Batok kelapa yang
diikat dengan sebilah bambu itu, mulai bergoyang. Awalnya lambat, hanya ke kiri
dan ke kanan, tapi lama-lama makin kencang dan berat. Gila! Aku dan Sandy,
berpandang-pandangan. Tangan kami yang sejak tadi memegangi bambu itu, bergetar
hebat. Rasanya batok kepala ini beratnya ribuan kilogram, sampai-sampai
tulang-tulang tanganku seperti mau copot dari engselnya. Keringat kami mengucur deras, bersamaan
dengan petir yang menyambar di luar sana. Hujan, ditumpahkan dari langit…
Blarrr! Bersamaan
dengan suara gledek menyambar, lampu mati. Kami berdua panik… nggak sedikitpun
melepaskan pegangan bambunya, meski aku dan Sandy sama-sama nggak bisa ngeliat
satu sama lain. Bener-bener gelap, pekat….
“Wo, gue udah nggak
kuat lagi niiih.. “
Sandy suaranya kayak
orang putus asa. Lemes. Aku sendiri juga takut, nggak kuat, tapi masa mau
dilepasin.. Kata orang, main jalangkung medianya musti dipegang kenceng,
sebelum roh yang ada di dalamnya, beneran sudah pulang. Lha, ini… dianya masih
goyang, malah makin kenceng, gimana?
“Wo!! Lo tidur ya?”
“Enak aja nuduh tidur..
Gimana mau tidur? Memang lo kira, sanggup megangin ini sendirian?”
Aku mikir, gimana
caranya balikin ini roh. Bandel banget. Sejak tadi kami sudah berusaha dengan
berbagai cara, nggak bisa. Salah Sandy juga sih. Dia kan sudah tahu, aku ini
penakut. Trus, rumah kontrakan kami tetanggaan sama satu keluarga yang barusan ditemukan tewas, karena dibantai perampok.
“Udah ah, lepasin
aja…gue nggak kuat, sumpah… bisa keseleo kalo gini caranya!” Sandy nggak
menunggu jawabanku. Dia langsung saja melepaskan tangannya dari boneka batok
kelapa yang kami pegang. Aku kaget. Secara, kekuatanku langsung berkurang
separohnya…
Batok kelapa itu
melepas, tanganku akhirnya lepas juga. Badan ini sampai terjengkang ke
belakang, kepalaku membentur kursi, bersamaan dengan suara guntur menggelegar.
Blarrrr! Gelap.
******
Hahh! Jam enam pagi??
Aku kaget, begitu melihat jam di samping tempat tidur. Tanpa peduli, sendalku nyelip di mana,
langsung saja aku lompat dengan telanjang kaki ke kamar mandi. Baju tidurku
basah kuyub, keringat.
Gubrakkk! Aku
terpeleset, karena lantai licin… Badanku mencium lantai. Masih untung, kepala
masih bisa ditahan jadi nggak langsung menghantam ubin. Bisa-bisa gegar otak…
Parah! Ketukan di pintu, mengejutkan.
Mama muncul dengan ekspresi panik. Rupanya beliau denger suaraku jatuh,
berisik..
“Dewo?? Jatuh lagi?
Semalam kamu mimpi apalagi, Nak? Hati-hati dong, kalo jalan… Lama-lama kepala
bisa bocor tuh. Mama kok serem melihat kamu akhir-akhir ini…”
Aku senyum. Sambil
mengusap kepalaku yang masih aman-aman saja.
“Nggak apa-apa, Ma.
Kepleset saja, karena tadi nggak pakai sendal, licin lantainya… Dewo nggak
mimpi apa-apa kok…” kataku, berbohong. Ya, andai Mama tau aku mimpi buruk lagi, pasti beliau malah stress.
Jujur. Aku sendiri
nggak tau, gimana asalnya hingga sering banget dihantui mimpi yang rasanya
seperti nyata banget. Nggak jarang, aku sampai jatuh terbanting ke lantai dari
atas tempat tidur, menangis hebat sampai bantalku basah, atau melempar semua
bantal dan gulingku ke mana-mana, hingga membuat kamarku porak poranda.
Mimpi buruk biasa?
Nggak juga… Karena pasti, setelah dihantui mimpi itu, entah sehari, seminggu,
kemudian, mimpiku itu kejadian. Nyata. Beneran! Inget banget, waktu mimpi lagi
main bersama anak-anak di kampung ini.
Secara aku masih bujangan… bocah-bocah itu seneng banget, main ke rumah, lantas
ngajakin aku main bola.
Tumben banget, lumayan
lama nggak main bola bareng mereka, tiba-tiba saja malah dimimpiin. Aku
ngeliat, anak-anak itu girang banget main bola meski hujan lebat. Bahkan
beberapa kali, aku musti teriak ngingetin. Soalnya serem, ketika kudengar suara
gemuruh. Bakalan disusul gledek, sebentar lagi.
Blarrrr!Kejadiannya
begitu cepat. Aku sampai nggak sempet bicara apa-apa, hanya melihat kilau yang menyilaukan tiba-tiba saja
menyambar, tepat sekian centimeter saja
di depanku. Wusss! Mataku terpaksa kupejamkan, karena pedih, karena terpapar
cahaya yang begitu terang. Nggak lama, kudengar bocah-bocah itu menangis
histeris. Mereka berlarian, bubar, meninggalkan aku yang masih belum sadar apa
yang terjadi.
Waktu mata ini membuka
kembali… Astaga! Seorang anak kecil yang tadinya main bola rame-rame,
tertelungkup tepat di depanku. Sebagian tubuhnya legam. Hitam. Aku mau
menolongnya, ketika tiba-tiba sebuah tangan kekar menyentakkan badanku …
Glondanggg! Busyet!
Kepalaku sakit banget, terbentur ujung tempat tidur. Mimpi! Anak kecil yang tersambar petir di depanku
itu sudah nggak ada. Ternyata aku hanya bermimpi. Syukur ya, Tuhan… Batinku.
Nggak beneran kejadian yang kulihat semalam itu. Karena nyatanya, aku masih ada
di tempat tidur… Nggak di taman, deket rumah.
Pas berangkat ke
kampus, aku masih melihat bocah-bocah yang ada dalam mimpiku semalam masih
main-main di depan rumah. Mereka memang nggak seberuntung anak-anak sebayanya
yang bisa sekolah. . Amri, Udin, Udjo, trus..siapa lagi ya? Mereka seperti keponakan-keponakanku saja, saking
deketnya.
“Kak, ntar main bola
lagi ya… Pulang cepet ya?” kata si Udjo yang badannya tambun dengan tompel di
pipi kanannya itu, lucu.
Aku mengangkat ibu jari
kananku, tanda setuju. “Ntar ya, moga-moga kakak bisa cepetan pulang. Nggak ada
acara di kampus…”
“Horeeee…. “ teriak
mereka kompakan, sambil melambaikan tangan. Si Udjo kasih hormat ala tentara.
Tuh bocah memang paling bandel, berani, tapi lucu… Kasihan banget, sejak balita
sudah ditinggalkan oleh kedua orangtuanya yang menjadi TKI. Dia dirawat oleh
kakek dan bibinya yang nggak married.
*******
Entah kenapa,
perasaanku nggak enak hari ini. Dosen menerangkan apa pun, nggak ada yang masuk
dalam otak. Bahkan, buat mencatat pun asal-asalan. Padahal biasanya, aku paling
seneng bikin catatan ringkas dari apa yang sudah dijelasin di depan. Biar
gampang, ntar pas ujiannya.
Bukk! Sandy nimpuk aku
pake kertas yang dibuat bulatan, kayak bola. Dia nyengir, pas Bu Santi, dosen yang lagi mengajar melotot.
Untungnya, beliau nggak negur, tapi langsung melanjutkan menerangkan mata
kuliahnya..
“Ngelamunin apa sih,
lo?! Kayak orang abis jatuh cinta aja, bengong dari tadi. Tuh bolpen juga corat
coret nggak jelas…” kata Sandy, setengah berbisik .
“Huss!” Aku melotot,
dia malah nyengir. Seolah di depan, nggak ada dosen… Gokil juga tuh cowok.
“Wo, ntar nonton yuk..
Gue ketinggalan nih, belum lihat Ghost Protocol…nggak ada acara kan? Balik
kuliah, langsung ya…” katanya, setengah berbisik.
“Emang masih main ya?
Bukannya dah lama banget?”
“Udahlah,.. kalo abis
ya cari film lain aja. Hantu Ngesot,
Pocong Kesamber Petir, Kunti Hangus vs
Pocong, juga boleh… Intinya, bosen maksimal
nih. Butuh hiburan!”
Hampir aja aku ngakak
denger omongan Sandy. Masa dari Ghost Protocol-nya Tom Cruise tiba-tiba pindah
ke Pocong. Judulnya aneh-aneh lagi. Jauh lebih aneh dari yang sudah tayang
sekarang… Bisa-bisanya Pocong disamber petir…
Blaaarrr! Pas banget
suara petir menggelegar, kenceng sampai kami semua yang di ruang kuliah kaget.
Bahkan si Rindu yang biasa latah, kumat latahnya. Ampunnn, bentar lagi hujan
gede pasti. Pantesan saja, tadi berangkat kuliah langit udah agak gelap. Seperti mendung, pekat banget langitnya…
“Tuh denger sendiri
kan? Gledek?! Kayaknya hujan gede ntar…Kita balik aja buru-buru malah, ngapain
ke mall, nonton. Takutnya hujan badai lagi, kayak kapan tuh yang papan reklame
dan pohon pada rubuh…” kataku, ketika Bu Santi mengakhiri mata kuliahnya pagi
ini.
Sandy nggak komen, dia
kelihatan kecewa. Tapi alasanku dia terima, tanpa membantah lagi seperti biasa.
“Gue kapok, kejebak kayak kemarin waktu hujan badai. Dua jam di jalan, mobil
nggak bisa gerak sama sekali. Macet.”
“Betulll!” kataku,
sambil mengemasi barang-barangku. Sebuah buku jatuh, pas aku mau mengambilnya,
gledek kembali terdengar. Kenceng banget. Sampai rasanya, kaca-kaca di ruang
kuliah ini berderak…bergetar.. Buru-buru kuambil buku yang ada di bawah kursi,
srettttt! Wadowww… Ujung jariku berdarah, kena sebuah peniti yang masih dalam posisi terbuka…
Apes banget sih. Ada apa ya? Perasaanku kembali nggak enak.
Mahasiswa yang masih
ngerumpi satu ruangan denganku juga
suaranya kayak mendengung, nggak jelas. Tiba-tiba perasaanku gamang. Seperti
nggak berada dalam ruangan ini…
“Wooiii! Tuh kan
ngelamun lagi! Pulang nggak? Mau hujan gede nih!” Sandy membuyarkan lamunanku.
Ah, moga saja semuanya baik-baik saja.
Mama juga sekarang udah nggak
pernah kambuh lagi asmanya..
Kegelisahanku terjawab juga akhirnya. Pas aku
baru sampai di depan rumah, kulihat ibu-ibu tetangga berkumpul di rumah Udjo. Mungkin ada arisan, ibu-ibu kampung sini.. Pas aku mau masuk, Mama malah keluar dengan
pakaian rapi, hitam-hitam dan membawa pasmina…
“Ma, mau hujan… Mama
mau kemana?? Mau dianterin?” Mama
menatapku dengan tatapan sedih. Instink ini mengatakan, pasti ada yang nggak
beres.
“Udjo, anak tetangga yang biasa main bola sama kamu…
“ Mama menghela nafas, berat banget. “Dia meninggal pagi tadi, pas kamu masih
di kampus. Gara-gara lagi main bola pas
banyak gledek. Dia kesamber petir…”
Wusss! Kepalaku
langsung pusing. Ingatanku akan mimpi semalam, begitu jelas. Petir, anak-anak
main bola dan…. Ternyata korbannya, Udjo. Mama mengira, aku shock sampai
terjajar di pintu, karena selama ini begitu dekat dengan Udjo. Mama nggak tau,
kejadian ini sudah terbaca jelas dalam mimpiku…
*****
Mungkin, sebuah
kebetulan saja, aku mimpi Udjo disamber gledek. Kuanggap, kejadian itu nggak
perlu dipikirin lagi. Nyatanya, nggak!
Entah gimana, tiba-tiba aku mimpi kampusku kebakaran. Api menyambar
begitu dahsyatnya, sampai-sampai atap-atap eternit kampus pada berjatuhan… Kami
lagi mengikuti perkuliahan, nggak sempat menyelamatkan diri.
Kulihat banyak
teman-temanku terperangkat api di ruang kelas lain, tepatnya samping kelasku.
Sementara sebagian petugas berusaha memadamkan api, aku mencari-cari Sandy.
Kemana tuh anak? Bener-bener membuatku cemas. Karena terakhir kulihat dia di
belakangku, dia malah yang mendorongku sampai terlempar ke luar kelas..
Moga-moga, dia juga berhasil keluar…
Kami semua berkumpul di
halaman, menyaksikan petugas pemadam kebakaran menyisir bangunan yang dilalap
api. Kulihat, Sandy berlari-larian ke arahku. Wajahnya kusut masai, bajunya
basah dan kotor…
“Rindu… Rindu, Wo!!!”
Dia langsung menarik kerah bajuku, saking paniknya sampai kami jatuh terduduk
berdua di rumput. “Rindu masih di dalam.. Aku nggak bisa narik dia keluar!”
Doengg! Aku pucat. Ya
ampun, Rindu masih di dalam? Sementara api sudah menyambar, hampir seluruh
bagian gedung?? Spontan, entah kenapa aku
tiba-tiba saja lari, balik ke ruang kuliah kami tadi. Nggak kuperdulikan suara
teriakan orang-orang, bahkan ketika Sandy menarik badanku pun, aku dorong
dengan kekuatan yang aku sendiri nggak tau, darimana asalnya. Sampai Sandy
terjerembab, jatuh…
Rindu. Ya, aku harus
menyelamatkan cewek itu. Bukannya dia yang selama ini begitu baik dan kutahu,
diam-diam juga mencintaiku? Hanya sayangnya saja, aku nggak pernah bisa
membalas cintanya… Kasian, cewek mungil berambut sebahu yang ceria dan latahan
itu…
“Rinduuuu??!” teriakku,
pas sampai di depan ruang kuliah. Nafasku mulai sesak, karena asap begitu
tebal. Aku nggak peduli, api terasa begitu dekat dan panas. Pas kulihat satu
sosok di antara bangunan yang roboh, seorang cewek tertelungkup di sana… Rindu?
Aku nekad ingin menerobos masuk, pas atas eternit bangunan benar-benar
jebol seluruhnya. Brukkkk! Sebuah balok
yang jatuh, menghantam kepalaku. Gelap.
Aku terbangun dengan
badan basah kuyub. Bajuku lepek, bantal dan guling sudah berhamburan di lantai.
Lagi-lagi Mama datang dengan tergopoh-gopoh, panik. Kata Mama, dia mendengar
aku teriak seperti orang kesetanan. Ffiuhhh! Capek juga, tiap mimpi musti
begini.
Mimpi itu berusaha aku
lupain. Apalagi kulihat di kampus, semuanya terlihat baik-baik saja. Sandy
malah pagi-pagi sudah ngisengin beberapa teman cewek. Dasar. Bakatnya memang
tebar pesona. Kuliah belum juga dimulai.
Tumben, Bu Danti yang biasanya on time kali ini nggak tepat waktu… Rindu
juga nih, nggak muncul-muncul. Jangan-jangan dia bolos? Kan dia cerita dapat
pesanan banyak kue. Selama ini mamanya memang melayani pesanan kue kering,
seperti castengels dan nastar. Meski
sudah memiliki satu asisten, Rindu masih suka membantu kalau pesanannya banyak.
“Maaf, saya terlambat,
soalnya pagi-pagi banget saya melayat dulu, baru ke sini.. Sekalian saya mau mengabarkan, kabar duka.
Teman kita, Rindu subuh tadi meninggal
dunia. Mari kita doakan….”
Omongan Bu Danti
selanjutnya, nggak kudengar jelas. Kepalaku pusing. Rasanya mimpi semalam,
seperti film yang diputar ulang. Rindu… Rindu meninggal? Tapi kenapa? Perasaan
kemarin sehat-sehat saja…
“Gue denger, Rindu mau
nyalain kompor, ketika tabung elpijinya meledak,” kata Sandy, ketika kami
tengah menuju ke rumah Rindu, buat melayat. Aku menghela nafas. Terjawab sudah.
Mimpiku, kebakaran hebat dan Rindu…
Nggak
berhenti sampai di situ. Sering aku bermimpi tentang orang-orang terdekatku.
Seperti aku bisa merasakan, apa yang bakal terjadi kemudian. Kata Eyang,
mustinya disyukuri. Kita lebih hati-hati. Tapi tetap saja kan, kalau sudah
takdir, kita nggak bisa lari kemana-mana. Sandy sahabat terdekatku yang
mendengar ceritaku, mengerti benar gimana nggak enaknya posisiku. Tau bakal
kejadian, tapi nggak bisa ngelakuin apa-apa.
******
Kampus sudah rame, pagi
ini. Jelang semesteran, banyak dosen yang suka kasih tugas dadakan soalnya.
Kulihat, Sandy tengah duduk membaca di depan kelas. Haruskah kuceritain mimpiku
semalam? Aku ragu… Gimana Sandy ntar
nggak stress, dia pasti langsung menduga-duga bakal mengalami musibah…
“Heiii Wo… ssst, gue
punya mainan baru. Ntar malem, kita mainin ya…Lo nggak penakut kan??” tanyanya,
sambil nunjukin bawaanya, satu tas plastik hitam. Tumben, dia bawa tas
gitu…
“Apaan? Jangan yang
aneh-aneh ya!”
“Nggak kok.. Cuma ini,
batok kelapa dan bambu, buat main jalangkung. Gue penasaran, suka baca
ceritanya tapi beneran nggak sih, kalo…”
Omongan Sandy, belum
selesai. Wajahku pucat. Astaga, bukannya itu mimpiku semalam? Jangan-jangan?
“Buang aja, San! Awas
lho ya, kalo mainin gituan!!!” Aku langsung ngamuk. Sandy terheran-heran,
melihat ekspresiku seperti orang marah dan ketakutan.
“Enak aja buang… Aku
dapatnya susah, tauuu! Ini pemberian…” Dia belum menyelesaikan ucapannya, tapi
aku sudah menyambar plastik yang dia bawa itu.
Buru-buru aku mau buang ke tempat sampah, di pojokan lorong kelas…
Sandy bengong. Dia buru-buru berdiri, mau mencegahku. Aku
mempercepat langkahku, nggak peduli kulihat Sandy marah.. daripada dia celaka?
Pas sampai depan tempat sampah, aku masukin plastik yang kata Sandy berisi
batok kelapa dan bambu buat bikin jalangkung. Tiba-tiba, sebuah balok kayu
penyangga atap, roboh. Aku nggak sempat menghindar, hanya kudengar orang-orang
teriak, lantas…. Buuukkk! Semuanya gelap. Sayang, aku terlambat nyadar, kalau
ternyata kali ini mimpiku itu pertanda buat aku sendiri. (ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar