Pagi
yang dingin dan basah. Hujan yang sejak subuh tadi mengguyur Semarang, membuat
udara pagi ini terasa membekukan. Sungguh, kalau sudah begini cuacanya, aku
pengen tidur lagi, sambil memeluk guling dan mimpi indah. Sayang sekali, hari
ini bukan hari Sabtu atau Minggu. Artinya, beberapa pekerjaan kantor sudah
menunggu. Pasti, kartu absenku berwarna merah, andai datang kesiangan. Alamat
bakal ditegur bagian personalia…Bukan masalah tegurannya itu, tetapi malu. Masa
karyawan baru, belum ada enam bulan sudah lelet kerjanya?
Untung.
Manusia menemukan minuman yang namanya kopi. Setidaknya, pagi ini segelas kopi
mampu membuatku sedikit bersemangat. Sambil menguyah roti bakar, kuambil
beberapa lembar koran pagi. Ya, masih ada waktu…Lima menit baca koran dulu.
Ffuih.
Beberapa judul berita di halaman kriminalitas, membuatku bergidik. Orang
sekarang, tega-tega. Gimana nggak…Kubaca sepasang suami istri tewas diberondong
senjata api, ketika sedang memarkir mobil di garasi rumah mereka sendiri.
Untung, anak tunggal mereka yang berada dalam mobil itu juga, hanya luka-luka
di bagian kaki. Tapi trauma dan masa depan anak itu, mmm…tidak bisa ketebak.
Suapan
roti kedua, nyaris aku tersedak. Lagi-lagi seorang perempuan separuh baya
ditemukan tewas di rumahnya sendiri, gara-gara dirampok. Leher wanita itu
terdapat bekas cekikan dan pisau yang membuat isi perutnya terburai, tergeletak
tidak jauh dari jenasahnya. Apa nggak bisa ya, perampok itu mengambil saja
barang-barang yang dia jarah, lantas pergi? Wanita tua itu cukup diikat atau
dikunci dalam kamar…. Aku geleng-geleng kepala, pusing. Kurasa makin banyak
manusia stress, sampai tidak bisa menggunakan hati nuraninya.
Bing!
Tanda ada pesan masuk di HP. Ugh. Kiki. Lagi-lagi cowok blasteran
Belanda-Manado itu mengingatkanku... Dia memang paling rajin, absen pagi.
Sekedar ngingetin sarapan, berkas yang musti kubawa, ngecharge HP lowbatt,
sampai memilih jalur alternatif, agar nggak terjebak macet. Awalnya kuanggap
dia lebai…Bawel. Gimana nggak, hampir tiap pagi ada saja pesanannya. Tapi
realitanya, banyak juga manfaat sms-sms dari Kiki. Entah mengapa, dia ngingetin
di saat yang tepat.
Minggu lalu
misalnya, dia ngingetin aku musti memilih mengambil jalan pintas yang musti
masuk kampung. Padahal biasanya, aku paling malas. Apalagi kalau habis hujan,
jalanan di kampung itu becek banget. Banyak anak kecil juga suka jalan
seenaknya, tanpa memperhatikan mobil yang lalu lalang, hingga kita musti bawa
mobil ekstra hati-hati. Benar juga feeling
dia. Esok paginya kubaca di surat kabar, sebuah pohon tumbang di jalan yang
biasa aku lewati, hingga lalu lintas macet total.
Jelang
penandatanganan sebuah proyek baru di kantor, aku ditugaskan boss mengerjakan
beberapa proposal penting, tiga hari lalu. Seingatku, semua berkas sudah
kurapikan dalam tas. Untung, sms Kiki pagi-pagi membuatku mengecek ulang isi
tasku. Benar saja. Ada satu map tertinggal di laci meja. Padahal map itu berisi
surat-surat penting.
Kiki
juga pernah bilang dalam sms, pagi ini sebaiknya aku tidak membeli sarapan
pagi. Bikin mie instant saja sendiri, kalau bosan roti bakar tiap hari. Jangan
jajan…, katanya. Tapi sms itu aku cuekin. Aku membeli seporsi bubur ayam yang
dulu pernah menjadi langganan keluarga. Entah kenapa, belum sempat berangkat
kantor, aku langsung diare. Bolak balik ke belakang, sampai badan lemas.
Akibatnya hari itu musti ijin, tidak masuk kerja. Ingat sms Kiki, aku jadi
menyesal…Andai kupatuhi saja, nasehatnya. Padahal tuh tukang bubur sudah
langganan dulu, kok bisa-bisanya aku apes.
Bing!
Sms dari Kiki, masuk lagi. Tadi belum kubalas, pasti dia masih penasaran. Mmm,
pesannya pagi ini singkat saja. “Jangan mampir-mampir. Langsung saja ke
kantor,” kata Kiki. Aneh. Memangnya aku mau mampir ke mana? Nggak biasa, aku
berhenti di warung atau rumah teman, sebelum ke kantor. Ya, sudahlah. Sms itu
kubalas dengan kata “ya” saja, biar dia puas. Karena kalau tidak, pasti menyusul
sms berikutnya.
Bener-bener.
Senin hari membetekan se-dunia. Jalanan macet. Kuambil jalan pintas saja, lewat
kampung. Lumayan. Biar sedikit becek, tapi aku bisa tiba tepat waktu. Nggak
akan kubiarkan kartu absenku merah.
“Tolong
nak… Kasihani kami…” Hah! Buru-buru kuinjak rem, kuat-kuat. Kulihat seorang
ibu-ibu tua dengan kain lusuh menjadi penutup kepalanya, berdiri di pinggir
jalan. Tapi dia terlalu ke tengah, sehingga mau tidak mau membuat siapa saja
yang lewat melihatnya. Untung, jalanan masih sepi. Kalau tidak mobilku bisa
diseruduk dari belakang, main ngerem mendadak.
“Tolong
nak…Kasihani kami…” katanya lagi… Tangan ibu tua renta itu menengadah, seakan
minta sesuatu dariku, setelah mobil ku parkir di pinggir jalan. Kasihan. Pasti
dia pengemis atau gelandangan yang biasa beredar di dekat lampu merah. Nggak
ada salahnya, aku berhenti. Kuambil uang dari dompet, lantas kusodorkan ke
wanita yang menyambutnya dengan mata berbinar…
“Makasih…makasih
nak…Kamu baik…Makasih…”
“Ya,
Bu…Hati-hati. Jangan di tengah jalan begini, nanti bisa kesambar kendaraan yang
lewat.”
“Nggak
apa-apa, nak…Ibu sudah biasa...Kalau tidak, semua pengendara nggak melihat
ibu…” Aku geleng-geleng kepala. Naluriku sebagai perempuan yang memiliki ibu
sebaya beliau, tersentuh. Andai mama masih ada…
“Nak,
hati-hati ya…Ibu doakan kamu banyak rejeki…” ucapnya sambil menarik tanganku,
hendak menciumnya. Jelas saja aku jengah. Masa ibu serenta itu mencium
tanganku…
“Ya…iya
bu…Terima kasih. Saya jalan dulu ya. Takut terlambat kerja,” tuturku pamit.
Kulihat bayangan ibu tua itu terakhir kalinya dari jendela mobil, sebelum
akhirnya aku tancap gas ke kantor.
*******
Malam
Kamis, kelabu. Mustinya aku bisa pulang cepat, andai saja Renata teman satu
divisiku masuk. Cewek yang sudah memiliki dua putra itu, absen. Alasannya si
bungsu sakit. Huuhh! Ya, ginilah resikonya. Anak baru, kejatuhan jatah
nyelesaiin semua peer dia yang belum beres, hingga aku musti pulang larut.
“Mau
kutemenin pulang?” tawar Kiki yang tiba-tiba sudah muncul di depan pintu, ruang
kerjaku.
“Temenin?
Ah, nggak lah… Jurusan kita beda. Lagian, kita konvoi gitu, bawa mobil? Ada-ada
saja…” Aku meringis, mendengar ide kocaknya. Tapi kulihat, Kiki tidak tersenyum
atau tertawa. Raut wajahnya serius…
“Perasaanku
nggak enak, Cyn… Aku serius!”
“Hush!
Jangan nakut-nakutin ah… Kamu pikir, karena aku cewek, trus takut
gitu…Gini-gini aku juga bisa beladiri. Inget kan? Aku pegang ban hitam, karate.
Mau coba?”
Kiki
menggeleng. Dia lantas mengambil kursi di depan mejaku, lantas duduk di situ…
“Bener.
Niatku baik. Kutemenin. Konvoi sekali-sekali nggak apa-apa.” katanya, sambil
mengetuk-getuk jari di meja. Seperti kebiasaannya…
“Nggak
lah…nggak apa-apa. Makasih banget, kamu perhatian. Doain saja, nggak ada
apa-apa. Aku selamat sampai di rumah,” kataku lagi. Laki-laki bertubuh jangkung
itu pun hanya bisa angkat bahu, menyerah…
Cuaca
malam ini, bagus. Nggak hujan. Nggak ada salahnya pulang kemalaman sendiri.
Sehabis membereskan semua berkas kantor, kuambil kunci mobil dan pulang! But, astaga…kenapa
perasaanku nggak enak ya? Gara-gara terpengaruh kata-kata Kiki, kali. Sejak
keluar dari parkiran, feeling-ku
mengatakan malam ini tidak seperti biasanya. Rasanya gamang dan sepi. Sedih,
entah kenapa.
Mungkin
karena terlalu capek, hingga tanpa sadar aku terkantuk-kantuk…. Bing! Ampun,
sms dari Kiki pasti! Sekilas dengan tangan kiri, kubuka HP. Bener saja. Pesan
cowok itu singkat. “Hati-hati…Jangan perduliin sekitar, jangan mampir.”
Aneh…
Mampir? Mau kemana aku malam-malam begini? Tanpa sadar, aku senyum-senyum
sendiri. Cowok itu mirip paranormal saja, omongannya nakutin tapi sering
kejadian. Ffuih! Kupindahkan HP ke tangan kanan, sambil tetap menyetir aku coba
balas sms Kiki…tapi…
Brrakk!
Astaga! Suara apaan tuh? Mobilku seperti habis menggilas sesuatu…Jantungku
berdetak cepat. Apa ada polisi tidur di daerah sini? Kayaknya bolak balik aku
lewat sini, nggak ada. Buru-buru aku mengurangi kecepatan…Kulihat sekelilingku,
sepi…Gelap. Mobil tetap saja dengan kecepatan lambat…Hingga mataku menangkap sebuah
bayangan! Seorang wanita tua, berjalan terbungkuk-bungkuk di pinggir jalan. Dia
tidak sendiri…Ada seorang tukang becak yang menuntun becak di sampingnya…Aneh!
Malam-malam gini, wanita tua itu masih keluyuran.. Tapi hati kecilku
mengatakan, mungkin dia butuh bantuan…
Kuhentikan mobil di pinggir jalan, hingga wanita itu
akhirnya mendekat ke mobil…
“Ibu?
Kok malam-malam masih jalan?” Bener-bener terkejut aku dibuatnya. Wanita itu,
ibu tua yang sempat kuberi uang beberapa hari lalu. Pengemis yang nyaris
kuserempet, karena jalan di tengah jalan…
Wanita
itu hanya menatapku dengan tatapan nanar. Wajahnya kuyu dan pucat. Kasihan.
Jangan-jangan dia lapar atau kedinginan, malam-malam di jalanan. Sementara
bapak becak yang menemaninya juga sama, kuyu. Kutebak usia mereka hampir sama…
Astaga. Kenapa hatiku jadi trenyuh begini ya…
“Ibu
mau pulang ya…Naik becak? Kenapa nggak dinaikin? Masih jauh rumahnya?” Kulihat
sekilas, laki-laki tua itu menunduk. Dia hanya menunjuk roda becaknya yang
kempes. Astaga. Kasihan bener. Nggak tega…
“Ibu
mau saya anterin? Ikut saya?” Wanita itu menggeleng, lantas memeluk lelaki
abang becak tadi. Oh, mungkin dia suaminya? Aku hanya bisa menebak-nebak
sendiri. Entah, kenapa pengemis dan tukang becak ini tidak berkata sepatah kata
pun. Mungkin malu, capek atau segan…
Kuambil
lembaran uang yang tersisa di dompet, lantas kusisipkan dalam genggaman tangan
wanita tua itu. Dingin. Tangannya kurasakan begitu dingin. Lagi-lagi, hatiku
trenyuh. Sudahlah, ntar aku malah menitikkan air mata di sini. Buru-buru aku
pamit, lantas tancap gas…
Jum’at
pagi yang menyenangkan. Selesai sarapan dan membaca sms Kiki seperti biasa,
kuambil kunci mobil, bergegas hendak ke kantor. Kali ini aku bisa masuk kantor
lebih pagi…Kulihat Kiki sudah duduk di ruanganku…Aneh. Semangat banget tuh
cowok…
“Pagiiiii
Cyntia! Gimana semalam? Nggak mampir kan? Aku udah khawatir saja…ternyata pagi
ini kamu bisa ngantor tepat waktu. Syukur!”
Aku
menggelengkan kepala. Meski mau nggak mau, perasaan bersalah menggangguku juga.
Semalam kan aku berhenti di jalan, gara-gara nggak tega melihat pengemis dan
tukang becak itu…
“Ada
apa memangnya Ki? Lama-lama kamu seperti paranormal deh, punya indra
keenam…Saranmu suka ada benernya…”
“
Dasar! Memangnya aku cenayang? Aku hanya khawatir saja, tingkat kejahatan
sekarang kan tinggi. Gila-gilaan, nekad. Kalau ngerampok saja nggak apa, tapi
main bunuh…” katanya, sambil nyodorin koran pagi. “Lihat nih, barusan ada
seorang pengemis dan tukang becak dibunuh preman-preman yang memalak uang mereka…Korbannya
dibiarkan terkapar di jalan…Tuh deket jalanan kampung yang biasa kamu lewati…”
Glek! Aku tersedak. Kurebut koran
yang tengah dipegang Kiki…Benar saja, berita tentang terbunuhnya seorang
pengemis dan tukang becak ada di sana. Mereka pasangan suami istri yang
ditodong kawanan preman. Sadis. Bulu kudukku pun meremang…Semalam, siapa ya
yang aku temui? Benarkah itu mereka? (Ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar