Kretttt! Kreteeekkk… Sepasang tangan kotor, berlepotan
dengan tanah merah, terjulur seakan ingin meraihku. Wajah pucat dengan
bilur-bilur luka, pemilik tangan kotor itu menyeringai, hingga gigi-gigi tak
beraturan itu kelihatan jelas. Matanya menatapku tajam, terasa begitu menusuk
dan mengancam. Ingin rasanya aku berteriak atau lari, entah mengapa kaki ini
mendadak lemas. Nggak bertenaga. Mau teriak, juga tidak bisa. Keringat dingin
membanjir, jantung berdetak makin kencang. Pandanganku pun mulai kabur… Andai
ini waktunya aku dipanggil sang Pencipta, aku pasrah.
Tangan kotor
itu, berhasil menarik kaki kiriku, hingga tubuh mungil ini terjerembab mencium
lantai. Tenaga yang tersisa, berusaha kukumpulkan buat melepaskan diri. Aku
meronta sekuatnya, menendang apa saja yang kubisa…Tapi sia-sia! Sosok
mengerikan itu sudah begitu amat sangat dekat, sampai-sampai aroma anyirnya
tercium. Nafasnya yang memburu pun terdengar begitu jelas di telingaku…
“Jangan ganggu
saya! Pergi! Tolong…” teriakku dengan suara parau. Baru kusadari, kuku-kuku
tangan makhluk mengerikan itu panjang dan tajam. Dia berhasil mencengkeram
kedua tanganku. Kukunya menimbulkan baret yang dalam. Perih! Kucoba menggulingkan badan, hanya dalam
sekali sentakan. Berhasil! Cengkeramannya lepas, tapi aku tak bisa menghindar
dari kaki meja di dekatku. Kepala ini pun terbentur kaki meja, lantas…gelap!
*******
Bing! Nyaris aku
melompat bangun, mendengar alarm BB yang kupasang berbunyi. Astaga. Pukul enam
pagi? Masih setengah mengantuk, aku kabur ke kamar mandi. Nggak bisa
kubayangkan, andai terlambat lagi sampai ke kantor. Pak Aldo pasti sudah
meracau lagi, seperti kemarin…
Perih! Tiba-tiba
aku berjingkat, kaget ketika tubuhku tersiram air dari shower. Pedih. Baru nyadar, kedua tanganku terlihat seperti ada
bekas cakaran. Astaga! Bukannya semalam itu hanya mimpi buruk? Tapi kenapa kaki
kiriku juga terdapat bekas cakaran? Gggrh! Malas mikir yang tidak-tidak,
mengingat waktuku tidak banyak kejadian itu nyaris aku lupakan.
Bener saja.
Gara-gara kesiangan, Pak Aldo kelihatan begitu menyeramkan pagi ini. Tanpa
senyum, tanpa banyak bicara, dia hanya meletakkan berkas-berkas kertas kerja di
mejaku.
“Gila kamu, satu
minggu ini terlambat melulu. Nggak takut ya, ngelihat Pak Aldo marah?” tegur
Ricardo, ketika muncul di depan meja kerjaku. Aku menggelengkan kepala.
Bingung, tidak tahu harus bilang apa… Minggu yang melelahkan, memang.
Gara-gara pindah
ke rumah baru yang mustinya aku syukuri, karena itu hasil dari keringat kerjaku
sendiri, aku malah sering terlambat kerja. Mimpi buruk, trauma dengan
suara-suara aneh yang sering terdengar tiap malam, membuatku selalu terbangun
dalam keadaan letih, amat sangat. Bahkan, nggak jarang alarm BB dan jam weker
pun nggak kedengeran.
“Kamu sakit ya?
Abis jatuh dari motor? Kok baret gitu tangannya…Astaga! Udah diobatin belum?”
Cowok bermata elang itu, kelihatan tersentak kaget ketika melihat bilur luka di
kedua tanganku. Malu. Baru kusadar, baretnya kelihatan jelas…
“Nggak apa-apa,
Do. Baret dikit, biasa…”
“Gimana biasa?
Kamu suka aneh belakangan ini. Gampang ngantuk di kantor, suka nggak fokus,
seperti orang yang abis begadang semalaman”
“Biasalah Do,
aku suka nonton tv sampai malam…Sulit tidur, insomnia…” Aku coba ngeles.
Obrolan kami pun terputus, karena Ricardo dipanggil kepala bagian keuangan.
Mmm, lebih baik begitu daripada aku dicecar pertanyaannya lagi. Jujur aku akui,
perhatian cowok itu luar biasa. Dia paling tahu, kapan aku butuhin. Buktinya,
minggu belakangan ini nggak ada teman kantor yang menanyakan perubahanku,
selain Ricardo. Detil, malah.
*********
Terlalu. Belum
selesai satu berkas, sudah dihujani berkas lain. Jelas saja, hari ini aku
pulang larut malam. Meski kupikir, lumayan juga. Aku nggak kelamaan bengong,
menyadari kesepianku tinggal di rumah sendiri. Mbak Ade yang membersihkan rumah
dan mencuci pakaianku, nggak menginap karena sudah punya suami dan anak.
Mmm, secangkir
susu coklat hangat sudah berpindah dalam perut. Tinggal tidur, lelap. Kumatikan
lampu utama kamar, lantas beringsut naik ke atas kasur. Tapi tiba-tiba indra
penciumanku mencium sesuatu yang tak sedap. Anyir. Benar-benar bau busuk,
sangat menyengat. Sampai-sampai perutku seperti diaduk-aduk. Mual.
Kretttt…Kretttt…
Dug…dug…! Suara itu? Astaga, suara itu lagi
sayup-sayup terdengar, makin lama makin jelas dan terasa begitu dekat.
Bersamaan dengan bau anyir, memabukkan. Nyaris aku tidak bisa bernafas, udara
di sekeliling ini seperti mencekikku. Belum sempat menyadari dari mana sumber
suara dan bau menyengat itu, tiba-tiba kakiku seperti ditarik seseorang. Saking
kuatnya, tubuhku terjerembab, mencium lantai yang terbuat dari ubin kayu.
Ampun! Pasti
benjol, besok. Kurasakan kepala ini begitu berat, sakit. Benturannya ke lantai,
begitu keras. Jangan-jangan berdarah? Akal sehatku sudah tidak bisa buat
berpikir lagi. Hanya ada satu, lariiii! Tapi mau gimana lagi…kuhentakkan kedua
kakiku, sia-sia. Cengkeraman makhluk tak jelas itu semakin kuat dan
kuku-kukunya terasa menusuk dan meninggalkan luka…
“Tolong, jangan
gangguin saya…Jangan ganggu saya…” bisikku, lemas. Hanya dalam satu sentakan,
aku berhasil menendang makhluk yang berada di bawah kakiku itu, lantas berusaha
berdiri, lari. Tapi apa daya, tangan-tangan kotor itu berhasil meraih kakiku
lagi, sekali tarik tubuhku terbanting ke lantai. Pandanganku kabur. Kepala
terasa begitu berat. Gelap!
****
Sungguh. Aku
tersiksa dengan mimpi burukku belakangan ini. Hampir dua minggu, sejak pindah
rumah, aku selalu masuk kantor dengan wajah kusut. Kurang tidur. Padahal
seingatku, semalaman aku beneran tidur. Bayangan burukku itu hanya mimpi. Tapi
kalau mimpi, kok rasanya seperti nyata? Guratan luka di tangan dan kaki,
misalnya.
“Kamu ajak saja
saudara atau teman tinggal di rumah, menemanimu beberapa hari… Mungkin mereka
bisa ngebantuin kamu, mencari penyebabnya. Mimpi atau beneran,” kata Ricardo
pagi itu.
Sulit juga,
mengandalkan bantuan orang lain. Sejak lulus kuliah, aku memang terbiasa
mandiri. Nggak mau ngerepotin orang. Nggak heran, mama pun tidak melarangku
membeli sebidang tanah lantas di Yogyakarta, lantas membangunnya menjadi rumah
pribadiku, meninggalkan mama bersama dua adikku di Surabaya. Yup! Empat tahun
bekerja di perusahaan periklanan yang ada di Yogya, membuatku sedikit demi
sedikit bisa menabung. Targetku hanya satu, punya rumah sendiri! Nggak enak
bekerja mati-matian, tapi uang gaji dihabiskan untuk membayar kost.
Gara-gara
terlalu serius mengejar karier demi sebuah rumah, aku pun rela dua adikku
menikah duluan. Nggak apa-apa, toh hari gini wanita sudah biasa memilih karier
duluan daripada lembaga perkawinan. Itulah kenapa, Ricardo yang pernah mencoba
mendekatiku, lebih dari sekedar teman biasa sampai angkat tangan. Dia pun
terpaksa mengikuti kemauan orangtuanya yang pengen segera menimang cucu dengan
menikahi mantan sahabatnya di kampusnya dulu. Padahal kami sempat dua tahun
pacaran.
“Ngelamun lagi?
Banyak masalah ya?” tegur Ricardo, mengejutkan. Kuhargai banget, kelakuan cowok
itu tak berubah meski sudah menikah. Kami tetap baik, layaknya dua sahabat
karib. Saling mengingatkan dan menguatkan…
“Bingung Do…Suka
mimpi buruk. Tapi kalau dibilang mimpi, kok rasanya nyata.”
“Aura rumah kamu
kali, nggak cocok sama kamu?”
Astaga, cowok
berdagu belah dengan mata kecoklatan itu masih saja percaya takhyul. Nggak
berubah. Waktu pertama aku mengenalnya dulu, gara-gara ketemuan di kantin
kantor, sedang membaca ramalan bintang. Trus nggak lama, kami tahu ditugaskan
dalam satu divisi. Kulihat beberapa buku psikologi dan novel misteri ada di
tumpukan buku di samping meja kerjanya.
“Mulai deh,
cenayangnya mikir yang enggak-enggak…Udahlah, jangan bikin aku takut. Males
ngomongin begituan…Nggak percaya!”
“Nggak percaya,
kok takuttt??” ledeknya, sambil
menyodorkan secangkir kopi yang dia bawa. Mmm, baik juga. Ngebikinin kopi, saat
moodku lagi jelek.
“Serius, Cahaya.
Sebaiknya kamu konsultasi dengan psikolog atau paranormal kalau perlu.
Mimpi-mimpimu pasti ada artinya. Dulu, almarhum nenek juga sering cerita kalau
tempat tinggal kita seperti jodoh atau pacar. Musti ada kecocokan…Andai tidak,
bisa membuat kita apes melulu…”
“Ya ellahhh…hari
gini ngomongnya begituan…Udahlah, balik ke meja kamu dan kerja. Aku tambah
pusing nih dengerin rumpian ajaib itu,” protesku, sambil memberi kode agar dia
balik ke mejanya.
Pikir-pikir,
bener juga kali. Rumah baru yang kutinggali sekarang, nggak bawa hoki malah
sebaliknya? Gimana dong…Kan aku sudah membangunnya dengan susah payah. Desain
interiornya saja, aku ikut turun tangan.
Aku nggak bisa
begitu saja mempercayai omongan Ricardo, meski hati kecilku kadang pengen
membenarkan pendapatnya itu. Ntar juga aku terbiasa dengan rumah baru ini.
Sengaja, aku mengubah penerangan di kamar menjadi lebih terang dari biasanya.
Sprei, korden, karpet pun kuganti dengan warna lebih cerah. Tujuannya
sederhana. Ubah mood lebih baik. Tapi nyatanya? Nggak berubah juga… Minggu ketiga,
berat badanku sampai menyusut drastis. Gila banget, tiap hari ngerasain teror
tidak jelas. Sampai-sampai aku pun pindah, tidur di sofa, ruang tengah…Baru
deh, aku bisa merasakan tidurku lebih nyenyak. Meski suara aneh dan berisik
itu, tetap saja terdengar. Sumbernya ada di kamar!
Sibuk ngantor
bikin aku nyaris lupa dengan masalah di rumah. Toh, aku masih bisa
mengantisipasinya dengan pindah tidur ke ruang tengah, lantas mengenakan
earphone buat mendengarkan musik klasik sampai akhirnya benar-benar bisa
tertidur.
********
Fuiihh! Capek
juga keliling kompleks dengan bersepeda, minggu pagi ini. Olahraga ringan,
menyehatkan. Salah satu alasan aku memilih membeli tanah di kompleks ini ya
karena lingkungan sekitarnya, masih asri. Banyak lahan kosong, jalanannya pun
sepi. Cocok buat lari pagi atau bersepeda kalau lagi libur gini…
“Pagi mbak…
Tinggal di sebelah ya?” tegur seorang bapak tua. Kutebak usianya tidak beda
jauh dengan mama. Kelihatannya dia tengah menemani calon penghuni baru rumah
yang dibangun beda satu petak tanah denganku…
“Ya, pak…Mau
pindah ke sini, pak?” tanyaku, sambil menunjuk sepasang suami istri yang
berdiri tidak jauh darinya. Kelihatannya mereka tengah membicarakan tanah yang
mau mereka beli itu…
“Bukan saya
sih…Tapi adik saya bareng istrinya. Saya hanya mengantar, sekaligus melihat
kondisi tanah di sini. Soalnya saya musti memastikan, tanah di sini bagus…”
“Oh…bagus Pak.
Bukannya sekelilingnya masih asri, kompleksnya juga aman. “
“Bukan..bukan
itu maksud saya,” Bapak tua itu mengeryitkan dahi. Heran. Tatapannya nggak
lepas dari rumahku, lantas balik lagi ke tanah kosong yang ada di sebelah
rumah…
“Sebaiknya,
sebelum kita membangun rumah, pastikan tanahnya bersih. Nggak ada roh yang
terikat, penasaran di sana..” jelasnya lagi. Deg. Jantungku berdebar, kencang.
Bapak ini kupikir bercanda, tapi tatapannya serius. Dia nggak senyum sama
sekali…
“Ah, bapak
nakut-nakutin saja…Roh apa pak? Hantu gitu?”
“Iya…biasanya
tanah kosong itu, musti kita cek dulu asal usulnya. Kadang pernah digunakan
sebagai tempat pemakaman, bekas urukan danau atau tempat terjadi kecelakaan,
pembunuhan…” Wuihhh, tiba-tiba saja bulu kudukku meremang. Aneh-aneh saja nih
bapak, tapi tetap saja dia nyerocos…
“Adik saya sudah
mau beli tanah di samping rumah mbak, tapi saya minta dibatalkan. Musti beda
beberapa rumah dari sana. Karena tempat ini kan dulu pernah dijadikan tempat
pemakaman penduduk kampung, belakang kompleks ini sebelum akhirnya dibeli
kontraktor perumahan di sini. Kuburan yang ada memang sudah dibongkar,
dipindahkan ke tempat lain yang layak. Masalahnya, masih ada yang tertinggal
rupanya. Dia bisa mengganggu penghuni rumah, karena kediamannya diusik…”
Dug! Andai ada
cermin, kupastikan bisa melihat wajahku yang berubah pucat seketika. Ingin aku
tak percaya dengan komentar ngelanturnya itu. Kenyataannya, setelah kucek
kembali ke beberapa penduduk kampung seberang, baru kutahu kompleks perumahan
ini memang awalnya pernah digunakan sebagai kuburan.
“Sebaiknya kamu
bongkar lagi kamar, tempat sumber suara itu mengganggu,” saran Ricardo, ketika
akhirnya kuceritakan juga semua mimpi buruk dan komentar bapak tua yang aku
temui.
Takut? Nggak
boleh! Aku musti menghadapi apa pun masalah utamanya. Lagipula, aku juga nggak
mau melepaskan rumah yang sudah kubangun dengan hasil keringatku selama ini.
Tukang bangunan pun kupanggil, buat ngebongkar kamar. Sebelumnya aku juga minta bantuan dari guru
spiritual Ricardo.
Ya
Tuhan! Benar juga…Ternyata, tepat di bawah tempat tidurku masih ditemukan beberapa
tulang belulang dan rambut. Sepertinya kuburan yang ketinggalan, dipindahkan.
Entah bekas makam siapa atau kerangka siapa itu, tetapi aku meminta bantuan
orang untuk memindahkan dan menguburkannya dengan layak. Percaya atau tidak,
sejak rumahku direnovasi kembali dan tulang belulang itu dipindahkan, tidurku
tidak pernah diganggu apa-apa lagi. (Ft: berbagai sumber)
1 komentar:
kali ini ceritanya terasa nyata... brrrr... sereeem! aku suka..
sayang, terlalu pendek.. hihi..
*mulai BM*
terbitin novel lah mbak steeey! isinya kumpulan cerpen macam begini.. aku pembeli pertama deh...
Posting Komentar