Males!
Kepala ini langsung berdenyut, ketika
membaca SMS yang masuk. Huh. Lagi-lagi musti meeting ke kawasan Kuningan. Jujur saja, aku malas musti rapat di
kantor pusat. Macetnya, minta ampun. Apalagi jam-jam orang lagi keluar makan
siang. Gila kali ya, bisa-bisa mobil nggak gerak sama sekali. Traumaku belum
hilang. Bayangan waktu hujan badai dua minggu yang lalu, mobilku tengah
terjebak macet di daerah padat gedung pencakar langit itu. Badan sudah
menggigil kedinginan, lapar, tak ada snack atau pengganjal perut, tapi semua
kendaraan merayap. Belum lagi beberapa pohon dan papan billboard iklan yang segede
bagong itu banyak yang roboh. Hingga bikin hati makin giris. Bayangin coba,
kalau tiba-tiba di tengah macet, mobilku yang ketimpa?
“Bete
amat tampang kamu, Nu. Lagi mikir kenaikan gaji atau cewek nih?” Bimo! Teman
satu departemen denganku itu, sudah main selonong saja. Duduk di depan mejaku,
sambil membawa secangkir kopi yang masih mengepul.
“Dasar.
Pikiran kamu kalau nggak cewek, duit!”
“Lha,
bener kan? Sebagai laki-laki normal, apalagi yang dipikirin? Masa aku musti
mikirin cowok juga? Atau…kamu sudah berganti selera?”
“Gila
ya!” tangkisku, sewot. Tuh anak, ngomongnya suka kebablasan.
“Trus…trus…bagi-bagi
dong, gosipnya. Ada apa muka ditekuk gitu?”
“Minggu
ini, aku musti ke kantor pusat.
Rapat…sekalian ngomongin perluasan proyek di Surabaya.”
“Bagus
dong… Males ketemu boss? Bukannya itu malah kesempatan buat kamu, promosiin
diri? Siapa tahu naik jabatan…”
“Nggak
gitu! Jalannya itu lho, macetnya minta ampun. Kram otak aku! Belum apa-apa,
sudah ilfeel duluan.”
Bimo
tersedak. Lantas tertawa terbahak-bahak, sambil memandang wajahku yang masih
mendung.
“Ampun!
Kirain apa…Sepele banget. Ya, kamu isi bensil penuh, bawa CD lagu, snack,
minum, BB full charge…aman deh. Macet? Nikmati saja, kemping di dalam mobil…”
Dasar,
Bimo! Laki-laki yang sudah mendahului aku, menikah lima bulan lalu ini selalu
menanggapi apa pun dengan konyol. Tapi pikir-pikir, bener juga. Ngapain musti
dibawa stress.
****
Bingo!
Thanks God, aku berhasil juga memperoleh tempat parkir setelah berputar-putar
dari basement tadi. Nggak apa-apa-lah, sedikit mojok. Lebih tepatnya di ujung, dekat
pintu darurat. Minimal, nggak terlambat meeting.
Kulihat jam di pergelangan tanganku, masih sisa waktu dua puluh menit. Lumayan.
“Buru-buru
ya nak…Jangan ada yang ketinggalan. Kunci juga yang bener…” teguran itu,
benar-benar mengejutkanku yang tengah ribet mengeluarkan tas laptop dari dalam
mobil. Seorang bapak-bapak separuh baya, rambut cepaknya sebagian sudah
memutih, sudah berada di samping mobil yang kuparkir.
“Ah,
iya…Pak. Terima kasih. Memang saya buru-buru. Bapak petugas di sini?” Kulihat
sekilas, sekelilingku sepi. Tak ada siapa-siapa selain kami berdua. Laki-laki
tua itu menggelengkan kepala. Kuperhatikan, tubuhnya yang sedikit tambun itu
seperti limbung…Waduh, jangan-jangan nih Bapak mau pingsan lagi? Kok pucat
gitu?
“Bukan
nak…Bapak nungguin mobil majikan bapak. Beliau lagi ada acara di lantai atas.”
“Bapak
sakit? Kok seperti lemas begitu, pak?”
Laki-laki
itu menggeleng lagi. “Bapak hanya ngantuk, kelamaan di bawah sini… Makasih nak,
perhatian. Jangan lupa ya, kunci mobil yang betul. Nanti bapak bantu jagain.”
Aku
hanya bisa mengiyakan, tanpa banyak basa basi lagi. Takut waktu habis. Sambil
menenteng tas laptop, aku pun melenggang ke pintu lift, langsung menuju lantai
atas untuk menyelesaikan meeting hari
ini.
Dan,
ternyata… Bossku yang cerdik, baik hati, sekaligus menyebalkan itu terlalu
bersemangat. Sampai-sampai rapat kami bersama tim pemasaran, berakhir lewat
magrib. Bener-bener kelakuan. Ya, meski sebagai bonusnya semua peserta dapat
mendapat jatah makan malam, nasi kardus dari sebuah resto terkenal, tetap saja
aku musti pulang telat. Bahkan, sangat telat… Sambil melangkah ke parkiran
mobil, kubayangkan wajah Deta, adik perempuanku satu-satunya yang terpaksa
bengong sendirian di rumah karena menungguku pulang. Ggrhhh…
“Lama
bener ya meeting-nya, nak? Capek?” Nyaris aku tersandung undakan, polisi tidur
di parkiran, ketika seraut wajah kuyu dan pucat pasi itu tiba-tiba sudah ada
tidak jauh dari tempat aku berdiri. Bapak itu?
“Tadi
sudah bapak tungguin. Mobilnya aman. Nggak ada yang berani ganggu,” tuturnya,
sambil membasuh wajah pucatnya itu dengan sapu tangan. Ya ampun, tuh bapak lama
juga nungguin atasannya. Bayangkan dari aku datang, jam makan siang tadi sampai
hampir lewat pukul tujuh malam. Keterlaluan juga tuh, atasannya. Masa nggak
diajak naik ke atas kek, tawarin makan atau gimana…Istirahat, ngadem di dalam.
“Bapak
dari tadi siang di sini? Nggak ke dalam saja Pak, lumayan ngadem…” tanyaku,
sambil membuka pintu mobil. Tas laptop kumasukkan. Jas kulepas, kulempar
sekenanya ke dalam mobil…
“Nggak
apa-apa, nak. Biasa. Bapak tugasnya membawa, sekaligus menjaga mobil tuan saya.
Kalau ditinggalin nanti ada apa-apa, bagaimana?”
Aku
menggeleng-gelengkan kepala. Kuambil sebotol air mineral yang masih tersegel
dari dalam mobil dan sekotak biskuit coklat, lantas kusodorkan ke bapak tua
itu…Tapi dia menggeleng…
“Nggak
perlu, nak… terima kasih. Bapak sudah kenyang. Minum juga ada. “
“Ya
sudah pak, saya duluan ya. Takut kemaleman, kena macet lagi. Bapak juga
hati-hati di sini… “ pesanku, sambil masuk ke dalam mobil. Mesin kunyalakan,
sekilas kulihat dari kaca spion, bapak tua itu melambaikan tangan. Kasihan.
Tapi ya, itulah resiko bekerja di rimba raya Jakarta ini. Musti bekerja keras!
********
What?!
Nggak salah, aku musti presentasi lagi ke kantor pusat? Padahal baru dua hari
lalu, aku balik dari sana. Belum sempat merevisi beberapa catatan, sudah harus
kembali meeting. Bener-bener, super semangat tuh Boss. Malesnya lagi, rapat
kali ini pagi. Bayangkan, pukul delapan sudah harus hadir di kantor. Padahal
semalam, tidur pukul dua pagi. Gara-gara
merevisi proposal.
“Tumben,
pagi-pagi nak?” Dug! Jantungku mau copot. Sejak masuk ke parkiran dari lantai
bawah tadi, suasananya masih sepi. Hanya ada beberapa mobil saja terparkir.
Sengaja, kupilih parkir di dekat pintu lift, agar tidak perlu jalan jauh
seperti kemarin.
“Nak,
sekarang berkantor di sini?”
Astaga,
tuh bapak…Aku kok bisa amnesia. Laki-laki tua itu kan baru dua hari lalu
kutemui, di parkiran gedung ini juga. Kulihat dia masih kuyu, seperti kemarin.
Pucat. Kelihatan capek banget. Bener-bener, majikannya pelit kali…
“Nak…Mikirin
saya?” Aku tergagap. Tahu saja nih bapak…
“Ah,
nggak Pak…Lagi mengingat-ingat, kita pernah ketemuan di mana. Ternyata dua hari
lalu ya, Pak? Bapak sendiri ngapain di
sini? Nungguin mobil lagi…Masuk saja Pak, kan ada tempat tunggu, buat duduk di
dalam…Boss bapak bisa sms atau menggunakan car
call, kalau butuh cari bapak.
“Nggak
perlu, nak. Makasih. Kamu perhatian banget sama bapak. Tugas bapak sehari-hari
ya nungguin mobil di sini…”
Aku
menggeleng-gelengkan kepala. Kasihan betul. Hingga rapat selesai, aku balik ke
parkiran lagi, kulihat bapak tua itu masih duduk di dekat besi pembatas
parkiran. Mmm, masih banyak waktu. Nggak ada salahnya aku berbuat baik, buat
bapak ini. Kuambil segelas cappucino yang tadi kubeli di café bawah, kebetulan
aku beli dua. Tadinya mau kubawain buat Bimo. Tapi pasti bapak ini lebih
membutuhkan…Sekaligus dua kotak biskuit yang kini, selalu ada di mobil.
“Ngopi
dulu pak…Ada biskuit juga, lumayan ganjal perut,” kataku, sambil menyorongkan
kopi dan biskuit. Bapak itu menggeleng, sepertinya dia segan. Malu. Terpaksa,
kuletakkan saja di sampingnya. Lantas aku ikut duduk di sana…
Ngobrol
dengan bapak tua yang mengaku sudah sepuluh tahun menjadi sopir pribadi itu,
seru juga ternyata. Meski sesekali, dia sering terbatuk-batuk, seperti orang
sesak nafas, tapi semangat dan celotehannya bikin aku lupa waktu. Pak Sudir,
nama laki-laki yang memiliki dua anak masih duduk di bangku SMP dan SMA itu
sudah ditinggalkan sang istri, karena kecelakaan.
“Istri
saya terserempet mikrolet yang ugal-ugalan, nak…Padahal dia ikut membantu
menopang hidup keluarga kami dengan buka warung kecil-kecilan. Sekarang,
tumpuan utamanya saya…Kasihan anak-anak…Gimana masa depan mereka, kelihatannya
bapak juga belum tentu sanggup menyekolahkan mereka sampai menjadi sarjana.
Agar punya kehidupan jauh lebih mapan dari orangtuanya.”
Aku
menggeleng-gelengkan kepala, sedih. Ingatanku langsung ke mama dan papa, kedua
orangtuaku yang juga tewas dalam sebuah kecelakaan beruntun. Papa meninggal di
tempat, sedangkan mama seminggu setelah koma di rumah sakit. Deta masih sangat
kecil waktu itu. Beda usia kami memang jauh. Delapan tahun. Berkat bantuan
Paman, adik kandung mama, aku berhasil menyelesaikan kuliah dan bekerja,
sekaligus membantu melanjutkan biaya pendidikan adikku semata wayang itu.
“Ya,
masing-masing manusia sudah memiliki jalannya sendiri, Pak. Jangan cemas, pasti
Tuhan berikan jalan buat keluarga bapak…” Kulihat mata Pak Sudir berkaca-kaca.
Tangannya yang mulai keriput itu berulangkali mengusap wajahnya, seakan ingin
melepaskan bebasn yang dia rasa begitu berat. Nggak tega, aku melihatnya. Tapi
mau bagaimana lagi…
Kami
pun berpisah di parkiran, dalam diam. Kulihat dari kaca spion, beliau melambaikan
tangan seperti biasa. Moga-moga, bapak
itu selalu diberi kesehatan dan rejeki…batinku, pedih.
*******
Gara-gara
proyek baru perusahaanku dipercepat, terpaksa aku makin sering ngantor ke
kantor pusat. Lagi-lagi macet, bikin aku senewen. Tapi satu yang membuatku
beda, lebih bersemangat dan tidak ngomel berkepanjangan, keberadaan Pak Sudir.
Tanpa sengaja, kami sering ketemuan di tempat parkir. Sebuah kebetulan…Beliau
juga seperti biasa, terduduk lesu di pinggir parkiran. Alasannya nungguin mobil
majikannya. Entah, mobil yang mana…Tapi ngobrol dengannya, sekedar membuatnya
tersenyum, membuatku terhibur. Beliau mengingatkanku pada papa…Andai papa masih
hidup, pasti usia beliau tidak jauh berbeda…
Baru
kutahu, dua putra Pak Sudir akhirnya terpaksa pindah ke Jawa, karena beliau
tidak sanggup membiayai sekolah anak-anaknya di Jakarta. Ya, paling nggak biaya
hidup lebih murah. Salah satu saudara jauh Pak Sudir membantu, biaya sekolah
kedua anaknya. Syukurlah. Setidaknya, beban bapak tua ini berkurang.
“Nu..Danuuu…! Bengong saja! Hati-hati
kesambet…” Bimo sudah muncul di depan mejaku, siang ini. Tangannya menenteng
dua gelas cappucino. Baik juga nih, anak…
“Kamu
tuh yang kesambet. Ngaco saja ngomongnya,” protesku, sambil mengambil cappucino
yang masih hangat itu, lantas menyeruputnya. Sedap, benerrrr….
“Ketimbang
baca koran mlulu, lihat bursa saham, lebih baik bantuin nih…Proposal dari
bagian marketing ada yang salah…”
Bimo
menggeleng, cepat.
“Enak
saja. Tanggung jawab kamu dong… Gini-gini aku kan yang paling update berita di
kantor ini? Kasihan banget ya, Nu. Lagi-lagi ditemukan orang mati lemas dalam
mobil, karena keracunan gas. Kebiasaan tuh, mereka kok ya nggak baca
koran…Bahaya banget kan, berada terlalu lama dalam mobil nyala, tapi tertutup
rapat,” Bimo nyerocos saja, sambil membolak-balik koran pagi ini…
“Memang
berapa banyak? Sok tahu, kamu bilang sering…”
“Ya,
iyalah…Wong baru beberapa minggu yang lalu kejadiannya. Nggak baca ya? Kalau
nggak salah satu buiding dengan kantor kamu. Kabarnya laki-laki itu tewas di
mobil majikan. Mati lemas…Eh, sekarang kejadian lagi,” kata Bimo, sambil
mengambil lembaran koran lama di tumpukan koran, dekat mejaku.
“Nih
lihat, kejadiannya belum lama kan? Sama nggak dengan building kantor pusat
kita?” tanyanya, sambil membuka selembar koran. Jelas, tertera berita tentang
kematian seorang sopir pribadi yang mati lemas di mobil, saat menunggu
majikannya.
Mataku
mendadak perih, berat. Pandanganku mengabur…Benarkah berita yang kubaca,
lengkap dengan insert foto korban di koran itu,
orangnya sama dengan laki-laki tua yang beberapa hari belakangan ini
sering kutemui? Pak Sudir? (FT:berbagai sumber)
1 komentar:
aww... sediiih...
bagus ini mbak.. baguus.. :'(
Posting Komentar