Gila!
Gaji 62 juta plus tunjangan 200 milyar, tidak cukup? Curcol orang nomer satu di
negeri ini, spontan bikin “masyarakat” berang. Ya, meski masyarakat yang mana
dulu nih? Kalau saya, cuek saja tuh. Namanya juga curhat. Boleh dong…Dia juga
manusia biasa, pegawai yang tiap bulannya menggantungkan asap dapur dari G.A.J.I…
Curcol
itu pun biasa kita dengar toh? Nggak di rumah, di kantor, di komunitas kita…Apalagi
kalau soal ngebanding-bandingin. Paling doyan deh. Mmm…kantor A, karyawan baru
saja gajinya segini, kantor B tingkat managemen sudah dapat sekian lho…Belum
lagi kantor C. Bla…Bla..Bla..Nggak ada habis-habisnya kalau dihitung,
dibandingin dan dipikirin mlulu. Jujur saja, semua orang juga tanpa sadar suka
ngomongin topik sama. Kebetulan saja dia orang nomer satu negeri ini. Kebetulan
saja dia populer. Kebetulan saja… Lha kalau kita, curcol seribu kali ya paling
komunitas kita saja yang denger.
Pernah,
bahkan sering…saya dengar orang-orang mengeluh masalah gaji, sampai seperti
pita cassette yang diputar berulang-ulang. Okelah, gaji kita sekian…kita punya
banyak kebutuhan. So, what? Ngeluh, ngomel, marah mlulu? Nggak nyelesaiin
masalah…Kerjaan malah nggak fokus, teman-teman, keluarga atau atasan (yang
tidak punya wewenang soal gaji) ikut kena imbas karena tanpa sadar kita suka
uring-uringan, kepala kita pun rasanya mau pecah, karena terhimpit amarah.
Semuanya kelihatan menyebalkan, buruk, capek, bete…pasti. Sampai-sampai,
ngantor pun kebawa emosi, males-malesan, curi-curi peluang…
Oke, gaji
kita “hanya” (menurut kacamata masing-masing) segitu..But maksimalkan dengan
nilai rupiah itu, gimana kita bisa merasakan nikmatnya hasil keringat sendiri.
Gimana kita bisa melihat karya maksimal kita…Gimana kita bisa melihat, orang di
sekitar kita happy with us…
Nggak mau
munafik…Waktu pertamakali ngantor dan merasakan menerima salary tetap, saya pun
berangan-angan mempunyai gaji yang tiap saat berkembang, meningkat. Tapi
seiring waktu, romantisme lain yang justru lebih bisa saya nikmati ketimbang
nominalnya.
I’m happy…karena
bisa ngerasain hasil keringat sendiri. Suka duka, saat tanggung bulan. Kapan
bisa makan di mall, kapan musti pilih mie instant atau nasgor saja… Gimana
rasanya, saya bisa nentuin apa yang saya mau…meski tetap dengan standar
tertentu, tidak berlebihan.
I’m happy, karena
saya memiliki komunitas baru…Teman sekantor, atasan dengan berbagai karakter.
Ada yang sensi, lucu, meletup-letup, penyayang, macam-macam…Apa pun yang saya
lakuin, everyday…nyaris selalu bersama mereka.
I’m happy, karena
hasil pekerjaan saya dilihat orang. Terserah penilaian mereka..tapi setidaknya
mereka bisa lihat, karya saya. Saya bisa mengenal dunia luar, orang-orang baru…
I’m happy, karena
tiap hari terbangun dengan beragam tugas. Artinya, saya masih dibutuhkan orang,
masih didengar orang, masih dilihat orang… Bayangin, jika kita dicuekin. Mau
muncul, nggak muncul, bersuara, atau diam…masa bodoh… Sedih banget, kan?
So…kalau saya
hitung-hitung untung rugi, gaji dengan semua itu…ya, nggak sebandinglah. Berapa
pun nominal yang saya terima, relatif. Prinsip ekonomi bener juga, makin besar
pendapatan, makin besar pengeluaran… Nggak akan terkejar deh, kalau ngikutin
maunya saya…
Jadi ya…berbesar
hati-lah dengan berapa pun G.A.J.I yang kita terima. Nggak suka, nggak terima,
ya…cari saja di tempat lain yang mungkin bisa memenuhi standar kita
masing-masing. Nggak perlu ngomel mlulu tiap saat, nggak perlu kebawa bete di
kantor, (bahkan) nggak perlu ngejelek-jelekin perusahaan kita sendiri di tempat
lain.
Andai mau
bertahan di tempat yang sama, ya…enjoy saja. Rasakan kebahagiaan lain yang
tidak bisa disetarakan dengan rupiah…Komunitas, karya, kebersamaan…(just my opinion…yang tidak setuju, tidak
boleh marah…peace!)