba. Detak jam
di dinding, terdengar jelas. Sangat menyiksa. Tidak jarang, bulu romaku berdiri.
Orang tua bilang, tanda-tanda makhluk halus lewat. Arrgh! Namanya juga mitos,
percaya nggak percaya…Buru-buru, kubuang rasa takutku. Apa kata Dewo kakakku,
jika dia tahu Dewi si tomboy yang biasa traveling ke berbagai daerah seorang
diri ini, mendadak nyalinya ciut.
Gerimis
malam ini, membuat badanku setengah menggigil. Kemarin seharian dihajar
tugas-tugas dari kampus dan latihan basket, membuat tubuh kurus ini makin tirus
rasanya. Mmm…enaknya, dingin-dingin begini minum segelas coklat hangat. Setengah
malas, kuberanjak ke dapur untuk menyeduh minuman favorit keluargaku itu.
Sempurna. Kulihat, masih ada buah apel pemberian Dewo. Kakak satu-satunya itu,
memang perhatian banget, sampai-sampai rajin nengokin hanya untuk membawakan
buah dan makanan kecil.
jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
wojo lelayu sebet
Deg!
Jantungku nyaris berhenti berdetak. Lagi-lagi tembang itu lamat-lamat
terdengar. Tanganku yang tengah memegang cangkir, bergetar. Angin seakan
berhenti bertiup. Sunyi seketika…gerimis pun reda. Sepertinya, suara detak
jantungku dan jam dinding saja yang terdengar. Buru-buru, kuraih cangkirku yang
masih penuh dan sebuah apel, lantas kuberingsut ke kamar. Lagi-lagi
pendengaranku menangkap suara janggal itu…Suara lirih seorang perempuan yang tertawa,
tapi jauhhhh sekali. Lantas disusul langkah orang yang berjalan terburu-buru,
masuk ke dalam rumah sebelah. Pintu mereka terbanting tiba-tiba. Ya, maklum
paviliun yang kusewa hanya berbatas dinding semi permanen. Kegaduhan sekecil apa pun bisa kudengar dari kamarku.
Suara-suara
aneh dan lagu yang menyayat itu berusaha kulupakan dari memoriku. Percuma
kuladeni ketakutan dan prasangka tidak jelas ini. Lebih baik, aku fokus dengan
tugas-tugas kuliahku. Belum lagi, beberapa program kerja organisasi mahasiswa
yang musti kuselesaikan.
***
Siang
ini, kuliahku kosong. Lumayan, istirahat di rumah. Tidak ada kegiatan berarti
yang kulakukan sejak pagi tadi, selain menulis beberapa makalah dan browsing
internet. Meski bukan politikus, tapi aku butuh juga update berita-berita
terkini.
“Bener
Bu…Pekerjaan wanita itu pasti nggak bener! Malam-malam kok suka ngeluyur. Dini
hari saya juga pernah memergoki dia…”
Suara
itu membuyarkan konsentrasiku yang tengah mengetik dengan laptop, di teras
depan. Tetangga sebelah, pasti lagi ngerumpi. Aneh. Mereka seperti orang yang
tidak memiliki pekerjaan. Sukanya ngomongin orang lain. Meski kadang
kupikir-pikir, insting mereka tajam juga. Dua bulan lalu misalnya, ada rumor
suami penjual toko kelontong di ujung jalan, rumah kami memiliki simpanan.
Ternyata, tak lama kemudian pasangan suami istri itu bercerai. Kabar terakhir
yang kudengar, laki-laki tidak bertanggungjawab itu sudah memiliki wanita lain,
jauh sebelum menikahi istrinya. Sungguh, keterlaluan. Sekarang, mereka menggosipkan
apa lagi? Rasa ingin tahuku tiba-tiba muncul…Lucu juga, dengar mereka ngerumpi.
“Bener
Bu…Kerja nggak jelas, tapi tiap minggu ngeborong. Kemarin saya lihat, dia
mengganti lemari esnya yang dua pintu itu. Masa penghuni rumah petak seperti
kita ini, bisa gonta ganti perabot?” Suara ibu yang kukenal menerima jahitan,
menimpali.
“Iya..Saya
lihat juga! Suaminya sudah lama meninggal dan tidak dikaruniai anak, katanya.
Tapi kok dia juga sering membawa anak kecil main ke rumahnya.”
“Keponakannya
kali….” Ibu yang berbadan tambun, menjawab.
“Bukan
ah…Soalnya ganti melulu anak-anaknya. Mereka juga kelihatannya takut-takut tuh,
tidak bahagia main ke rumahnya.”
“Kok
aneh?”
“Memang
agak-agak…kali” kata Ibu yang kerempeng, sambil memberi tanda silang di
dahinya.
“Hus!
Gila, maksudnya…”
“Ya,
iyalah… Mana ada orang hari gini, sore-sore suka berdandan, mengenakan baju
warna menyala, lantas nyanyi sendirian…”
“Betul…Betul…Betul…”
sambar Ibu yang mungil. Kelihatannya dia penggemar kartun Upin Ipin…”Dia suka
nyanyi, tapi bahasanya saya nggak ngerti. Trus dandannya itu lho..buat siapa
dia dandan semenor itu…” sambungnya.
“Jangan-jangan,
dia memasukkan laki-laki…”
“Tapi
lewat mana…Kalau ada orang, kita pasti lihat kan?”
“Pintu
rahasia kali…Atau dia membuat pintu darurat di belakang rumahnya…Hari gini,
selingkuh itu banyak cara…”
Bing!
Konsentrasiku mendengarkan rumpian itu buyar. Ada pesan masuk dihandphone.
Uugh! Lagi-lagi Doni, kakak kelas yang suka main ke rumah itu ngajakin keluar
sore ini. Katanya ada tempat makan baru, murah meriah tapi enak. Boleh
juga…Selain dopping gizi, menghabiskan waktu bersama laki-laki bermata elang
itu menyenangkan. Hari-hariku tidak pernah kesepian. Bahkan saat-saat tersulit
pun, dia selalu ada.
Kurapikan
buku-buku dan laptop, lantas masuk ke dalam. Rumpian dan tawa ibu-ibu itu
sesekali masih kudengar. Namun tidak lagi kuperdulikan. Ah, namanya juga rumpi.
****
Sore
ini, sepulang Doni dari mengantarkan aku jalan, kulihat ruang tamuku gelap
gulita. Astaga. Pasti lampu putus. Kemarin sudah kulihat, bolamnya kehitaman.
Namun kupikir masih bisa bertahan beberapa hari, sebelum sempat ke toko buat
membeli gantinya. Sekarang, jika sudah benar-benar mati, sangat merepotkan. Aku
harus mencari beberapa buku diktat kuliah yang kuletakkan di meja ruang tamu
dengan lampu handphone. Sambil mengumpulkan beberapa buku, sekilas kulihat
tetangga sebelah yang dirumpiin ibu-ibu tadi siang.
Lewat
jendela ruang tamu, bisa kulihat wanita cantik yang kutaksir usianya belum
lewat lima puluh tahun itu. Tubuh semampai, rambut digelung sederhana. Namun
dandanan dan bajunya memang menyolok sekali… Selain perhiasan melingkar di
lengan dan lehernya, dia juga mengenakan busana berwarna menyala. Bener-bener
sakit tuh wanita…Malam-malam di rumah, dandanannya seheboh itu. Tak ada tamu
atau orang lain, pula…
Beberapa
kali dia berjalan mondar mandir di teras, sambil melirik jam di pergelangan
tangan kirinya. Lantas menghela nafas, seperti tengah menantikan seseorang. Tak
lama kemudian, dia masuk ke dalam rumah… Dan… ampun, dia menyanyikan lagu yang
tidak kusukai itu!
“Aneh
banget sih, ibu-ibu itu. Kurang kerjaan…Udah menor, nyanyi aja tiap malam…”
Kuadukan juga keganjilan yang kulihat itu pada Dewo, kakakku ditelpon.
“Hus!
Jangan ngomentarin orang seperti itu…Nggak baik…”
“Abis,
lagunya itu bikin perasaanku nggak enak…tiap hari sama …”
“Jangan
bilang, kamu takut???”
Mataku
terbelalak, waduh…kakakku tahu. Gengsiku pasti hancur berantakan…
“Nggak
lah! Maksudku, lagu yang lagi ngetrend kek, masa lagu yang bahasanya aku nggak
ngerti..”
“Udahlah,
Wi! Nikmati saja…Kamu bisa pakai earphone kan buat dengerin lagu lain? Lagipula
apa hubungannya dia dandan menor, nyanyi aneh dan kamu? Nggak ada kan?”
Benar
juga, kata Dewo. Kami semua di kompleks ini beragam, latar belakang sosialnya.
Nggak bisa saling memaksakan kehendak. Sejauh dia tidak mengusik rumah dan
kehidupanku, semustinya aku tidak memusingkan kelakuannya.
****
Sore
ini, selesai juga aku mengerjakan tugas kelompok di rumah Desta, teman satu
jurusan. Lumayan. Kami bisa selesai lebih cepat dari yang dibayangkan. Sambil
menunggu Doni menjemput, sahabatku itu mengeluarkan beberapa film koleksinya.
“Nonton
CD aja, daripada bengong….Lagian capek banget, abis mikir tadi…” ajaknya.
“Asyiikk…lumayan
juga koleksimu ya. Banyak!” Kuambil beberapa CD yang kelihatannya seru. Cewek
ini ternyata penyuka film action dan horor. Siapa sangka, beberapa judul
menyeramkan yang pernah kulihat di iklan bioskop, dia punya filmnya.
“Nggak
salah nih, kamu punya Tusuk Jelangkung, Hantu Lawang Sewu dan Hantu Kereta
Manggarai?”
“Hehehehe…aku
kan cinta juga film Indonesia. Coba kamu tonton Kuntilanak yang main Julie
Estelle…Bagus tuh! Sampai jilid 3…”
Mataku
terbelalak keheranan melihat Desta yang bangga banget menunjukkan koleksi film
seremnya. Memang sih, selama ini aku hanya melihat iklan film-film horor Indonesia
di koran saja. Nggak ada niat menonton…Takut dibayang-bayangi beneran…
“Udahlah…Bengong!”
tegur Desta, sambil memasukkan film ke dalam DVD playernya. Belum sempat
kubertanya judulnya, film yang suasana pembukanya sudah menggiriskan itu mulai…
lingsir wengi sliramu tumeking sirno
ojo tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
Astaga!
Tembang itu lagi?! Badanku tiba-tiba bergetar. Mataku nanar, melihat adegan
demi adegan dalam film yang diputar Desta. Keringat pun membanjir di kening.
Tubuh rasanya lemas, tak bertenaga. Desta yang menyadari perubahan sikapku itu,
panik…
“Kamu
kenapa Wi?! Jangan bercanda ah…Nggak lucu…”
Aku
menggeleng. Bulu romaku mendadak berdiri…Ingatanku ke rumah…lebih tepatnya,
tetangga di sebelah rumah yang sering menyanyikan, tembang yang sama. Lagu
itu…kenapa sama?
“Ta,
lagu itu…”
“Oh…tembang
Jawa itu? Ya, itu kan dipercaya sebagai tembang buat memanggil kuntilanak.
Setiap lagu itu diperdengarkan, kuntilanak datang. Tanda-tandanya bila tawanya
kencang dan keras, dia masih jauh. Kalau tawanya lirih dan lamat-lamat, dia
malah sudah ada di sekitar kita…Biasa, buat mereka yang mencari pesugihan atau
kekayaan dengan cara pintas...Tumbalnya bisa anak-anak kecil atau orang
dewasa…”
Blar!
Detik berikutnya, suara Desta tidak kudengar lagi. Tubuhku ambruk ke lantai,
pingsan. (steph)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar