Maaf. Judul ini
sebenarnya pernah digunakan senior saya, Budi Maryono atau Nora Umres dalam
salah satu novelnya. Entah, apa yang harus saya katakan, ketika hari ini saya
melihat beberapa foto Bapak Darmanto Jatman, budayawan dan penulis senior
angkatan Alm. WS Rendra dan Alm. Umar Khayam. Seluruh rambutnya memutih,
terduduk di kursi roda, …bahkan pedihnya lagi…beliau dikabarkan sulit mengenali
orang-orang yang datang. Bahasa beliau pun kacau. Ingin rasanya, detik ini saya
bisa terbang ke Semarang. Ingin rasanya, saya menggenggam erat tangannya dan
berkata…”Terima kasih, pak… Saya rindu wejangan-wejangan Bapak.”
Beliau bukan
hanya pernah menjadi dosen, ketua jurusan, pimpinan redaksi Koran Kampus
Manunggal yang ikut menempa saya, namun juga bapak yang suka menyentil
anak-anaknya dengan ledekan-ledekannya yang mencerdaskan kami. Saya ingat,
setiap kali koran kampus kami menulis terlalu tajam, hingga pihak rektorat
menegur dan memanggil beliau…Pak Dar hanya tertawa. Beliau menegur redpel kami
dengan bercanda. Beliau seakan memahami, ya..beginilah mahasiswa, kadang
dianggap terlalu vokal.
Meski karya beliau tak terhitung, tapi Pak Dar masih
mau menyempatkan diri “ngumpul” bareng kami setiap raker atau rapat redaksi.
Tongkrongannya pun sangat sederhana. Sepatu sandal, tas slempang dari kulit, menjadi
salah satu ciri khas Pak Dar. Saya ingat betul, ketika suatu hari harus
mewawancarai beliau untuk sebuah penerbitan di Semarang. Grogi, speechless…!! Padahal hampir setiap hari saya bertemu beliau
di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), kantor redaksi.
Beliau juga
sangat disegani di jurusan kami, Ilmu Komunikasi Fisip Undip… Banyak mahasiswa
senior saya mengatakan, beliau termasuk pembimbing skripsi yang “sulit”. Ah…pendapat
masing-masing orang berbeda, boleh saja kan. Yang jelas…saya tidak pernah
melihat atau mendengar beliau menghardik mahasiswa atau marah-marah. Selalu
semua hal beliau tanggapi dengan senyum…*** ya, meskipun kadang sambil mengomel….
Saya sangat
menyadari, waktu tidak bisa dihentikan. Saat ini pun, saya merasa semakin sepuh…emosi
dalam tulisan saya, gerak gerik, bahkan pikiran pun tidak setangkas beberapa
tahun yang lalu. Bila Pak Dar, semakin
sulit berkomunikasi, saya tidak bisa berkata apa-apa. Bibir saya kelu…Hati saya
sedih…Hari ini, mungkin saya masih berdiri sehat, tapi saya juga tidak tahu apa yang akan terjadi
dengan diri saya…satu, dua, tiga atau sekian tahun ke depan. Saya hanya bisa
berdoa, all the best buat Pak Darmanto yang pernah saya kenal (dan tidak
akan saya lupakan)…Saya bersyukur bisa belajar banyak dari beliau. Terima kasih, Pak Dar…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar