Gokil! Hujan lagi. Feeling
tadi mengatakan, malam ini cuaca cerah. Bayangin saja, sore tadi masih terang
benderang. Pas masuk supermarket, keluar –keluar air sudah begitu deras
ditumpahkan dari langit. Pilihan hanya dua. Nungguin sampai hujan reda atau
cari ojek payung. Soalnya tempat parkir mobil, lumayan jauh. Paling malas
sebenernya, berhujan-hujanan ria begini….
“Payung,
mbak?” tawar seorang bocah perempuan yang sudah berdiri tepat di depanku, sambil membawa payung. Kutebak usianya baru
belasan. Bibirnya pucat membiru, tangannya kelihatan bergetar. Pasti dia
kedinginan. Baju lusuh yang dia kenakan pun sudah basah. Kasihan.
“Mbak…payung?
Murah mbak…sekasihnya mbak saja kok…” tawarnya lagi, mengejutkan. Mm, boleh
juga. Selain buang waktu, nungguin hujan. Berbagi rejeki sama bocah ini, nggak
ada salahnya.
“Udah,
ambil saja kembaliannya. Buat kamu…” kataku, ketika dia bengong melihat uang
yang kusodorkan dalam genggamannya. Kulihat sekilas, mata bulat itu
berkaca-kaca. Moga saja, keberuntungan selalu berpihak padanya, batinku haru.
Hari
pertama, tinggal di villa sendirian ternyata menyenangkan. Meski harus kerja
bakti duluan, merapikan seisi rumah yang berantakan. Rencanaku menyelesaikan
skripsi, sekaligus menenangkan diri berhasil sepertinya. Awalnya, sempet ragu
juga. Soalnya villa milik papa itu biasa digunakan Vanno, saudara tiriku yang
doyan petualangan berlibur bareng teman-teman genk motornya. Risih. Takut dia
merasa aku mengganggu property-nya. Kata
papa sih, villa itu masih milik kami bersama.
Yup.
Hubunganku dengan Vanno memang sangat buruk. Entah mengapa, dia tidak pernah
bisa menerima kehadiranku sebagai anak adopsi dalam keluarganya. Mama Vanno
almarhum dulu, sangat menginginkan anak perempuan. Hingga aku diadopsi dari
sebuah panti asuhan. Mungkin perlakuan mama berlebihan juga, beliau
memanjakanku. Selain kelakuan Vanno sejak kecil memang kelewat bandel.
Berkelahi, biasa banget dalam kamusnya. Entah, berapa kali orangtua kami
dipanggil kepala sekolah gara-gara tingkah lakunya.
Kini,
setelah mama meninggal, sikap saudaraku itu makin menjadi. Bahkan, kami seperti
orang asing. Jarang saling tegur sapa. Dia juga lebih banyak menghabiskan waktu
di kamar atau di luar rumah bersama teman-temannya. Kalau pun musim liburan,
Vanno suka naik gunung atau touring bareng genk motor. Villa milik keluarga di
puncak itu, salah satu rumah keduanya. Papa pun nggak berani menegur. Mungkin
karena kami sudah sama-sama dianggap dewasa kali, sehingga bisa memutuskan baik
atau buruk masing-masing.
***********
Hujan
kali ini, tidak sederas kemarin. Paling tidak, kalau mau nekad menerobos dan
sedikit berbasah-basahan ke tempat parkir mobil, masih bisa. Tapi lagi-lagi gadis
berpayung biru itu mendekat… Wajahnya yang tirus, semakin pucat karena cuaca
dingin dan bajunya basah kuyub. Kasihan. Semustinya, dia tidak berada di tempat
seperti ini…
“Payung,
mbak?” tawarnya, lirih. Tanpa banyak bertanya, aku mengangguk dan menggandeng
tangannya. Dingin. Duh, aku sendiri juga sebenernya menggigil kedinginan.
Gimana dia yang berlama-lama tertimpa air hujan…
Kelihatannya
memang kami berjodoh. Soalnya nggak hanya sekali, dua kali bertemu. Selang
beberapa hari kemudian, aku juga melihat dirinya ada di antara derasnya air
yang ditumpahkan dari langit. Pantaslah, aku suka menyebutnya Si Perempuan
Hujan.
Bintang,
nama cewek yang belakangan kuketahui, ketika aku selesai belanja dari
supermarket, sebelum akhirnya balik ke Jakarta.
Gadis yang baru berusia 15 tahun itu, mengaku putus sekolah. Selain
bekerja membantu ibu dan bapaknya memulung atau menerima cucian dari tetangga, Bintang
juga bekerja serabutan. Ikutan membantu
bawain belanjaan di pasar atau seperti sekarang, ngojekin payung.
Meski kekurangan, tapi gadis itu nggak
memanfaatkan keadaan dan belas kasihan orang. Buktinya, dia tetap memilih
bekerja keras, ketimbang mengambil jalan pintas. Seperti…amit-amit, menjajakan
diri pada lelaki hidung belang.
“Pernah,
mbak. Bahkan sering, digangguin. Untung Bintang sadar, masih punya pegangan
agama dan selalu inget orangtua. Dosa. Sekecil apa pun rejeki yang didapat
sekarang, Bintang tetep syukuri,” katanya, waktu kutanya gimana dia bisa
menjaga diri.
Godaan, mungkin
saja kan? Apalagi cewek ini tubuhnya tinggi semampai, berkulit sawo matang
dengan alis dan bulu mata tebal serta lentik. Hidung mancung dan bibir indahnya
mengingatkanku pada artis Angelina Jolie. Mmm, gimana cowok-cowok nggak
termehek-mehek, kalau dipoles sedikit saja?
*********
Bbbbbrr! Lamunanku buyar seketika. Barang-barang
belanjaan, masih berserakan di atas meja.
Belum ada lima belas menit masuk villa, tiba-tiba kudengar suara gaduh.
Seperti langkah orang. Arah suaranya dari kamar belakang, waduh..maling nih
jangan-jangan! Buru-buru kucari sumber
suara itu berasal, tapi…Kosong! Nggak ada siapa-siapa. Hanya daun pintu
tembusan kamar belakang yang setengah terbuka.
Heran. Bukannya biasa Vanno selalu meninggalkan villa dalam keadaan
semua pintu terkunci rapat?
Deg!
Jantungku kembali berdetak, ketika suara gemuruh air itu terdengar begitu
jelas. Bulu kuduk ini meremang tiba-tiba, bersamaan dengan aroma busuk menusuk
hingga membuat seisi perutku terasa diaduk-aduk. Astaga. Bau bangkai!
Pengalamanku menguasai bela diri membuatku nekad saja, mencari arah suara
gemuruh air itu berasal. Ampun! Kran di wastafel depan kamar mandi dan shower
dibuka! Jelas, air mengucur deras.
Mungkinkah, krannya rusak? Anehnya waktu kucek, kran bisa ditutup dan
baik-baik saja.
Selesai
mematikan kran di wastafel, kucoba mematikan shower di kamar mandi dan ternyata
tidak semudah yang kuduga. Seperti mengajakku bercanda. Keluar kamar mandi,
shower menyala lagi. Sekali, aku masih bisa cuek. Kali kedua, …astaga…. Nggak
salah apa yang kulihat? Seorang perempuan tengah duduk, meringkuk di pojok
tepat di bawah shower dengan tubuh basah kuyub. Wajahnya tidak bisa kulihat
jelas, karena disembunyikan di antara kedua lututnya dan tertutup kedua
tangannya. Bahunya berguncang hebat, seperti menangis sesegukan.
Lidahku
kelu. Pusing. Mungkinkah aku lagi bermimpi? Belum hilang kagetku, tiba-tiba
tangan perempuan itu menarik lenganku. Lantai kamar mandi memang begitu licin.
Aku pun nggak siap dengan “kejutan” ini, hingga terbanting ke lantai. Sebelum
kesadaranku hilang, masih sempat kulihat tatapan mata perempuan itu. Tajam,
menusuk!
*********
Apes.
Mungkin kecapekan dan ngantuk membawa mobil seharian, sampai aku berhalusinasi.
Akibatnya terpeleset di kamar mandi…Pagi-pagi, kuterbangun dengan badan pegal
dan baju basah di kamar mandi. Untung, staminaku nggak mudah ambruk. Secangkir
kopi hangat dan roti bakar, bikin moodku kembali dan nyaris melupakan kejadian
semalam. Mmm, kelihatannya musti belanja
supermarket lagi. Beberapa kebutuhan
pokok, habis. Keterlaluan juga Vanno. Waktu kutinggalkan villa tiga minggu
lalu, masih banyak snack dan perlengkapan pribadi yang belum dibuka dari
kemasannya. Sekarang, boro-boro kemasan. Balik ke villa, semuanya ludes bersih
tak tersisa. Malah lagi-lagi, rumah ditinggal dalam keadaan berantakan.
Jelang
ujian akhir, aku memang memilih menghabiskan minggu tenangku di villa. Selain
sumpek dengan suasana Jakarta yang always macet dan polusi, juga menghindar
dari orang rumah. Malas, tiap saat musti melihat tatapan tak bersahabat Vanno.
Tapi kami tinggal satu rumah, masa mau mengurung diri di kamar mlulu? Lebih
baik kabur…
Keluar
dari supermarket, hujan masih saja bersahabat. Padahal sengaja, pas mau jalan
aku bawa payung. Bodohnya, tetap saja tertinggal di dalam mobil. Mmm, biasanya
jam-jam segini Bintang ada…
Bener
tebakanku. Tak jauh dari tempatku berdiri, seorang gadis dengan payung berwarna
biru seperti biasa berdiri dengan bibir membiru dan tubuh menggigil,
kedinginan. Aku sudah menunggu ojek payung darinya, ketika tiba-tiba seorang
bocah cowok berambut plontos dengan tatapan polos itu, sudah menyodorkan payung
untukku….
“Payung
mbak, murah…Boleh nawar, saya antar sampai ke mobil….” Pinta bocah yang kutebak
belum ada 10 tahun usianya itu, sambil menatapku penuh harap. Duh, nggak tega
juga rasanya menolak dia yang sudah jelas-jelas berada tepat di depanku.
Sekilas kulihat Bintang masih berdiri di tempat yang sama dengan tatapan
kecewa. Entah kenapa, aku merasa sangat bersalah tidak menggunakan ojek
payungnya kali ini.
Duerrr!
Glek! Nyaris aku tersedak buah apel yang tengah kumakan. Seperti suara pintu
belakang dibanting. Padahal yakin seyakin-yakinnya, pulang dari supermarket
semua pintu masih dalam keadaan terkunci. Ah, mungkin halusinasi saja,
hiburku sambil melanjutkan suapanku.
Duerrrrr!
Lagiiii? Duh, nggak main-main kelihatannya. Sambil membawa payung, senjata
satu-satunya yang kutemukan di kamar, aku berjingkat, perlahan-lahan ke sumber
suara. Dan…kosong… Nggak ada siapa-siapa. Hanya pintu belakang dalam keadaan
setengah terbuka, sepertinya aku lupa mengunci?
Perasaan
nggak enak, tiba-tiba menyergap, bersamaan dengan lampu mati. Duh, Gusti. Aroma
apalagi ini…seperti bau bangkai, menusuk dan mengaduk-aduk seisi perutku. Kedua
tanganku bergetar hebat, ketika harus meraba-raba dalam gelap, sementara bau
busuk itu makin santer tercium. Udara dingin juga terasa begitu menggigit, sampai
membuat aku nyaris menahan nafas karena ketakutan yang amat sangat….’
Nggak.
Nggak boleh takut, batinku. Sambil berusaha mengenali arah mana yang menuju ke
kamar tidur. Untung, lampu tiba-tiba kembali menyala, pas aku berada tepat di
depan kamar mandi dan tengah dalam
keadaan terbuka….. Astagaaa!!!
Seorang
gadis tengah meringkuk di bawah shower yang mengucur deras. Badan mungilnya
menggigil, kedinginan. Dia mengerang, seperti kesakitan. Tapi makin kudekati,
seperti erangan orang yang menahan marah… belum sempat kusadar apa yang
terjadi, kulihat air yang mengalir di lantai kamar mandi berubah menjadi
merah, darahhh…darahhh di mana-mana dan
baunya busuk, menusuk. Panik. Antara takut, kaget dan nggak tahu musti berbuat
apa….sekian detik aku terpaku di tempatku berdiri, sebelum akhirnya semuanya
berubah menjadi gelap.
Sakit.
Linu. Semua persendianku seperti mau copot, ketika kusadar sudah berada di
rumah sakit. Ternyata, klinik yang berada tidak jauh dari villa.
“Untunglah,
mbak nggak mengalami gegar otak. Hanya lebam-lebam, luka luar saja… jadi bisa
langsung pulang. Keluarga mbak sudah menunggu di luar,” kata dokter berkacamata
minus itu. Mmm, keluarga? Papa, maksudnya?
Bingung.
Pas banget, papa sudah berada di puncak? Perasaan waktu aku berangkat lima hari
lalu, papa bilang banyak meeting dan bakal pulang malam mlulu. Bener. Ternyata
papa sudah menunggu aku di depan kamar periksa. Wajah beliau kelihatan kuyu dan
pucat. Nggak secerah biasanya. Kasihan. Pasti mengkhawatirkan keadaanku….
“Kita pulang ya, nak… “kata beliau dengan
suara berat. Hingga sepanjang jalan menuju Jakarta, kami sama-sama terpaku
dalam diam. Meski kupancing bicara, papa kelihatannya malas banyak berkomentar.
Ya, sudahlah. Lagipula, kepalaku juga masih pusing dan badan capek banget.
Pertanyaan
demi pertanyaan, tentang kejadian yang kualami di villa belum juga terjawab.
Hingga akhirnya, siang itu kulihat papa pulang kantor lebih cepat dari
biasanya.
“Papa
sakit? Pulang cepet?”
Papa
menggeleng, lantas memberi kode aku agar ikutan duduk bersamanya di ruang
makan. Duh! Entah harus bersyukur karena aku masih selamat
atau sedih karena harus merelakan Vanno masuk penjara. Bayangan mengerikan yang selalu menggangguku
di villa, ternyata ada kaitannya dengan saudara tiriku itu.
Cowok
yang suka touring dengan genknya itu, suatu malam kelewat mabuk pas lagi di
villa. Entah setan mana yang merasukinya, bersama dua orang kawannya, Vanno
membekap seorang gadis belasan tahun yang ditemui sepulang dari membeli
minuman, lantas membawanya ke villa. Tragis. Gadis itu tewas mengenaskan,
karena kepalanya terbentur lantai kamar mandi. Takut kejahatannya terungkap,
mereka membuang mayat cewek itu ke semak belukar. Namanya juga kejahatan,
sepandai apa pun pasti terbongkar juga…
Ada barang bukti yang mengarah ke villa dan akhirnya, ketika papa dan
polisi datang, mereka menemukan aku tengah pingsan di depan kamar mandi.
*********
Senin
pagi…Perasaanku lebih enakkan dari minggu lalu, setelah beberapa hari musti
menemani dan menghibur papa yang terpukul dengan kasus Vanno. Ajakan papa untuk
menemaninya menengok makam dan menyerahkan santunan untuk keluarga gadis yang
tewas itu, aku iyakan.
Sedih. Tak sanggup rasanya
membendung air mata ini, waktu kami bertemu dengan orangtua korban, lantas
mengantarkan kami ke makam. Pandanganku nanar, waktu membaca nama yang tertera
di nisan…. Bintang bin Makhmud. Mungkihkah dia perempuan hujan yang sering
kutemui? Lidahku kelu. Gelap dan dingin saja yang kurasakan, waktu orangtua
korban menunjukkan sebuah foto lusuh. Kenang-kenang dari anak gadis mereka.
Bintang. Si perempuan hujan. (Ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar