Astaga!
Jejak kaki bekas menginjak tanah itu nampak jelas di mana-mana. Teras, ruang
tamu hingga ruang makan. Sekilas, kulihat tapak tangan juga ada di kaca yang
berembun…Hujan sejak sore tadi memang membuat jalan sekitar rumah, becek. Namun,
siapa orang yang nekad keluar masuk rumahku dengan kaki sekotor itu? Kuingat,
Bik Surti pamit pulang, buat menengok orangtuanya di kampung selepas magrib
tadi. Mas Ihsan, suamiku sudah dua hari bertugas di Bali. Lalu? Ahhh…bayangan
seram itu kubuang jauh-jauh. Andai Mas Ihsan tahu, pasti dia akan meledekku
habis-habisan. Penakut. Tukang khayal…
Ingat
laki-laki bermata elang itu, hatiku seperti diguyur air es. Dingin. Ya, dia
memang selalu bisa menenangkan aku. Kata sahabat-sahabatku, aku sedikit temperamen
dan sensitif. Maklum, anak tunggal. Kuingat betul, bagaimana mama dan papa
memperlakukan aku. Beliau selalu berusaha mewujudkan apa pun yang kuinginkan.
Sebaliknya, kebebasanku bergaul mereka batasi. Khususnya ketika aku mulai
beranjak remaja dan mulai mengenal laki-laki.
Beberapa cowok
yang datang ke rumah, pasti harus menerima perlakuan “ajaib” papa. Bila tidak
diinterogasi, mereka diajak berdebat tentang beberapa hal yang berkaitan dengan
kenakalan anak muda. Ada-ada saja… Meski terlalu berlebihan, kuanggap ini salah
satu cara beliau menunjukkan kasih sayangnya padaku. Mama berulangkali menegur
papa, namun akhirnya…capek juga.
Lama-lama,
kebiasaan papa ini terasa mengganggu dan membatasi gerakku. Apalagi ketika aku
mulai mengenal bangku kuliah. Beberapa cowok yang awalnya asyik kuajak
berdiskusi dan curhat, mundur teratur. Mereka tidak tahan dengan sikap
orangtuaku yang dianggap terlalu mencampuri. Ya, juga… Padahal mereka kan
istilahnya baru “pendekatan”. Kenapa papa musti begitu keras menghadapi mereka?
Sayang, papa
tidak mau mengerti. Sebaliknya, aku pun takut menyakiti perasaan beliau yang
sudah begitu mati-matian menjagaku. Ya, sudahlah. Kupikir, nggak ada salahnya
papa berbuat setegas itu. Toh, aku pun belum terlalu berharap, memiliki
pasangan hidup. Masih muda!
Blarrr! Guntur
di luar sana, suaranya memekakkan telinga. Lamunanku buyar seketika. Kulirik
jam di dinding kamar. Ah, baru pukul sembilan malam. Rasanya sudah sejak tadi
aku termangu-mangu, sendiri di kamar. Bayangan orangtuaku mendadak berkelebat
di benakku lagi. Kapan terakhir aku mengunjungi makam mereka? Kenapa mendadak
aku begitu kangen, hingga rasanya sulit untuk memejamkan mata?
Wisuda sarjana,
tanpa seorang pendamping…Sungguh, ironis. Ledek sahabat-sahabatku. Mereka
menganggap, aku terlalu cuek, sampai-sampai lulus pun belum memiliki pacar,
Padahal mereka juga tahu tuh, bagaimana kerasnya papa. Untung, beliau mulai
melunak, setelah melihat aku masih sendiri meski teman-teman sebayaku sudah
memiliki calon suami.
Pagi itu tugasku
menjemput papa dan mama yang baru pulang dari menengok saudara mama di
Surabaya. Terminal kedatangan di Bandara Soekarno Hatta, riuh rendah. Mmm…kini,
semua orang sudah terbiasa mengandalkan transportasi udara ini. Tidak seperti
dulu, masih sepi. Keningku mulai berkeringat. Panas. Beberapa kali terpaksa
kubersihkan kacamata minusku yang basah…Mmm, papa dan mama mana?
“Pagi…Amira.” Seorang
laki-laki berambut ikal, bermata elang dengan dagu belah, muncul di hadapanku. Tatapannya
tajam, menusuk. Senyumnya lebar. Seolah dia sangat mengenalku sebelumnya.
Padahal aku melihatnya pun, baru kali ini…
“Lama ya,
nungguin? Gitulah jadwal penerbangan nggak tentu…Suka dellay…Kamu sendiri?” cerocosnya lagi. Gila, nih cowok. Sok akrab!
Kenal dia pun, tidak…
Aku
menggeleng-gelengkan kepala, berusaha
mengingat-ingat siapa laki-laki super aneh ini. Bila aku tidak
mengenalnya, kenapa dia seakan tahu benar siapa aku?
“Mira…kok Ihsan dicuekin?”
tegur papa yang mendadak muncul bersama mama. Kedua orang yang sangat kukasihi
itu senyum-senyum saja, ketika melihat aku masih terheran-heran.
“Sorry…saya
belum memperkenalkan diri. Ihsan…dan kamu, Amira kan?” sapanya lagi, sambil
menjabat erat tanganku.
Dasar, cowok
ajaib. Baru kutahu belakangan dari papa, Ihsan ternyata anak sahabat papa yang
baru lulus S2 di Surabaya. Cowok itu kebetulan sama-sama orangtuaku, pulang ke
Solo kota kelahirannya. Meski super cuek dan sok akrab kesannya, ternyata dia
bisa dijadikan teman, sahabat, bahkan pacar yang menyenangkan. Kepandaiannya
mengambil hati kedua orangtuaku, membuat mereka merestui hubungan kami. Setahun
kemudian, kami menikah dan memilih tinggal di Surabaya. Karena Mas Ihsan
bekerja di sana…
Bbbrrr… Udara
dingin kurasakan begitu menggigit. Lamunanku kembali buyar. Hujan dari tadi
membuatku terbengong-bengong sendirian di kamar. Beberapa stasiun televisi
acaranya tidak menarik, jika sudah malam begini. Paling film barat yang dar der
dor…Aku paling ngeri melihat darah dan kekerasan. Herannya, Mas Ihsan malah
paling suka film yang penuh kekerasan. Untung, dia tidak seperti tokoh-tokoh
antagonis dalam film itu. Kalau sama, pasti aku tidak bertahan hingga empat
tahun lamanya bersama dia tinggal dalam satu atap…
Setengah malas,
aku beranjak dari tempat tidur. Sebelum tidur, aku harus memastikan pintu dan
jendela depan terkunci semua. Tinggal seorang diri di rumah, tidak aman.
Kuingat pesan suamiku tiap dia bertugas keluar kota.
Ya ampun! Nyaris
aku terpelanting, jatuh. Lantai ruang depan kok basah…Padahal jendela tertutup
rapat, tak memungkinkan air hujan masuk. Bercak tanah merah itu masih kelihatan
jelas…Belum hilang rasa heranku, kulihat lagi ada bekas telapak tangan di kaca
jendela yang berembun itu. Tangan siapa? Bbbrr…. Angin dingin membuatku
menggigil. Bulu kudukku berdiri. Aduuuh! Buru-buru kumasuk kembali ke kamar,
berusaha tidur…
***
Pagi ini, Bik
Surti kelihatan terbengong-bengong, keheranan. Ketika kuminta dia membersihkan
bekas tanah yang kulihat semalam. Pasalnya, pembantu yang sudah dua tahun
bekerja di rumahku itu tidak menemukan bekas kotoran apa pun. Ruang tamu, kaca,
semua bersih. Hanya teras depan saja yang sedikit kotor, karena daun-daun
beberapa tanaman kami rontok, terhempas air hujan semalam.
“Benar kok,
Bik…Yakin! Semalam, saya lihat bekas telapak kaki. Kotor di mana-mana. Malah
saya nyaris terpeleset, karena ada air menggenang di ruang tamu…”
“Nggak mungkin,
Bu…Saya datang, semua ruangan masih bersih. Genangan air juga tidak ada.
Mungkin ibu semalam bermimpi…Kan hujannya gede banget?”
Aku hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala. Mungkinkah halusinasiku saja, karena hujan begitu
kencang semalam? Mungkin juga, aku bermimpi. Keenakan tidur, sampai memimpikan
hal yang bukan-bukan. Kenyataannya, pagi itu kondisi rumah memang masih rapi.
Tak ada tanda-tanda ada orang iseng sudah meninggalkan jejak kotoran, semalam.
Kejadian malam
itu, nyaris kulupakan. Andai saja, malam ketiga aku sendiri di rumah ini tidak terulang
kembali. Kali ini, benar-benar membuat aku yang terkenal pemberani waktu kuliah
ini, bergidik ketakutan. Bayangkan saja, hujan yang tidak henti dari siang tadi
dibarengi dengan listrik mati. Kuharus rela berdiam diri sendiri dalam rumah
dengan penerangan lilin. Seandainya tahu, lampu bakal mati dan hujan begitu
keras malam ini, pasti Bik Surti kutahan. Agar dia tidak pulang.
Ting tong…
Bel di depan
tiba-tiba bunyi. Gggrh, siapa orang yang bertamu malam-malam begini, gelap dan
hujan pula. Belum sempat aku berdiri, bel kembali berbunyi. Dasar. Benar-benar
nggak sabar tuh orang… Amarahku jadi terpancing…Buru-buru aku beranjak ke ruang
tamu… dan….tak ada siapa-siapa!
Lewat jendela,
kulihat tidak ada siapa-siapa di luar sana. Aneh. Sementara bekas telapak
tangan kembali jelas kulihat di kaca yang berembun. Belum habis rasa heranku,
mendadak suara seperti langkah kaki yang diseret terdengar. Suaranya berasal
dari kamar belakang yang selama ini jarang kami gunakan, sejak pembantu tidak
menginap lagi di rumah. Tanganku bergetar hebat. Tengkuk seperti ada yang
meniup…Dingin. Sementara gemuruh hujan dan guntur di luar, seperti bersaing
dengan detak jantungku yang terasa makin kencang.
“Siapa ya…”
tegurku, setengah berteriak. Konyol memang. Seingatku di rumah tidak ada
siapa-siapa. Bagaimana seandainya, pertanyaanku ada yang menjawab…Hiiiih!
Kakiku seperti lemas, tak bertenaga. Bayang-bayang seram yang sering
diceritakan teman-temanku waktu sekolah dulu, melintas jelas di kepalaku.
Kuntilanak? Pocong? Suster ngesot??? Dasar! Konyol… Buru-buru aku masuk ke
kamar lagi. Tak kuperdulikan, suara langkah kaki yang diseret itu kembali
terdengar. Badanku yang menggigil ketakutan, berusaha kusembunyikan di bawah
selimut. Kuraih HP dan earphone yang ada di samping meja, tempat tidur. Lantas
kupasang di telingaku, lega…Suara menakutkan itu tak kudengar lagi. Hanya suara
lagu penyanyi favoritku saja yang terdengar….Aku pun berhasil tertidur,
kelelahan.
***
Gggrrhhh…Panas.
Tubuhku seperti berada di atas bara api. Terbakar! Keringat membanjir, tanpa
bisa dicegah. Sudah dua kali, kuganti bajuku yang basah. Hingga t-shirt yang
paling tipis pun, sama saja. Tak ada gunanya. Heran. Pendingin ruangan ini
sudah maksimal. Gemuruh air yang ditumpahkan dari langit, juga terdengar gaduh
di luar sana sejak sore tadi. Tanda hujan. Minggu ini, benar-benar tiada hari
tanpa hujan. Hanya anehnya, beberapa hari sejak Mas Ihsan tugas ke Bali, aku
selalu mengalami kejadian tidak mengenakkan.
Kreeettt…kreeetttt…Astaga.
Suara langkah kaki orang yang diseret lagi? Aku memicingkan mata, berusaha
menajamkan pendengaranku. Benar-benar suara itu, bukan halusinasi. Kucubit lagi
kedua pipiku…Sakit. Nyata!
Ffuiiih!
Kali ini, aku tidak boleh menyerah karena ketakutanku yang berlebihan. Meski
badanku sebenarnya terasa panas, seperti terbakar, kupaksakan diri menengok
kamar belakang, sumber suara itu berasal. Langkahku berat, tapi pasti. Sambil
membawa tongkat yang biasa digunakan Mas Ihsan buat latihan bela diri, buat aku
berjaga-jaga. Siapa tahu, suara itu sebenarnya berasal dari pencuri yang
menyelinap ke dalam rumah, sejak sore tadi.
Badanku
yang terasa panas terbakar, tiba-tiba seperti diguyur air es, begitu tepat
berada di depan kamar. Bulu kudukku berdiri. Tanganku sudah basah oleh
keringat. Kakiku seperti berat, goyah. Anehnya, hiasan lonceng kecil yang
kugantungkan di atas pintu penghubung antara kamar belakang dengan ruang
tengah, mendadak bergoyang, hingga menimbulkan suara nyaring. Menggiriskan
hati…
Satu,
dua…tiga! Tepat hitungan ketiga, pintu kamar belakang kubuka. Kosong! Tak ada
siapa-siapa. Bahkan masih rapi seperti semula…Memang sejak Bik Surti tidak
menginap lagi di rumah kami, kamar itu terkunci. Sebelum ditinggalkan,
pembantuku sudah merapikannya sedemikian rupa, sehingga siapa pun nanti yang
masuk tinggal tidur saja.
Kuedarkan
pandangan ke sekeliling ruangan. Tetap sama. Kosong. Rapi. Tak ada tanda-tanda
ada orang sudah masuk ke sana. Aneh. Belum habis rasa heranku, suara langkah
kaki yang diseret itu kembali terdengar! Kali ini dari ruang tamu…Buru-buru kukunci
kembali kamar belakang, lantas kuberanjak ke ruang tamu…Akal sehatku sudah
tidak bekerja lagi. Entah pencuri, perampok, siapa pun itu, kuharus bisa
menemukannya…Aku tidak mau, setiap malam diganggu bayangan menyeramkan yang
tidak jelas asal usulnya.
Blam!
Terlalu! Kali ini, pintu kamarku seperti ada yang membanting. Sebelum kusampai
ke depan, kulihat tidak ada siapa-siapa di depan kamarku. Ruang tamu pun,
kosong! Hujan yang kini berhenti, membuat suasana mendadak sunyi. Bulu kudukku
kembali meremang…Kali ini, kubenar-benar merasa ketakutan. Siapa pun itu yang
mengusik ketenanganku, benar-benar membuatku tidak bisa tidur....hingga pagi
dini hari. Ketika suara azan subuh terdengar, barulah aku bisa tertidur lelap.
Itu pun pasti karena keletihan…
****
Bete.
Marah. Kesal! Mas Ihsan bukannya menolongku memecahkan masalah yang
menghantuiku akhir-akhir ini, malah menertawakanku. Ketika kuceritakan semua
kejadian yang kualami selama dia tugas ke Bali, laki-laki yang belum berhasil
memberiku keturunan itu hanya tersenyum simpul. Tak ada tanda dia terkejut,
khawatir atau panik.
“Kebanyakan
nonton film horor kamu, ma…Udahlah, mana mungkin rumah kita yang selama ini
aman, digangguin makhluk halus… Kamu sendiri sejak kuliah, pemberani. Masa
sekarang percaya ada setan di rumah kita…” tegurnya sore itu, ketika kami
sedang berduaan di teras depan.
“Tapi
mama tidak bohong pa…Nyata banget yang mama alami. Beberapa kali juga
kejadiannya sama…”
“Trus,
Bik Surti juga menemukan rumah kita berantakan?” Tatapan Mas Ihsan kali ini,
tajam seperti menusukku. Kelihatannya dia mulai lelah, menyakinkan aku kalau
kejadian yang kualami itu hanya halusinasi saja.
“Ya,
enggak sih mas…Nggak ada tanda apa pun yang ditemukan Bik Surti…”
“Nah,
bener kan…Kamu hanya mimpi atau halusinasi. Biasanya kan kutinggal sendiri di
rumah berani, kok sekarang penakut gini….”
Kutarik
nafas, berat. Huh! Paling pantang aku disebut penakut. Tapi mau bilang apa, aku
toh tidak bisa menunjukkan bukti, kalau ketakutanku selama ini beralasan.
“Sudahlah,
jangan bahas itu lagi ya…Papa capek. Papa juga khawatir, mama malah kepikiran
beneran dan semua yang tidak nyata, menjadi nyata….” Mas Ihsan menyeruput
tehnya, lantas buru-buru masuk ke dalam. Heran. Nggak biasanya, Mas Ihsan
menghentikan perdebatan kami begitu saja. Biasanya, aku musti menuntaskan semua
masalahku sampai kelihatan aku puas, baru Mas Ihsan masuk. Kali ini, dia tidak
mau berlama-lama membahas masalah yang kuhadapi. Apa karena dia menganggap
ceritaku tidak bisa diterima akal sehat?
***
Minggu
ini, tugasku mengawasi tukang yang bekerja merenovasi rumah bagian belakang.
Rencananya kamar belakang dibobol, lantas dibuatkan kamar mandi dalam. Bila ada
saudara menginap, mereka bisa lebih nyaman tinggal di kamar tamu itu.
“Bu…Maaf,
barang-barang ini masih digunakan tidak? Tadi tukangnya nemuin ini di bawah
ubin, tepat di bawah meja kamar….” Tanya Bik Surti mengejutkanku. Dia muncul di
depanku dengan membawa sebuah tas kain, lusuh bercampur pasir. Mataku berusaha
mengenali barang itu…Tapi itu kan bukan milikku?
“Ada
di mana, Bik?”
“Di
bawah ubin, tepat di bawah meja…Tadi tukang
waktu ngebobol ubin, menemukan tas ini…Kirain ibu yang simpan …”
Aku
menggeleng-gelengkan kepala. Aneh. Masa aku menyimpan barang pribadi di dalam
tanah. Aku tanam? Ada-ada saja…Pasti ini milik penghuni lama, sebelum kami
tinggal di rumah ini… Tapi barang ini masih kelihatan bagus dan baru…hanya
kotor saja. Hati-hati, kubuka. Isinya: sebuah pasmina warna hijau toska, kotak
tissue dari bahan flanel dan sebuah sisir! Sisir perempuan, pasti. Ah…ada-ada
saja…Kuminta Bik Surti mengambil barang-barang itu kembali. Terserah, dia mau
membuang atau menyimpannya.
Kejadian
siang itu, tidak kuceritakan Mas Ihsan. Kutakut, dia malah semakin kesal
mendengar ceritaku yang aneh-aneh. Sore ini, sengaja kusiapkan tape bakar dan
ubi rebus kesukaannya. Kasihan dia…Beberapa hari ini, sepulang dinas luar kota,
dia lembur terus. Pasti capek dan stress. Sementara aku yang keenakan tinggal
di rumah, tanpa berbuat banyak…
Jam
di dinding, sudah menunjukkan angka sembilan. Mas Ihsan belum juga
pulang…Mataku yang mulai ngantuk, berusaha kutahan. Kasihan, bila suamiku
pulang hanya bisa melihat aku tertidur pulas. Aku nyaris ketiduran di kursi
tamu, ketika kudengar telpon rumah berdering. Tak biasanya, orang menelponku
malam-malam begini…
“Maaf
, Ma…Papa tidak pulang malam ini…Mama istirahat saja…Besok papa ceritain
kejadiannya…” suara papa terbata-bata di seberang sana. Belum sempat kujawab,
telpon sudah dimatikan. Aku berusaha menghubungi handphonenya, tapi…mati. Papa
tidak pulang? Kenapa?
***
Pagi
ini, aku baru tahu jawabannya…Ketika telepon rumah kembali berdering. Papa
ditahan polisi! Seperti mimpi, ketika beberapa petugas kepolisian datang ke
rumah, lantas mencecarku dengan beberapa pertanyaan. Mereka akhirnya, memintaku
menunjukkan kamar di belakang yang tengah dibongkar. Lantas, mereka juga
menanyakan tas yang sempat kutemukan… Bagaimana mereka tahu, aku menemukan tas
itu?
Laki-laki
yang kupuja, kucintai dengan sepenuh hati itu kulihat berlinang air mata,
ketika kutemui di kantor polisi. Berulangkali dia mencium tanganku, sambil
meminta maaf. Wajahnya yang biasa tegar, berwibawa dan sangat kusegani itu,
kini kelihatan seperti manusia yang kehilangan daya…Aku tidak tahu, apa yang
harus kulakukan. Pengakuan Mas Ihsan, benar-benar menyakitkan. Nyaris membuatku
seperti ditenggelamkan ke jurang yang sangat dalam…
Sebut
saja, Leni…Wanita yang beda sepuluh tahun usianya dariku itu dikenal Mas Ihsan
setahun yang lalu, ketika dia meeting
dengan kliennya di sebuah kafe. Tanpa sadar, mereka sudah terlibat hubungan
terlarang. Ketika perempuan itu hamil…Mas Ihsan ketakutan. Dia meminta Leni
menggugurkan kandungannya. Tapi perempuan itu malah mengancam, melaporkan
perbuatannya padaku. Istrinya…
Ancaman
yang semula dianggap main-main, ternyata nyaris dilakukan Leni. Dia datang ke
rumah kami. Untungnya, saat itu aku sedang menengok temanku yang melahirkan
putra pertamanya. Pertengkaran antara Mas Ihsan dan Leni tak terhindarkan.
Tanpa sengaja, Mas Ihsan mendorong perempuan itu, hingga tersungkur. Kepalanya
terbentur meja ruang tamu, sampai tak sadarkan diri. Sementara, kakinya
mengeluarkan darah…Mungkin pendarahan…Karena panik, Mas Ihsan langsung menyeret
tubuh Leni yang dia duga sudah meninggal ke kamar belakang. Semua bercak darah,
Mas Ihsan bersihkan. Lantas tubuh Leni dimasukkan dalam karung beras yang
ditemukan di gudang, sebelum akhirnya dibawa ke mobil, untuk dibuang di suatu
tempat…
Tas
Leni yang kelupaan, sempat tertinggal di rumah. Karena takut ketahuan, Mas
Ihsan menimbunnya di bawah ubin. Baru aku nyadar. Lantai kamar belakang tidak rapi, tepat di
bawah meja. Gara-gara polisi menemukan jasad Leni dengan beberapa bukti yang
mengarah ke Mas Ihsan, akhirnya semua kejahatannya terbongkar… Mas Ihsan pun mengakui,
bila salah satu barang bukti, dia tanam di kamar belakang rumah kami.
Gelap….Bayangaan masa depan keluarga
kami yang menyenangkan, hancur berantakan. Rasanya baru kemarin aku mengenal
Mas Ihsan, lalu kami menikah. Tapi kenyataannya, semuanya tidak seindah yang
aku bayangkan. Aku tidak tahu, apakah harus menerima Mas Ihsan kembali, andai
dia bebas dari tahanan nanti. Namun yang jelas, aku memilih menjual rumah yang
sudah membuat hatiku sangat sakit. Entah, bagaimana “kabar” Leni…Semoga dia
tidak mengganggu penghuni rumah yang baru, karena tubuhnya sudah dikebumikan
dengan layak. Pembunuhnya pun sudah menerima ganjarannya… (kisah ini diceritakan kembali oleh Steph)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar