Kasihan.
Nggak tega, aku melihat bocah plontos dengan kaos oblong lusuh dan celana
pendek, warna merah dekil itu, duduk sendiri. Tangannya yang kecil memeluk
kedua lututnya yang dia lipat, depan dada. Bahunya berguncang. Sedu sedannya
terdengar begitu memilukan. Tapi tak seorang pun yang lewat, peduli. Minimal
kasih dia makanan atau tanya, apa masalahnya kek… Aku menggeleng-gelengkan
kepala. Apa segini dinginnya hati orang di kota besar? Sesama menderita di depan
mata, mereka bisa cuek bebek?
Sebenarnya,
bukan kali pertama ini aku melihatnya. Kemarin, aku sudah melihat bocah ini
duduk di bawah pohon, tak jauh dari pintu perlintasan kereta. Sayangnya,
jalanan lagi macet dan riuh. Aku pun ingat, masih harus mengejar kereta
berikutnya, kalau nggak mau pulang kerja dengan bis yang super lemot atau
malah, taksi. Tanggung. Tanggal segini, musti diirit-irit.
Hari
ini, aku kembali melihatnya duduk di sana sendiri. Ketika orang lalu lalang,
tidak perduli. Padahal hari sudah mulai gelap. Guntur juga beberapa kali
terdengar. Mmm, bentar lagi hujan. Gawat, kalau bocah itu masih saja berada di
sana.
“Dik,
nggak pulang? Sudah malam lho…Mau hujan pula…” kataku, sambil berjongkok dekat
dia. Bocah itu kaget, waktu dengar suaraku. Tatapannya liar, seperti melihat
monster atau makhluk asing…
“Nggak…nggak
perlu takut… Kakak hanya takut, kamu kehujanan atau masuk angin. Kan udara
malam dingin. Nggak bagus buat kesehatan..”
Bocah
itu menunduk. Tangannya yang dekil mengorek-ngorek tanah di depannya, seperti
ingin menggambar atau menulis sesuatu. Tapi aku tidak bisa membacanya dengan
jelas. Minus kacamataku lumayan tebal. Agak sulit membaca dalam keadaan
remang-remang…
“Yuk
pulang… Rumah kamu di mana?” tanyaku lagi, nyaris nggak sabar. Soalnya badanku
juga mulai menggigil. Udara dingin di sekelilingku, begitu menusuk. Tengkuk
juga rasanya nggak enak. Seperti dibebani ribuan kilogram es…Dingin dan berat.
“Nggak
punya rumah kak…Sudah diusir…”
“Di usir? Sama
siapa? Keluarga kamu…ayah ibu, atau siapa? Kamu lakuin kesalahan apa?”
Pertanyaanku spontan, seperti wartawan ngejar calon mentri yang mau di resuffle.
“Bapak, ibu,
bahkan semua tetangga juga.. mereka nggak mau terima aku. Aku nggak bisa
pulang, mereka jahattt…” Aku tercekat, tenggorokanku kelu. Segitu parahkan
kesalahan bocah ini, sampai keluarga kandung dan tetangga di lingkungan dia
mengusirnya?
Aku meraba
tengkukku lagi. Udara dingin seperti berhembus, dekat telinga. Bulu romaku
berdiri. Perasaan nggak enak, tiba-tiba menyergap, apalagi pas kulihat
sekitarku mulai sepi. Pohon tempat bocah itu nongkrong memang sekian ratus
kilometer dari pintu palang kereta. Makanya agak sepi…
“Ya sudah,
sekarang kamu aja bareng kakak yuk…Ntar kakak cariin, orang yang bisa
memberikan tumpangan…”
Bocah itu
menggeleng. Nafasnya tersengal-sengal, berat. Kayaknya efek dia nangis itu,
sampe nyesek.
“Nggak bisa,
Kak…saya nggak bisa pulang bareng kakak. Tempat saya di sini saja.”
“Masa kamu mau
tinggal di bawah pohon ini terus. Kan dingin kalau malam? Ntar hujan, gimana?
Basah kuyub, sakit…Yuk ah, ikut kakak. Minimal malam ini, kamu bisa tidur di
tempat yang hangat.”
Bocah itu
menggeleng. Aku menghela nafas, berat. Kalau tidak mau, mana mungkin juga dia
kupaksa. Mmm, tangan ini meraba-raba dalam tas, mencari sesuatu. Kayaknya ada
roti, belum kumakan di kantor. Kuambil roti yang masih utuh, lantas selembar
uang sepuluh ribuan.. Kuberikan bocah itu yang menerimanya dengan mata
berbinar, haru.
“Maaf ya dik,
Kakak nggak bisa bantu apa-apa. Pengennya sih kamu ikutan ke rumah, tapi ya
sudahlah.. Kamu makan ini aja dulu, buat ganjal perut.” Bocah itu tidak
komentar apa-apa. Bahkan melihatku pun tidak…dia sudah terlalu asyik dengan
roti yang diterimanya.
Sedih.
Sepanjang jalan, menuju ke rumah, perasaanku campur aduk. Antara sedih dan
bingung. Bayangan bocah itu benar-benar mengganggu pikiranku. Masih ada
ternyata, anak-anak nggak terurus di jalanan, kelaparan, tidak memperoleh kasih
sayang, sementara di balik jalan raya dekat rumah, mall-mall dan gedung pencakar
langit yang digunakan buat perkantoran, tempat hiburan, begitu megah dan
banyak.
Bersyukur, aku
tidak pernah merasakan kekurangan kasih sayang. Kedua orangtuaku, benar-benar
melimpahi perhatian. Secara materi, keluarga kecil kami juga tidak pernah sampai
kelaparan atau kebingungan, mikirin besok bayar ini itu, bagaimana. Hingga
akhirnya, papa bisa membiayai aku kuliah sampai lulus sarjana.
Hendra, kakak
kelas di kampus, membuatku jatuh cinta. Kami pacaran 3 tahun, sebelum akhirnya
memutuskan buat menikah. Rumah baru, boleh jadi impian. Karena tahun pertama,
kami baru bisa nebeng di pondok mertua indah. Alias tinggal bersama kedua
orangtua Hendra. Tahun berikutnya, bertepatan dengan Hendra dapat promosi
kenaikan jabatan dan aku juga dapat kenaikan gaji di kantor, kami berhasil juga
membeli sebuah rumah mungil. Yah, meski di kawasan padat, bukan perumahan elit.
Jalanan
sekitar rumah, rame. Bahkan boleh dikata, tiap hari entah mau pulang kantor
atau berangkat, emosi kami diuji oleh kemacetan. Soalnya kami musti lewat
perlintasan kereta api. Bayangkan, tiap berapa menit, musti berhenti menunggu.
Kadang udah nungguin lama, lokonya malah lemot banget lewatnya… Bener-bener,
makan hati…
“Sabar…Ntar
kamu juga terbiasa. Jadiin itu sebagai romantismenya tinggal di kawasan padat,
soalnya jarang-jarang kan kita bisa dengerin merdunya suara mesin kereta yang
lewat…” Hendra berusaha menghiburku. Suara mesinnya merdu? Hah…Nggak salah?
Tapi bener
juga tuh. Lama-lama aku terbiasa, ngadepin jalanan macet. Bolak balik musti menunggu.
Kadang juga dengerin sumpah serapah orang… Pas naik angkot, sering banget
ibu-ibu atau bapak-bapak ngomel. Yang aku kesel, sopir atau kernetnya, kadang
maunya main serobot. Padahal jelas-jelas suara peluit, tanda bakal ada kereta
mau lewat kedengeran. Mereka pikir, masih jauh… daripada nungguin, macet. Huh.
Nggak sabaran banget. Apa mereka nggak mikirin, keselamatan penumpang? Andai
mau celaka sendirian sih, nggak masalah. Tapi ngajakin sekian banyak orang
dalam angkot, coba…
Lampu-lampu
utama di teras depan, sudah dinyalakan. Kulihat, Hendra tengah duduk di meja
kerjanya, waktu aku pulang.
“Udah makan
mas?” Hendra nggak menjawab. Bahkan, menoleh pun tidak. Huh. Lagi-lagi aku
dicuekin. Mungkin sebaiknya aku mandi, lantas tidur. Entah kenapa, beberapa
hari belakangan ini, Hendra begitu dingin sama aku. Padahal aku malah baru aja,
resign dari kantor. Berhenti bekerja. Tadinya, kami ingin fokus buat memiliki
momongan. Rencana, aku buka usaha kecil-kecilan di rumah.
Hendra begitu
dingin, akhir-akhir ini. Ngobrol berdua di teras, ngopi bersama atau menemani
aku mencari-cari data buat usaha baru kami di internet, ngak pernah dia lakuin
lagi. Bahkan dia tidak pernah menjawab, tiap
aku ajak bicara. Tak jarang, dia malah buang muka. Sakit banget rasanya. Sungguh,
aku kangen dengan tatapannya yang penuh cinta. Kangen dengan bujukan-bujukannya
yang selalu mengademkan hati. Selama kami pacaran, sampai menikah Hendra jauh
lebih sabar dan bijak daripada aku. Tiap kami bertengkar pun, dia duluan yang
berusaha mencari jalan tengah. Ketika aku gundah atau lagi menghadapi masalah
di kantor, pulang-pulang stress-ku bisa langsung hilang, begitu diajak bicara
dari hati ke hati olehnya. Tapi kenapa sekarang, Hendra begitu dingin?
Jujur. Aku
sendiri, nggak tahan didiemin begini. Bahkan di tempat tidur pun, Hendra lebih
suka memunggungiku. Kadang, aku tengah malam pun, kusering melihat Hendra
mengambil bantal, lantas tiduran di sofa, ruang tamu, sampai pagi. Apa
maksudnya coba? Apa dia memiliki perempuan lain? Hihhhh! Amit-amit.
Membayangkannya saja, aku tidak berani…
Malam ini,
lagi-lagi aku tidur sendiri. Saling berpunggungan dengan Hendra. Diam-diam aku
menangis, sambil memeluk bantal. Suaraku berusaha kutahan, takut Hendra denger.
Ya, nggak boleh dia tahu aku cengeng…
*******
Pusing. Beberapa
pola kain yang sudah kupotong dan siap dijahit, hilang. Kemana ya, aku
meletakkannya Kok bisa lupa sendiri. Padahal di rumah, aku juga yang
beres-beres. Sepagian aku mencari, tetap sama hasilnya. Koleksi alat jahit dan
kain yang siap dibuat baju, hilang. Duh! Kok bisa? Mungkin amnesia? Ya sudahlah,
mungkin besok-besok saja kucari lagi… Sekarang, aku musti mencari buku yang pernah
kubaca di internet. Kelihatannya isinya bagus.
Mungkin
keberuntunganku lagi buruk… Barang-barang di rumah hilang, rencana membeli buku
juga batal. Tiba-tiba migrainku kambuh, padahal sudah jalan ke depan buat
mencari angkot. Mau diterusin, malas. Lagipula, takut di jalan ntar
kenapa-napa. Bikin repot orang. Beberapa hari ini, kondisiku memang drop.
Mungkin karena beban pikiran dengan perubahan sikap Hendra kali ya… Badanku
jadi gampang lemes. Mau ngapain aja, males. Lebih suka mengurung diri di rumah.
Pikiran juga gamang. Suka ngaco. Kadang aku lupa sendiri, hari ini makan apa
ya..
Ginilah
rasanya stress. Aku benar-benar merasa hidup seorang diri. Hendra sama sekali
tidak perduli. Setiap hari aku hanya menghadapi dinding-dinding kamar, tanpa
seorang pun teman bisa diajak bicara. Aku malas, menelpon sahabat-sahabatku.
Ntar malah mereka bertanya-tanya, karena aku paling nggak bisa tahan menangis
kalau pas sedih. Pengen menghubungi mama, aku juga takut beliau bisa membaca
masalahku…
Sore ini,
sengaja aku keluar jalan kaki ke depan deket jalan raya. Mau cari angin…
Lagi-lagi kulihat bocah plontos itu duduk di bawah pohon, dekat perlintasan
kereta. Kasihan. Dia sudah makan belum hari ini? Langkahku setengah bergegas,
nyamperin dia…Kulihat di sekeliling kami orang lalu lalang. Nggak jarang, pada
nenteng bawaan. Tapi tidak satu pun yang perduli sama bocah ini…Padahal
jelas-jelas dia meringkuk, sedih, seperti kedinginan dan kelaparan…
“Dik, udah
makan? Belum menemukan tempat tinggal? Ikut kakak saja yuk..” kataku, sambil
ikutan jongkok, di sampingnya. Bocah itu menatapku dengan tatapan kosong…
Matanya berkaca-kaca…Nggak bicara apa-apa.
Hatiku giris
melihatnya, tangannya yang dingin kugenggam. Nggak perduli, bau busuknya
menyengat. Mungkin dia nggak pernah mandi atau ganti pakaian, berhari-hari.
Bulu kudukku kembali meremang..Kayaknya mulai gelap dan hampir magrib..
Perasaan nggak enak, tiba-tiba menghantuiku. Rasanya setiap orang yang lewat,
memandangku dengan tatapan menusuk…Tatapan permusuhan..Aduh, kenapa aku bisa
berhalusinasi gini ya… Efek migrain kali?
Bocah cilik
itu masih duduk di sana, nggak bergeming. Meski aku sudah membujuknya, buat
ikutan pulang ke rumahku. Mungkin dia bisa bantu-bantu di rumah, sekalian teman
aku bicara kan..daripada dia sendirian, di jalanan. Ntar kalau sakit, celaka atau sampai
meninggal bagaimana? Bbbrrr…kok tengkukku kembali dingin. Buru-buru langkahku
kupercepat, balik ke rumah.
*************
Bisma. Nama
bocah plontos yang biasa kutemui meringkuk sendirian di dekat perlintasan
kereta. Dia mau bicara juga akhirnya, meski omongannya sepotong-sepotong.
Katanya, dia yang sebenarnya ninggalin rumah. Bisma juga yang tidak mau
berkumpul dengan keluarga kakaknya yang sudah married. Padahal dulunya dia
dibiayai sekolahnya oleh mereka…
“Kenapa kamu nggak
mau pulang? Mereka pasti khawatir banget.. Kasihan kan?” Bisma menggeleng.
Tangannya yang dekil itu menggais-ngais tanah, sambil sesekali menatapku dengan
pandangannya yang sama…Kosong.
“Mereka sudah
tidak membutuhkan saya, Kak… Kakak juga, sebaiknya segera pulang… Jangan balik
lagi, kalau kita sudah pulang…
Aku nggak bisa
memaksanya, buat ikutan pulang. Hanya bisa menemaninya, sebentar. Selain capek
dan ngantuk, perasaanku juga selalu nggak enak kalau lama-lama dengan bocah
itu.
Migrainku
rasanya kambuh lagi. Sambil terhuyung-huyung, aku berjalan menuju ke rumah.
Nggak jauh dari perlintasan kereta, tepatnya di posko petugas jaga, kulihat
bapak-bapak pada ngumpul dan ngopi. Kepalaku pusing. Nyaris jatuh… Mmm,
buru-buru aku bersandar di dinding posko. Kulihat, bapak-bapak itu begitu asyik
ngerumpi, sampai-sampai mereka tidak memperdulikan aku…
“Ya
lho…kasihan banget si Japra. Sampai nih hari, suka nangis sendirian di depan
rumahnye… Foto tuh anak dipangku, dipeluk-peluk…” Si kribo berbadan tambun,
bicara dengan logat Betawi.
“Lagian, siapa
nyangka sih… Pagi pamit sekolah, tahunya balik udah jadi mayat.” Si cungkring
ikutan ngomong…
“Makanya
orang-orang itu musti nyadar. Lewat palang kereta, jangan masih selonong kalau
peluitnya udah dibunyiin. Kalau sampai keretanya datang duluan, nyawa
taruhannya. Kayak nasib anaknya Japra… Bint..Bis…Bisma ya, namanya? Dia nggak
ngerti apa-apa, ikutan korban. Gara-gara sopir angkotnya ngawur tuh, main
selonong…”
Deg! Jantungku
mau copot. Maksud abang-abang itu, Bisma bocah yang sering kutemui di bawah
pohon itu? Aku nggak ingin berpikir negatif. Bisa saja, Bisma yang lain. Nama
orang kan bisa aja sama… Buru-buru aku pulang.
*******
Heran. Rumah
kelihatan abis ada acara. Kardus makanan masih ada yang tersisa, numpuk di
pojokan teras depan. Beberapa tetangga, lalu lalang, pulang, tapi mereka sama
sekali tidak perdulikan aku. Mmm, ada apaan sih ini? Mereka datang bertamu,
nggak pakai permisi…
Hendra kulihat
tengah duduk, bengong di ruang tamu. Wajahnya pucat. Masih mengenakan peci,
kemeja putih dan sarung. Rapi banget dia.
“Mas, barusan
ada acara apa? Kok aku nggak tahu…Siapa yang urusin makanan? Ibu-ibu tetangga
tadi juga cuek banget sih, masa aku didiemin, mas…”
Hendra diam.
Sedikitpun dia nggak menoleh atau memperhatikan apa yang kuomongin… Tatapannya
dingin. Masa bodoh. Ya ampun Gusti…Aku punya dosa apa sama dia? Kenapa begitu
jahat perlakuannya?
Seorang
ibu-ibu setengah baya, kelihatan barusan keluar dari belakang. Mungkin habis
dari kamar kecil.. Dia mengusap bahu suamiku, wajahnya kelihatan sedih.
“Ada apa ya
Bu? Kenapa ibu sedih ghitu?” tanyaku. Tapi ibu itu nggak perdulikan aku. Huh.
Semua orang main diem-dieman nih?
“Sabar ya,
nak…Harus iklas. Ibu tahu, gimana rasanya kehilangan orang yang dicintai. Istri
yang selama ini menemani, suka dan duka,” kata ibu itu, membuatku melotot.
“Siapa
ninggalin mas Hendra, Bu! Ibu jangan sembarangan dong, bicaranya…”
“Iklas ya
nak…kirim doanya saja, biar nak Asih tenang di alamnya,…” Glek. Aku bengong.
Waktu kubaca sekilas, judul di buku cetakan…di sana tertulis, namaku.
Meninggal, 11 Oktober… Dan itu, tepat satu minggu yang lalu…(ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar