Pagi yang sempurna. Secangkir kopi plus roti isi selai strawbery. Cukup untuk mengganjal perut, hingga waktunya makan siang nanti. Sambil cek email, mengupdate status Facebook, membaca pesan di twitter dan mengumpulkan bahan tulisan. Mmm…kali ini, saya ingin “jalan-jalan” ke mana ya?
Ingat
deadline tulisan untuk rubrik
Jalan-jalan, saya hanya bisa nyengir. Tertawa dalam hati. Kasihan deh gue, hanya bisa mendeskripsikan travelingnya orang lain.
Bukan petualangan gue sendiri…Ingin rasanya, saya berdiri di depan Gereja St.
Basil, Rusia. Naik gondola di Venesia, berfoto-ria di depan Eiffel atau bermain-main
di kebun Tulip, Belanda. Tapi ya…sudahlah, saya hanya bisa menceritakan jjs-nya
orang lain. It’s okey…I’m happy for that.
Bersyukur, toh saya bisa ngebayangin indahnya negara-negara itu. Bersyukur,
meski hanya dua negara yang bisa saya kunjungi (itu pun disponsori oleh penerbitan
tempat saya bekerja dulu). Melbourne Australia dan Singapore, toh saya serasa
tahu banget negara-negara lain.
Yup,
saya suka traveling. Namun gerak saya terbatas, ya…akhirnya, menulis
traveling-nya orang lain. Kocak juga, saya kadang harus kompromi dengan pilihan
kedua. Nggak bisa jalan, ya..menulis jalan-jalan.
Waktu
kecil, saya suka musik. Saya ingin memiliki gitar atau satu set drum. Impian
saya kandas, setelah tahu, belajar musik itu mahal. Bayar kursusnya, beli
instrumennya…Bbeuhh! Ya sudahlah, nggak bisa main musik…saya menulis musik
saja. Saya cukup terhibur, bisa ngobrol dengan musisi-musisi, nonton konser dan
ngebahas album mereka.
Waktu
kecil (lagi!), saya pemalu. Nggak pede-an. Nggak ngetop, nggak aktivis, nggak
siapa-siapa. Suara saya, siapa sih yang peduli? Itu my opinion saat itu… Akhirnya, saya bersyukur bisa “ngomong” dengan
banyak orang lewat tulisan-tulisan saya yang dimuat di media cetak. Saya masih
berseragam putih abu-abu kala itu, tapi mahasiswa, orang kantoran, bisa membaca
kata hati saya di harian yang memuat tulisan-tulisan saya. Thanks God!
Tahun
lalu, langkah terberat menurut saya yang harus diambil yaitu resign dari kantor tempat saya bekerja.
Sebelas tahun, it’s not easy for me. I love my job.I love all of my friends. But, ya sudahlah…lagi-lagi saya harus
mengambil pilihan kedua. Saya tetap bisa menulis, meski ngerjainnya di rumah.
Teknologi memudahkan kita berkomunikasi dan bekerja, tanpa harus terlalu banyak
mobile. Yang penting, tidak ada istilah “berhenti”
untuk menulis. Nggak bisa lagi menulis tulisan yang membutuhkan laporan
pandangan mata langsung, ya…its okey.
Saya berusaha memperbanyak fiksi, tulisan dari browsing, interview-interview…Intinya,
tetap ada pilihan kedua.
So… the point is, saya sadar setiap mengambil keputusan, saya selalu dihadapkan dengan
alternatif kedua. Saya tidak bisa berhenti begitu saja, hanya karena pilihan
pertama, kandas. Makanya saya terheran-heran, waktu saya masih bekerja di media
remaja, tidak sedikit abg “memaksakan” diri ingin menjadi model. Tanpa sadar,
mereka harus memilih alternatif kedua.
`Berulangkali ikut
pemilihan, kalau memang tidak memenuhi standart,
ya sudahlah. Bagus menurut kacamata kita, belum tentu bagus menurut kacamata
orang lain. Pernah juga seorang abg sharing
ke saya, dia berobsesi menjadi announcer
radio. Hingga lulus kuliah, kursus-kursus, pun belum berhasil. Tetap saja dia keukeuh, cari job sebagai announcer. Oh
My God…mau sampai kapan? Mengapa
tidak mencoba bagian programming, copy writer,
toh masih dalam lingkungan broadcast.
Langkah saya
terbatas, saat ini. Tapi otak saya sudah menjelajah beberapa negara. Nama saya
tidak sepopuler Raditya Dika atau Arswendo Atmowiloto, tapi setidaknya ada
orang-orang yang pernah membaca tulisan saya. Second choise, lebih baik…daripada kita menunggu atau bahkan do nothing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar