Sungguh tega, orangtua yang tega membuang
darah dagingnya. Mereka dilahirkan dalam keadaan tidak berdosa. Beberapa kasus,
seperti bayi ditemukan di toilet umum, pom bensin, pos ronda, dan kardus tempat
sampah, membuat kita berpikir, bagaimana pertanggungjawaban orang tua mereka
nanti pada Sang Pencipta. Berikut penuturan Sasha yang buah hatinya dibuang
sang mama.
Bbbbr…
Lagi-lagi aroma bunga melati kesukaan almarhumah mama, tercium, setiap kali aku
memasuki rumah berasitektur Belanda, peninggalan Papa. Setahuku, tidak ada
penghuni rumah yang suka memakai melati. Bik Surti, pembantu yang sudah
mengabdi belasan tahun di rumah ini pun, tidak tahu menahu saat kutanya.
“Ah,
perasaan non saja kali…Nggak ada yang memakai bunga melati kok…” katanya, sore
itu.
“Bukannya
dulu mama suka merangkai bunga segar, lantas dibuat hiasan di kamar dan ruang
keluarga, Bik?”
“Dulu,
non…Sejak mama non meninggal, tidak ada lagi yang merangkai bunga buat hiasan
rumah. Tanaman juga banyak yang mati. Padahal Bibik tetap rawat seperti biasa.
Heran ya non, sepertinya ikutan sedih karena ibu tidak ada.”
Hatiku
seakan teriris, ingat mama. Ya, beliau memang paling suka tanaman, apalagi
bunga seperti mawar, melati dan anggrek. Hari-harinya banyak dihabiskan buat
merawat tanaman, terutama setelah papa meninggal karena kecelakaan. Mungkin
itulah salah satu cara beliau buat mengobati rasa kesepiannya. Apalagi empat
tahun lalu, aku terpaksa meninggalkan mama sendiri bersama Bik Surti, karena
diboyong suamiku yang bertugas di Melbourne. Padahal sejak aku kecil, tidak
pernah lepas dari sisinya.
Kuingat
benar, sebagai putri tunggal, kedua orangtuaku sangat memanjakan aku. Nyaris,
apa pun yang kuinginkan, selalu dipenuhi. Beliau juga melindungiku seperti
menjaga batu pualam…Lihat saja, suatu hari sepulang sekolah, tanganku lebam
karena salah satu teman laki-laki mendorongku, sampai terjatuh. Papa langsung
mencari bocah itu, keesokan harinya.
Kupikir,
sikap orangtuaku yang berlebihan itu berlaku karena usiaku masih sangat kecil.
Kenyataannya, sampai aku duduk di bangku SMA pun, beliau sangat over protect. Nggak heran, beberapa
cowok yang semula gigih, ingin mendekatiku, mundur perlahan-lahan. Mereka tidak
ingin, setiap datang ke rumah selalu disambut dengan tatapan papa yang menusuk,
penuh curiga.
Sakit
hati? Ya. Tanpa sadar, batinku merasa teraniaya. Keinginanku bisa dekat dengan
seorang laki-laki yang akhirnya akan menjadi pelindungku, kandas. Bayangkan
saja…Pulang terlambat saja, langsung kena tegur. Apalagi bila beliau melihat
aku tengah asyik ngobrol dengan teman pria. Mmm…bisa seharian aku kena hukuman.
Meninggalnya
papa, saat kumasih duduk di semester satu, benar-benar memukul keluarga kami.
Bulan-bulan pertama, beliau tidak ada, mama nyaris seperti orang lupa ingatan.
Setiap hari hanya duduk termangu-mangu di teras, tempat papa biasa duduk.
Secangkir kopi dan setangkup roti bakar kesukaan papa, selalu mama sediakan di
meja. Bik Surti baru berani membereskan makanan yang tidak disentuh sama sekali
itu, ketika mama sudah tidur.
Untunglah,
beberapa sahabat baikku sering datang. Mereka mulai “berani” bertandang, buat
ngobrol atau mengerjakan tugas sekolah.
Rumah kami yang semula sepi, menjadi hangat kembali. Jujur, aku pun
merasakan udara kebebasan yang sebelumnya tidak pernah aku rasakan. Mama pun
memberi kebebasan aku buat berteman dengan siapa saja, termasuk memilih teman
dekat, laki-laki.
“Doorrr!
Mama ngelamun ya? Hayo…kangen papa??” tembak Marcell, putraku semata wayang. Mmm…entah
sudah berapa lama, aku termangu sendiri di teras depan, sampai kehadiran bocah
berambut coklat dan bermata kebiruan itu, tidak aku sadari.
“Mama
belum jawab…”
“Apa
sayang? Mama hanya membayangkan, bila kamu besar nanti sayang juga nggak sama mama?”
“Ya,
sayang dong ma…Nanti Marcell bekerja, lalu membelikan mama rumah besar. Jauh
lebih besar dari rumah eyang…”
Mataku
mendadak terasa pedih. Andai papa dan mama melihat cucunya ini tumbuh menjadi
bocah yang cerdas dan menggemaskan…Sayang, mama tidak sempat melihat Marcell.
Beliau meninggal, dua tahun lalu.
“Ma..boleh
Marcell bagi kue buat Dafa?”
“Dafa??”
“Ya, ma…teman
baru Marcell. Sejak kita datang, dia suka mengajak bermain Marcell. “
Kutatap
mata anakku, penuh curiga. Setahuku tidak ada bocah lain selain dia di rumah
ini. Bahkan bisa kupastikan, tetangga sekitar kompleks kami pun tidak memiliki
anak kecil.
“Yahhhh…Mama
ngelamun lagi…”
Kugelengkan
kepala gemas, ketika melihat Marcell mulai menggembungkan kedua pipinya. Tanda
dia nggak sabar, menunggu jawabanku.
“Boleh-boleh….Daffa
juga sekalian kenalin sama mama ya. Kok selama ini, mama nggak pernah lihat
kalian main berdua. Jangan-jangan, Marcell main ke luar rumah ya? Hayooo!!”
“Ih
mama…Nggak kok. Mama saja yang selalu nggak ada, saat dia datang. Jika tidak
sedang tidur siang, mama pergi…”
Aku
hanya bisa mengangguk-angguk saja. Soalnya, bocah cilik itu selalu memiliki
banyak alasan, buat setiap pertanyaanku. Lebih baik kudiam, daripada membuat
dia makin penasaran.
***
Bbbrrr!
Lagi-lagi aroma melati itu tercium lagi. Entah kenapa, malam ini perasaanku
tidak enak. Mungkin karena Bik Surti pulang kampung, hingga aku harus berduaan
saja dengan Marcell. Sementara Pascal suamiku yang berkewarganegaraan
Australia, masih bertugas di Bali.
Beberapa kali korden di ruang tamu terdengar
berderak-derak. Beberapa kali, hiasan yang digantung di depan juga terdengar,
gemerincing. Begitu nyaring…
“Ma!”
Astaga!
Nyaris aku melompat dari tempat dudukku, ketika Marcell tiba-tiba sudah ada di
depanku. Masih dengan baju tidur kesayangannya. Rambutnya yang kriwil,
kelihatan berantakan.
“Apa
sayang?”
“Mama,
takut gledekkk…”
Belum
selesai dia bicara, tiba-tiba guntur terdengar…Suaranya mengejutkan, hingga
refleks bocah itu menyusup dalam pelukanku. Badannya menggigil, ketakutan.
Dingin. Mmm..pantas, sejak sore tadi langit sudah sangat gelap. Pasti malam ini
hujan turun…
“Takuttt..”
katanya, mirip suara erangan.
Kuusap
kepalanya dengan penuh cinta. Pelukannya kurasakan semakin kuat, hingga
membuatku tidak bisa bernafas…
“Sayang,
jangan kencang-kencang dong peluk mama…Nggak apa-apa kok, suara itu hanya
petir…tanda mau hujan. Kan ada mama di sini…”
Aroma
melati itu tiba-tiba tercium lagi. Perasaan tidak enak, kembali menyergapku.
Entah mengapa, buku romaku berdiri. Padahal aku termasuk orang yang paling
tidak takut hantu. Belum sempat kutenangkan Marcell, lampu mendadak mati!
Astaga…
Bocah
itu kembali memperkuat pelukannya. Kurasakan bobotnya kini makin berat. Bocah
kecilku, tumbuh sehat. Sampai-sampai, aku tidak sadar, dia makin bertambah
tinggi dan besar. Karena dia sangat ketakutan kutinggalkan buat mencari lampu
emergency, kami hanya duduk berpelukan saja di ruang tamu, sambil diterangi
sebatang lilin yang kutemukan di bawah meja.
“Ma…sayang
aku nggak?”
Dahiku
berkerut, tiba-tiba. Pertanyaan aneh…
“Ya
jelas, sayang…Masa selama ini, mama nggak sayang kamu? Mama dan papa sayang
banget sama kamu… “ Kuusap lagi rambutnya yang kali ini kurasakan, sangat kasar
dan kusut. Mmm…sejak kapan, Marcell nggak menyisir rambut?
Aroma
melati tiba-tiba kembali tercium. Kali ini sepertinya begitu dekat. Sangat
dekattt…Ya Tuhan! Baru kusadar, asalnya dari Marcell! Tanganku bergetar hebat.
Mengapa aroma baju anakku seperti baru bunga melati?
Pelukan
Marcell mulai mengendor. Kulihat wajah bocah kesayanganku itu lekat-lekat. Di
antara remang-remang lilin, kulihat Marcell tidak seperti biasanya. Dia…ya
ampun, mengapa tatapan matanya seperti orang yang tengah menahan kemarahan? Dia
menatapku dengan penuh kebencian. Sebelum kusadar apa yang kulihat, tangannya
tiba-tiba mendorongku sekuat tenaga, hingga aku terjajar di kursi…
“Mama
bohongggg…”
Bocah
itu lari masuk ke dalam rumah, tanpa kubisa mengejarnya, karena mendadak lilin
mati! Lilin baru bisa kunyalakan beberapa menit kemudian, setelah bersusah
payah mencari korek api dengan meraba-raba isi laci meja yang ada di ruang
tamu. Buru-buru kususul Marcell di kamarnya…Aihhh…bocah itu sudah tidur pulas.
Sepertinya, dia sudah tidak memikirkan hujan atau gledek lagi.
****
Minggu
pagi ini, kusengaja menemani Marcell main, karena Bik Surti sudah datang.
Sehingga aku tidak terlalu repot menyiapkan semua keperluan rumah, sendirian.
Kejadian semalam juga nyaris kulupakan, seandainya saja Marcell tidak
menceritakan sahabat kecilnya, Dafa.
“Ma,
kasihan deh…Dafa ternyata tidak pernah mengenal mamanya sejak lahir. Mamanya
membuang dia…”
“Huss!
Jangan bicara asal…Kamu tahu darimana? Kasihan kan ngomongin teman sendiri?”
“Bener
ma! Dafa yang cerita kok. Dia bilang, mamanya nggak pernah sayang sama dia.
Kalau mama, sayang tidak sama Marcell?”
Bocah
berwajah polos itu, menatapku dalam-dalam. Jari-jari kecilnya berusaha mengusap
pipiku…Duh, kalau sudah begini, aku paling senang memeluknya erat, lantas
mengayunkannya hingga dia tertawa, kesenangan.
“Mama
sayang banget sama kamu…Kenapa Marcell tanya itu melulu? Semalam juga…waktu
hujan dan lampu mati?”
Marcell
menatapku lagi. Tangan mungilnya memeluk leherku, lantas mencium pipiku.
“Makasih
mama…Mama tidak membuang Marcell, seperti mamanya Dafa…Dia kejam ya ma…”
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Anak sekecil ini sudah tahu saja, masalah orang dewasa. Padahal dia juga belum tahu pasti, kejadian yang dialami Dafa itu benar atau tidak. Bisa saja, orangtua Dafa meninggal atau terpisah dengan anaknya dalam musibah.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Anak sekecil ini sudah tahu saja, masalah orang dewasa. Padahal dia juga belum tahu pasti, kejadian yang dialami Dafa itu benar atau tidak. Bisa saja, orangtua Dafa meninggal atau terpisah dengan anaknya dalam musibah.
“Semalam,
Marcell cepat sekali tidur? Gitu dong, berani tidur sendiri, meski lampu mati…”
“Lampu
mati, ma? Marcell nggak tahu tuh…”
“Becanda
ya, Marcell. Kan kamu sendiri yang lari ke mama, saat ada gledek semalam?”
Aneh. Kulihat,
dia menggelengkan kepala. Kutatap mata
bulatnya. Tidak ada tanda-tanda dia bohong. Masa semalam aku bermimpi?
Jantungku mendadak berdebar, kencang. Memang kuakui, semalam kurasakan Marcell
aneh. Seperti bukan bocah kesayangan yang biasa kupeluk…Ah, mungkin memang aku
berhalusinasi saja.
Kejadian
dua hari lalu itu sudah nyaris kulupakan, kalau saja sore itu selepas mahgrib,
tiba-tiba saja Marcell muncul di depanku bersama seorang bocah laki-laki.
Usianya mungkin satu atau dua tahun lebih tua darinya. Yang membuatku pusing mendadak,
rambut kriwil dan tatapan matanya mirip sekali dengan Marcell. Bahkan,
sepertinya aku sudah merasa sangat akrab dengannya…padahal kami tidak pernah
bertemu.
“Ma,
boleh Dafa menginap di sini malam ini?”
Aku
terbelalak, kaget. Entah mengapa, perasaanku mendadak tidak enak. Bocah itu
memang berulangkali tersenyum lebar padaku, tapi kurasa senyumnya mirip
seringai yang menggiriskan hati.
“Marcell,
nanti keluarga Dafa mencarinya, bagaimana? Boleh saja Dafa main bersama kamu,
tapi dia pasti dicariin bila tidak pulang malam ini…”
Susah
payah, kubujuk Marcell buat mengerti. Akhirnya, teman barunya itu pulang juga
setelah makan malam bersama kami. Sebelum pulang, kulihat dia menatapku
dalam-dalam.
“Boleh
saya peluk tante?” tanyanya tiba-tiba. Rasa haru menyergapku seketika.
Sebenarnya, bocah itu kasihan. Jika cerita Marcell benar, dia tidak pernah
merasakan kasih sayang seorang ibu. Sungguh terlalu, seorang ibu yang tega
membuang darah dagingnya sendiri, batinku. Kupeluk dia dengan sepenuh hati,
hingga tanpa sadar air mataku menetes. Bocah itu pun kelihatan sangat puas,
sebelum akhirnya pamit pergi.
Malam
itu, kulihat Marcell begitu pulas tidur. Sebelum tidur, kurapikan dulu isi koperku. Besok, kami
pulang ke Melbourne. Sebelumnya menyusul suamiku dulu di Bali…Beberapa baju
sudah terlipat rapi di tempatnya, kurapikan meja kamar yang semula kugunakan
buat meletakkan beberapa peralatan pribadiku selama di sini. Mmm…berat juga,
meninggalkan rumah ini lagi..
Kuingat
betul, ketika rumah kami merasakan kehangatan lagi, setelah papa meninggal.
Mama jadi memberi kebebasan buat aku bergaul. Karena tidak pernah merasakan
kebebasan sebelumnya, aku makin bandel. Apalagi beberapa cowok terang-terangan
menyukaiku…hingga akhirnya, pilihanku jatuh pada Danny yang beda fakultas
denganku.
Hubungan
kami pun sangat dekat, hingga akhirnya tanpa kusadari, aku sudah melalukan
kebodohan. Aku hamil! Mama sangat terpukul. Laki-laki yang semula kupuja itu,
ternyata hidung belang. Dia tidak mau mengakui perbuatannya. Demi menyelamatkan
nama baikku, mama memintaku berhenti kuliah dengan alasan pindah ke luar kota.
Padahal aku hanya bersembunyi di rumah saja.
Sungguh
menggiriskan hati, ketika aku harus melahirkan di sebuah klinik bersalin tanpa
didampingi suami. Kondisiku drop, sampai nggak sadarkan diri selama dua hari.
Wajah bayiku pun tak sempat kulihat, karena kata mama, meninggal saat
kulahirkan. Makamnya ada di halaman belakang rumah kami.
Untunglah,
mama berhasil mengembalikan kepercayaan diriku lagi. Aku berhasil menuntaskan
diplomaku, lantas menikah dengan Bryan, laki-laki yang kini menjadi suamiku.
Cowok berkewarganegaraan Australia yang kukenal lewat salah satu jaringan
pertemanan di internet. Sungguh, dia
suami yang nyaris sempurna, meski kami berbeda latar belakang budaya. Mama juga
bahagia, melihat perubahan besar dalam hidupku. Apalagi tidak lama setelah kami
menikah, Marcell lahir.
Bbbrrr!
Aroma melati tercium lagi. Bulu kudukku kembali berdiri. Kenapa akhir-akhir
ini, aku sering ketakutan yang tidak jelas? Jelang kepulanganku ke Melbourne,
memang ada saja kejadian yang sulit kuterima dengan akal sehat. Marcell suka
uring-uringan. Kadang dia merapikan mainannya yang kulihat berantakan di kamar,
sambil mengomel berkepanjangan. Saat kutanya, dia hanya bilang…Dafa jahil.
Padahal setahuku, bocah itu tidak datang ke rumah hari itu. Pernah juga,
pagi-pagi saat Bik Surti ingin sholat subuh, menemukan mainan Marcell yang
semula dirapikan di loker dalam kamar, tergeletak begitu saja di teras depan.
Padahal tidak ada siapa-siapa di sana.
Kuseka
keringat yang menetes di dahi. Nggak boleh takut, batinku. Ketakutanku
berlebihan, karena tidak ada siapa-siapa
di sini. Hanya Bik Surti, Marcell dan aku…Buru-buru kuselesaikan packing
baju-bajuku. Lantas kuambil buku diary mama yang kemarin kutemukan di laci
lemari. Kuingin membawanya buat kenang-kenangan, sambil dibaca-baca di
perjalanan.
“Mama...Jangan
pergi! Aku takut! Jangan tinggalin aku….”
Deg!
Jantungku berdebar kencang. Suara itu, mirip suara Marcell? Kulihat sekelilingku.
Sepi!
“Mama
tega, pergi lagi? Mama tidak pernah sayang aku!!!” teriaknya kali ini dengan
nada penuh amarah. Kutajamkan lagi pendengaranku. Mungkinkah, halusinasiku
lagi? Sementara aroma melati yang kembali tercium, membuat konsentrasiku
berantakan.
“Mama
jahat!!! Mama nggak sayang aku!!!”
Suara
itu makin keras, hingga menyakitkan gendang telingaku. Sebelum kusadar apa yang
kulihat, tiba-tiba sekelebat bayangan bocah kecil melintas di depanku. Tubuhnya
tidak beda jauh dengan Marcell, tapi kuyakin dia bukan putraku…
“Mama
jahat!!! Mama nggak boleh tinggalin aku lagi!!” Tubuhku limbung, ketika
berusaha mengejar bocah cilik itu…
Gelap
seketika, kurasakan. Tubuhku seperti terbenam dalam lubang yang sangat dalam
dan dingin. Nyaris membekukan. Tak ada siapa pun di sekelilingku. Kucoba
teriak, tak ada suara yang keluar dari kerongkonganku. Tubuhku berusaha
meronta, meraih apa saja, agar tidak terjerembab semakin dalam, tapi
kelihatannya sia-sia. Nafasku pun makin tersengal-sengal…hingga kupasrah…
“Ma…Bangun!
Udah siang!” teriakan itu mengagetkanku. Seperti…ah, bukan! Marcell! Ya, ini
benar-benar suara Marcell…
Sinar
matahari yang masuk dari celah jendela, membuatku memicingkan mata sebentar,
sebelum akhirnya sadar diriku masih ada di tempat tidur. Marcell sudah berdiri
di depanku dengan wajah polosnya itu…
“Ma,
ayo mandi…Katanya kita susul papa di Bali…” tegurnya.
Ampun…aku
mimpi semalam? Kenapa rasanya begitu dekat dan nyata?
Kejadian
malam itu, tidak kuanggap nyata, seandainya aku tidak membuka kembali diari
mama. Beberapa kejadian saat kukecil,
hingga ketika aku hamil beliau tulis rapi di situ. Mataku mendadak memerah,
ketika membaca, satu kutipan…Maafkan
mama, sayang. Mama terpaksa berbohong padamu, bila anak yang kamu lahirkan
mati. Sebenarnya mama berikan bayi tidak berdosa itu pada sebuah keluarga kecil
yang sudah lama mengidamkan memiliki keturunan. Mama berpikir, semua ini demi
kebaikanmu. Mama ingin kamu bisa melanjutkan hidupmu, menikah dengan laki-laki
pilihanmu, tanpa harus dibebani dosa masa lalu…
Air
mata ku pun tidak mampu kubendung lagi. Bahuku bergetar hebat. Teganya mama
membuang darah dagingku yang berarti cucu kandung mama sendiri? Lantas, ada di
mana anak kandungku sekarang? Buru-buru kubuka beberapa lembar catatan mama,
hingga aku menemukan coretan mama yang membuatku makin terpukul…
Benar-benar, mama menyesal dan minta maaf
sayang. Mama melakukan kesalahan fatal, hingga menyengsarakan darah daging
kamu. Beberapa bulan ini, mama tidak bisa menghapus rasa bersalah mama. Karena
itu, mama berusaha menghubungi kembali pasangan suami istri yang mengadopsi
anak kamu. Namun belakangan mama baru tahu, keluarga kecil itu mengalami
musibah. Tetangganya yang membuka rumahmakan, kebakaran hebat. Namun api
menjalar hingga menghanguskan beberapa rumah di sekitarnya, termasuk rumah
mereka. Putramu, alias cucu mama pun tewas dalam kejadian itu…Mama tidak berani
menceritakan kejadian ini. Mama pikir, biarlah masa lalu itu terkubur
dalam-dalam. Semoga dosa mama terampuni, jika suatu saat mama meninggal.
Entah,
apa yang harus kulakukan sekarang? Menangis pun, tidak akan menghapus
penyesalanku yang dalam karena telah meninggalkan darah dagingku yang ternyata
laki-laki. Jika dia tumbuh dewasa, paling usianya hanya selisih dua tahun dari
Marcell.
Malam
ini dalam sujudku, kumohon ampun buat mama, juga untuk dosa yang sudah
kulakukan. Kuberharap, putraku yang belum sempat kuberinama, memperoleh tempat
terbaik di sisi Nya. Entah, apakah itu ada hubungannya dengan kejadian-kejadian
aneh yang sering kualami di rumah mama atau tidak. Namun sejak aku mendoakan
putraku dengan tulus, aku tidak pernah lagi mengalami mimpi buruk. Setahun
kemudian, ketika aku kembali liburan ke rumah peninggalan mama, aku tidak lagi
diganggu oleh aroma melati atau penampakan bocah cilik yang tak jelas asalnya.
Entah mengapa, Marcell pun tidak lagi kelihatan bermain dengan Dafa, sahabat
kecilnya itu…(steph)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar