Tanah
merah lagiiii? Mmm, aku sudah ancang-ancang, marah. Emosi sampai di ubun-ubun
kepala, tinggal dimuntahkan . Melihat wajah Ridho yang pucat pasi dengan bibir
bergetar dan mata berkaca-kaca, kayak mau nangis, jadi nggak tega. Bocah
sekecil ini, mana bisa ngerti sih dibilangin… Paling denger sekali, besoknya
dia bakal lupain lagi. Apalagi kalau sudah ngumpul sama temen-temen
seumurannya, bebas dari pengawasan kita. Mmm, aku menarik nafas dalam-dalam,
berusaha meredam emosi.
“Udah
sekarang, taruh sepatu ke tempatnya dulu…” Ridho mengangguk, dengan tatapan
takut-takut, dia beringsut dari hadapanku. Nenteng sepatu dengan tangan kanan,
setengah berjingkat dia letakkan sepatunya ke rak yang sudah disediakan, deket
kamar tidurnya.
Sejak
kecil, begitu mengenal bangku sekolah, aku memang mengajarkan Ridho, putra
tunggalku mandiri. Ngelakuin beberapa hal kecil sendiri. Seperti pulang
sekolah, musti copot kaos kaki, sepatu, lantas ditaruh di rak-nya. Tas di
masukin kamar. Nggak dilempar saja, seenaknya. Seperti kulihat anak beberapa
kawanku.
Mereka
balik dari jalan atau sekolah, ngegelesot saja di lantai sambil copot sepatu
dan lempar seenaknya. Ntar pembantu atau mamanya yang pungutin, rapiin. Atau
malah parahnya, sampai rumah bocah-bocah itu langsung main, duduk depan
televisi atau tiduran di sofa, sementara pembantu repot, bantuin copotin kaos
kaki dan sepatu, bantuin ambilin tas, …Huh!! Bukan itu yang aku suka dan mau…
Untungnya,
Ridho cerdas, nggak cengeng dan tau kewajibannya, waktu aku ajarkan hal itu.
Musti tau, kalau sudah mengambil barang, main atau pakai apa pun, balikin ke
tempatnya semula. Sekolah, pakai sepatu..ambil sendiri di rak. Pulang-pulang
ya, balikin ke tempatnya. Meski kami punya pembantu, meski keluarga kami
terbilang cukup dan berlebih, tetap aja aku tidak ingin punya anak manja.
Sudah
semingguan ini, Ridho selalu pulang dengan tangan kotor. Banyak tanah merah
atau pasir, sampai-sampai kuku-kukunya ikutan kuning, kena tanah yang
mengering. Baju dan sepatunya juga belepotan. Jorok. Bener-bener, aku nggak
suka melihat anakku jorok-jorokan begitu..Pasti banyak kuman. Padahal secara,
tempat bermain di sekolah Ridho kan banyak alternatifnya. Ngapain musti
kotor-kotoran, main tanah?
“Ridho,
sebentar…Mama mau bicara…” tegurku, sore itu, pas kulihat Ridho lagi nonton
televisi. Matanya yang bulat dan jernih itu, beralih menatapku sambil tangannya masih mainin remote tv.
“Mama
nggak suka, kamu main tanah, jorok-jorokan di halaman… Bukan hanya karena
kotor, tapi kuman.. Jorok. Kan kamu bisa main yang lain? Baca buku atau pinjam mainan di ruang
bermain? “ Bocah berambut keriwil, hitam dan tebal itu, mata jernihnya kembali
menatapku dalam-dalam…
“Ya
Ma…Ridho nggak main kotor-kotoran lagi…”
“Janji?
“
Bocah
itu mengangguk, sambil menyilangkan jari kelingkingnya ke jari kelilingku.
Biasa. Kami kalau bikin satu perjanjian, suka beri tandanya dengan itu. Aku
tersenyum, lega. Ridho bukan bocah yang suka ngeyel. Mudah diberi pengertian…
Sayangnya…siang
ini, lagi-lagi aku mendapati Ridho belepotan dengan tanah merah. Kemarin dia
balik sekolah, aku masih bisa senyum. Lantas ngomongin dia sekali lagi, buat
pilih tempat bermain. Apalagi sekarang musim hujan…Kan becek dan kotor. Ridho
mengangguk, mengiyakan…Eh, lha kok hari ini dia ngelakuin kesalahan yang sama…
“Sudah
ma..” kata Ridho, takut-takut. Lamunanku buyar. Bocah berpipi chuby yang
wajahnya nurun banget sama Mas Raka itu,
ternyata sudah berdiri di depanku dari tadi kayaknya…
Aku
menghela nafas, berat. Ya sudahlah, biar bocah ini makan, istirahat. Pasti
capek. Ngapain kusambut dengan marah-marah…Ridho kugiring ke kamar mandi,
setelah sebelumnya mengambil kaos dan celana rumah dia..
Deg.
Sebuah luka seperti baret, kulihat begitu jelas di dekat tulang rusuknya. Satu
lagi, punggung kanannya, sedikit membiru. Jantungku serasa mau copot. Hatiku
ikutan sakit, kalau melihat anakku terluka…
“Ridho,
kenapa sampai lecet, luka begini? Masih
sakit? Mananya lagi yang luka?”
Ridho
menggeleng, sambil menatapku dengan tatapan polosnya itu.
“Nggak
apa-apa kok ma…Nggak sakit. Tadi Ridho hampir jatuh, waktu main prosotan.
Untung ditolongin sama Dino. Kalau nggak benjol…”
“Oh
Dino, temen satu kelas ya.. “
“Bukan
ma.. dia anak kelas lain, tapi sering main sama Ridho sekarang. Baik lho ma…”
Ridho sudah bersih. Ganti baju dan kami pindah ke ruang makan…
“Udah
bilang, terima kasih sama dia?”
“Udah
dong, ma… Kan mama selalu bilang, kita kalauditolongin orang atau dikasih
sesuatu, musti inget bilang terima kasih..” Aku senyum. Bocahku ini memang
pinter. Sungguh, bersyukur banget. Padahal kalau ingat, bagaimana perjuangan
keluarga kecil kami mendapatkan momongan…
Mas
Raka, cowok pengertian tersabar yang pernah kukenal. Kami menikah, tanpa restu
orangtua. Karena pekerjaan dia dulu masih nggak jelas. Kata Mama, ntar
anak-anakku dikasih makan apa… Nyatanya hanya dalam hitungan bulan, laki-laki
berkulit sawo matang, mata elang dan rambut ikal itu, berhasil memperoleh restu
mama. Kariernya juga membaik. Bahkan, kami berhasil pindah ke rumah milik kami
sendiri. Nggak nebeng orangtua.
Sayangnya,
kebahagiaan kami tidak didukung dengan hadirnya momongan. Tahun pertama, aku
keguguran. Jatuh, terpeleset di kamar mandi. Tahun kedua, janinku dinyatakan tidak
berkembang, sehingga harus dikuret. Sedih. Sakit banget hatiku, tiap menemui
kenyataan, calon anak kandungku meninggal sebelum waktunya melihat dunia…
Tahun
keempat, kami baru memiliki momongan. Ridho. Meski anak tunggal, karena belum
dikaruniai adik, dia kami biasakan tidak manja. Untungnya dia mengerti. Bahkan,
kadang sikapnya bisa lebih dewasa dari umurnya. Meski baru duduk di kelas nol
besar, tapi dia tahu semua pesan, nasehat yang kusampaikan.
*********
Tanah
merah…Lagi??? Kali ini kesabaranku habis, kayaknya. Ridho kuhukum, tidak boleh
nonton televisi atau main games seharian. Hanya boleh diam di kamar, nggak
kemana-mana.
“Mama
mau, Ridho inget-inget lagi…kalau main, jangan kotor-kotoran di tanah,
lapangan. Itu saja..Mudah kan?”
Mata
Ridho berkaca-kaca, dia lantas menunduk…
“Ridho
inget ma,.. Nggak pernah mau main kotor di lapangan…”
“Trus,
kenapa sekarang baju Ridho sekarang masih belepotan begini? Tuh lihat, dagu
kamu juga lecet… Kuman mudah masuk sayang. Kamu bisa sakit, cacingan juga.
Mau???”
Ridho
menggeleng, cepat. “Ridho cuma kasihan. Nggak tega sama Dino, main sendiri.
Nggak punya temen…”
“Ya,
boleh nolongin temen. Nggak boleh beda-bedain orang. Tapi Ridho kan bisa
ngajakin main di tempat bersih… Bilang, tanah itu kotor, jijik..banyak cacing
dan kuman….”
Ridho
diam, tertunduk. Sampai makan malam pun, dia lebih banyak diam dan tidak
bicara, kalau tidak kutanya. Esoknya, Ridho menepati janji. Bajunya bersih,
nggak berlepotan lumpur atau tanah merah lagi. Tapi dia banyak berubah. Lebih
diam, nggak becanda dan kocak seperti biasa.Hingga kami tidur, dia masih diam.
Nggak ngambek sih, hanya entah kenapa sikapnya berubah…murung.
Pagi
ini, sebelum berangkat sekolah…Ridho kuajak bicara…
“Ridho,
mama nggak marah dan nggak larang kamu main..tapi pilih tempat main yang
bersih…” Bocah itu mengusap matanya, sekilas dia menatapku takut-takut. Tangan
mungilnya menarik tanganku dan meletakkannya di dadanya…
“Bener,
mama nggak marah lagi? Ridho masih bisa main sama Dino kan…” Aku mengangguk,
mengiyakan… “Iya, tapi inget jangan kotor-kotoran…”
********
Mama
sakit. Hampir satu minggu ini, aku musti nengokin ke rumah mama, sekalian
nganterin makanan. Namanya orang sakit, kadang pengen makan masakan tertentu. Kasihan kalau nggak
dibikinin. Sementara pembantu mama, belum pandai bener memasak. Makanya aku
nggak sempat nungguin Ridho pulang. Paling ketemunya, pas dia lagi makan siang
atau sore, pas dia baru bangun dari tidur siangnya.
“Din,
kamu perhatiin Ridho nggak beberapa hari belakangan…” tegur Mas Raka,
mengejutkan, pas kami malam-malam berduaan saja di dapur, cari camilan. Aku
terkesiap, batinku mengatakan ada yang nggak beres. Soalnya nggak biasanya Mas
Raka sampai ngebahas serius…
“Ridho
kenapa mas? Sakit? Tadi siang aku masih nemenin dia makan siang, setelah pulang
dari nengokin mama…” kataku, sambil menyiapkan susu coklat hangat kesukaan
suamiku itu…
“Nggak
apa-apa… Aku kok tadi sempet ngelihat, bahu belakangnya bekas lebam. Mungkin
jatuh habis main kali ya… “
Deg.
Perasaanku nggak enak. Lebam lagi? Aduh tuh bocah, makin gede mustinya bisa
makin hati-hati.. Aku juga nggak mungkin, musti nungguin dan ngawasin dia main
di sekolah…
“Dia
cerita sama mas, kenapa bisa lebam ghitu?”
Mas
Raka menggeleng..
“Justru
itu, makanya aku nanya sama kamu. Soalnya dia bilang, nggak jatuh dan nggak
ngerasain apa-apa…. Semuanya sehat aja. Kucemas, dia kan masih kecil. Jadi
tidak peduliin badannya. Sakit dibilang baik-baik saja…”
Aku
menghela nafas, berat. Ya, kebiasaan Ridho suka nggak ngerasain sakitnya. Cuek.
Mustinya guru di sekolah bisa ngebantuin, ngawasin…apalagi untuk ukuran anak
seusia dia yang masih rentan celaka…
‘Ntar
mas, besok aku coba tanya ke gurunya di sekolah…” kataku, sambil menutup ember
pakaian yang setengah terbuka, di samping meja belakang. Astaga, kok… Kulihat
baju seragam Ridho yang setengah menyembul keluar… Tanah merah.. Lagi-lagi,
Ridho kotor-kotoran di lapangan??
********
Siang
ini, mendung. Lumayan, nggak begitu panas, pas aku ke sekolah Ridho.. Sengaja,
sejak semalam aku berniat menemui wali kelas Ridho buat menanyakan perkembangan
dia. Ngurusin mama, membuatku nggak sempat ngobrol atau mampir ke sekolah
seperti biasa kulakukan.. Bukannya reseh dan over protect sama anak sendiri
sih, tapi aku kan butuh tahu juga gimana dia di sekolah. Masalah apa yang bisa
aku bantu, pecahkan…
“Wah
kebetulan ibu datang… Kami sempat berpikir, buat memanggil ibu ke sekolah. Tapi
kata Ridho, ibu tengah sibuk mengurus keluarga yang sakit..” sambut Bu Winda,
wali kelas Ridho, hangat.
Pihak
sekolah berniat memanggilku? Berarti Ridho tengah menghadapi masalah serius?
Jangan-jangan dia buat keributan atau berkelahi dengan teman-temannya?
“Dia bandel
Bu? Melawan? Atau..terlibat perkelahian dengan teman-teman sekelasnya….Dia
nggak fokus menerima mata pelajaran?” pertanyaanku beruntun, bak peluru
dimuntahkan dari selonsongnya…
“Bukan..bukan
bu… Ridho alhamdulillah, anak baik. Penurut. Selalu perhatian sama
teman-temannya, suka membantu…” Bu Wilda, menarik nafas sejenak, bikin
jantungku ikutan berhenti berdetak rasanya…
“Tapi
dia belakangan suka main sendiri, ngobrol sendiri. Jarang mau gabung dengan
teman-temannya…Biasa juga dia mojok di deket lapangan, taman bermain. “
Glek…Oh, itu makanya bajunya suka kotor. Trus ngapain anakku main sendiri,
bukannya dia punya sahabat sekarang… Si.. Aku coba mengingat-ingat…Si…Si Dino!
“Kalau
Dino, boleh saya tau bu…Dia satu kelas juga dengan Ridho kan?”
Bu Winda
menatapku, kaget. Kelihatan banget dari sorot matanya…
“Ibu
pernah kenal dengan Dino? Dia memang pernah sekolah di sini.. Kelasnya juga
sama, kelas ini..Kalau masih sekolah, dia sudah naik kelas satu sekarang,” Bu
Winda menghentikan ucapannya, nadanya seperti menggantung.. Berat. “Sayangnya,
semester lalu jelang penerimaan raport, dia meninggal… Jatuh dari pohon di
samping taman. Gegar otak. “
Tubuhku
bergetar. Tanganku seperti mati rasa. Suara Bu Winda selanjutnya, tidak
kudengar… Kuingat kata-kata mama dulu, waktu datang nengokin kelahiran Ridho
bersama seorang wanita separuh baya yang katanya sih punya kelebihan buat
melihat “sesuatu” . Mama bilang, putraku nanti bakal menjadi anak kuat,
kebanggaan keluarga. Tapi dia juga sensitif dengan alam di sekitarnya, alias
memiliki kelebihan. Indra keenamnya lebih peka daripada indra keenam orang
lain..
Tubuhku
bergidik, merinding. Perasaan gamang, langsung menyergapku. Apakah bener,
selama ini Ridho ternyata bersahabat dengan Dino…yang dibilang Bu Winda sudah
meninggal?
“Mamaaaa…
Asyiikkk mama jemput Ridhoooo…” Bocah kebanggaanku itu, kelihatan melompat
girang pas melihatku di depan ruang guru pas jam bubaran sekolah tiba… Sambil
menggelendot manja, dia tarik tanganku mengajak pulang… Tiba-tiba, pas kami lewat
dekat taman, dia berhenti, lantas menoleh ke satu titik…
“Pulang dulu ya Dino! Mama aku udah
jemput nih.. Besok main lagi…” katanya sambil
mengibaskan tangannya, tanda dia mau pulang. Refleks aku ikutan menoleh,
pengen tahu Dino teman Ridho itu yang mana…Tapi…aku tidak melihat siapa-siapa
di sana. Hanya taman, lapangan bertanah merah. Kosong. Bbbrrr…. Tengkukku jadi dingin. Merinding!
Benarkah Ridho sudah melihat Dino yang kata Bu Winda sudah meninggal itu??? (Ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar