Sempurna!
Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri di depan laptop, membayangkan ekspresi
ketakutan pembaca novel keduaku. Kali ini tokohnya seorang gadis usia belasan
yang sudah menjadi mesin uang bagi ayah tirinya. Dia dijual ke beberapa lelaki
hidung belang, termasuk tunangan dia yang ternyata juga doyan main perempuan.
Meski dalam kondisi sakit pun, Gina musti meladeni laki-laki. Hingga suatu
malam, ayahnya menemukan dia tewas mengenaskan, karena melompat dari lantai dua
tempat mereka tinggal selama ini. Kepalanya retak, sebagian besar tulang rusuk dan kakinya patah.
Hanya
selang sehari setelah kematian Gina yang tidak wajar, berturut-turut lelaki
yang pernah menyiksa Gina tewas mengenaskan. Mulai dari tunangannya, pelanggan
di kafe tempat mereka biasa “transaksi”, hingga sang ayah yang berhati culas
itu. Mereka ditemukan dengan kondisi menyedihkan. Ada yang kena aliran
listrik kantor tempat mereka bekerja,
tertimpa papan reklame saat mobil mereka melintas, sampai ada yang terhimpit
mobil pengangkut semen yang tiba-tiba remnya blong. Proses kematian mereka
kubuat mengerikan. Ketegangan demi ketegangan kurangkai sedemikian rupa, hingga
seakan penonton melihat tayangan filmnya.
“Gila
kamu ya…Ngeri banget, cerita-cerita kamu. Gue sampai terbayang-bayang, hingga
kebawa mimpi! Kok bisa sih, Tan…Memang, kamu nggak takut sendiri?” komen Tika,
salah seorang temanku terheran-heran. Aku hanya bisa tertawa lebar, melihat
sahabatku waktu SMA itu geleng-geleng kepala. Soalnya nggak hanya dia saja yang
komentar seperti itu…Teman-teman kuliah, redaktur dari penerbit yang mengedit
tulisanku, sampai Nino laki-laki yang dua tahun ini menjadi pacarku, juga
ngomong sama.
Jujur saja.
Sebagai penulis, kepuasan tersendiri bagiku mampu mengaduk-aduk emosi mereka.
Apalagi bisa membuat mereka ketakutan, bahkan kalau bisa sampai terbawa mimpi.
Entah mengapa, sejak awal aku menyukai cerita-cerita horor yang bikin jantung
siapa saja berdebar-debar.
Tulisan pertama
yang kubuat waktu masih kuliah, ternyata membuat Bimo teman satu angkatan
sampai phobia dengan kamar kecil di kampus kami. Gara-gara aku menceritakan
kisah seorang gadis yang tewas, ketika berusaha menggugurkan kandungannya di
kamar kecil sebuah kampus ternama. Cowok bertubuh tambun yang biasa cuek dan
murah tawa itu, tiba-tiba saja menjadi pendiam selama beberapa hari. Jelas
saja, kami teman-teman satu angkatan terheran-heran. Kocaknya lagi, ketika dia
ketahuan minta ditemani ke kamar kecil. Astaga…Mahasiswa setua ini masih takut
ke kamar kecil sendiri? Belakangan baru kutahu, dia suka kebayang-bayang sosok
menakutkan di toilet kampus, setelah membaca ceritaku yang dimuat di sebuah
surat kabar.
Perasaan
bersalah, tapi juga bangga menghantuiku. Bangga, karena itu artinya cerita yang
dibuat alur cerita dan penokohannya kuat, sampai-sampai pembaca seperti Bimo,
bahkan teman-teman lain yang akhirnya ngakuin, terbawa suasana. Ngerasa
bersalah, sebab secara tidak langsung aku membuat hidup Bimo tidak tenang.
Untung, cowok itu bisa menghilangkan rasa takutnya…meski akhirnya dia tidak
pernah berani lagi membaca karya-karyaku.
Ffuih!
Jari-jari yang sudah beberapa jam menari-nari di atas keyboard, pegal juga.
Kulirik jam di dinding, hampir pukul enam sore. Artinya aku harus buru-buru
mandi, editing terakhir naskahku, sebelum besok mengirimkannya ke redaksi
sebuah penerbitan yang selama ini selalu memuat cerita yang aku buat.
Bbbrr..
Air yang menyembur dari shower,
membuatku bergidik kedinginan. Memang nggak biasanya aku mandi sampai sore
begini. Kalau pun kemalaman, pasti aku biasakan menggunakan air panas. Sambil
bersenandung kecil, aku meraba-raba ke kotak sabun, berusaha meraih sabun cair
beraroma lavender, kesukaanku.
Mmm, botol sabun berhasil kuraih. Tapi, begitu kutuang sabun cair yang
biasa kugunakan, mengapa…Astaga…Wanginya terasa berbeda. Anyir… bikin mual! Mungkinkah salah ambil
atau sabun ini kadaluarsa? Kubuka mataku perlahan, …telapak tanganku…
merah! Tangan ini penuh dengan cairan
berwarna merah kehitaman, menyerupai darah… Lagi-lagi baunya…
Glek.
Aku nyaris muntah. Buru-buru kubilas air. Tangan ini kugosok sekuatnya, sampai
terasa pedih dan perih. Nggak, nggak boleh takut…Itu hanya halusinasiku.
Kebanyakan lembur, bikin cerita horor, batinku berusaha menghibur. Sayangnya,
ketakutanku bukan makin hilang tapi makin menjadi ketika kurasakan ada sesuatu
yang tengah merayap di pundakku. Geraknya begitu lamban, tapi terasa liat dan
licin.
Aku melompat
jijik, sambil berusaha mengibaskan badanku agar benda asing itu jatuh. Ampun…Tubuhku terpelanting, nyaris terbanting
ke lantai kamar mandi. Lupa kalau lantai begitu licin. Tangan kanan pun
menghantam sisi wastafel, hingga sakitnya terasa sampai ke ubun-ubun. Kulihat
sekilas di cermin, tak ada apa-apa di pundakku. Benda asing itu juga tidak ada
di lantai. Entah, apa wujudnya dan ada di
mana sekarang. Tanpa berpikir dua kali, kusambar handuk, lantas
kulilitkan ke badanku sebisanya dengan tangan bergetar. Sepi! Keluar dari kamar
mandi yang langsung terhubung ke kamar, kurasakan kesunyian yang amat sangat.
Nggak ada siapa-siapa…
Ah,
sudahlah. Halusinasi jangan ditanggapi…Aku hanya bisa meringis, melihat tangan
kanan lebam kebiruan. Pasti aku tadi
memikirkan naskah ceritaku yang akan datang, sampai-sampai kebawa mimpi.
Sekilas kulihat dari jendela, keadaan di luar sudah gelap. Guntur juga
terdengar berulangkali…Tanda malam ini bakal hujan besar…
Tangan
kanan yang lebam, kuolesi balsem sebisanya. Lantas, kunyalakan kembali laptop.
Kelihatannya aku perlu menambahkan sedikit catatan buat tokoh utamanya, selain
beberapa koreksian di bagian saksi mata. Biar hasilnya sempurna, batinku.
Air mata Gina tidak berhenti mengalir,
ketika dia menatap wajahnya di depan cermin kamar. Pucat. Lusuh. Pipi kirinya
membiru. Bekas tamparan salah satu laki-laki hidung belang yang kemarin malam menyusup ke kamar, atas ijin
papa tirinya itu masih terlihat jelas. Tangisnya kembali pecah. Tubuh mungil
itu limbung…Keseimbangannya goyah. Sembari bertopang pada dinding, Gina
melangkah ke arah jendela kamar yang terbuka. Hanya dalam hitungan detik, tubuh
sempurnanya melayang jatuh…
Duh!
Listrik mati… Aku nyaris melompat dari kursi, kaget sendiri. Tanggung banget.
Lagi asyik mengedit tulisan sendiri, lampu mati pula. Untung, batere laptop
masih full sehingga kamar tidak gelap
gulita. Tapi ya tetap saja…mood-ku
sudah hilang. Lebih baik kunyalakan lilin dulu, sebelum melanjutkan
pekerjaanku.
Hanya
dengan mengandalkan layar HP, kucari-cari lilin di dalam lemari. Aih…ketemu
juga. Lumayan. Kamar ini tidak segelap tadi. Minimal, aku bisa menyelesaikan
editanku…Kembali aku duduk di depan laptop dan …Astaga! Ketikanku sudah
terhapus, tepat saat kematian Gina…Ah, mungkin tadi tanpa sengaja kepencet
keyboardnya. Buru-buru berusaha kucari copy
file-nya…Tetap saja, tidak bisa. Bahkan kini, laptopku ngadat. Hang! Nggak bisa
diapa-apain…
Nyaris
putus asa! Laptop kututup, kuhempaskan tubuhku di tempat tidur. Benar-benar,
aku menyerah. Nggak mungkin juga memaksakan ngerjain editan, ketika lampu mati
dan otakku juga ikutan kacau. Konsentrasi buyar…
Bippp…
Ada telephone masuk. Kulihat sekilas dari LCD Hp, mmm…mama!
“Ya,
ma…” sahutku berat, sambil memeluk bantal…
“Tan,
kok lesu banget suara kamu? Baik-baik saja kan?” Suara mama di seberang,
nadanya khawatir…
“Mmm…nggak
apa-apa, ma. Hanya listrik mati…Intan lagi kesal saja, karena nggak bisa
nyelesaiin kerjaan…”
“Ya,
sudahlah. Sabar saja… Memang listrik di rumah baru kita ini, suka mati-mati
kalau hujan deras. Mama hanya mau bilang, pulang agak malam. Ntar dianterin
Tante Rini, teman arisan mama. Soalnya mendadak diajak nengokin teman sakit.”
“Beres,
ma…” Jawabku lemas, sambil mematikan HP.
Bener juga kata mama, rumah yang baru kami tinggali dua bulan ini memang
berulangkali mati lampu setiap hujan gede. Sebenarnya aku lebih nyaman dengan
kontrakan kami yang dahulu, jarang mati lampu dan mungil, sehingga tidak repot
membersihkannya. Tapi bagaimana pun, kata mama tetap lebih enak rumah sendiri.
Ya! Hasil kerja keras mama dan aku digabung dengan deposito peninggalan papa
almarhum, menghasilkan rumah ini…
Hujan
masih mengguyur Jakarta. Malam ini, aku tertidur kelelahan. Sampai-sampai tidak
sadar, pukul berapa listrik menyala kembali.
*****
Pagi
yang sempurna. Meski jam di dinding kamar masih menunjukkan pukul tiga pagi,
aku sudah duduk manis di depan laptop.
Editan naskah semalam yang tertunda gara-gara listrik mati, musti beres
kalau tidak mau kena omel editorku hari ini. Beberapa halaman awal kubaca lagi…
Perfect! Karakter tokoh, alurnya
sudah enak. Tapi kenapa di bagian ketika perempuan malang itu bunuh diri,
terhapus?
Ya
ampunnn… Keringat membanjir. Nggak hanya satu dua baris saja, hilang. Beberapa
bab penting, lenyap. Kucoba mencarinya di folder lain, tetap sama. Tidak ada
jejaknya! Ggrh…mau tidak mau aku mencoba mengulang beberapa bagian yang
kuingat. Selebihnya, benar-benar mengarang bebas. Untung instingku di saat
terjepit begini, selalu cepat tanggap. Kata-kata bisa mengalir begitu deras,
kalau sudah terjebak yang namanya
deadline.
Hanya butuh dua jam saja, editing dua bab terakhir dari novelku berhasil
kuselesaikan. Kulihat jam di dinding. Lumayan, masih ada kesempatan buat tidur
sebentar barang satu dua jam…lantas ke kantor penerbit yang akan menerbitkan
novelku. Mataku langsung terpejam, begitu mencium bantal. Pulas!
Sesuai
rencana, naskah yang sudah kupindahkan dalam flashdisc kuserahkan Mas Priyo, redakturku. Kelihatannya dia lagi
tegang, selesai meeting dengan pihak
managemen. Buktinya, dia tidak banyak senyum dan bercanda seperti biasa, setiap
kali melihat aku masuk ke ruang kerjanya…
“Udah
beres, Tan? Kamu sudah koreksi lagi, sebelum kamu serahkan sama saya?”
tanyanya, sambil membuka laptopnya. Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung
meneliti isi flashdisc yang kubawa. Sebentar-sebentar matanya mengeryit, lantas
terbelalak…Kelihatan banget Mas Priyo bisa mengikuti alur cerita yang kubuat…
“Gimana
mas? Saya tunggu koreksian mas langsung atau saya tinggal?” tanyaku, hati-hati.
Mas Priyo menggeleng-gelengkan kepala, tiba-tiba tangannya mengacak rambutnya
sendiri yang kriwil hingga makin kusut masai…
“Waduhhh…Kamu
nggak teliti lagi, Intan. Ngerjainnya sistem kebut semalam ya?” tegurnya,
serius.
“Nggak,
mas… Kenapa? Alurnya nggak asyik ya mas? Atau tokohnya…”
“Bukan..Bukan
itu…Sepertinya ada satu atau dua halaman, terlewatkan deh.”
“Ah, masa mas? Saya sudah edit ulang kok?”
“Ah, masa mas? Saya sudah edit ulang kok?”
“Lihat
saja sendiri, … Ketika tokoh Gina tewas. Tiba-tiba saja dia tewas, tapi tidak
kamu jelaskan penyebabnya…Gimana jalan ceritanya, sampai dia bisa ditemukan
meninggal.”
Nafasku
tercekat. Lidahku kelu. Astaga! Masa bagian itu hilang lagi… Mas Priyo
menyorongkan laptopnya ke depanku. Benar. Terasa banget ada beberapa bagian
yang tidak nyambung, karena ceritanya terpotong tiba-tiba…
Aku
tertunduk lesu. Nggak bisa bicara apa-apa lagi. Ngeles atau ngotot pun,
percuma. Karena Mas Priyo paling tidak suka dibantah, apalagi kalau buktinya
jelas-jelas ada.
“Ya
sudahlah, kamu bawa saja lagi flashdiscnya. Saya beri waktu dua hari dari
sekarang, karena besok saya ke luar kota. Tapi saya minta, rapi dan sempurna
ya…Jangan ulangi lagi, kesalahan serupa,” tegur bapak dari dua orang putra itu,
berat. Aku hanya bisa mengangguk lesu, sebelum pamit dan berlalu dari ruangan
beliau… Duh, apes banget hari ini!
*****
Hujan lagi? Oh, no… Nyaliku sudah menciut
duluan. Kebayang, andai listrik mati. Sementara pekerjaanku masih numpuk. Belum
lagi wajah Mas Priyo editor killerku itu pasti semakin bengis…Hiiihhh!
Mmm,
sampai di mana aku tadi ya…Mataku yang minus ini meneliti halaman demi halaman,
hingga tiba-tiba…
Blam!
Gggrh, bener kan…Lampu mati. Untung aku sudah menyediakan beberapa batang
lilin, sehingga tidak perlu meraba-raba dalam gelap. Cukuplah dengan penerangan
lilin dan batere laptop yang masih full, kuselesaikan beberapa paragraf yang
hilang. Tapi…astaga, laptop ngadat lagi…
Bener-bener
mau menangis rasanya…Kesal dan kecewaku menggunung. Andai saja kami tidak
pindah ke pemukiman yang suka mati lampu ini…
Bbbrrr…
Udara dingin terasa berhembus di tengkukku. Jendela kamar berderak tiba-tiba,
seakan angin kencang di luar sana ingin menerobos masuk. Hujan memang begitu
deras malam ini. Kurapatkan jaket yang membungkus tubuh mungil ini, tapi tetap
saja dingin itu terasa menusuk tulang. Heran…Nggak biasanya aku menggigil,
kedinginan. Kulihat jam di dinding menunjukkan angka sepuluh. Kelihatannya mama
sudah tertidur dari sore tadi. Kasihan, beliau kecapekan setelah bekerja
seharian.
“Intan…”
Dahiku berkerut, heran…kompakan dengan bulu kudukku yang berdiri. Siapa yang
memanggilku? Kulihat sekelilingku yang gelap gulita… Tak ada siapa-siapa.
Mungkinkah mama terbangun?
“Mama
ya?” tanyaku, lirih.
“Intan…
Tolong Intan….” Suara itu? Tubuhku bergetar hebat. Gigiku seperti beradu, mulut
seperti terkunci. Ingin teriak, tadi suara ini hanya tercekat di tenggorokan
saja. Kelihatannya suara itu, bukan suara mama…
“Siapa
ya…” Kulihat sekeliling kamar yang tetap sama…Gelap. Tak ada siapa-siapa. Suara
jendela yang berderak, terdengar makin kencang hingga bikin berisik.
Sendi-sendi kakiku lemas rasanya…Akal sehatku hilang. Padahal biasanya aku
paling bisa menakut-nakuti orang lewat cerita-ceritaku…
“Intan…”
Jari-jari lentik itu tiba-tiba terasa begitu dingin, memegang bahuku. Nyaris,
aku melompat pingsan!
“Kamuuuu….!!!!”
“Intan,
ada apa nak?” Kuperhatikan lagi, pemilik suara yang kini sudah tepat berdiri di
sampingku. Astaga…Benarkah itu mama? Untung, beliau tidak tahu kalau aku nyaris
mati berdiri karena takut hal-hal yang berbau hantu, dedemit dan sejenisnya.
Andai mama tahu, pasti habis aku diledeknya…Masa penulis kisah horor penakut?
“Ah,
mama…Ngagetin aja. Tadi kebangun ya, ma?”
Mama
mengangguk, lantas duduk di sampingku. Kuperhatikan samar-samar dengan bantuan
cahaya lilin, mama memang tampak lelah. Matanya cekung, tatapannya seperti
kosong dan raut wajahnya lebih pucat dari biasanya. Kasihan beliau… Pasti
menanggung banyak pikiran..
“Sudah
selesai pekerjaan kamu, Tan? Gimana akhir ceritanya…?”
“Sebenarnya
sudah ma…Tapi beberapa kali, ada bagian yang terhapus dan musti dibenerin…”
“Termasuk
kisah tokoh utamanya? Siapa tuh namanya, Gita…Gina ya?? Dia bunuh diri, terjun
dari lantai atas atau dibunuh sih, Tan?”
Aku
mengerutkan dahi, heran. Wah, mama kritis juga… Memang selama ini, sebelum ke
penerbit biasanya mama ikutan membaca ceritaku, tapi tidak biasanya beliau
berkomentar kritis begini. Benar juga ya…Andai aku kembangin ceritanya, kalau
Gina ternyata dibunuh kan lebih seru…
“Wah,
mama hebat… Idenya keren, ma… Nanti Intan mau ubah sedikit bagian terbunuhnya
Gina. Makasih banget ya, ma…” kataku sambil memeluk mama. Wanita separuh baya
itu hanya senyum simpul, sambil geleng-geleng kepala melihat gayaku masih
kolokan.
“Ya
sudah, mama tidur dulu ya…” Mama pun meninggalkan aku yang serasa energi baru.
Apalagi tidak lama setelah mama tidur, listrik pun menyala kembali. Dan
jari-jariku kembali menari di atas keyboard laptop…
********
Siang
ini, pulang dari menemui editorku kulihat mama tengah duduk di teras depan
bersama seorang wanita sebaya beliau. Beliau langsung memberi kode, agar aku
duduk bersama mereka…
“Intan,
kenalkan ini Bik Mimin… Dulu pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di
rumah ini, sebelum akhirnya kita beli…” jelas mama. Wanita yang disebut Bik
Mimin itu langsung menjabat tanganku, santun…
“Ya,
mbak…Mbak Intan kan? Tadi ibu sudah cerita…” katanya lirih, sambil menundukkan
wajahnya. Hatiku langsung tersentuh. Kelihatannya wanita ini memang datang
tidak hanya untuk bertamu, tetapi membutuhkan pertolongan.
“Begini,
Tan…Bik Mimin ingin bekerja di rumah kita. Kebetulan kamu dan mama kan sibuk,
lumayan kan ada yang membantu…”
Wah,
bener juga. Bik Mimin juga tidak sekedar membantu merapikan rumah, tetapi juga
bisa menjadi teman ketika aku sendirian di rumah. Seperti sore ini, ketika mama
belum pulang… Kisah hidup beliau ternyata seperti sinetron. Sungguh
menyedihkan, tinggal sebatang kara. Anak tirinya yang sejak balita diasuh,
sekarang sama sekali tidak perduli. Hanya
majikannya alias pemilik rumah kami sebelumnya yang sudah memperlakukan
dia layaknya ibu kandung sendiri…
“Iya,
mbak Intan…Nyonya rumah ini dulu baik sekali, sampai-sampai bibik diperlakukan
seperti keluarga sendiri. Sayang sekali, hidup beliau juga menderita…Bahkan
lebih mengenaskan daripada bibik…Sedih deh, mbak kalau inget itu semua…”
curhatnya sambil menyusut air mata yang tiba-tiba berderai…
“Lho,
kenapa bik? Suaminya selingkuh? Atau…dia sebatang kara juga?”
Bik
Mimin menggeleng. Tangannya yang mulai keriput itu, kelihatan gemetar.
“Nyonya
meninggal dalam usia muda, mbak…Kata orang-orang, bunuh diri...”
Deg.
Jantungku serasa mau copot. Bunuh diri? Kok seperti kisah-kisah horor yang
sering kubuat…Di rumah inikah??
“Bunuh
diri, Bik? Di rumah ini? Kok kami tidak tahu…”
“Ya,
mbak…Beliau ditemukan meninggal di halaman samping, kondisinya mengenaskan.
Tapi…tapi sebenarnya bukan karena bunuh diri, bibik tahu…Nyonya didorong tuan
dari balkon…”
Astagaaa…
Aku nyaris tersedak. Kok serba kebetulan… Tokoh ceritaku kutulis bunuh diri,
ternyata mama kasih ide dia dibunuh…
“Ma…Kok
mirip sama ide mama semalam ya…” Mama memandangku, terheran-heran.
“Ide
apa? Mama nggak tahu….Bukannya semalam listrik mati? Mama malas bangun, terus
saja tidur sampai pagi…”
Kutatap mama, lekat-lekat. Tak ada
kebohongan di sana. Artinya, semalam wanita yang kuanggap “mama” itu siapa? (ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar