Tangan-tangan
mungil itu kejang dan bergetar hebat. Cengkeramannya tidak sedikitpun
dilepaskan, bahkan terasa makin kuat. Sampai kuku-kuku panjangnya terasa mulai
melukai kulitku. Perih. Percuma, aku berontak atau berusaha melepaskannya
dengan paksa, karena cekalan Rahmi justru akan makin kencang. Kasihan,
sebenarnya. Perempuan yang baru saja kubawa dari Jawa ini, masih sangat polos.
Repot memang, cari pembantu hari gini. Selain butuh orang jujur, juga musti
betah dan sabar.
Kalau
dipikir-pikir, beruntung banget keluarga besar kami memiliki Mbok Jum. Pembantu
yang sudah mengabdi belasan tahun, sejak aku masih kuliah sampai kini sudah
berumahtangga. Mama sebenarnya nggak merelakan, wanita separuh baya itu aku
bawa ke rumahku yang baru. Karena bagi beliau, Mbok Jum bukan sekedar pembantu.
Tapi sudah seperti keluarga, kerabat, saking tulus dan baiknya beliau.
Gara-gara melihat pembantu di rumahku, keluar masuk alias nggak bertahan lama,
akhirnya mama mengiyakan, Mbok Jum tinggal bersamaku.
Sayangnya,
penyakit usia tidak bisa dihindari. Tahun kedua, wanita itu minta ijin pulang
ke kampung. Kondisi kesehatannya belakangan menurun. Beliau mengaku, ingin
menikmati masa tuanya bersama kerabatnya di desa. Ya, aku tidak mungkin
menahannya berlama-lama di rumah. Kasihan. Lagipula, kuperhatiin tenaganya juga
tidak sekuat dulu lagi. Masa tega, melihat beliau ngeberesin seisi rumah
sendiri?
Pembantu
pocokan atau harian, akhirnya menjadi pilihan terakhir. Mas Dika, suamiku
menyarankan aku menggunakan pembantu bekerja tengah hari saja. Asal bantuin
mencuci pakaian, setrika dan rapiin rumah.
Lantas, mereka bisa pulang.
Hasilnya? Nggak sukses. Bolak balik ganti orang, bolak balik ada
kejadian tidak mengenakkan. Pokoknya, belum ada yang setangguh dan sebaik Mbok
Jum…
Bingung.
Kesal. Mama sampai geleng-geleng kepala, tiap main ke rumah mendapati pembantu
ganti lagi. Hingga akhirnya, sepupu Mas Dika menyarankan, kami mengambil
pembantu dari Jawa. Kebetulan banget, Mbok Jum juga mengatakan kerabatnya ada
yang membutuhkan pekerjaan. Demi memperoleh PRT, berdua dengan Mas Dika weekend
ini kami sengaja ke kampung Mbok Jum buat menjemput saudaranya itu. Sekalian
nengokin beliau yang kabarnya sering sakit-sakitan, karena faktor usia.
*********
Lugu.
Polos banget, Imah. Perempuan berwajah oval dengan alis mata tebal dan rambut
sepinggang itu, kutebak usianya baru belasan. Waktu kami jemput, kelihatan
banget dia belum pernah ninggalin kampung halamannya. Kelihatan malu, takut dan
sedih. Apalagi saat berpamitan dengan kedua orangtuanya. Wah, seperti nonton
sinetron-sinetron saja… Haru.
Lumayan.
Meski harus menempuh jarak sekian km, berhasil juga kami memperoleh PRT.
Kubayangkan, rumah nggak sepi lagi kalau Mas Dika keluar kota atau pulang
larut. Minimal aku punya teman ngobrol atau beberes rumah. Tapi ya itu…polosnya bukan main. Sepanjang
jalan, Imah kelihatan begitu resah. Nggak bisa duduk nyaman, menyandarkan badan
di mobil. Bolak balik dia mengaduk-aduk isi tas jinjing, lantas duduknya geser
mojok ke sisi kanan. Belum ada lima menit, pindah lagi, geser ke sisi kiri…
Sampai-sampai, aku ikutan gelisah.
“Imah,
kenapa? Sakit perut? Ada barang kamu yang ketinggalan?” tegurku, sembari
memperhatikan dia yang duduk di tengah. Mas Dika yang sejak tadi mengemudikan
mobil, hanya senyum-senyum saja, melihat ekspresiku.
“Nggak
apa-apa, bu…Nggak ada yang ketinggalan….”
“Ya
sudah, santai saja. Tidur juga boleh. Perjalanan kita masih jauh lho.. Alas di
depan saja, belum kita lewati…”
Untung,
bujukanku ampuh. Nggak lama, Imah kelihatannya mulai terkantuk-kantuk, sambil
memeluk tas dari kain yang sudah tidak jelas lagi warna aslinya itu. Pasti, dia
masih kebayang orang-orang terdekatnya di kampung…batinku. Ntar juga kalau
sudah sampai Semarang, dia tidak segelisah itu.
Tebakanku,
salah besar. Bukannya, Imah tertidur pulas hingga sampai Semarang, malah
sebaliknya. Jelang alas roban yang kondisi jalanannya padat merayap, dia
tiba-tiba terjaga. Mata bulat itu terbelalak, menyaksikan deretan mobil dan
truk di depan. Tapi bukan hanya itu, tiba-tiba saja….
“Bu…takuttt…buuu,
pulangggg!” teriaknya, histeris. Tangan-tangan mungilnya mencengkeram pundakku,
hingga posisi dudukku tertarik ke belakang. Mas Dika sampai kaget, nyaris
menginjak rem, hingga kami tersentak ke depan…
“Imah,
ada apa lagi? Mimpi buruk ya…” aku berusaha menenangkan. Tapi tangan-tangannya
makin kuat, mencengkeram. Sampai kurasakan, tengkukku perih. Hiiih!
Jangan-jangan kulit mulus ini sudah baret-baret, kena cakarannya nih!
Sebisa
mungkin, kulepaskan cengkeraman Imah. Cewek berkulit sawo matang itu kini ganti
memelukku dari belakang, begitu kuat. Sampai-sampai aku susah bernafas…Gila nih
bocah, batinku. Stress…
Entah
apa yang mengganggu pikirannya. Kalau dibilang berlebihan, nggak juga. Karena
kurasa, dia benar-benar ketakutan. Masalahnya, apa yang membuatnya takut?
Kami berada dalam mobil yang sangat nyaman, meski
jalanan macet dan pemandangan kanan kiri hanya pohon rimbun dan jurang
menganga…
Untung,
nggak lama Imah kembali tenang. Mata yang tadinya terbelalak melihat ke kanan
kiri jalan, kini tak lagi garang. Wajah pucat itu, basah bermandi keringat.
Heran. Padahal ac di mobil begitu dingin. Entah apa yang dia khawatirkan…Apa
dia nggak pernah melihat dunia luar, sampai segitunya?
“Ma,
sebentar ya…” kata Mas Dika membuyarkan lamunanku. Ouch, sudah sampai mana ya?
Kulihat jalanan lumayan lenggang, tapi pemandangan di sekitarku masih tidak
jauh berbeda. Pohon, semak-semak, bukit, jurang…fiuuhhh…
“Kita
mau turun ya bu?” tanya Imah, waktu mobil menepi di dekat pepohonan rindang dan
berhenti.
“Kalau
nggak ada perlu, nggak usah turun Mah. Bapak saja, ada perlu…” kataku, sambil
mengeluarkan snack dari dalam tas.
Mas
Dika rupanya ngerasa ada yang tidak beres dengan mesin mobil. Maka dia
memutuskan menepi sebentar, sekedar ngecek mesin dan melemaskan sendi-sendinya
yang pegal.
Aku
yang setengah mengantuk, memilih diam saja dalam mobil. Kulihat Imah turun,
sebelum akhirnya ku benar-benar tertidur pulas, akibat letih amat sangat.
Benar-benar
perjalanan melelahkan. Tiba di rumah, aku hanya memberitahu kamar dan
perlengkapan pribadi buat Imah. Lantas, mandi dan tidur…Mas Dika juga
kelihatannya capek banget. Dia hanya sempat mandi, lantas menyusul aku. Tidur.
**************
Senin
pagi yang sempurna. Mas Dika sudah berangkat pagi-pagi bener, sementara aku masih menyiapkan beberapa
berkas buat dibawa ke kampus. Sebagai
dosen, pantang bagiku membawakan materi kuliah dengan ala kadarnya. Minimal,
bahan-bahannya sudah kubaca ulang dan kusiapkan semalam. Mm, beruntung
juga…Imah akhirnya bekerja di rumah kami. Setidaknya, aku bisa tenang ninggalin
rumah...
“Berani
ya, ninggalin rumah? Pembantu kamu kan baru sehari ditinggalin sendiri? “ tanya
Nesya, dosen satu jurusan denganku, keheranan. Ya sih, memang baru sehari Imah
kutinggalin sendiri. Tapi gimana lagi, masa aku musti ijin dan nggak mengajar
hari ini? Lagipula, keluarga kami juga
nggak kaya-kaya amat…Dia mau merampok apa, toh nggak ada perhiasan berharga
atau uang jutaan rupiah di kamar.
Pertanyaan
Nesya tadi nyaris kulupakan, andai saja Mas Dika nggak menelponku siang ini.
Katanya, telpon di rumah kok nggak ada yang angkat.
“Mungkin
saja Imah lagi di kamar mandi atau ketiduran, mas… Dia masih kecapekan kali,
belum biasa perjalanan jauh,” kataku, berusaha menenangkan. Padahal jujur sana,
aku juga ikutan gelisah waktu melihat sikap Imah. Seharian ini, sepulangnya aku
dari kampus kulihat dia nggak banyak bicara. Murung. Kalau kutanya atau
kudekati, dia seperti menghindar… Kasihan. Mungkin dia masih homesick. Mikirin
keluarganya di kampung.
Murungnya
Imah juga berimbas sama pekerjaan. Karena seharian ini, kulihat rumah masih
berantakan. Alamakkk…Mungkin dia nggak tahu, apa saja yang musti dikerjain?
Capek juga dong, menjelaskan detailnya apa saja..Bukannya secara dia bisa
refleks merapikan ruangan yang kotor atau tanaman di halaman disiram?
Hari
pertama aku ngantor dan Imah ada di rumah, tidak semulus yang kuharapkan.
Faktor umur, bisa jadi. Seperti yang dibilang Mas Dika. Imah kelihatan banget
masih sangat muda. Dia belum terbiasa dibebani arti tanggungjawab. Gimana musti
bersikap dengan majikan. Buktinya, nyantai saja tuh dia mengurung diri di
kamar, sepulangnya aku dari kampus….
Bolehlah,
hari ini aku tidak menegur atau memanggil Imah. Lagian, aku sendiri sudah capek
dengan tumpukan hasil test yang musti kukoreksi. Belum lagi, bantuin packing
Mas Dika yang besok mau keluar kota.
Pagi
ini, sengaja aku menyiapkan sarapan sendiri. Toh sederhana saja, roti bakar,
susu coklat hangat kesukaanku dan kopi pilihan Mas Dika. Kudengar suara pompa
air menyala di belakang. Mungkin Imah sedang mencuci pakaian…sudahlah, toh
sarapan nggak butuh bantuannya…
Bing!
Mas Dika menghentikan suapannya. Refleks aku pun melihat jam yang ada di
dinding. Baru pukul enam pagi. Siapa yang menelpon? Jangan-jangan kabar dari
mama yang sakit atau apa….Perasaanku langsung nggak enak. Mas Dika sudah duluan
mengangkat telepon. Kurasa, sesuatu yang tidak beres benar-benar terjadi. Wajah
cowok bermata elang dengan rambut cepak itu mendadak pucat. Suaranya juga
tergagap-gagap. Hanya menjawab, “Iya, baik…benar….”
Rasa
penasaranku belum juga terjawab, ketika selesai menerima telpon, Mas Dika diam
seribu bahasa. Sambil memberi tanda supaya aku segera menyelesaikan sarapanku,
lantas mengajakku berangkat bersama, tanpa banyak kata.
“Mas,
kenapa sih tegang banget dari tadi? Kita mau kemana sekarang?” tanyaku bingung,
waktu melihat mobil yang dibawa Mas Dika, arahnya bukan ke kampus atau ke
kantornya.
Semua
pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku terjawab sudah, waktu kami tiba di rumah
mama. Wanita yang melahirkanku itu tidak sendiri, tapi bersama seorang
laki-laki separuh baya. Kata mama, beliau salah satu kerabat Mbok Jum yang
mengantarkan Imah ke rumah, sekaligus minta maaf. Karena Imah terlalu polos,
sampai-sampai waktu mobilku berhenti di tepi jalan buat check mesin dia malah
ngobrol kelamaan dengan seorang perempuan yang katanya dia temui ada di dekat
mobil kami parkir. Pas Imah sadar, aku dan Mas Dika sudah pergi
meninggalkannya.
Untung, cewek
itu ditolong penduduk dusun yang lewat dan diantarkan balik ke rumahnya.
Wusss!
Keringatku mengucur deras. Kupastikan andai ada cermin, wajah ini pasti
kelihatan sangat pucat. Sama seperti Mas Dika yang tengah duduk di sampingku.
Andai Imah nggak ikut balik bersama kami, trus siapa cewek yang tinggal di
rumah? (ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar