Kejatuhan
cicak lagi? Perasaan tidak enak, langsung menyergapku. Tatapanku nanar. Kosong.
Sebenarnya, aku tidak mau mempercayai tahyul dan mitos orang tua dulu. Apalagi
ketika kita sudah sangat bergantung teknologi dan memiliki pegangan agama yang
kuat. Masa sih, masih takut dan cemas melihat tanda-tanda kesialan akan menimpa
kita? Tapi beberapa kejadian, membuatku mau tidak mau percaya. Cicak tanda
sial. Konon, bila kita kejatuhan cicak, salah satu anggota keluarga ada yang
meninggal dunia atau celaka. Astagaaa…Aku menelan ludah.,Pahit.
Pernah,
aku kejatuhan cicak ketika asyik mandi. Dua minggu kemudian, tanteku, kakak
dari mama meninggal dunia. Padahal beliau tidak pernah mengeluh sakit
sebelumnya. Sangat sehat, bahkan. Rajin berolahraga dan makanan pun sangat
dijaga. Kepergiannya yang begitu tiba-tiba, sangat memukul kami semua
kerabatnya.
Kejatuhan
cicak kedua, waktu aku lagi asyik nonton bola bersama teman-teman satu kampus
di rumah. Entah darimana binatang melata itu tiba-tiba melayang, jatuh tepat di
bahu kananku. Satu minggu kemudian, nenek dari papa meninggal dunia. Kesialan
serupa yang kuanggap berasal dari cicak, saat aku tengah membenahi kamar tidur.
Tahu-tahu, makhluk menggelikan itu mendarat tepat di atas kepalaku, hingga
membuatku melompat-lompat kegelian. Lebih tepatnya antara jijik, geli dan
kesal. Pertanda apa lagi nih? Batinku langsung bertanya. Gelisah, takut,
bingung… Benar saja, tiga hari kemudian,
adik bungsu mama yang biasa suka memanjakan aku waktu aku kecil,
meninggal dalam sebuah kecelakaan.
Sungguh.
Aku trauma mengingat semua kejadian itu. Mitos tentang kematian, benda dan
binatang pembawa sial, semua terekam jelas, sampai menjadi seperti hantu
menyeramkan bagiku. Berulangkali, mama mengingatkanku untuk tidak memperdulikan
cerita lama itu. Aku tahu sih, beliau sebenarnya hanya berusaha menghibur aku.
Setengahnya lagi, mama juga mempercayai tanda-tanda itu.
Mama
sendiri sering cerita, ketika bermimpi giginya patah atau tanggal. Pasti tidak
lama setelah kejadian itu, salah satu anggota keluarga besar kami mengalami
musibah. Bahkan, meninggalnya papa yang terserempet bus antar kota pun,
didahului tanda-tanda yang sama. Mama bermimpi, salah satu giginya patah. Dua
hari setelah mimpi itu datang, papa terserempet bus, dalam perjalanan ke
kantor.
Ah,
sudahlah…Aku tidak ingin mengingat-ingat lagi, duka lama. Tinggal bersama
keluargaku, yaitu mama dan dua adik kebanggaanku, Radit dan Rado saja, sudah
bersyukur sekali. Mereka semua hartaku paling berharga. Meski aku harus bekerja
mati-matian, sampai melupakan waktunya menikah, aku tidak pernah menyesal.
Lantas bagaimana dengan cicak itu lagi?
Kuseduh
segelas susu coklat di dapur, untuk menenangkan diri. Kulihat, Radit, Rado dan
Mama tengah bercanda di ruang keluarga, sambil menonton televisi. Meski
teman-teman kuliah dua adikku itu banyak, mereka tidak suka keluyuran. Lebih
banyak waktunya dihabiskan di rumah, menemani mama yang mulai sakit-sakitan.
Mmm…jantungku berdetak makin kencang. Mungkinkah, satu di antara mereka akan
meninggalkan aku? Bagaimana seandainya, mereka celaka atau sakit? Mataku berkaca-kaca…Tangan yang menggenggam
cangkir, bergetar. Benar-benar aku takut, ….takut kehilangan salah satu di
antara mereka. Orang-orang yang sangat aku cintai…
“Kak,
kenapa bengong? Sakit ya…Kok pucat banget?” teguran Radit yang tiba-tiba muncul
di depanku, mengejutkan. Nyaris membuat cangkir yang kupegang jatuh. Cowok
bermata elang dan berambut ikal itu, mewarisi wajah papa banget. Setiap kutatap
matanya, seperti aku menatap papa…
“Kak…Kakak
baik-baik saja? Mikirin apa sih?” Radit menepuk bahuku perlahan. Tangannya
mengambil alih cangkirku yang sudah nyaris tumpah, isinya. Lidahku kelu, sulit
bicara. Hanya gelengan kepala saja yang sanggup kulakukan…
“Ayolah,
duduk di depan. Kita ngobrol rame-rame. Kelihatannya kakak kecapekan kerja
melulu…” Radit mengusap bahuku. Lembut.
“Nggak,
Dit…Kakak nggak apa-apa… Mungkin tadi kedinginan saja, setelah semalaman hujan.
Nanti kakak gabung ke depan…sekarang mau bikin roti bakar dulu, buat dimakan sama-sama…”
“Asyiiikkk….Ada
roti bakar… Tapi beneran ya, kak..Nggak ada apa-apa?”
“Benerrr..
Kapan kakak bohong sama kamu?”
Radit
tersenyum lebar. Adik pertamaku itu
memang tahu betul, kapan aku mau menceritakan masalahku dan kapan aku
memilih diam. Tapi ujung-ujungnya, pasti aku curhat ke dia-dia juga.
Satu-satunya laki-laki yang sudah kuanggap seperti pengganti papa. Beda dengan
Rado yang masih duduk di bangku SMA. Masih terlalu muda dan polos untuk
memikirkan masalah keluarga.
Ffuihh…Lagi-lagi
aku menarik nafas, berat. Kuperhatikan dari dapur, mama, Radit dan Rado…ah,
siapa lagi yang akan mengalami nasib sial? Semoga bukan salah satu di antara
mereka, Tuhan…Please, pintaku dalam
hati. Namun andaikan bukan mereka, pasti salah satu dari keluarga besar kami.
Keluarga adik mama di Bandung, saudara papa di Yogyakarta atau…jangan-jangan,
kerabat yang tinggal di Surabaya?
Gila
kali ya…menentukan nasib orang dari cicak. Aku jadi ingat pendapat seorang
motivator kondang. Kata beliau, kita tidak boleh ketakutan akan suatu hal yang
tidak pasti. Karena ketakutan kita bisa menjadi kenyataan, kalau dipikirin
terus…Buru-buru, kuambil roti dan selai coklat. Lebih baik, daripada mikir yang
tidak-tidak, kubikin roti bakar saja sekarang…
***
Siang
ini, begitu gelap. Hujan sejak tadi mengguyur Jakarta. Air begitu deras,
seperti ditumpahkan dari langit. Petir juga tidak henti bersahutan. Benar-benar
menyeramkan, cuaca hari ini. Kulihat dari balik kaca, kantor tempat aku
bekerja…Jalanan macet. Beberapa pengendara motor, saling salip di antara mobil
dan bus yang nyaris tidak bisa bergerak. Benar-benar padat merayap…Tiba-tiba
kuingat adik bungsuku. Kasihan, Rado. Pagi tadi dia terpaksa naik kendaraan
umum, karena motornya ngadat.
Raditya dan aku,
sama-sama tidak bisa mengantarnya ke sekolah. Maklum, Jakarta. Tempat tujuan
kami, ujung dengan ujung…. Kalau aku atau Radit ngedrop dia, pasti terlambat
banget sampai ke kantor. Bahaya juga buat status Radit yang masih kuliah sambil
magang di sebuah perusahaan advertising. Bisa-bisa dia kena sanksi…
Ggrrh! Nyaris,
jantungku berhenti berdetak. Lagi-lagi seekor cicak sudah ada begitu dekat
denganku. Dia merayap di dinding, dekat jendela. Astagaaa…binatang mungil itu
seperti teroris. Menakutkan...Kehadiran binatang melata itu mengingatkan
mimpiku, dua hari lalu. Ampun…jangan,….jangan sampai anggota keluargaku celaka…
Nafasku tercekat. Apalagi tadi aku baru saja mengingat Rado yang pagi ini,
musti naik angkutan umum. Padahal hujan dari pagi tidak berhenti.
Tanganku
bergetar hebat. Buru-buru kuambil handphone, kuhubungi adik bungsuku itu lewat
telephone. Tulalittt….Ah, nadanya kok mati? Kucoba sekali lagi…Sama! Heran.
Padahal tidak biasanya dia mematikan HP. Jam-jam segini, mustinya dia sudah
sampai di sekolah. Pelajaran pertama pun belum dimulai…Perasaan tidak enak,
kembali menyergapku. Kucoba sms, tapi pesanku tidak masuk juga. Statusnya masih
tertunda.
Pusing di kepala
makin menjadi. Kerongkonganku kering. Tanganku memencet nomor Radit. Ya ampun,
dia juga tidak aktif HP-nya? Tuh anak ke mana, membuatku makin senewen. Ketika
kuhubungi rumah, mama bilang Radit sudah jalan, nggak lama setelah aku
berangkat. Masa HP juga tidak diaktifin?
“Rani…Ran…Kamu
kenapa?” teguran Ika, sahabat baikku mengejutkan. Dia sudah ada beberapa menit
di depanku, tapi aku tidak menyadarinya.
“Aku takut,
Ka…Takut terjadi apa-apa dengan adikku…”
“Tumben, kamu
sepanik ini? Anak cowok, udah gede, ngapain dipikirin?” Ika mencoba mengajakku bercanda. Tapi
gurauannya seperti angin lalu…
“Serius, Ka!”
“Sori..soriiii…Bukan
maksud ngeledek kamu…Nggak biasanya kamu khawatir berlebihan seperti ini deh. Pagi-pagi
sudah mikir yang bukan-bukan. Apalagi dua adikmu itu kan terkenal jagoan.
Mereka bisa beladiri, sangat berhati-hati kalau membawa kendaraan…safe banget deh!”
Aku hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala. Mana mungkin, aku menceritakan mitos yang
kupercayai pada Ika. Meski dia sahabat terbaikku, tapi cewek itu tidak pernah
mempercayai arti mimpi, tanda-tanda sial atau mujur, ….Bisa-bisa dia
menertawakan aku, atau malah menganggapku lagi “sakit”.
Ya sudahlah, aku
hanya bisa menelan bulat-bulat kekhawatiranku. Sampai-sampai meeting pagi ini,
aku tidak konsentrasi. Semua point penting yang dibahas, tidak ada satu pun
yang kuingat. Untung, lagi-lagi Ika menyelamatkan aku. Dia mencatat setiap
detailnya…
Usai meeting,
baru aku berhasil menghubungi Rado. Ternyata, handphone dia lupa dicharge
semalam. Pantas, sampai jam makan siang, dia biarkan mati, sambil dicharge di
perpustakaan. Benar-benar hari yang melelahkan bagiku. Energiku seperti
terkuras, hanya karena memikirkan pertanda sial itu…Huh!
****
Siang ini, usai
meeting dengan pimpinan cabang kantor kami di Jawa Tengah, aku memilih makan
siang di kantin, basement bersama Ika. Menu favorit sop buntut, sudah lama
tidak sempat kami nikmati.
“Tumben kamu mau
turun ke bawah…Biasanya makan di kafe satu lantai di bawah kantor kita..”
“Ya, kalau makan
di sini, ntar waktunya kelamaan, Ka! Banyak kerjaan nih…Sekarang saja, baru
sempat bernafas. Meeting tadi bikin kepala pusing…”
Ika tertawa
lebar, melihat aku memijit-mijit kening. Sambil menunggu pesanan datang, dia
melihat-lihat menu yang tergeletak di meja. Tiba-tiba…
“Ran, lihat
deh…” tunjuk dia ke dinding, dekat meja kami. Seekor cicak!!
“Ka, ngapain
dilihat-lihat? Usir dong….” Teriakku panik…Ika malah tertawa, terbahak-bahak…
“Ngapain
diusir…Kasihan. Dia lucu deh, kuperhatiin dari tadi seperti ngelihatin kita
berdua. Diam saja di situ, nggak pindah-pindah. Jangan-jangan dia cowok ganteng
yang dikutuk jadi cicak…”
“Hussshhh..sakit
jiwa lho, Ka! Ada-ada aja sih?”
“Lha siapa tahu,
dia pangeran dari negeri antah berantah…”
“Trus bakal
berubah wujud, menjadi pangeran ganteng setelah dicium cewek gitu? Cium saja
sono!”
Ika tertawa
terbahak-bahak. Bahunya berguncang, geli. Benar-benar sahabatku ini,
bercandanya kelewatan. Apa dia nggak tahu, aku masih dihantui ketakutan
gara-gara kejatuhan cicak tiga hari yang lalu? Tapi, benar juga kata dia…cicak
itu dari tadi diam di sana, tidak bergerak. Matanya seperti mengawasi kami
berdua…ggggrrhhh, rasa cemas itu lagi-lagi datang.
“Ran, kamu
kenapa? “
Aku
menggeleng-gelengkan kepala. Tanganku langsung memencet nomer rumah…Mama
semalam, sesak nafasnya kambuh. Entah bagaimana pagi ini, ….Hingga lima kali
nada sambung, mama tidak juga mengangkat telephone. Aduhhh…Mama ada di mana?
Kenapa telephone tidak diangkat? Jangan-jangan…
Radit langsung
kuhubungi. Bbbeuuhh! Anak itu selalu saja, mematikan handphone saat aku butuh
dia. HP-nya tidak aktif! Rado pasti lagi sibuk di kelas. Nggak mungkin aku
mengganggunya.
“Ran, kamu mau
kemana? “ Ika panik, melihat aku mendadak berdiri dan membawa tas, hendak
pergi. Padahal pesanan kami, belum juga datang…
“Perasaanku
nggak enak…Semalam mama sakit. Siang ini, mama nggak angkat telephone. Aku mau
pulang dulu, lihat kondisi mama..”
“Hahhh? Yang
benar saja, Ran…Kamu coba dulu ulang lagi, menghubungi mama. Kudengar, ada bik
Surti yang ikutan ngeberesin rumah kalau siang kan? Jika ada apa-apa, pasti dia
menelpon kamu…”
“Justru itu, Ka!
Seharusnya, telephone ada yang angkat. Bik Surti juga nggak ada, berarti di
rumah kondisi mama gimana? Aku cemas…Aku nggak mau, tahunya belakangan dan
nyesel…” Suaraku mulai parau.
Ya, aku ingat
waktu papa kecelakaan. Sebelum papa berangkat kerja, hati kecilku sudah nggak
enak. Perasaanku mengatakan, papa hari ini beda…Sayangnya, aku tidak mencegah
papa berangkat atau menemaninya ke kantor. Setidaknya, andai itu kulakukan,
mungkin papa tidak mengalami kecelakaan tragis itu…Padahal aku juga sudah
diberi tanda, jatuhnya cicak. Ah, lagi-lagi cicak sialan itu…
Teriakan Ika,
tidak aku perdulikan. Buru-buru aku keluar dari gedung perkantoran tempat aku
bekerja. Tujuanku hanya satu, rumah! Tak kuperdulikan hujan begitu lebat di
luar, angin dan petir seperti saling berlomba, menakutkan.
Beberapa kali di
jalan, aku menghubungi rumah. Tetap saja tidak diangkat. Keringat mulai
membanjiri keningku. Meski ac mobil sudah dingin, rasanya seluruh isi mobil ini
panas. Detak jantungku pun seperti terdengar jelas. Mataku berkaca-kaca,
menahan air yang menyembul keluar. Aku belum sanggup, seandainya mama
meninggalkan aku…Ya, aku tidak berani membayangkan, bila terjadi sesuatu pada
mama…
Damn! Macet
lagi! Sambil memperhatikan antrian mobil di depan, tangan kiriku meraih HP,
lantas menghubungi rumah. Nada sambung pertama, tidak diangkat. Kedua, sama.
Ketiga,….
“Selamat pagi,
…” Suara mama!
“Ma…Rani, Ma. Mama
baik-baik saja? Mama kok nggak angkat telephone dari tadi? Masih sesak nafas ya
Ma? Bik Surti nggak datang?” Pertanyaanku seperti peluru yang ditembakkan dari
selongsongnya. Suaraku yang parau, tidak mampu menyembunyikan kecemasanku.
“Rani? Mama
nggak apa-apa kok, sudah baikan. Tadi malah bikin kue, dibantuin Bik Surti.
Kamu ada di mana? Kok suaranya ribut banget…Hujan ya di sana?”
“Yakin, mama
baik-baik saja?”
“Ya, Rani…Pasti.
Kamu dengar sendiri, suara mama. Mungkin tadi kamu telephone ke rumah ya? Lagi
masak kue di dapur, nggak kedengeran…Di sini hujan besar banget, berisik. Kamu
sendiri juga hati-hati ya, jangan keluar hujan badai begini…Mama lihat banyak
pohon tumbang tadi di televisi…”
Ffuihh…Aku
menarik nafas lega. Ketakutanku tidak beralasan. Mama baik-baik saja. Tanpa
sadar, aku senyum-senyum sendiri. Kenapa selama ini musti takut sama cicak?
Soal kejatuhan cicak kemarin, mustinya aku cuek. Sudah waktunya, aku tidak
perduli dengan tanda-tanda pembawa petaka itu. Bersyukur banget, keluargaku
baik-baik saja sampai detik ini.
Mobil
di depanku mulai merayap maju. Kakiku kembali menginjak gas, sebelum aku sadar
apa yang terjadi, tiba-tiba sebuah papan reklame berukuran raksasa tumbang.
Rubuh, tepat menimpa mobilku. Detik berikutnya, gelap! Hanya dingin membekukan
yang kurasakan. Sayang, aku baru menyadari cicak itu bukan pertanda untuk
keluargaku, tapi…untuk aku… Semuanya sudah terlambat. Sangat terlambat.(ft: berbagai sumber)
3 komentar:
Saya baru tahu kalau kejatuhan cicak berarti kematian. Mungkin karena banyak cicak di rumah, saya beberapa kali kejatuhan cicak dan tetap cuek saja.
Panik saat tlp orang tua itu ane rasakan juga sis.. sempet mata berkaca2 pas baca..
Kejatuhan cicak ane udh sering bgt sis.. ane anggap itu cuma cicak yg lg ngelamun.. trs jatuh..hehe alhamdulillah dan amit2.. gk ada kabar buruk datang dr keluarga ane sis.. so.. diabaikan aja sis..
Tadi sempat cicak jatuh didepan ku.. Tp sm sekali gk kena anggota tubuh
Posting Komentar