Merah! Darah… dingin
rasanya seluruh persendian ini, sampai ujung-ujung syaraf semua bebal. Mati
rasa. Bayangan Cahaya, Reza, semua orang-orang yang aku cintai, berubah menjadi
gumpalan-gumpalan darah beku yang menjijikkan, hingga membuat mata ini
berkunang-kunang… Pusing. Lagi-lagi aku
melihat darah, yup… darah di mana-mana. Baunya anyir bikin mual. Ingin rasanya
aku lari dari tempat itu, tapi kaki seperti terkubur di dalam tanah, kaku dan
nggak seinci pun mampu digerakkan.
Lamat-lamat kudengar
suara orang bersenandung. Nadanya sedih, seperti perempuan yang tengah
ditinggal oleh kekasihnya. Ya, kalau nggak salah….liriknya yang berbahasa Jawa
halus itu mengisyaratkan kesepian dan kehilangan, karena kekasih yang dicintai,
nggak kembali. Hiiih!
Badanku linu,
tulang-tulang rasanya sakit. Kaki seperti tidak menapak di tanah, karena bebal.
Istilahnya kebas. Jangan-jangan ini namanya stroke? Halusinasi dengan hal-hal
yang sebenarnya nggak pernah terjadi? Tapi kenapa bau darah itu tercium begitu
nyata?
Aku berusaha kabur dari
tempat itu, meski kaki rasanya terpatri begitu kuat di tanah. Pendengaranku
kembali menangkap suara perempuan yang tengah menangis, sambil menyanyi lagu
yang begitu sedih….
Penglihatanku makin
kabur. Keringat, campur darah membuat mataku sulit dibuka dan melihat dengan
jelas… Kenapa kepalaku jadi begitu dingin ya? Tanganku meraba rambut yang
mendadak terasa begitu lepek dan dingin. Astagaaa! Darah… Basah!
Badan ini limbung,
bersamaan dengan nafas yang terasa makin berat, hingga akhirnya, ketika
sepasang tangan dingin itu memegang kedua tanganku, badanku benar-benar terasa
ringan. Ambruk, jatuh menghantam lantai. Gelap.
Sakit. Berulangkali aku
mengerjapkan mata, berusaha mengenali dimana sekarang berasa. Surga? Atau malah neraka, karena belum banyak
kebaikan yang kulakukan? Bau minyak kayu putih bercampur suara orang-orang di
sekitarku, membuat kesadaranku sedikit demi sedikit pulih.
“Syukur, kamu sudah
bangun. Kami semua ketakutan, sampai
memanggil Pakde Rekso… Untung, kamu nggak apa-apa. Mimpi atau beneran
kerasukan?” Desi, teman kuliahku
ternyata sudah di sisiku. Pakde Rekso, itu tetangga rumah yang sudah seperti
paman aku sendiri. Biasa kami ngobrol di teras depan, sambil ngemil
gorengan. Desi sahabat terdekatku
di kampus juga mengenalnya.
“Kata Pakde, kamu
kecapekan dan pikiran kosong, makanya langsung ketempelan,” jelas Desi, sambil
membantuku duduk.
“Pakde sekarang di
mana?”
“Pulang, tadi. Begitu
dia yakin, kamu nggak apa-apa, trus pulang. Soalnya mau ke rumah anaknya
katanya…”
Lumayan, ada Desi.
Sahabat, sekaligus orang terdekatku di kota ini. Tinggal di rumah sendiri,
bukan hal mudah bagi cewek seumuranku. Sebenernya, aku lebih suka kost daripada
tinggal di rumah warisan keluarga ini. Tapi Mama bilang sayang, jangan dijual.
Kalau dikontrakin juga ntar malah rusak. Belum tentu, orang yang mau ngontrak
rajin merawat seisi rumah ini.
Sejak Mama tinggal
bersama Kak Sita di Padang, aku memang tinggal sendiri di rumah peninggalan
Papa ini. Rumah berasitektur Belanda yang sebenernya juga awalnya milik
eyangnya Papa. Bener-bener, rumah warisan. Turun temurun.
Bukan rahasia lagi,
kalo rumah yang aku tinggali sekarang, banyak “penghuni”nya. Tapi mereka semua
sudah kuanggap teman baik, karena tidak pernah mengganggu. Paling sesekali lewat seorang wanita separuh
baya, berdandan ala noni jaman Belanda di belakangku, ketika aku sedang serius
nonton televisi. Kadang wanita itu duduk di dekat piano, atau …. ikutan
“menemani” aku mengerjakan tugas-tugas kampus.
Prinsipku, makhluk
halus itu tidak akan mengganggu, selama
mereka tidak diusik. Buktinya, kami masih bisa tinggal bersama, bersisian tanpa
saling merugikan. Hanya saja, memang tamu-tamu, semua temanku yang belum
terbiasa, selalu shock dan ketakutan kalo mampir ke rumah. Ekspresi mereka
macam-macam. Ada yang langsung ngumpet di balik badanku, trus pamit pulang, ada
yang kabur tunggang langgang, tetapi ada juga yang langsung pingsan hahahaha….
Makanya, aku setengah
nggak percaya, kalau sekarang Desi mengatakan, aku ketempelan. Selama ini,
“penghuni” di rumahku bersahabat baik kok denganku… Malah mereka juga suka
“membantu”. Buktinya, banyak maling yang
tadinya mau ngerjain rumah ini, kabur tunggang langgang. Bahkan ada yang jatuh
dari plafon, kakinya patah. Ada yang ketimpa eternit yang tiba-tiba jebol…
Banyak ceritanya…
“Ngaco ah, Des… Nggak
mungkin aku ketempelan…”
Desi senyum. Dia
membereskan buku-bukunya yang tadi berserakan di meja kamarku. Mungkin, sambil
nungguin dia tadi belajar atau ngerjain tugas.
“Ya udah kalo nggak
percaya… Asal kamu jaga diri aja, ya… Jangan macem-macem deh, pake
nyimpen-nyimpen barang berhala…”
“Heehhh! Berhala
gimana? Gila kamu ya… kan tau aku orang beragama. Ngapain percaya gituan..”
Kaget. Kok bisa-bisanya
Desi nyeplos begitu? Ternyata, Pakde yang bilang, kalo aku lagi ketempelen sama
roh yang pengen “barang”nya dikembaliin. Nah lho… barang apaan pula… Meski
selama ini aku bisa menghadapi semua makhluk halus di rumah, bukan berarti aku
suka pegang jimat dan sejenisnya. Ihhh…nggak akan! Amit-amit.
Omongan Desi itu, tidak
kumasukin ke hati. Pasti dia juga mengatakan itu, karena Pakde. Padahal Pakde
sendiri sampai saat ini, nggak bilang apa-apa. Tiap kami ketemuan, nggak pernah
membahas masalah pingsannya aku kemarin.
*********
Langit sudah gelap,
ketika aku masuk ke kamar sambil membaca setumpuk buku. Peer. Buat ujian
semesteran, bahannya banyak bener. Ketika tiba-tiba lagu sedih itu kembali
terdengar. Badanku lemes, selemes-lemesnya. Bukan karena ketakutan, tapi entah
kenapa seluruh sendi-sendiku seperti dilolosin. Sakit. Dingin menusuk tulang.
Kayak malaekat pencabut nyawa sudah di depan mata. Apa ini, namanya mau
menjelang ajal? Ya Tuhan… keringat dinginku mengucur deras. Badanku limbung,
ketika mencoba mencapai tempat tidur.
Merah… Ya, darah di
mana-mana… Kasur, pinggiran tempat tidur, kursi, lantai… Pusing. Mataku
berkunang-kunang. Ketika aku merasakan sesuatu yang ganjil di seberang sana…
tepat di cermin panjang yang aku punya… satu sosok perempuan, terlihat jelas.
Begitu jelasnya, sampai air mata perempuan itu pun kelihatan…. Dia menangis!
Pipinya basah, matanya yang bulat dengan bulu mata lentik itu nggak berkedip
menatapku. Telapak tangannya bertumpu pada cermin… berdarah!
“Siiiii…siapa kamu?”
tanyaku, nekad. Padahal jujur, aku nggak ingin bayangan perempuan itu menjawab.
Tapi daripada dibunuh ketakutan dan penasaranku sendiri…
Dia nggak menjawab…
Tapi air matanya mengucur makin deras, bahkan akhirnya, berubah menjadi darah.
Astagaaa. Air matanya, air mata darah. Kepalaku pusing. Bukan karena takut,
tapi mual. Sejak melihat temanku jatuh dari motor, ketabrak angkot, aku jadi
phobia kalau melihat darah. Langsung pusing dan gemeteran!
Cewek itu masih
menatapku, ketika aku berusaha mendekati cermin. Berani. Harus berani! Biasanya
juga aku “sahabatan” dengan penghuni rumah ini. Mungkin ini penghuni baru?
Gokil juga ya… Belum sampai ke depan cermin, blasss… cewek itu sudah
menghilang, bersamaan dengan suara geledek dan hujan di luar sana. Fffuuihhh.
Mimpi buruk. Anggap saja mimpi buruk… Aku menghibur diri sendiri. Buru-buru,
naik ke tempat tidur, tutup selimut. Tidur! Tugas-tugas kampus? Bodo amat….
Pusing. Stress!
******
Trauma soal darah itu,
berusaha aku lupakan. Nyatanya nggak bisa, karena beberapa kali cewek itu
kembali muncul. Bahkan pernah aku sampai mimpi dan sulit bangun, seperti orang
ketindihan… Mimpinya, aku terjebak di satu ruangan, darah di mana-mana…tapi
nggak ada satu orang pun di sana.
“Jangan dipikirin,
namanya juga mimpi. Lain kali, kurangi begadangnya. Lebih baik ngerjain apa-apa
siang aja,” kata Bimo, cowok yang dua bulan ini resmi menjadi pacarku.
“Ya, kakek!” kataku
becanda, ketika cowok bertubuh atletis itu mengacak-acak rambutku, seperti
memperlakukan anak kecil saja. Beruntung, aku memiliki Bimo. Ya, meski baru dua
bulan resmi pacaran, tapi kami kenal sudah lama banget. Dia temanku waktu kecil
hingga kami sama-sama duduk di bangku SMP, lantas dia pindah ke lain kota. Baru
setengah tahun yang lalu ketemuan lagi, ternyata dia pindah ke kota ini… Dan
lucunya, dia nembak, katanya dulu impiannya bisa pacaran sama aku. Ternyata
beneran, sampai sekarang dia belum pernah deket sama cewek, karena kriterianya
musti persis aku.
Dua bulan saja, Bimo
pedekate lagi. Dua bulan berikutnya dia resmi menjadi pacarku. Cowok itu memang
baik, sama seperti dulu aku mengenalnya. Makanya, Mama pun tenang waktu aku
ceritain dengan siapa aku jalan sekarang…
******
Malam ini, niatku mau
jalan bareng Bimo. Namanya juga mau Valentine. Ngerayain hari kasih sayang. Katanya
dia mau kasih kejutan… Apaan lagi ya? Kemarin dia mengagetkan aku, karena
memberikan sebuah cincin bermata biru, warna kesukaanku. Katanya itu baru
permulaan.. Lantas? Apa dia mau mengajakku tunangan? Gila! Kenapa jadi geer
gini…
Sambil bersenandung,
aku keluar dari kamar mandi ketika tiba-tiba kudengar senandung yang lain..
Lagu sedih itu lagi! Deg. Jantungku rasanya mau copot, ketika kulihat cermin di
depan wastafel, … Darah! Merah di mana-mana, bersamaan dengan munculnya
bayangan seorang perempuan. Wajah sedihnya itu menatapku tajam, nggak berkedip.
Tubuhku bergetar,
nafasku berat. Rasanya udara di sekelilingku mendadak abis. Kaki seakan
terpatri di tempatnya. Ingin lari, nggak bisa. Mau teriak minta tolong, suaraku
parau dan tercekat sampai tenggorokan saja. Hingga akhirnya, kulihat perempuan
itu benar-benar seperti nyata… Dia maju, menghampiriku, sambil air matanya tak
henti mengalir… Airmata darah..
Jari-jarinya yang
lentik dan berdarah-darah itu menyentuh pipiku, dingin! Detik berikutnya, aku
nggak tau apa-apa. Gelap.
Putih. Warna yang pertamakali aku lihat. Ternyata
aku di klinik 24 jam, deket rumah. Kuingat banget, karena dulu pernah masuk ke
sini, gara-gara jatuh dari motor. Desi yang duduk di sisi tempat tidurku,
menghapus air matanya. Ngapain lagi pake nangis? Lagian aku kan cuma pingsan?
“Syukur, kamu nggak
apa-apa. Aku sudah takut kehilangan kamu…Tadi detak jantungmu nyaris nggak
terdeteksi lagi, waktu ditemukan pingsan di depan kamar mandi..”
Huaah? Masa segitunya?
“Serius?” Desi
mengangguk….
“Ya, udah, sekarang
kamu tenang aja. Aku nggak apa-apa. Tolong dong, boleh nggak…telpon Bimo.. Kemarin
dia titip tugas, aku lupa naroh bukunya..”
Desi menggeleng.
Tangisnya malah menjadi lagi.. Lha, kok malah sedih gini…
“Bimo dirawat di ruang
Mawar, lantai atas… soalnya luka-lukanya serius,” kata Desi, bagaikan bom
meledak di siang hari. Bimo masuk rumah sakit juga? Kenapa?
Pertanyaanku terjawab
sudah. Malam itu, waktu kulihat sosok lain di cermin, bersamaan dengan
datangnya Bimo. Cowok itu juga melihat perempuan yang mendekatiku, dia tunggang
langgang sampai menabrak pintu kaca hingga pecah berhamburan…Sungguh terlalu.
Siapa perempuan itu sampai mengganggu ketenangan kami?
Seminggu kemudian,
ketika Desi ke rumah dengan tatapan bingung. Dia cerita, polisi baru saja
menjemput paksa Bimo dengan tuduhan dia terlibat dalam pembunuhan mantan
pacarnya. Pacarnya ditemukan mati di apartemennya. Sekilas seperti korban
perampokan, ternyata bukti susulan mengatakan dia dibunuh. Motifnya? Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Kenapa selama ini aku juga nggak tau, dia pernah punya pacar?
“Nih beritanya, masuk koran kok.. ada foto ceweknya
pula…” kata Desi sambil menyodorkan koran pagi. Waktu kulihat foto cewek itu,
mataku berkunang-kunang. Rasanya darah di mana-mana…Merah! Ya, cewek itu,
perempuan yang belakangan menerorku (ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar