Ufff! Sosok perempuan kurus, berwajah tirus, dengan rambut tergerai sebahu itu, makin mendekat. Parfumnya begitu
menusuk. Seperti bau melati atau
rempah-rempah. Gaun satinnya yang putih menjuntai ke tanah yang becek, hingga
ujung-ujungnya penuh bercak tanah dan kotor. Tapi kelihatannya, dia tidak
perduli. Perhatiannya hanya tertuju
padaku yang hanya berjarak sekian meter di depannya. Alamakkk…kenapa kedua kaki
ini rasanya terpatri di tempatnya? Bergerak atau bergeser pun, aku tidak bisa.
Sementara kurasakan udara di sekelilingku semakin dingin. Beku.
Entah
ada di mana aku sekarang. Sekelilingku gelap dan berkabut. Hanya ada aku dan
cewek itu… Hati kecil ini mengatakan, ada yang tidak beres. Tapi ingin lari
atau teriak, nggak bisa. Mmm, pikir-pikir juga ngapain aku yang laki-laki
segede ini musti takut…
Lamban,
tapi pasti. Perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut itu, makin mendekat. Aroma rempah yang tercium,
lamat-lamat berubah menjadi bau anyir. Busuk. Perutku rasanya seperti
diaduk-aduk. Buat bernafas juga makin sulit. Dada seperti dibebani ribuan ton
pemberat. Sampai akhirnya, dia sudah berada tepat di depanku! Ya, kami
benar-benar bertatapan muka. Sangat dekattt… Astaga! Saking kagetnya, aku
sampai terhuyung-huyung, mundur dan jatuh terduduk.
Tebakan
kalau dibalik rambut itu, wajahnya cantik…ternyata bertolak belakang. Rusak.
Bagian kananpelipis hingga dagu perempuan itu, melepuh. Merah, penuh darah.
Belum lagi belatung yang bergelayut di sana…Buru-buru aku berusaha bangun, tapi
sia-sia. Sosok mungil itu lebih sigap dan kuat, tidak seperti diduga. Tangannya
mencengkeram lenganku dan wajah itu nyaris menempel begitu dekat dengan
wajahku…
Bing!
Bunyi alarm di handphone, mengejutkan. Huh! Syukur hanya mimpi buruk. Aku
terbangun dengan badan basah, bermandi keringat. Gila, kejadiannya seperti
beneran. Pasti gara-gara kemarin habis nonton di televisi, korban kecelakaan di
tol yang tewas mengenaskan. Gitu tuh, negatifnya aku. Gampang banget kebawa
mimpi. Kata almarhum nenek dulu, memang aku mewarisi bakat “sensitif” dari
beliau. Orang bilang, indra keenam. Kadang alam bawah sadarku bisa ngerasain
yang orang awam tidak rasakan. Percaya atau tidak, bener juga sih…
Waktu
sepupuku syukuran rumah barunya, aku ngerasa rumah itu nggak bener. Nyatanya,
kejadian kan…Bolak balik anaknya sakit, demam nggak jelas. Ternyata, putranya
suka diajakin “main” sama bocah penunggu kebun di belakang. Setelah halaman
dirapiin dan digelar selametan, semuanya aman terkendali. Beres.
Teman
sekantor bilang, sebuah keberuntungan memiliki sixth sense. Tapi bagiku,
sebaliknya. Bencana. Ya, bayangin saja… lagi enak-enak jalan sendirian,
sepulang dari mall misalnya. Tiba-tiba, ngelihat bocak cilik, plontos,
memperhatikan aku, pas lewat di samping
tong sampah. Kuku-kukunya yang panjang,
kotor itu, menggaruk-garuk tanah, tanpa henti. Giliran aku melihat ke arah lain
dan balik lagi, dia sudah nggak ada.
Mikirin
“gift” yang kumiliki ini, hanya bikin stress. Lambat laun, aku mulai terbiasa
dan berusaha cuek. Ya, kalau pun melihat sesuatu yang nggak mestinya, berusaha
nyantai. Anggap saja, selingan…Intermezzo…Seperti mimpi tadi malam, meski
menguras energi tapi tidak dimasukin ke hati. Mungkin saja, memang gara-gara
akhir-akhir ini banyak berita kecelakaan mobil di televisi.
Mimpi
malam itu, benar-benar sudah aku lupakan. Apalagi hari ini, acara padat banget.
Maklum, habis pindahan kantor. Pindah building baru… Lebih luas, nyaman dan
fasilitasnya lengkap. Senang juga sih. Tanda-tanda perusahaan makin maju. Sore ini, sengaja aku tidak ikutan teman sekantor
makan-makan. Lebih baik membenahi mejaku yang masih berantakan. Sayangnya,
belum lama beres-beres perut sudah keroncongan. Mmm, buru-buru kurapikan sisa
berkas di meja, lantas turun ke lantai bawah. Kudengar, ada coffe shop.
Lumayan, ngopi dulu sambil cari snack, sebelum balik ke rumah.
Tembang
Bruno Mars menyambutku, begitu masuk ke kafe yang kupikir rame. Jam-jam segini
sepi. Mungkin, orang-orang memilih pulang, ketimbang nongkrong dulu di sini.
Tapi nggak rugi sih, nongkrong sebentar. Kopi mereka enak dan interiornya juga
cozy. Keren. Ntar kapan-kapan, pasti teman sekantor kerajingan ngumpul di sini.
Satu
yang menarik perhatianku, begitu duduk…. Seorang perempuan, bermata bulat
dengan make up tipis, natural, tengah duduk sendiri di sudut kafe. Kelihatannya
dia belum pesan apa-apa. Hanya sebuah buku tebal yang tengah dibaca berada
dalam genggamannya… Pemandangan indah. Sempurna. Kelihatannya dia begitu serius dengan buku
bacaannya, sampai tidak perduli ketika seorang pelayan café menghampiri mejanya
dan mengganti kotak tissue yang tadinya sudah kosong.
Mungkin
dia pegawai salah satu kantor di building ini, juga. Atau mungkin, habis
meeting dengan kliennya? Busyet. Ngapain juga aku mikirin cewek itu. Toh, besok-besok
kami nggak bakal ketemuan lagi.
But
nyatanya? Tebakanku salah besar. Hampir setiap kali aku mampir ke kafe itu,
entah sendiri atau beramai-ramai dengan teman sekantor, kulihat cewek itu duduk
di sana. Biasanya kalau tidak asyik
membaca, dia mengutak-atik handphonenya. Hingga suatu kali, tanpa sengaja dia
sempat melihat aku yang tengah memperhatikannya. Kami sama-sama kaget, bahkan
aku malah yang tersipu malu. Ketahuan, diam-diam merhatiin tuh perempuan.
Untungnya, dia nggak ambil pusing. Cuek abis. Buktinya, beberapa kali kami
kembali berpandangan, dia tetap saja kembali dengan buku bacaannya. Nggak coba
membalas senyumku, sedikit pun.
*******
Jujur. Lama-lama, penasaran juga. Aku nggak sadar,
tergila-gila dengan perempuan itu.
Normal dong. Cantik! Bahkan boleh dibilang, gadis berkulit putih dengan
leher jenjang dan tinggi semampai itu, cukup sexy dan menggoda bagi semua
laki-laki yang melihatnya. Apalagi kalau melihat kebiasaan dia duduk dan
berpakaian… Wuih! Tapi entah mengapa, keberanianku untuk menghampiri, buat
bsekedar menegur atau menyapanya, sama sekali tidak ada. Malu. Takut dianggap
cowok hidung belang atau laki-laki kecentilan yang suka tebar pesona. Pantas
saja kalau sampai detik ini, aku masih seorangan. Jomblo. Gara-gara kelewat kuper
dan pemalu.
“Payah
lho, Than! Masa ngadepin cewek aja, musti didorong-dorong. Kapan dapetin
jodohnya? “ protes Anton, teman sekantor waktu aku ceritakan tentang perempuan
itu.
Sayang
saja, Anton nggak sempat aku tunjukin perempuan itu, karena keburu ditugaskan
ke kantor cabang. Lagian, kulihat cewek itu kini juga nggak sendiri lagi kok.
Gadis berambut cepat dengan gaya tomboy, sering ikutan nongkrong
bersamanya. Heran juga sih, dua cewek
itu nyaris bertolak belakang. Males
ngelihat si tomboy yang suka berpenampilan gothic, serba hitam dengan boots dan
piercing di hidung itu…Kasihan amat sih si cantik, punya teman gokil begitu…
“Soriiii….Maaf,
saya buru-buru,” kata pemilik wajah tirus itu, mengejutkan ketika tanpa sengaja
aku nyaris bertabrakan dengan seorang cewek di dekat kasir. Uuhhh, cewek tomboy
itu lagi…Komunikasi kami pertama kali itu, nggak menimbulkan efek apa-apa.
Hingga beberapa hari kemudian, ketika aku tengah mencari meja kosong di kafe
itu, tiba-tiba…
“Gabung
sama kita aja…Masih ada kursi kosong…” tawar seorang cewek, tiba-tiba. Lumayan.
Setidaknya, aku bisa duduk. Dan ternyata…. Cewek tomboy itu yang nawarin kursi.
Akhirnya, berhasil juga berdekatan langsung dengan si cantik yang selama ini
sering kuperhatikan menyendiri, sebelum temannya datang.
Ngobrol
dengan dua cewek itu, menyenangkan. Lara, nama si cantik yang lebih banyak diam
itu, setiap kami ngopi bertiga juga punya kepribadian secantik wajahnya.
Hangat. Nggak kecentilan dan easy going. Sedangkan Dita, si tomboy meski
mendominasi pembicaraan dan heboh gayanya, tapi dia teman ngobrol yang seru.
Meski jujur, aku masih suka merasa nggak nyaman berdekatan dengan Dita. Entah
karena penampilannya yang suka nyeleneh seperti cenayang itu, serba hitam mulai
dari kostum sampai make up atau karena tatapan matanya seperti menyimpan
sesuatu.
Naluriku
mengatakan, ada yang cewek tomboy itu sembunyikan dariku. Tiap kali kami
bersalaman atau tak sengaja saling senggol saja, kurasakan tangannya begitu
dingin. Parfumnya juga. Sungguh. Aku tidak suka….terlalu tajam.
“Dit,
kalian sobatan sudah lama?” tanyaku, waktu Lara tengah ke toilet. Dita
menatapku dalam-dalam. Astaga…kok bulu kudukku jadi berdiri gini! Nggak enak…
“Lumayan,
kenapa? Suka ya…”
“Hussss…ngaco.
Heran aja, kalian bisa kompak banget, sementara selera bertolak belakang
ghitu…” kataku, sambil menyeruput kopi yang sudah terhidang di meja.
“Lara jujur dan baik… Tapi kusarankan, hati-hati
dengannya. Dia sudah terlalu sering dikecewakan,” kata Dita, sambil menatapku
dalam-dalam. Huh! Lagi-lagi, aroma parfumnya….Melati, mawar atau apa sih?
Usahaku
untuk mendekati Lara, tidak sukses rupanya. Kulihat, Dita jelas-jelas terkesan
over protect. Setiap kami ngobrol
bareng, dia pandai mengalihkan pembicaraan. Bahkan ketika aku niat,
mengantarkan Lara pulang…Dita lagi-lagi menggagalkannya dengan alasan dia saja
yang nganterin. Padahal jelas-jelas sudah terlalu larut pulang sendiri, untuk
ukuran cewek. Pikiran negatif pun mulai bermain di benakku. Jangan-jangan, Dita
naksir Lara juga. Atau malah mereka sebenarnya pasangan kekasih? Kan banyak
juga tuh, pasangan sesama jenis?
*******
Meeting
seharian, benar-benar bikin badan rasanya rontok. Tapi keinginanku bisa
ketemuan dengan Lara, membuat aku memaksakan diri mampir dulu ke kafe di lantai
dasar. Gokil juga kalau dipikir-pikir.
Sejauh ini kami kenal, aku belum juga dikasih nomer telepon atau alamat
rumahnya.
Sepi…
Hanya satu dua pengunjung yang duduk, makan atau ngopi. Tumben, Lara nggak
kelihatan. Belum lama duduk, seraut wajah yang kukenal itu pun muncul. Dita.
“Sendirian?
Lara mana?” tanyaku, semangat. Mungkin saja, Lara nyusul belakangan. Tapi
kegembiraanku berubah menjadi kecewa, ketika kulihat Dita menggelengkan kepala.
“Nggak
ada. Dia nggak bakalan muncul…” katanya dingin, sedingin tangannya waktu
menyalamiku. Perasaan gamang, nggak enak masih mengganggu. Meski cewek ini
baik, tapi hati kecilku mengatakan ada yang dia sembunyikan.
Lara
benar-benar tidak muncul malam itu. Juga, malam-malam berikutnya setiap aku
datang ke kafe. Sendiri atau beramai-ramai.
“Dit,
Lara kemana? Kok nggak pernah barengan lagi?” tanyaku, serius malam itu, ketika
kami tengah duduk berdua di tempat biasa. Cewek yang malam ini kelihatan lebih
murung dari biasanya itu, menggeleng.
“Dia
nggak bakal datang lagi…”
“Pindah?
Keluar kota? Kenapa?” cecarku, penasaran. Kulihat, ekspresi Dita masih sama,
seperti biasa tiap kali kutanya kenapa Lara nggak muncul lagi akhir-akhir ini.
Datar.
“Dia
sudah sempurna, kembali ke alamnya… Mantan tunangannya sudah minta maaf dan
mengikhlaskannya,” katanya, membuatku makin bingung. Entah, musti sedih atau
takjub, Lara sebenarnya sudah berpulang jauh sebelum aku mengenalnya.
“Hanya
kita berdua yang merasakan keberadaan Lara, karena kita sama-sama punya
kelebihan. Indra keenam kita lebih peka. Dia meninggal dalam sebuah kecelakaan
motor, ketika pulang dari kafe ini kemalaman sendiri. Gara-gara habis putus
dengan tunangannya yang ketahuan selingkuh. Biasanya, Lara selalu duduk di meja
ini setiap ketemuan dengan cowoknya itu.
Kebetulan saja, aku melihatnya sendiri di sini…Kasihan…” jelas Dita
lagi, membuat kepalaku berdenyut tiba-tiba. Pusing.
*********
Moga-moga,
benar kata Dita. Andai Lara berpulang, dia sudah sempurna di alamnya. Kangen
juga dengan cewek cantik itu…Apalagi abis ketemuan dengan Dita, aku ikut
training di luar kota selama satu bulan. Tidak ada waktu memikirkan perempuan
itu lagi…
Sore
ini, Teddy teman kuliah dulu rencananya
menjemputku sepulang dari kantor buat reunian. Mm, sambil nungguin dia, nggak
ada salahnya aku ngopi dulu di kafe bawah. Cukup lama nggak ke sana, sepulang
dari training di Surabaya.
Rame. Seperti biasa, kupilih duduk
di sudut kafe. Ketika tengah menjawab beberapa pesan singkat yang masuk di HP,
refleks tatapanku mengarah ke sudut ruangan…tempat dulu biasa nongkrong dengan
Lara dan Dita. Dan….lagi-lagi, kulihat perempuan cantik itu ada di sana… Wanita
cantik, berleher jenjang, hidung mancung dan mata bulat indah. Lara? (ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar