Perfecto!
Perempuan yang tengah berusaha membuka pintu kamar 212 itu, menurut penilaianku
sungguh sempurna. Rambut hitamnya berkilau melewati bahu, hingga nyaris ke
pinggangnya yang ramping. Mata bulat,
bulu mata lentik, bibir kemerahan meski tanpa lipstik, ditambah kaki yang
jenjang dan kulit kuning langsat. Mmm…bolehlah diberi nilai sembilan. Naluriku
sebagai laki-laki normal mengatakan, dia sungguh luar biasa. Andai saja aku
yang masih jomblo ini bisa mengenalnya…
“Mas…Maaf,
mas bisa tolongin saya?” Ampunnn…suara lirih itu, membuat hatiku berdetak makin
cepat. Pucuk dicinta ulam tiba. Perempuan ini minta tolong aku?
“Mas…Maaf,
saya mengganggu ya?” teguran yang kedua ini, membuyarkan lamunanku.
“Ya,
ya…nggak…nggak. Bukan….” Gila! Kenapa aku jadi salah tingkah begini? Buru-buru
aku mendekati pemilik tubuh sempurna itu. Mmm, kelihatannya dia berusaha keras
membuka pintu, tapi tidak berhasil juga. Peluh membanjir di keningnya…Biar
gimana pun, dia tetap c.a.n.t.i.k!
“Maksud
saya, apa yang bisa saya bantu?” tanyaku lagi.
“Tolongin
mas…Pintunya nggak mau kebuka. Padahal tadi saya keluar sebentar, nggak ada
masalah. Malas, kalau musti turun ke bawah dulu, beritahu roomboy…” kata cewek
itu, sembari menyodorkan kunci pintu kamar.
Memang,
kunci sedikit ngadat. Beberapa kali kucoba, gagal juga…Kelihatannya kunci yang
berbentuk kartu dengan program komputer itu, musti diperbaharui lagi. Aku yang
sering bertugas keluar kota dan menginap di hotel berbintang juga pernah
mengalaminya. Terkunci di luar, gara-gara kartunya eror.
“Mbak,
kelihatannya kartunya musti diganti atau diprogram lagi. Sebaiknya, mbak ke
bawah saja…Minta tolong receptionist. Atau…mau saya telponkan roomboy dari
kamar saya? Hanya beda dua kamar dari kamar mbak kok?”
Cewek
sempurna ini menggeleng, lemas. Kelihatan banget dia kecewa.
“Nggak
perlu mas,…saya turun saja ke bawah. Ngerepotin! Terima kasih ya…”
“Kok
terima kasih? Kan belum kebuka pintunya?” Kucoba mengajaknya bercanda. Mmm,
lumayan. Entah kenapa, bisa melihat senyumnya saja aku senang.
“Yahhh…kan
mas sudah bela-belain buka. Meski nggak sukses…Ngomong-ngomong kenalin, saya
Getha. Baru semalam check in di sini. Rencananya seminggu. Ada tugas kantor..”
Tangan dengan jari-jari lentik itu, dia menjabat erat tanganku. Bheuuuh! Lembut
dan dingin.
“Oh,
panggil saja saya Gerry. Nggak perlu pakai mas segala… Mas kan di pasaran
mahal! Umur kita juga paling beda tipis...” Aduh! Norakku kambuh. Ngapain coba,
mengajak orang yang baru kukenal bercanda dengan gaya murahan begini. Mustinya
sejak awal aku jaim. Masa manager sebuah perusahaan air mineral, gayanya lebay.
“Ngelamunin
siapa Ger?? Suka bengong dari tadi… “
Aku
tergagap-gagap, kaget. Sumpah! Bego banget aku bisa salah tingkah begini…
“Ah,
nggak…Nggak. Ngantuk saja kali, soalnya pagi-pagi buta musti mengejar pesawat
ke kota ini. Abis check in, langsung meeting di kantor cabang sebentar tadi.
Kebayang dong…capeknya?”
“Hebat!
Pekerja keras juga ya, Ger. Aduh, pasti saya udah gangguin istirahat kamu deh.
Ya udah, saya turun dulu ke bawah. Selamat beristirahat. Ntar kita ketemuan
lagi, kalau ada waktu…”
Tanpa
kusadari, Getha sudah menghilang dari hadapanku. Beruntungnya aku bisa mengenal
cewek secantik itu. Seminggu dia bilang mau tinggal di hotel ini? Horeee,
teriak batinku. Setidaknya aku tidak menghabiskan waktu di Yogya sendiri. Ada
sahabat baru!
****
Malioboro
masih seperti tiga tahun yang lalu, ketika aku tinggalkan. Yup! Kuliahku memang
di kota gudeg ini, hingga akhirnya memperoleh pekerjaan di Jakarta. Tak pernah
terbayangkan, bisa kembali menyusuri jalanan yang padat pedagang kaki lima itu.
Kerajinan dari kulit, kain batik sampai makanan yang menggoyang lidah, masih
ramai seperti dulu.
Suasananya
benar-benar bikin kangen. Nggak pernah bisa aku temui, lesehan dan alunan musik
pengamen jalanan seenak ini di Jakarta. Belum lagi keramahan
orang-orangnya…Fuuih! Tanpa sadar, langkahku terhenti di sebuah warung lesehan
yang menjual burung dara goreng dan gudeg kesukaanku.
Sambil
sesekali membalas BBM beberapa teman, kunikmati segelas es kelapa muda.
Pesananmu belum juga datang. Seporsi nasi putih plus ati ampela dan burung dara
goreng… Ngelihat menu favoritku, memang suka bikin kalap…
Kuingat
banget masa-masa kuliah dulu…Tiap tanggal muda, sehabis menerima transferan
dari mama, aku biasa ngumpul dengan teman-teman satu angkatan di lesehan
sekitar sini. Lantas kami ngobrolin apa saja. Mulai dari dosen killer yang
selalu mematahkan argumen-argumen kami setiap ada tugas kelompok, sampai ngomongin
adik kelas yang kami anggap bunga kampus.
Ingat
itu semua, batinku seperti dirobek luka lama. Ya, sayang aku tidak berhasil
mewujudkan impian mama yang terakhir kalinya, jalan-jalan di kota ini. Sebagai
anak sulung dari tiga bersaudara, semustinya mama yang sudah menjadi orangtua
tunggal, sejak kami anak-anaknya duduk di sekolah dasar, tidak memanjakanku berlebihan. Namun kecelakaan tragis itu,
membuat kedua adikku, Gading dan Ganesh mendahului kami. Tinggallah, aku dan
mama. Lagi-lagi, aku musti meninggalkan mama sendiri di Cirebon, ketika hasil
testku di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogya bagus. Tanda aku musti
kuliah di kota pelajar ini.
Mama
memang wanita kuat. Beliau mengijinkan aku tinggal di Yogya. Karena kesibukan
beliau mengurusi rumah makan yang beliau buka, sejak aku masih SMA, mama tidak
sempat menengokku di Yogya. Hanya cerita-ceritaku saja yang mama dengar.
“Kelihatannya
Malioboro seru banget tempatnya ya, Ger! Kapan-kapan, ajakin mama jajan lesehan
ya, sambil ngelihat suasana kota di sana. Waktu mama masih pacaran sama papa,
hobi kami juga sama. Jalan-jalan ke tempat yang masih kental budayanya seperti
Yogya,” kata mama, waktu kupulang liburan semesteran.
“Pasti,
Ma! Mama wajib nyobain tempat makan kesukaanku. Nanti Gerry pesenin yang paling
spesial,” janjiku.
Kenyataannya?
Jelang wisuda, mama dipanggil sang Pencipta. Serangan jantung! Benar-benar di
luar dugaanku. Selama ini, orang yang sudah membesarkan aku dengan limpahan
kasih sayang itu punya penyakit mematikan. Impianku mengajak mama jalan-jalan,
usai wisuda, hancur berantakan. Nggak hanya itu saja…Aku juga belum pernah
membahagiakan mama dengan uang hasil keringatku sendiri?
“Mas,
ada tambahan pesanan yang lain?” sapa seorang anak muda, berusia belasan yang
mengantarkan nasi pesananku, mengejutkan.
‘Oh,
nggak…nggak….Makasih. Ntar saya panggil lagi saja, kalau ada yang kurang…”
Mmm…Andai
Gading, adik bungsuku masih ada. Dia sebaya dengan cowok itu…Sayang! Kecelakaan
motor merenggut dua adik kandungku sekaligus. Sejak mama meninggalkanku untuk
selama-lamanya, aku memang menghabiskan waktuku dengan mengerjakan skripsi dan
bekerja sampingan. Aku tidak mau, banyak waktu kosong membuatku mengingat
pengalaman pahit keluarga kami. Gara-gara gila kerja, akupun nyaris tidak
memikirkan pacar atau pasangan hidup. Jomblo karatan, ledek teman-temanku waktu
itu. Biarlah. Ntar juga jodoh datang dengan sendirinya…
Untunglah
usai wisuda, aku mendapat pekerjaan di Jakarta. Kutinggalkan kota yang pernah
membuatku jatuh cinta itu. Hingga akhirnya tiga hari yang lalu, atasanku
memintaku tugas ke kota ini lagi.
Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna…
Lagu yang dipopulerkan Kla Project itu dinyanyikan sepasang pengamen yang datang,
menghampiri warung lesehan tempat aku makan. Ah, andai saja…mama ada di sini.
Mataku sekilas melihat bayangan seorang perempuan melintas di depan warung.
Sepertinya Gheta? Mungkin dia tengah jalan-jalan sendiri, mencari makan?
Buru-buru aku kejar bayangan itu, tapi sia-sia… Padatnya orang lalu lalang di
sepanjang Malioboro tidak memungkinkan aku menemukannya dengan mudah. Ntar juga
ketemu lagi…Kan kamar hotel kita hanya terpaut dua kamar? Hiburku sambil
melanjutkan makan.
****
Yogyakarta
benar-benar dingin, malam ini. Hujan sepanjang sore, membuat udara dingin dan
lembab. Kurapatkan jaket. Meeting melelahkan. Energiku seperti terkuras habis.
Bayangan mandi, sambil berendam air hangat di bathtub dan tidur lebih cepat,
sudah bermain-main di benakku sejak masuk lobi hotel tadi.
“Malam,
Gerry! Capek banget kelihatannya…Acara hari ini padat?” Aih..aih… si cantik itu
lagi! Semangatku yang redup, kembali menyala melihat Gheta tengah berdiri di
depan pintu kamarnya. Kaos ketat warna hitam, tanpa lengan plus celana legging
warna senada itu, membuat tubuh rampingnya makin kelihatan sempurna.
“Malam!
Terkunci lagi?”
Dia
menggeleng. Senyumnya merekah, lebar…
“Ngeledek
ya? Aku baru mau jalan keluar, cari makan… Mau ikut?” tawarnya serius. Aduh!
Andai badanku tidak seperti patah-patah begini, pasti aku iyakan saja
ajakannya.
“Capek
ya?” tanyanya lagi… Tapi sorot matanya itu membuatku berat, menolak.
“Abis
seharian kerja, pasti aku nggak fresh lagi…Boleh, beri waktu aku mandi dulu?”
“Wah,
nggak perlu… Siapa sih yang mau cium-cium kamu? Ha..ha..ha…” tawanya membuatku
makin salting. Dasar. Kok aku yang laki-laki menjadi kehilangan kata-kata ya?
“Sudahlah…Nggak
perlu mandi dulu. Kamu masih wangi kok. Taruh saja tas kamu di kamar, baru kita
jalan. Aku tunggu deh…” ajaknya, sambil menunjuk tas laptop yang selama ini aku
tenteng-tenteng.
“Okey…Tunggu
ya, aku masukkin tas saja…” kataku, lantas buru-buru ke kamar. Kusempatkan juga
membasuh wajahku yang kelihatan kusam, dengan sabun muka. Nggak mau dong,
kencan hari pertama…kesannya buruk? Kencan? Ha…ha..ha… Aku menertawakan ilusiku
sendiri…
Sayang,
rencana menemaninya makan batal. Gheta membatalkan niatnya makan malam.
Alasannya, dia kasihan melihat wajahku kelewat letih. Astaga. Ya, sudahlah.
Mungkin malam ini bukan malam keberuntungan aku. Jujur saja, badanku memang
kelewat capek. Buktinya, begitu menyentuh bantal, aku langsung tertidur pulas.
Tanpa sempat mematikan lampu kamar, seperti biasa. Sungguh, hari yang
melelahkan!
*****
Benar-benar
parah! Nyaris aku kehilangan kesabaranku. Meeting hari kedua di kota pelajar
ini, menyebalkan. Klien yang aku temui, tidak menguasai bahan yang kami
obrolkan. Padahal jauh-jauh hari aku sudah menyiapkan diri, mempelajari setiap
detail proposal yang mereka ajukan.
“Sore…Kusut
lagi wajahnya? Kapan ya, saya bisa lihat kamu pulang dengan senyum?” Suara
Gheta yang sudah berdiri di depanku mengejutkan. Gara-gara terlalu serius
memikirkan klien menyebalkan itu, sampai-sampai aku tidak sadar sudah ada di
depan kamarku lagi…
“Capek
ya, tampangku?”
“Ya
iyalah…Coba lihat di kaca. Siapa pun pasti takut, lihat kamu…ha…ha..ha…” tawa
Gheta renyah. Entah kenapa, dekat-dekat dengan perempuan ini, hatiku menjadi
dingin dan tenang. Apa ini tanda-tandanya cowok yang tidak pernah ngerasain
punya pacar? Konyol…
“Tuh
kan, tegang lagi?!”
“Siapa?”
“Ya,
kamu… Masa aku?”
Aku
menggeleng-gelengkan kepala. Gheta sudah berani ngajakin bercanda. Perempuan
ini menyenangkan, sebetulnya. Sayang, kita tidak pernah punya waktu banyak buat
ngobrol berdua.
“Siapa
bilang?”
“Apa?”
tanyaku heran…
“Siapa
bilang, kita nggak ada waktu ngobrol. Kamunya saja yang sok sibuk?” Ting!
Heran! Dia bisa menebak isi hati aku.
“Sudah
deh, jangan mancing lagi. Kemarin kamu juga yang ngebatalin rencana kita makan.
Bukan aku kan? Sekarang, ada waktu? Mau kemana?” tantangku, serius.
Gheta
memainkan kunci di tanganku. Matanya yang bulat itu, bersinar jenaka. Seperti
mau ngeledek. Mmm…makin lucu nih, cewek.
“Gini
saja, kita ngobrol saja…Ngopi di coffe shop bawah? Gimana?” tawarnya.
“Siapa
takut??? Eh, maksudnya siapa yang berani menolak…Oks, aku masukin laptop dulu
ya!”
Sepuluh
menit berikutnya, aku dan Gheta sudah duduk di sudut Coffe Shop yang ada di
lantai dasar, hotel tempat kami menginap. Tapi Gheta tak juga menyentuh minuman
yang dia pesan, meski aku sudah nyaris menghabiskan secangkir kopi.
“Katanya
mau ngopi, kok nggak pesan minum? Nggak haus ya?”
“Nggak…Ntar
saja ah, males. Takut terganggu, pengen buang air kecil kalau kebanyakan minum.
Waktu kita lebih berharga…” Wow! Apa aku
nggak salah dengar? Dia menganggap kesempatan ngobrol berdua denganku itu,
penting?
Gheta
ternyata tidak jauh berbeda denganku. Dia perempuan yang workoholic,
sampai-sampai tidak sempat memikirkan pasangan hidup. Padahal usianya hanya
beda dua tahun, dariku. Orang tua bilang, semustinya usia kami usia pas buat
menikah.
Gara-gara
waktu sekolah dulu, dia sempat dikecewakan calon tunangannya. Laki-laki yang
menjadi pacarnya selama tiga tahun itu, tiba-tiba memilih menikah lebih dahulu
dengan perempuan lain. Konyolnya, dia menikahi perempuan yang sudah dia hamili.
Berarti selama ini Gheta sudah diduakan diam-diam, tanpa dia sadari.
Kariernya
yang bagus, membuat Gheta akhirnya memperoleh posisi enak di kantor pusat yang
ada di Surabaya. Namun lagi-lagi, dia sempat termakan rayuan laki-laki,
relasinya di salah satu kantor cabang di Yogyakarta.
“Saya
terlalu bodoh, mempercayai laki-laki seperti Dhewa. Namanya saja yang bagus.
Kelakuannya benar-benar mengesalkan. Tidak tahu malu…” kata Gheta, sembari
mengusap air mata yang nyaris menitip. Astaga, sebegitu berartinya aku,
sampai-sampai perempuan ini berani curhat jujur?
Kuberanikan
diri, kuusap punggungnya seakan ingin memberinya kekuatan. Kasihan perempuan
cantik ini. Semua sudah dia miliki. Karier, harta, nama bagus di perusahaannya.
Tapi dia tidak pernah mendapatkan laki-laki yang benar-benar mengasihinya.
Padahal dia cantik, nyaris sempurna menurutku…
“Dia
selingkuh juga?” Ups! Kenapa aku bisa keceplosan begini ya? Tangannya yang
dingin, menggenggam tanganku erat. Dia menggelengkan kepala…
“Nggak…dia
nggak selingkuh…”
Kusodorkan
secangkir kopi yang tadi dia pesan, sekedar buat menenangkan batinnya. Tapi dia
menggeleng…
“Aku
nggak pengen minum…”
“Ya…iya….Okey,
aku masih mendengarkan ceritamu… “
“Dhewa…Dia…dia
menjerumuskan aku, sampai aku ketergantungan obat terlarang. Awalnya dosis
kecil. Ketika aku sering mengeluh pusing, capek dari kerja, dia memberiku obat
penenang. Memang, rasanya aku bisa tidur enak. Tapi kesempatan berikutnya, dia
mulai memberi obat yang tak jelas gunanya apa,..”
“Kamu
minum juga?”
Dia
mengangguk, lemah. Astagaaa… Keterlaluan sekali cowok itu!
“Lama-lama
aku mulai merasakan ketergantunganku bukan hanya pada dia, tapi juga pada obat
yang dia bawa. Nggak minum dua hari saja, badanku lemas. Kerjaku berantakan.
Nggak fokus…”
Kuseruput
kopi di cangkirku yang sudah dingin, sedingin hatiku saat ini. Entah mengapa, meski baru mengenalnya, aku
benar-benar kasihan dan prihatin mendengar kisah hidup Gheta. Seharusnya,
wanita secantik dan selembut ini dijaga dan disayang, bukan sebaliknya.
“Uang
tabunganku pun terkuras. Dhewa juga tidak perhatian seperti dulu lagi. Dia
hanya datang, ketika aku meminta obat yang kubutuhkan. Kalau nggak, dia nggak
perduli. Bahkan saat aku sakit pun, tergeletak sendirian di rumah kontrakanku,
dia tidak menjenguk atau membantuku mencari makan.” Mata Gheta kulihat memerah.
Dia berusaha keras, menahan air matanya agar tidak tumpah…
“Sudah,
jangan dipaksain cerita kalau berat dan bikin kamu sakit…” kataku, setengah
berbisik. Gheta menggeleng, lemah. Dia terdiam, beberapa saat. Aku pun salah
tingkah. Pengen rasanya memberi dia kekuatan, tapi aku juga khawatir
kata-kataku malah bikin dia sedih.
Malam
itu, cerita Gheta membuat tidurku tidak nyenyak. Baru kutahu, Gheta pernah
ketergantungan obat. Sampai-sampai, semua hartanya terkuras habis. Kabarnya,
cowok yang bernama Dhewa itu pun kabur ke Yogyakarta kota kelahirannya,
tanpa meninggalkan pesan apa pun…
Entah
apa hubungan kunjungan Gheta ke Yogya kali ini. Urusan kantornya atau Dhewa.
Aku tidak berani bertanya lebih jauh. Toh, besok-besok kami masih punya waktu
ngobrol lagi. Tadi dia kelihatan begitu letih dan terluka.
*******
Malam
ketiga, artinya malam terakhir di Yogya. Kuhabiskan dengan mengurung diri saja
di kamar. Rencana mengajak keluar makan Gheta, batal. Kelihatannya dia lagi
jalan keluar. Kamarnya kutelpon, tidak juga diangkat. Nomor HP yang dia
berikan, juga nadanya nggak nyambung. Ah, moga saja besok pagi-pagi aku masih
sempat bertemu dia...
Nyatanya,
pagi ini telephone di kamarnya tidak juga diangkat. Mungkinkah dia masih tidur
atau breakfast di restoran, lantai dasar? Buru-buru kuganti baju, setelah
mandi. Lantas turun ke lantai dasar…
Ups!
Rame banget! Ada rombongan turis baru masuk, rupanya. Setelah mencari-cari
Gheta tak ada, aku pun memilih duduk di sudut dekat pintu masuk. Siapa tahu, Gheta
datang…Aku bisa langsung mengajaknya, makan pagi.
“Selamat
pagi…Kopi atau teh, pak?” tawar seorang waitress.
“Kopi
saja…” Pintaku. Tatapanku tak lepas dari pintu masuk…
“Menunggu
seseorang Pak?”
“Oh
ya…Mungkin saja, dia juga makan pagi di sini. Soalnya tadi saya telphone ke
kamarnya tidak diangkat.”
“Teman
bapak? Kamar nomer berapa, biar saya bantu check dia sudah ambil sarapannya
atau belum…”
“Boleh,
boleh…Kamar 212. Kalau nggak salah, namanya Ibu Gheta…”
Waitress
itu pun kembali ke meja kasir, berusaha mencocokkan data yang kuberikan. Tapi
mendadak kulihat ekspresinya berubah. Dia juga memanggil dua orang temannya
yang tengah bertugas di situ. Mereka bertiga seperti membahas masalah serius.
Ah, mungkin ada tagihan pelanggan yang salah hitung kali, batinku….
Tebakanku
salah besar. Karena tak lama kemudian, waitress itu menghampiri aku dengan wajah pucat pasi….
“Maaf,
Pak…Mungkin bapak salah sebut nomer kamarnya?”
“Ah,
nggak! Nggak mungkin…Karena kamar kami beda dua kamar saja…Saya juga pernah mau
ngebantuin dia membuka pintu kamar yang macet. Meski tidak berhasil…”
Waitress
itu menggeleng…
“Benar
kok…Semalam saya masih ngobrol dengannya di kafe seberang restaurant ini…”
“Maaf,
Pak…Benar-benar saya minta maaf. Kamar yang bapak sebutkan tadi sudah
dikosongkan selama setahun, tanpa ada satu pun penghuninya. Kebijaksanaan dari
hotel, menutup kamar itu untuk umum…”
“Kok aneh? Kenapa ditutup? Masa saya salah kamar…Ya, meski dia tidak pernah mengajak saya masuk ke kamarnya…”
“Kok aneh? Kenapa ditutup? Masa saya salah kamar…Ya, meski dia tidak pernah mengajak saya masuk ke kamarnya…”
“Benar,
Pak…Kamar itu ditutup. Setahun yang lalu, seorang tamu hotel tewas. Kami
temukan wanita itu overdosis. Untuk menjaga kenyamanan pengunjung, kami sengaja
menutup kamar itu…”
Kepalaku
mendadak terasa berat. Bayangan Gheta, si cantik yang sempurna itu seperti
menari-nari di depanku. Hingga akhirnya, semuanya berubah gelap. (FT: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar