Jujur saja. Aku
suka ketakutan sendiri, setiap kali berada dalam rumah yang baru sebulan aku
tinggali. Meski sejak kecil, keluarga besarku mengajarkan anak-anaknya untuk
tidak pernah takut hantu dan sejenisnya, termasuk cuek dengan takhayul toh bulu
kuduk ini suka berdiri. Biasanya jelang magrib, Mbak Nur yang bekerja merapikan
rumah sudah pulang. Terpaksa aku sendirian, menunggu Mas Fahri pulang kantor.
Aku tidak habis
pikir, mengapa laki-laki yang menikahiku setahun yang lalu itu menyukai rumah
ini. Katanya, pertamakali dia menginjakkan kaki di rumah berasitektur Bali itu,
dia langsung jatuh cinta. Bahkan mati-matian, dia berusaha meyakinkan aku untuk
menjual rumah lama kami, lantas pindah ke sini. Memang sih, lebih luas. Kami
bisa menghabiskan waktu dengan duduk di teras belakang rumah, sambil memandang
sepasang patung penari yang ada di depan
kolam ikan.
“Ngapain takut,
Ta… Nggak ada apa-apa. Paling itu perasaanmu saja. Jangan dilebih-lebihkan,”
tegur Mas Fahri sore itu, ketika mendengar pengaduanku lagi.
“Ngomong sih
gampang, mas…Tapi kita yang mengalaminya yang tidak enak. Bayangkan saja, tiap
abis magrib bulu kudukku sering berdiri. Rasanya ada seseorang suka mengamati
aku diam-diam, ketika aku sedang menyiapkan makan malam di dapur atau memeriksa
pekerjaan kantor di teras belakang.”
“Tapi nggak ada
siapa-siapa kan?”
“Masa nunggu aku
ketemuan beneran dengan orang itu mas? Kamu nggak mengkhawatirkan istrimu ini? Kamu menunggu, suatu hari menemukan aku
tergeletak karena mati ketakutan?”
Mas Fahri
tergelak, mendengar nada suaraku mulai parau. Tanda aku, marah. Ya, bayangin
saja. Kita benar-benar takut, eh…orang yang kita harapkan bisa melindungi malah
cuek.
“Sudahlah
sayang, buang jauh-jauh rasa takutmu itu. Percaya deh, nggak akan ada apa-apa.
Mungkin belum terbiasa saja. Namanya juga rumah baru…”
Ya, sudahlah.
Berdebat dengan cowok yang pandai menentramkan hatiku itu, tidak ada gunanya.
Kami berdua memang nyaris bertolak belakang. Aku tipe orang yang gampang panik,
suka ceplas ceplos dan meledak-ledak. Seringkali kata hatiku mengalahkan
logika. Sementara Mas Fahri sabar banget. Dia selalu mengutamakan bukti dan
logika, daripada feeling.
Sore ini,
tenagaku seperti terkuras habis. Gara-gara Mbak Nur tidak masuk, terpaksa semua
pekerjaan rumah tangga kukerjakan sendiri, sepulang dari kantor. Memasak,
mencuci semua perabot, pakaian, sampai merapikan rumah. Fffuihh! Ternyata nggak
mudah…Capek banget!
Sambil membaca
koran edisi hari ini di teras belakang, kuselonjorkan kaki di atas kursi.
Segelas coklat susu dan sepiring pisang goreng, tergeletak begitu saja di meja.
Benar-benar kuingin santai, setelah pusing seharian…
Bbbrr…Astaga!
Aroma cendana itu lagi…Tiba-tiba udara dingin terasa meniup tengkukku. Baru
kusadar, suasana sore ini benar-benar sunyi. Nggak ada suara musik dari CD
player yang biasa kuputar di ruang keluarga. Keheningan begitu menggigit.
Tiba-tiba sekilas mataku menangkap bayangan seseorang di dekat kolam. Aduh,
kenapa perasaanku jadi nggak enak begini ya?
Plung! Seakan
ada sebuah benda yang dilemparkan dalam air kolam. Suaranya jelas banget…tapi
tidak ada siapa-siapa. Ah, mungkin saja itu suara kodok atau ikan yang melompat
di kolam. Aku berusaha mengusir ketakutanku yang datang tiba-tiba. Padahal,
bulu kudukku jelas-jelas berdiri. Aroma cendana makin santer tercium.
Tanpa kusadari,
telapak tangan ini sudah basah oleh keringat. Jantungku terasa berdebar makin
cepat, apalagi ketika kusadar…pintu yang menghubungkan teras belakang dengan
ruang keluarga tiba-tiba tertutup!
“Aduh, Mas Fahri
ya…Jangan becanda dong, mas!” tegurku, setengah berteriak. Pasti cowok itu
bermaksud menggodaku. Kecurigaanku ini beralasan, karena waktu perploncoan di
kampus kami dulu, dia pernah menakut-nakutiku sampai aku pingsan ketakutan.
Tak ada jawaban.
Sepi. Kulirik sekelilingku lagi…Ya ampun…Perasaanku mengatakan, dua patung
penari itu sepertinya memperhatikan aku dari tadi! Matanya seakan melotot
dengan mulut menyeringai, lidahnya menjulur pantang dengan gigi-gigi bertaring…astaga!
Rasanya aku melihat wajah patung itu makin menyerupai manusia beneran, tetapi
mulutnya mengerikan.
Kakiku lemas.
Kuingin lari, tetapi rasanya badan ini terpaku erat di kursi. Persendian lemas.
Keringat membanjir. Detak jantungku pun seakan berdetak makin kencang dan tidak
beraturan.
“Tolong…tolong,
jangan ganggu saya….” Suaraku terpatah-patah, parau. Pusing. Sekujur tubuh
seperti lunglai tak bertenaga. Dua patung penari itu….ampun! Bergerak ke
arahku. Aku berusaha bangkit sekuat tenaga, lantas berlari masuk ke dalam
rumah. Lagi-lagi, aku terhalang pintu yang menghubungkan teras belakang dengan
ruang keluarga. Masa pintu itu terkunci sih?
Keringatku
membanjir. Mataku sudah pedih kena tetesan keringat yang tak bisa kubendung
lagi. Pandangan mengabur, tak jelas…apakah benar yang kulihat. Patung itu
benar-benar berjalan, mendekatiku. Dekat…semakin dekat…
Sekuat tenaga,
tanganku berusaha mendorong pintu yang terkunci, sekuat tenaga. Tak
kuperdulikan lagi, tangan dan kakiku sakit menendang pintu yang terbuat dari
jati itu…Hingga tiba-tiba pintu terbuka. Seseorang telah membukanya dari dalam!
Ampun, bayangan hitam itu seperti begitu dekat denganku…Tanpa berpikir panjang,
kuterjang saja sosok tak jelas di depanku itu, sebelum akhirnya aku pingsan…
****
Kuta, siang ini memang panas sekali. Meski sudah
menggunakan lotion buat melindungi kulit dari teriknya matahari, tapi bisa
kupastikan besok-besok kulitku sudah belang lagi. Tanda terbakar. Sepiring nasi
campur khas Bali lengkap dengan juice jeruk kesukaanku, sudah tandas
kuhabiskan. Mas Fahri belum juga muncul…
Capek juga,
duduk-duduk sendiri di kafe ini tanpa ada teman ngobrol. Tapi daripada aku
ditinggalin di rumah sendirian, lebih baik aku mencari udara segar di sini.
Yup! Sejak kejadian Mas Fahri menemukan aku pingsan di rumah, laki-laki itu
lebih berhati-hati. Andai tidak ada teman di rumah, seperti Mbak Nur atau teman
kantor yang main ke rumah, pasti dia mengajakku ikutan. Misalnya dia meeting di satu lokasi, aku bisa
menunggu dia di kafe dekat tempat dia bekerja.
Siang ini, dia
mengajak aku makan siang di kafe ini. Lokasinya memang dekat dengan kantorku,
jadi nggak ada kesulitan buatku ke sini. Masalahnya hampir sejak aku menunggu,
Mas Fahri tidak muncul juga. BBm dariku pun tidak dia balas…Huh! Padahal
seingatku, dia selalu menepati janji…
“Menunggu
seseorang nak?” tegur seorang perempuan separuh baya, mengejutkan aku. Kutebak
usianya sekitar 50 tahun-an, tapi dandanannya funky sekali. Baju hitam,
berumbai-rumbai, full colour dengan kalung dan gelang berderet dari
batu-batuan. Garis matanya dia pertegas dengan eye liner, sementara eye
shadownya warna terakota. Mmm, ingatanku langsung ke dongeng nenek sihir tempo
dulu…
“Jangan
bandingkan saya dengan dongeng nenek sihir ya nak? Ibu hanya bisa membaca
peruntungan seseorang…”
Deg! Jantungku
mau copot. Kok dia bisa membaca isi pikiranku sih? Jangan-jangan…
“Ah, tenang
saja…Saya tidak bermaksud jahat sama kamu kok, nak. Tenang saja. Sebaliknya
saya berniat baik. Ingin menolong….”
“Menolong?
Ibu…maaf, saya panggil Ibu saja ya… Maksud Ibu?” tanyaku terbata-bata. Tanpa
disuruh, wanita itu menarik kursi di sampingku, lantas duduk. Aroma melati
menusuk penciumanku seketika…Ampun…Sudah tahu, aku paling phobia bau
bunga-bunga-an…
“Maaf, kamu
nggak suka ya dengan parfum saya?”
Ampunnn! Badanku
lemas…Rasanya semua isi otakku, dia tahu.
“Sudahlah, nak.
Nggak perlu ketakutan begitu…Ibu hanya ingin membantumu… Panggil saja saya ibu
atau nenek, sesuka kamu. Tapi saya belum tua-tua amat kan…” Dia terkekeh,
berusaha mengajakku bercanda. Aku menjadi malu sendiri, menyadari sejak tadi
kelihatan begitu tegang.
“Ya, Bu…Ibu
masih muda, belum pantas dipanggil nenek…”
“Betulll… Kamu
memang pandai menjaga hati orang lain. Nggak suka menyakiti sesama, makanya
saya ingin membantu kamu…”
“Saya masih
bingung…Maksud ibu apa? Dibantu apa?”
Wanita itu
menatap mataku dalam-dalam. Tangannya yang mulai keriput itu menggenggam
tanganku. Dingin Lantas dia menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala…
“Kamu dalam
bahaya, nak…Lebih baik, kamu tinggalkan rumah kamu sekarang. Paling lambat dua
purnama dari sekarang. Sementara hindari kebiasaan memancing kehadirannya
dengan benda-benda kesukaannya…Ibu mengingatkan saja. Bayangan gelap itu sudah
bisa terbaca.”
Aku
menggeleng-gelengkan kepala, nggak tahu apa maksud wanita ini. Kehadirannya?
Dia siapa? Aku suka memancing kehadirannya? Aduh…
“Lebih baik,
secepatnya…Ya, secepatnya. Hindari mengusik kediamannya. Nanti kamu kena tulah
juga nak..meski kamu sebenarnya tidak bersalah. Saya kasihan sama kamu…”
“Maksud ibu?
Rumah saya tidak bagus saya tinggali? Siapa yang merasa diusik? Kenapa saya
dianggap memancing dia muncul?”
Wanita tua itu
mengangguk-angguk. Tangannya dia tangkupkan di dada, sepertinya dia membaca
mantra. Aneh banget ini orang…Aku jadi curiga. Jangan-jangan aku tertipu dengan
orang gila…
“Jangan
main-main, nak…Saya serius. Dua purnama saja waktumu, kalau mau selamat.
Pergilah…Jangan di situ lagi. Dia tidak suka dengan kehadiran kamu…”
Nafasku
tercekat. Benar. Kali ini kulihat wanita itu memang serius. Nggak
main-main…Masalahnya, aku tidak tahu bagaimana caranya pindah dari rumah yang
baru kami beli? Jelas tidak masuk akal, kalau aku ngotot minta pindah sama Mas
Fahri hanya gara-gara mendengar ceracauan orang yang baru aku kenal.
Andaikan Mas
Fahri ikutan mendengarkan omongan wanita itu…Huh!
*******
Obrolan dengan
perempuan tua di kafe siang itu, nyaris aku lupakan. Dua hari ini Mas Fahri
tugas ke Tabanan. Artinya, aku musti tidur sendiri. Mbak Nur sudah kubujukin
menginap, tetap saja tidak mau. Ya, jelas saja. Anak-anaknya masih kecil.
Acara televisi
malam, membosankan. Baru saja kumatikan. Lantas kuputar CD kesukaanku…Sambil
menyelonjorkan kaki di sofa ruang keluarga, aku membaca sebuah novel yang baru
kubeli kemarin.
Blar! Astaga…Nyaris
aku melompat, kaget. Seakan ada orang yang menghempaskan pintu ruang belakang.
Padahal kuyakin banget, sebelum magrib sudah kukunci rapat-rapat. Sejak
kejadian aku pingsan, aku memang malas berlama-lama di teras belakang lagi
kecuali Mas Fahri menemani.
Tubuhku
bergetar. Kurasakan angin dingin meniup tengkukku. Aroma cendana itu jelas
tercium Lampu hias yang tergantung di langit-langit rumah, kulihat
bergoyang-goyang bersamaan dengan suara
CD playerku yang makin kencang volumenya. Kulihat seperti ada bayangan
gelap berkelebat. Tapi ketika kuperhatiin lagi, tak ada siapa-siapa di
sana…Kakiku gemetar, seperti tidak memijak lantai. Lantas suara lirih itu
terdengar, suaranya begitu jauh tapi jelas…Seperti lolongan…
Tubuhku
serasa limbung. Tanah yang kupijak seakan bergoyang, diikuti semua perabot di
rumah ini yang berubah menakutkan. Aku seperti terjebak dalam bangunan tempo
dulu, kastil atau rumah tua yang kotor, gelap dan menakutkan. Suara rintihan
dan lolongan itu makin jelas terdengar, bersamaan dengan terbukanya pintu
belakang secara paksa…Astaga! Bukankah wujudnya itu seperti…. Lidahku kelu,
tiba-tiba kuingat cerita masyarakat tentang adanya kuntilanak di tanah Jawa,
sementara di Bali kita dengar ada leak yang sering digunakan untuk mencari
pesugihan dan balas dendam.
Ingin
rasanya aku teriak, berlari atau melemparkan apa saja ke arahnya, untuk membela
diri sendiri. Tapi badan serasa kaku, lidah kelu, tatapan mata memerah dengan
lidah menjulur mengerikan itu semakin dekat..dekat dan….kurasa aku sudah
terhempas dalam lubang yang sangat dalam. Gelap. Dingin.
*******
Tiga
hari aku terpaksa menginap di rumah sakit, tanpa diketahui pasti apa jenis
sakitku. Dokter yang meminta aku rawat inap pun, bingung. Semua hasil check up
bagus, tetapi aku seringkali mengigau dan demam tinggi. Bayangan menakutkan,
sosok perempuan dengan lidah terjulur itu selalu datang dalam mimpi. Bahkan
rasanya, dia begitu nyata dan dekat, sampai-sampai Mas Fahri berkonsultasi dengan seorang
psikolog untuk meringankan bebanku.
Lewat debat
panjang, akhirnya laki-laki yang aku cintai itu angkat tangan, menyerah. Dia
setuju juga, kami pindah dari rumah yang nyaris membuatku gila itu. Sebagai
pendatang, seharusnya kami memang sejak awal berhati-hati dan mendengarkan
nasehat orang tua, sesepuh di daerah masing-masing. Karena belakangan aku
ketahui lewat seorang ketua adat, kemungkinan besar makhluk yang aku anggap
khayalan itu sebenarnya rangde atau rangda.
Ingin rasanya aku menutup
rapat-rapat cerita ini. Mengingatnya lagi, hanya membuatku dihantui mimpi
buruk. Baru kutahu, rumah yang kami tinggali sebelumnya merupakan tempat
tinggal sebuah keluarga yang eyang mereka, belajar ilmu leak. Konon penganut
ilmu hitam ini harus makan 108 bayi. Semakin banyak bayi yang mereka korbankan,
kesaktiannya makin hebat. Mereka tidak hanya bisa mencelakai musuh, tapi juga
bisa mengobati orang sakit. Saat
seseorang tengah kemasukan ilmunya, sosoknya bisa berupa rangde. Wanita
berambut panjang dengan mulut bertaring, lidah merah terjulur dan kuku-kukunya
panjang. Rupanya eyang mereka masih tidak terima, meninggalkan rumah itu. Aku
bersyukur…setidaknya, mimpi-mimpi menakutkan itu tidak datang lagi. Keluarga
kecilku pun terselamatkan. Apalagi baru kutahu, aku tengah mengandung tiga
minggu. Mungkin bawaan bayi…perasaanku lebih peka dari biasanya. (FT: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar