Gggrh! Lagi-lagi sinyal yang mengatur jalur kereta
jabotabek, kacau. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sudah satu jam menunggu di
stasiun, belum ada tanda-tanda kereta yang akan membawaku pulang muncul. Langit sudah mulai gelap, bahkan gemuruh
petir sesekali terdengar. Jangan-jangan, sebentar lagi hujan. Kulihat
“teman-teman” senasib yang masih menunggu di peron, terkantuk-kantuk sambil
memeluk barang bawaan masing-masing. Entah berapa lama lagi aku harus
menunggu…Repot banget. Jam-jam segini, pasti bis penuh. Ingin naik taxi,
tanggung bulan.
“Kereta
terlambat lagi ya mbak?” tegur pemilik wajah oval, bermata bulat yang tiba-tiba
sudah ikutan duduk di sampingku. Cantik. Rambutnya yang hitam dan panjang,
dibiarkan terurai melewati bahu. Baju ketatnya memperlihatkan potongan tubuhnya
yang ramping, tapi sexi. Benar-benar iri aku dibuatnya…
“Ya,
nih…Kabarnya sinyal kereta bermasalah. Pulang larut lagi dah!” gerutuku, sambil
mengambil tissue untuk menyeka keringat. Mmm…sayang. Cantik-cantik cewek itu
parfumnya norak. Tajam, menusuk. Seperti aroma cendana atau rempah-rempah.
Wangi sekali.
“Sabar
mbak, ntar juga datang. Saya biasa pulang terlambat. Kemalaman bukan hal baru
mbak, buat orang yang tinggal di Jakarta ini…”
“Mmm…iya…”
“Mbak
tinggal di mana? Sudah berkeluarga?” tanyanya sok kenal. Huh! Baru ngobrol
saja, sudah pengen tahu banget tuh perempuan. Jujur. Aku paling tidak suka
ditanya-tanya soal keluarga. Bayangan Taufan, tiba-tiba terlintas begitu saja.
Laki-laki
yang aku cintai sejak bangku SMA dulu, ternyata tidak mampu melawan orang
tuanya demi memperjuangkan cinta kami. Dia menikah dengan wanita yang dijodohkan
dengannya, waktu aku tengah mengerjakan skripsi. Padahal, kami sudah pacaran
lima tahun. Semua janji yang dia pernah katakan, terbang begitu saja seperti
terbawa angin. Penyesalanku hanya satu
waktu itu, Taufan tidak pernah berusaha menjauhi atau memutuskan hubungannya
denganku. Kami tetap pacaran, seakan-akan tidak ada apa-apa, hingga janur
kuning benar-benar melengkung. Selesai
sudah, batinku waktu itu.
Hancur.
Sedih. Marah. Kecewa. Semua campur aduk menjadi satu. Aku juga tidak bisa
sepenuhnya menyalahkan laki-laki itu. Karena pilihannya hanya satu, menikahi
Mila atau keluar dari rumah. Ya! Orangtuanya benar-benar kolot. Hari gini masih
saja memaksakan kehendak, termasuk mengancam anak kandungnya dengan hal-hal
bodoh. Padahal mereka tidak pernah tahu, Taufan sendiri juga hancur.
Kutahu
betul, setelah menikah laki-laki yang biasanya selalu ceria, aktif di berbagai
perkumpulan dan gemar berolahraga itu, berubah 180 derajat. Dia menjadi
pemurung, tidak pernah ikut acara-acara yang diadakan teman-teman kami satu
angkatan. Bahkan kata Rani, teman kami satu almamater dulu, dia juga menjadi
orang pemarah. Rani tahu betul perubahannya yang begitu drastis, karena dia satu kantor dengan Taufan
sekarang.
“Pokoknya
dia beda banget deh, Ta…Waktu kita suka ngumpul dulu,…waktu kamu juga masih
pacaran sama dia. Energik, heboh, rame kan? Sekarang, boro-boro suka ngeledekin
aku seperti dulu. Senyum saja, nggak. Energi dia tersedot istrinya
kali…ha…ha..ha..” Rani tergelak, ketika melaporkan hal itu padaku.
Kasihan.
Aku tidak bisa menyalahkan Taufan sepenuhnya. Pilihannya masuk akal. Dia bukan
tipe anak durhaka. Mampu melawan kemauan orangtua. Resikonya ya..aku harus mau
mengalah dan kehilangan dia.
“Mbak…melamun?
Mikirin siapa?” suara renyah itu mengejutkan aku lagi. Astaga, aku melamun dari
tadi? Kulihat sekelilingku, …masih di stasiun. Calon penumpang banyak yang
sudah pulang. Tinggal beberapa orang saja yang bertahan, termasuk aku dan…
“Mbak,
tuh ada kereta datang. Moga saja, kereta kita ya mbak…”
Aku
tidak sempat menjawab, ketika kereta yang kutunggu benar-benar datang.
Ffuiih..lega. Setidaknya aku bisa menghemat ongkos taxi dan pulang aman sampai
ke rumah. Tiba-tiba kubaru ingat perempuan yang sok akrab tadi, ketika aku
sudah di dalam kereta. Entah kemana dia, …bayangannya sudah tidak terlihat
lagi.
*****
Malam Jum’at yang sempurna. Tugas-tugasku di
kantor menumpuk, sampai harus rela pulang larut. Lagi-lagi aku harus menunggu
kereta sendirian. Huuh! Andai Taufan tahu dan belum memiliki Alena, pasti dia
tidak akan membiarkan aku malam-malam berdiri sendirian di sini. Kuingat betul,
waktu pulang kuliah malam. Dia bahkan rela mengantarkan aku pulang, padahal
jelas-jelas rumah kami ibarat ujung ketemu ujung….Jauh banget dan nggak satu
jurusan.
Mmm…tapi sudahlah. Toh nggak lama, kami akan bersatu
lagi. Hanya menunggu waktu.
Bulan
lalu, Taufan tiba-tiba menyatakan keinginannya, menikahiku. Memang dia tidak
bisa menceraikan Alena yang memberinya seorang anak laki-laki. Tetapi
menurutnya dia juga tidak bisa tahan, hidup tanpa aku. Maka dia berharap, aku
bersedia menjadi istri keduanya. Istri muda…
Dimadu?
Awalnya aku menolak keras. Mana mungkin aku rela berbagi suami dengan wanita
lain? Apalagi, aku harus melihat dia tetap bersikap baik dengan madu
aku…Ggrrhh! Berat. Pahit. Akhirnya aku mengiyakan juga…yah, lagi-lagi karena
cinta. Sejak Taufan menikah, meninggalkan aku, hidup seperti kosong.
Rutinitasku pulang, pergi kantor, seperti bom waktu. Tiap saat bisa meledak.
Otak dan hatiku tidak bisa kompromi. Sulit berpikir dengan akal sehat lagi.
Kadang, aku suka lepas kontrol waktu memimpin meeting di kantor. Tanpa sadar,
aku bisa berjam-jam bengong di depan laptop…Semuanya kusalahkan pada yang
namanya cinta. Yah, aku cinta mati sama Taufan…
“Mbak…kemalaman
lagi?” Suara itu membuyarkan lamunanku. Wanita cantik dengan rambut panjang
terurai melewati bahu. Parfum cendananya yang menusuk..ya, aku ingat betul.
Dia…
“Malam
ini kereta aman-aman saja kok mbak…Tenang saja. Kita tidak perlu menunggu
lama,” hibur dia. Aku hanya menelan ludah, pahit. Nih orang, nggak tahu apa
kalau moodku lagi jelek?
“Mbak,
mau minum?” tawarnya sambil menyodorkan segelas air mineral yang dia bawa. Aku
menggeleng. Lama-lama kasihan juga perempuan ini. Maksud dia baik, kenapa
selalu aku jutekin?
“Maaf,
buat mbak saja. Saya tidak haus…” tolakku hati-hati. Dia tersenyum lebar.
Jari-jari lentiknya merapikan rambutnya yang berantakan, tertiup angin.
“Kenalkan,
saya Rima… Mbak…” sapa wanita itu lagi, sambil menyodorkan tangannya. Mmm,
nggak ada salahnya memiliki teman seperti dia, batinku.
Kebekuan
yang tadinya selalu kuciptakan, akhirnya mencair. Rima memang wanita hangat,
menyenangkan. Baru setengah jam kami duduk berdua, dia sudah banyak membuatku
tersenyum. Salah satu cerita dia yang membuatku merasa sepenanggungan, ya..soal
cinta. Dia begitu berapi-api menceritakan cinta pertamanya yang tidak dia
lupakan sampai sekarang. Tapi entah, laki-laki itu berhasil menikahi dia atau
tidak, aku tidak tahu…Kereta keburu datang. Belum sempat say good bye, Rima sudah menghilang entah kemana.
****
Ffuiih….Capek
juga mempersiapkan pernik pernikahan sendirian. Meski rencananya sederhana
sekali, hanya ijab kabul di depan saksi, lantas makan-makan dengan teman dekat,
energiku terkuras juga. Taufan nggak bisa membantu banyak, karena dia masih
harus memperhatikan keluarganya. Sebenarnya pernikahan kami pun tidak direstui
keluarga besar Taufan. Untung Alena
berbesar hati, menerima permintaan Taufan. Dia juga yang membujuk orangtuanya
untuk menerima keputusan ini.
“Aku
rela mbak menikah dengan suamiku, sekaligus menjadi maduku. Meski hati ini
sakit, tapi aku lebih sakit lagi kalau melihat Mas Taufan sering melamun,
sedih. Kebahagiaan dia yang utama…” aku Alena, ketika kami bertemu suatu malam
di sebuah kafe.
Benar-benar
wanita berjiwa besar, rupanya. Hatiku nyaris luluh. Pertahananku hampir jebol.
Tapi lagi-lagi Taufan berhasil menguatkan aku lagi…Yah, untuk cinta apa pun
harus aku perjuangkan…
“Malam
mbak…sendirian?” tegur pemilik mata lentik itu, mengejutkan. Ouch, Rima. Wanita
yang selalu saja kutemui sendiri di stasiun…Aku belum sempat bertanya tentang
keluarganya. Kerja apa dia, kok selalu pulangnya malam-malam begini…
“Ya,
Rima. Seperti biasa…Banyak kerjaan belum selesai, terpaksa pulang telat lagi…”
“Wanita
karier sekarang memang resikonya begini mbak…Keluarga mbak mendukung pasti kan?
Itu lebih penting…”
“Maksud
kamu?”
“Ya,
capek kita tidak terasa, kalau ada dukungan keluarga. Suami yang mencintai
kita, anak-anak yang lucu…”
“Soriii…aku
belum punya anak dan belum menikah,” potongku cepat. Entah mengapa, nadaku
berubah tinggi. Mmm…sabar, sabar… Lagi-lagi aroma cendana itu membuatku pusing.
Kenapa perempuan ini suka parfum yang baunya menusuk itu…
“Maaf,
maaf mbak..Bukan maksud saya mengutak-atik soal pribadi mbak. Saya salah
ngomong ya?” Wajahnya pucat pasi. Mmm…baru kusadar, wajah Rima selalu kelihatan
begitu pucat, seperti tidak ada aliran darah. Tangannya yang menggenggam
tanganku barusan juga dingin.
“Maksud
saya.... dukungan keluarga hal yang utama. Saya juga ngerasain mbak, sebagai
perempuan ingin dicintai dan memiliki orang yang saya cintai. Tapi kadang
keinginan saya tidak membuat orang lain bahagia, apalagi keluarga dan sesama
wanita, untuk apa? Saya seperti menari-nari di atas penderitaan wanita
lain…Percuma.”
Aku
menggeleng-gelengkan kepala. Omongan wanita ini makin ngelantur. Kuambil
handphone dari tasku, lantas pura-pura sibuk membaca sms yang masuk. Malam ini,
entah mengapa aku malas meladeni obrolan dengan Rima. Belum lama aku sms,
tiba-tiba kereta yang kutunggu datang. Kulirik sekelilingku, Rima sudah tidak
ada. Mmm, seperti biasa. Batinku. Tapi satu hal yang mengusik perhatianku…tas
serut dari kain warna merah hati itu, teronggok tidak jauh dari tempat dia
duduk. Milik dia ketinggalan? Ah, ntar siapa tahu aku bisa mengembalikannya…
****
Pagi
ini, sebelum ke tempat catering untuk memesan makanan, aku mampir dulu ke rumah
Rima. Identitas dalam tas serut yang kutemukan tadi malam, memang benar milik
Rima. Rumahnya tidak jauh dari tempat catering yang kupesan. Sekalian saja,
pikirku. Kasihan. Dia pasti butuh dokumen penting dalam tas itu…
“Mbak
ingin bertemu Rima?” tanya seorang wanita separuh baya, terheran-heran. Mata
bulatnya yang mengingatkanku pada perempuan itu, berkaca-kaca. Dia langsung
tergopoh-gopoh ke dalam, memanggil suaminya….
Baru
kutahu, Rima sudah meninggal sebulan yang lalu, karena terseret kereta api.
Entah, dia bunuh diri atau sedang melamun ketika sedang jalan di perlintasan
kereta. Saksi mata hanya bisa berteriak mengingatkan, tapi kereta terlanjur
menyeretnya. Identitas yang ada di dalam tas selempang yang dia bawa,
menunjukkan jenasah itu memang Rima. Namun sebuah tas make up kecil berisi
kartu-kartu penting, memang hilang dan belum ditemukan. Tas itu rupanya yang
kubawa…
Entah kebetulan atau tidak, dia
meninggal setelah mengetahui dirinya akan dimadu. Bulu kudukku tiba-tiba
meremang. Bayangan dia yang selalu muncul tiap malam, di stasiun kereta
membuatku sulit tidur. Kuingat juga rencanaku menikah dengan Taufan…Artinya,
aku juga akan membuat hati wanita lain tersakiti…Buru-buru kupamit pulang.
Keputusanku sudah bulat. Aku harus batalkan pernikahanku, karena aku tidak mau
ada Rima-rima lain, menjadi korban.(Ft; berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar