Gila!
Enak banget ya, gaya beberapa juru masak memotong bawang bombay dan wortel. Ada
tekniknya segala…Baru tahu, aku. Kebayang andai aku yang diminta memasak di
depan chef berwajah tirus dengan tatapan dingin itu. Widiiih…Berantakan,
pasti. Selain masih asing dengan
berbagai perlengkapan dapur, aku juga nggak tahan dengan cara chef ganteng itu
menatapku. Entah mengapa, setiap makan
di kafe yang dapurnya terbuka hingga pengunjung bisa melihat chef-nya
menyiapkan masakan ini, aku merasa cowok
itu sering mencuri-curi pandang. Bahkan pernah, beberapa kali kami bertatapan
cukup lama. Lantas tiba-tiba dia tersenyum… Astaga! Baru kusadar, dia tambah
manis!
“Geer
kamu, Min! Mana ada chef profesional, ganteng, sempat-sempatnya merhatiin
kamu…Jangan-jangan dia heran dengan cara makanmu yang rakus? Atau ada saos di
wajah kamu?” ledek Tyas, ketika mendengar ceritaku.
“Beneran!
Ntar kapan-kapan kita makan bareng di sana yuk…”
“Ya,
boleh-boleh. Kamu traktir aku gitu?” tantang Tyas lagi. Dasar nih cewek, paling
cepet ngebahas makan gratis. Sayangnya, kami memang nggak pernah ada waktu buat
jalan bareng akhir-akhir ini. Sejak ngurusin mamanya yang sakit-sakitan, Tyas
musti pulang tepat waktu.
Nyaris
bertolak belakang denganku yang tinggal di rumah kontrakan. Nggak mau ribet
memasak dan bengong sendirian, makanya setiap pulang kantor musti cari makan
dulu. Tiba di rumah, tinggal mandi, istirahat. Entah dapat bocoran dari siapa,
aku sendiri lupa, katanya makanan di kafe ini enak dan murah meriah. Ternyata
pas dicobain, bener saja…Menunya cocok dan lokasinya searah dengan jalan menuju
rumah. Selain itu, aku suka dengan tata letaknya. Pengunjung bisa melihat
koki-koki berpengalaman itu meracik, hingga menyajikan masakan pesanan mereka.
“Ada
pesanan tambahan, mbak?” tegur seorang pramusaji, setelah meletakkan menu
pesananku di meja. Lamunanku buyar seketika. Aku hanya senyum dan menggeleng.
Mmm, lagi-lagi cowok itu…Bukan aku kegeeran, tapi cowok berseragam chef itu
kuyakin banget memperhatikan aku sejak pesan makanan tadi. Moga-moga saja,
masakan dia tidak salah bumbu, gara-gara iseng ngelihatin pengunjung…
Jujur.
Lama-lama penasaran juga sama pemilik mata elang itu. Kebiasaannya suka
menatapku membuat aku suka tanpa sadar, mencari-cari sosoknya tiap datang ke
kafe ini. Seperti malam ini, ketika aku pulang larut dari kantor. Kulihat dari
pertama duduk, aku tidak melihat tanda-tanda chef itu ada. Biasanya cowok itu
suka mondar mandir, mengawasi beberapa stafnya. Kali ini hanya kulihat beberapa
juru masak, sibuk dengan racikannya masing-masing. Tak jauh dari mereka
bekerja, seorang bapak separuh baya berseragam putih layaknya chef mengawasi
mereka. Mmm…seniornya kali, batinku.
Nyadar
atau tidak, sop buntut yang biasa kusuka banget kini terasa begitu hambar.
Selera makanku hilang. Antara mikirin banyaknya proposal di kantor yang belum
beres atau si ganteng yang tidak muncul malam ini. Entahlah… Sejak tadi, nasi
di piring masih nyaris utuh…
“Maaf
mbak, kelihatannya tidak berselera malam ini…Ada masalah dengan masakannya?”
Suara datar itu mengejutkan. Lamunanku buyar. Ya ampun…Nggak salah lihat? Cowok
berwajah tirus itu sudah berdiri di sampingku dengan tatapannya seperti biasa.
Tajam, menusuk…
“Mmmm…Nggak…Nggak…Makan…Maksud
saya…” Busyet dah. Kenapa mendadak aku begitu gugup…
“Bila
ada yang kurang, mbak boleh utarakan pada kami. Kami terima masukan dari
pelanggan tetap seperti mbak kok…” Mmm, masih saja suaranya datar dan dingin.
Sekilas kulirik tanda pengenal di kemejanya, tertulis nama Jonas…Jadi si
ganteng ini Jonas namanya?
“Ya,
panggil saja saya Jonas, andai mbak ada masalah dengan menu kami. Selamat
menikmati hidangan kafe ini mbak…” katanya, lantas berlalu. Astaga. Tuh cowok
nggak ada basa-basinya juga. Kirain dia bakal begitu baik, bisa diajakin
ngobrol berlama-lama. Pikir-pikir, mungkin etika kerja juga. Meski malam ini,
dia tidak mengenakan seragam chef-nya seperti biasa, dia nggak boleh kelamaan
ngeladenin pengunjung kafe…Sudahlah, apa peduliku?
Kenyataannya,
Jonas benar-benar virus…Aku nggak bisa ngelupain cowok super cuek satu itu.
Kalau biasanya nongkrong di kafe itu karena tuntutan perut lapar, kali ini
malah karena desakan pengen bisa melihatnya lagi, lagi dan lagi. Heran. Bisa
kebetulan banget, setiap aku ngajakin teman kantor ke kafe ini, Jonas malah
tidak masuk. Bete banget. Padahal aku kan pengen banget, promoin
“kelucuan”-nya… Sebaliknya, chef senior yang sempat kulihat sebelumnya itu,
malah lebih sering lalu lalang mengawasi tiap hidangan yang mau disajikan.
*****
Malam
Jum’at yang menyebalkan. Meeting siang tadi di kantor, hasilnya tidak memuaskan
hingga terpaksa aku malam lagi. Seporsi nasi goreng ikan asin dan segelas ice
lemon tea sudah terhidang di meja, sejak beberapa menit lalu. Tapi belum juga
aku sentuh…
“Sibuk
banget, mbak? Makan dulu…Nanti keburu dingin, nggak enak…” tegur pemilik suara
datar itu. Konsentrasiku yang lagi asyik membaca beberapa berkas kantor, buyar.
Jonas? Nggak salah?
Cowok
dengan tatapan dingin itu, entah sudah berapa lama ada di berdiri di situ,
tepat di depanku, tanpa aku sadari. Tanpa seragam chef, hanya tanda pengenal
saja.
“Mmm…ya,
terimakasih. Saya sedang sibuk dengan berkas kantor saya…”
“Bila
ada masalah dengan menu kami, beritahukan saja ya… “ kata Jonas, sembari
menunjuk tanda pengenalnya. Entah kenapa, aku nggak bisa berkata apa-apa.
Lidahku mendadak kelu. Nggak menyangka, bisa sedekat itu dengan cowok yang
selama ini diam-diam menyita perhatianku. Dan belakangan baru kusadar, dia
tidak sedingin yang kubayangkan… Buktinya, tanpa sengaja aku bisa mengenalnya
lebih dekat. Ya, gara-gara sering kelihatan duduk makan sendirian…Jonas pun
biasa menemaniku ngobrol, saat dia tidak bertugas di dapur.
“Maaf
ya kalau kelihatannya saya terlalu tegang atau cuek… Soalnya setiap pekerjaan,
butuh keseriusan, konsentrasi. Saya nggak mau, pengunjung kecewa dengan racikan
saya atau mereka kelamaan menunggu. Jaminannya nama baik kafe ini kan…Artinya
mempertaruhkan nasib seluruh karyawannya juga,” kata Jonas, malam itu ketika
aku kembali makan malam di sana sepulang dari kantor.
Benar
juga! Nyatanya cowok ini jauh lebih baik dan perhatian dari yang kubayangkan
sebelumnya. Ngobrol apa pun, kami nyambung. Sampai-sampai ketika suatu malam
aku datang dengan wajah muram, karena habis kena semprot bos di kantor
seharian, Jonas bisa membuatku senyum lagi.
“Masalah
nggak akan ada habisnya. Hari ini kita sempurna, besok pasti ada celanya…Biar
nggak sakit banget, nikmati saja. Jangan terlalu happy saat kita dapat sesuatu, tapi juga jangan sedih dan depresi
banget saat apa yang diharapkan tidak sesuai kenyataan. Enjoy saja.” Fuiiih… Jonas. Tahu banget dia, gimana bikin hatiku
adem lagi.
Sayang
banget, waktu kami memang nggak banyak. Sebagian besar, habis di kantor. Andai
aku bebas, Jonas pasti masuk kerja. Sebaliknya, andai cowok bertubuh atletis
itu libur, akunya banyak acara di kantor. Hingga tidak ada kesempatan buat kami
ketemuan, selain di kafe tempat dia bekerja.
*******
Malam
Minggu. Pantas, kafe tempat Jonas bekerja rame. Tyas yang baru kali ini kuajak
makan bareng di sini, terlihat begitu antusias. Bolak-balik matanya melirik ke
arah dapur saji, hingga mau tidak mau membuatku jengah…
“Ssst…jangan
ditunjukkin gitu dong, kalau kamu mau lihat Jonas. Malu kan?!” tegurku setengah
berbisik. Apalagi kulihat, chef senior yang biasa bertugas selain Jonas itu
tengah memperhatikan kami.
“Cieeee….malu
atau cemburu? Sori, aku terlalu
antusias. Penasaran, mau tahu segimana dinginnya cowok yang membuat temanku ini
jatuh cinta…”
“Apa??!
Heiii..baru datang, udah bikin malu ya…Awas lho, jangan keceplosan ntar di
depan Jonas…” Panik banget aku. Cewek ini memang suka ceplas-ceplos. Gimana
coba, kalau Jonas tahu selama ini aku sering ngerumpiin dia dengan Tyas?
“Ngomong-ngomong,
mana Jonas… Buruan panggil dong…”
Aku
menggeleng-gelengkan kepala. Nggak sabar banget sih… Padahal dalam hati kecilku
juga kecewa. Kelihatannya Jonas nggak masuk hari ini. Sayang banget, sejak awal
kenal aku sama sekali tidak punya keberanian meminta nomer handphone-nya.
Padahal kami sudah sering ngobrol begitu dekatnya. Masa cewek duluan yang minta
nomer HP?
“Hus!
Jangan berisik. Sejak tadi kita diperhatiin chef senior itu tuh…tahu!” bisikku.
Tyas melirik ke arah dapur saji lagi…
“Mana?
Nggak ada tuh…. Cuma ada asisten-asisten chef di sana…” katanya lagi. Ah, yang
bener saja? Kulihat tadi, jelas-jelas bapak-bapak tua yang mengenakan seragam
chef itu memperhatikan kami berdua dengan tatapan dingin. Masa Tyas nggak
melihatnya?
“Masa
sih, Tyas. Ada tuh, bapak-bapak yang suka ngelihatin kita dari tadi… Gara-gara
kamu gelisah, memperhatikan anak buahnya bekerja kali…”
“Nggak
tuh..Nggak ada bapak-bapak tua, atau chef tua yang kamu bilang? Memang dia
seniornya Jonas?”
“Ya,
kali. Soalnya jauh lebih tua dari Jonas… Dia tuh yang suka memperhatikan aku
dan Jonas kalau lagi ngobrol. Sebel banget kan? Jangan-jangan sirik, karena
Jonas punya waktu senggang…Sementara dia tetap saja di ruangannya, nggak
kemana-mana…”
“Kamu
udah bilang Jonas? Kali itu atasan dia, ngerasa terganggu ngelihat kelakuan
kalian berdua…”
“Ya
ampun, Tyas. Nggak lah…Kami makan dan ngobrol biasa. Lagian di luar jam tugas
Jonas kok. Herannya laki-laki tua itu kenapa ya, merhatiinnya meja kami berdua
saja? Perasaanku jadi nggak enak deh, seperti ada mata-mata ngawasin,” ucapku
setengah berbisik. Entah mengapa, tiba-tiba perasaanku benar-benar nggak enak.
Dingin. Ngomongin bapak tua itu, hatiku jadi nggak tenang seperti
biasa….Perutku juga seperti diaduk-aduk, hingga aku pamit sama Tyas ke toilet…
Deg!
Jantungku mau copot rasanya. Gara-gara terburu-buru ke toilet, nyaris
bertabrakan dengan seorang laki-laki, bertubuh besar, jangkung dan … Astaga!
Chef tua itu…
“Maaf
mbak…Ingin ke kamar kecil? Sebelah kanan mbak, silahkan…” tegur pemilik suara
itu. Badanku mendadak terasa begitu dingin. Angin seperti berhembus di tengkuk,
hingga bulu kuduk ini meremang… Mata lelaki tua itu seperti ingin menguliti
aku…Tajam dan dalam. Ampun…Jangan-jangan… Tanpa permisi atau mengucapkan terima
kasih, buru-buru aku kabur kembali ke mejaku, tanpa ingat masalah perutku
lagi...
“Lho…kok
cepet? Kamu baik-baik saja? Pucat banget gitu, seperti habis ketemu
setan?” ledek Tyas, melihat aku sudah
duduk kembali di hadapannya.
“Gila!
Tadi aku nggak sengaja menabrak bapak tua yang kepala chef itu… Tatapannya aneh
banget. Buru-buru aja aku balik, sampai lupa kalau sakit perut…”
“Chef
tua? Mana sih? Kamu dari tadi bilang ada chef tua yang gantiin Jonas. Nggak ada
tuh? Ada juga chef muda yang tadi kutunjuk dan kamu bilang, dia bukan Jonas…”
Aku
mengusap mataku, lagi. Masa sih Tyas nggak nyadar, tadi ada chef yang sudah
bapak-bapak itu di sana? Berarti dia…?
*******
Bayanganku
yang serem-serem soal chef itu nyaris kulupakan. Bahkan aku tidak menceritakan
kejadian itu pada Jonas, takut dia menertawakan kekonyolanku. Hingga suatu
sore, ketika aku tengah makan sendiri di kafe itu seperti biasa…
“Terima
kasih, mbak. Kami senang, mbak salah satu pelanggan tetap di sini. Semoga
menu-menu kami tidak mengecewakan…” tegur pemilik suara berat itu. Jantungku
mendadak berdetak makin kencang. Bapak tua itu! Ya, chef senior itu…. Kini
sudah ada di depanku… Ya Tuhan, kenapa tanganku mendadak terasa begitu dingin ya?
Kulirik
sekilas, laki-laki tua ini tidak mengenakan seragam chefnya seperti biasa.
Mungkin dia sedang tidak bertugas di dapur. Ya Tuhan, ngapain dia dekat-dekat
aku? Untung dia segera berlalu. Iseng-iseng, kupanggil seorang pramusaji yang
tengah melintas di dekatku.
“Mas,
tahu nggak chef kepala yang sudah bapak-bapak itu?”
“Ohh…Chef
Dudy? Dia memang senior di sini mbak, selain chef Radit. “
“Chefnya
bukan tiga? Ada Chef Jonas juga?” tanyaku, penasaran. Cowok yang masih
kelihatan muda banget di depanku itu mendadak wajahnya berubah pucat dan sedih.
“Maaf
mbak, memang betul dulu ada asisten
chef, Chef Jonas. Sayangnya waktu terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan
sebagian besar dapur kafe ini, beliau meninggal, terperangkap api…”
Keringat mendadak membanjir di
keningku. Jantungku seperti berhenti berdetak. Matamu terasa berat,
berkunang-kunang. Berarti Jonas…(Ft: berbagai sumber)
1 komentar:
berani taruhan 10 kantong keripik pedes, Chef JOnas ini adalah versi unreal-nya Chef Juna! haha...
Inti cerita sih masih sama kek kemaren2 walau dengan setting yang beda mbak stey, dimana tokoh kedua itu teryata udah meninggal. Coba diganti sekali-kali hehe..
Tapi, aku suka detilnya. aku pernah bilang kan, cerita mbak stey ini kuat di detil, bikin tokohnya terasa hidup. Kejadiannya terasa nyata dan kayak lagi nonton kehidupan tetangga sekitar.
jadi.. gimana taruhan kita? haha...
Posting Komentar