Nonton
film! Itu jawabannya kalau aku ditanya, hobi keluarga kecilku. Hiburan paling
menyenangkan, lumayan murah meriah. Bersama Mas Faiz, suamiku…kami bisa ngobrol
banyak hal dari film yang ditonton. Uniknya bukan hanya film-film drama saja yang dipilih, sesekali kami juga suka
menonton film horor lokal dan import.
Seru juga, membandingkan
karya anak negeri dengan luar. Kami suka berdebat, soal kepiawaian penulis
ceritanya membuat ending dari satu tayangan. Karakter yang diperankan bintang
utamanya yang kadang over atau sebaliknya, sangat sempurna dan berbagai trik
pendukung, seperti: music director,
lightingnya… Banyak. Intinya, tidak ada istilah bosan bagi kami mengupas
setiap film yang ditonton.
“Bener
kan tebakanku. Udah kelihatan kok, siapa dalang dibalik itu semua… Gerak
geriknya saja kebaca. Masa kamu nggak nyadar?” jelas Mas Faiz, sambil
menggenggam tanganku saat keluar dari gedung bioskop.
“Heran
ya…Padahal dari awal cerita, tindak tanduknya sama sekali tidak mencurigakan.
Mana mungkin sih, sosok perempuan yang halus tutur katanya itu, ternyata
pembunuh serial berdarah dingin? Bagus banget ya, aktingnya!”
“Ah, kamu… Bagus
gimana? Mudah ketebak kok… Kamu saja selalu menilai seseorang dengan perasaan,
tanpa logika.”
“Eit, kok gitu?
Mentang-mentang aku perempuan, dibilang suka nggak pakai akal sehat?” protesku
dengan nada tinggi. Mas Faiz mengacak-acak rambutku, lantas merengkuh bahuku
penuh cinta. “Nggak lah…gitu saja marah…”
“Lha yang bener
mas… “
“Iya…iya…
Sudahlah, namanya juga kita diskusi soal tayangan tadi. Jangan dibawa serius
ah!” Mas Faiz mengingatkan. Bener juga sih. Aku gampang emosi, kalau sudah
diajak berdiskusi. Ntar juga nyeselnya belakangan. Biasanya aku nyadar sendiri…tapi
tanpa minta maaf, mas Faiz duluan yang selalu mencairkan suasana.
Laki-laki yang
melamarku dua tahun yang lalu itu, pengertiannya memang luar biasa. Meski
beberapa kali kami gagal memperoleh keturunan, karena rahimku lemah, dia tidak
pernah menunjukkan kekesalan atau kekecewaannya.
“Sabar,
sayang…Belum waktunya saja. Nanti pasti kita diberi yang terbaik. Nggak perlu
buru-buru panik. Ikhlas dan pasrah. Lagipula, kita masih muda kok. Sekarang
saja aku masih ngerasa seperti lagi pacaran dengan kamu…” bisiknya sore itu,
saat aku baru saja keluar dari rumah sakit karena pendarahan.
Kesabaran pria
berambut ikal dengan alis tebal dan tatapannya yang tajam itu, membuat mama dan
papa merelakan putri semata wayangnya menikah, lantas diboyong keluar kota.
Sungguh, aku pun tidak pernah merasakan kesepian, meski awalnya terbiasa
tinggal bersama orang tua. Ada saja kegiatan yang kami lakuin berdua. Minggu
ini, berburu barang antik ke pasar, minggu depan nongkrong di kafe favorit
kami, minggu berikutnya nonton atau nyobain tempat makan baru.
“Aku janji tidak
akan pernah membiarkan kamu bersedih atau kesepian…” bisik Mas Faiz tiap malam,
sebelum kami tertidur lelap. Janjinya memang dia buktikan. Tak pernah kami
berdebat panjang, sampai ribut atau ngambek-ngambekkan. Kalau aku sudah lepas
kontrol, dia biasanya bisa mengademkan suasana.
“Husss! Kok
ngelamun! Mikirin logika tadi ya? Hahahaha…” mas Faiz tergelak, melihatku
tergagap-gagap. Ya ampun, kok malah ngelamunin masa lalu. Jangan-jangan dia
tahu, aku mikirin kebaikannya huuuh…Wajahku menghangat. Untung dia tidak sadar,
wajahku sudah merah dadu karena malu.
*****
Minggu ini
memang minggu yang melelahkan. Banyak pekerjaan di kantor, sampai-sampai
membuat mas Faiz pulang larut. Kadang dia juga membawa setumpuk berkas. Tengah
malam, ketika kuterbangun…kulihat dia masih berkutat dengan laptopnya.
Kasihan…Sementara aku sendiri yang bertugas mengurus rumah, tidak banyak bisa
membantunya. Paling menyediakan secangkir kopi jahe kegemarannya.
“Banyak banget
kerjaannya ya mas…Ntar sakit lho, lembur terus…” tegurku malam itu, ketika dia
baru selesai mandi. Kulihat wajahnya pucat, tak sesegar biasanya.
“Tenang saja, malam
ini terakhir kok. Proposal proyek perusahaan sudah disetujui dan beres. Besok
kita bisa jalan bareng lagi…”
“Beneran? Nggak
kecapekan? Malah ingetnya jalan…”
“Nggak…nggak
capek. Bener! Justru kalau diam saja di rumah, malah pegel. Lebih baik kita
nonton yuk besok…Pulang kerja, kamu sudah siap ya? Kulihat tadi ada beberapa
film baru, kamu pilih saja...”
Asyiikk! Memang
sudah dua minggu ini, kami tidak nonton film. Sudah lama juga, kita tidak debat
soal film seperti biasa.
****
Horor?! Aku
senyum-senyum sendiri. Tanpa menunggu mas Faiz mengulang pertanyaannya, kujawab
tantangan laki-laki itu.
“Oke! Siapa
takut mas…Kelihatannya juga nggak serem-serem amat…” kataku, sambil mengamati
poster film yang akan kami tonton. Kebetulan, malam Jum’at pula. Ada-ada saja,
suamiku itu. Dia pikir aku anak kecil yang gampang ditakut-takuti?
“Bener ya…Jangan
teriak, lantas bersembunyi di belakang bahuku?”
“Yaaaa… nggak
lah! Jangan-jangan, mas takut sendiri ya? Ntar pulangnya kebawa mimpi, tidur sambil
teriak-teriak?” ledekku ganti. Dia tertawa, melihat ekspresiku. Diacaknya
rambutku seperti biasa, penuh sayang sambil mengajakku mengantri tiket masuk di
bioskop favorit kami, di daerah Jakarta Pusat.
Benar juga…Film
horor Thailand terkenal mengerikan. Efeknya bagus banget, sampai kita yang
nonton merasakan ketegangan yang tiada akhir.
Jujur, beberapa kali kuharus menggigit bibir atau menahan nafas, karena
tegang. Pengen banget memeluk mas Faiz di sampingku, lantas bersandar di
bahunya yang bidang. Tapi gengsi ah…dia tidak boleh tahu, aku ketakutan…
“Siska, aku ke
kamar kecil dulu ya…Kamu tunggu di sini saja. Nggak apa-apa kan?” bisik mas
Faiz tiba-tiba. Glek. Kulihat bangku di samping kanan dan kiriku kosong…Hanya
kami berdua di deretan ini…
“Sis?”
“Oh iya…iya…sana
deh mas. Nggak apa-apa…” bisikku, takut mengganggu penonton yang lain.
“Bener, nggak
takut?”
Kali ini kucubit
pinggang cowok itu, hingga membuatnya nyaris berteriak kaget. Aku melotot
gemas, dia tersenyum nakal. Dasar…
Satu menit, dua menit...Mas
Faiz belum juga kembali. Perasaan baru ditinggal keluar sebentar saja, kok aku
sudah gelisah begini ya. Tengkukku terasa dingin. Tanpa sadar, konsentrasiku
buyar. Adegan demi adegan di depan mata, menguras energi. Rasanya keberanianku
mulai terusik…Apalagi kurasa aku tidak lagi duduk sendiri di deretan bangku
ini!
Yess! Kulihat
lima kursi dari tempat aku duduk, seseorang tengah duduk di sana. Laki-laki
atau perempuan? Aku berusaha mempertajam penglihatanku, di tengah kegelapan
…Oh, laki-laki…dan…Astaga! Dia menoleh, sadar kalau aku memperhatikannya!
Deg! Jantungku
rasanya mau copot. Wajahku memerah, karena malu. Untung, kondisi dalam gedung
bioskop gelap. Ya…aku malu. Pasti laki-laki itu menyangka, aku cewek gampangan,
duduk sendirian, lantas memperhatikan cowok lain lagi.
Kutarik nafas
dalam-dalam. Ah, nggak. Moga dia tidak beranggapan negatif. Lagipula wajar aku
memperhatikan dia, karena sejak tadi dia tidak ada di sana. Kenapa film sudah
nyaris setengah jalan, dia baru datang? Kulirik lagi laki-laki itu sekilas…Yah!
Dia sudah tidak ada! Kenapa begitu cepat dia pindah…Apakah dia terganggu
denganku tadi?
Jantungku
berdebar tidak keruan. Heran, ngapain aku memikirkan penonton lain. Lagipula,
film yang tengah kutonton semakin menegangkan. Sayang, kulewatkan begitu saja…
“Mas Faiz…lama
bener sih, ke toiletnya?!” protesku, begitu mas Faiz muncul dan kembali duduk
di sampingku. Dasar. Bukannya minta maaf, suamiku itu hanya senyum dan
menempelkan jari telunjuknya di mulut. Artinya aku musti diam, jangan berisik…
Benar juga, ntar
penonton lain terganggu. Lagipula nggak penting ngebahas itu. Akting pemain
film Thailand yang kami tonton memang bagus banget. Sayang, detailnya
dilewatkan. Kugenggam tangan mas Faiz…Dingin banget. Ffuihh, ac di ruangan ini
memang makin malam, semakin membekukan. Lebih baik kusembunyikan tanganku di
balik pasmina yang kukenakan. Lumayan, hangat.
Bip…bip!
Handphoneku bergetar, tanda ada sms masuk. Kuraba-raba isi tasku, sampai
kutemukan Hp dan sekilas kubaca. Takut ada kabar penting dari rumah…Isinya …
Siska, maaf kamu
lamaan menunggu di dalam ya…Tadi waktu ke toilet, Pak Pandu atasanku menanyakan
beberapa point penting dalam proposalku. Kuharus ambil copy proposal di mobil
sekarang. Nggak apa-apa ya…sabar sebentar.
Duh! Jantungku
mau copot. Nafasku terasa begitu berat. Kuingat banget beberapa menit, bahkan
detik yang lalu kulihat mas Faiz sudah duduk kembali di sampingku. Meski dia
tidak bicara sepatah kata pun, meski genggaman tangannya begitu dingin…Lantas,
laki-laki di sampingku ini siapa? Perlahan-lahan, kukumpulkan keberanianku
untuk menoleh ke samping… Tak ada siapa-siapa! Jadi selama beberapa menit tadi,
aku duduk dengan siapa? (Ft: berbagai sumber)
2 komentar:
dem!!! mengerikaaan!!!
awalnya aku pikir, hantunya bakal si sosok cowok yang duduk lima baris di sampingnya...
eleee!!
lagi lagi mbak stey mampu bikin aku kaget! haha...
tx my dear..komen2mu selalu kutunggu. kejadian ini beneran lho, tp hantunya ya cowok yg lima baris di samping aku itu...
Posting Komentar