Panas.
Mustinya sejak awal aku sudah panggil tukang, buat memperbaiki ac kamar.
Beberapa hari belakangan ini, bawaannya gerah. Sampai-sampai, tengah malam
selalu terbangun dengan badan basah. Banjir keringat. Sayangnya, belum ada
waktu. Proyek yang baru saja ditandatangai perusahaanku dengan sebuah
perusahaan property besar, membuat
aku bagian audit dan keuangan, musti mati-matian menyusun budjet anggaran.
Gokil
juga. Tanggungjawab baru itu kuterima bersamaan dengan pindahan rumah. Bukan
rumah baru sih, rumah mama yang diwariskan untukmu. Padahal sejak awal, aku
sudah menolak pindah. Meski masih ngontrak di kawasan Tangerang, setidaknya
dekat banget kalau mau ke kantorku yang ada di BSD, Serpong. Rumah mama? Kawasan
Jakarta Pusat… Alamakkk…Jauh dan macetnyaaa.
But,
kasihan juga. Mama wanti-wanti, rumah keluarga besar kami itu jangan dijual.
Kalau bisa, aku saja yang tinggali dan rawat. Pesan itu bukan hanya sekali dua
kali disampaikan mama, ketika aku, Edo dan Edward anak-anak mama ngumpul. Kini,
setelah mama meninggal, kedua kakakku menyerahkan sepenuhnya rumah dalam
tanggungjawabku. Mereka masing-masing sudah berkeluarga, punya rumah layak
huni, sementara aku…jomblo. Wanita karier yang keasyikan mengejar target,
sampai kelupaan married. Ghitu, ledekan teman-teman di kantor.
Nggak apa-apa sih,
daripada married cepat-cepat tapi hidup menderita? Bisa saja aku dapat suami
suka selingkuh, atau malah hubungan hambar. Karena kami sama-sama tidak pernah saling cinta, seperti
di sinetron-sinetron.
Masalah kedua,
selain jauhnya amit-amit juga karena
rumah mama itu terbilang gede banget, buat seorang wanita lajang seperti aku.
Rumah tua, memang ghitu. Banyak kamar, arsitekturnya ala Belanda, plus halaman
luas di belakang. Ngebersihinnya, capek. Nyaris tidak terkejar, antara
menyelesaikan pekerjaan kantor dengan mengurus rumah.
Mustinya aku bersyukur
banget, hari gini bisa punya rumah seluas ini. Kalau beli, harganya pasti
ampun-ampunan. Belum lagi di halaman belakang, mama dan papa almarhum punya
semacam rumah pohon.
Rumah-rumahan dari
papan yang menempel dua pohon besar, lengkap dengan tangga kayu buat naik ke
atas. Rumah kayu itu, sangat sederhana. Hanya berisi satu meja pendek, lantas
alas karpet. Kata mama, warisan dari oma. Mamanya papa…Yah, rumah kami memang
rumah warisan turun temurun.
“Waktu mama habis
married dan diboyong ke rumah ini, rumah pohon itu sudah ada,” dongeng mama,
waktu aku, Edo dan Edward masih sangat kecil. Kami suka main rumah-rumahan. Biasanya
aku main boneka dan membaca komik di sana, sampai ketiduran. Seisi rumah hafal
banget. Kalau aku tiba-tiba menghilang, pasti ditemukannya di rumah pohon.
Bing! Pesan singkat
masuk di BB. Lamunanku buyar. Fiiuhh, akhirnya aku dapat pembantu. Asyik! Yess!
Artinya, aku tidak perlu stress lagi memikirkan rumah, selain ada teman buat
ngobrol kalau pas iseng. Selama ini di rumah, temanku hanya tembok dan laptop.
*********
Weekend ini, meski
orang-orang bilang waktunya shopping, tanggal muda, aku malah seharian penuh di
rumah mengawasi tukang. Sudah diniatin sejak pertama pindah, musti renovasi
segera. Selain service ac, pompa air, aku juga minta tukang potong rumput, buat
membabat rumput depan dan belakang rumah, sekalian merapikan beberapa tanaman
yang baru kubeli bersama Bik Ade, pembantu baruku.
Rencananya rumah
pohon yang kini lapuk dan nggak terawat itu kubongkar. Pohon penopangnya juga
kutebang, karena nggak bermanfaat. Daun-daunnya rimbun banget, sering rontok,
hanya bikin sampah. Kasihan Bik Ade, membersihkan setiap hari. Lebih baik
kuganti dengan tanaman yang mudah perawatannya dan jauh lebih cantik.
“Apa nggak
sebaiknya, jangan ditebang Bu…Perbaiki saja rumah kayu-nya.. Lagipula sudah
terlalu lama ada, pamali…” saran Pak Fadil, salah satu tukang yang kelihatan
paling tua usianya, waktu aku memerintahkan buat menebang dua pohon itu.
“Ah, bapak…ada-ada
saja… Nggak apa, pak. Tebang saja. Malas saya, bikin kotor daunnya…”
“Ibu berani
tanggung resikonya? Hati-hati ya Bu…Jangan suka bengong atau melamun sendiri…”
tegur bapak itu lagi, bikin aku bete. Ih, suka-suka lagi. Malah nadanya
nakut-nakutin…
Pak Fadil
kelihatannya serius dengan kata-katanya. Sampai dia sendiri juga kelihatan
segan menebang pohon itu. Sekilas kulihat beberapa kali, bapak itu membaca doa.
Mmm, kuakui keimanannya kuat. Nggak seperti aku yang slengean.
***********
Beres! Puas juga,
melihat hasilku nongkrongin tukang dua hari ini…Halaman belakang rapi, kelihatan
terang, karena nggak tertutup rimbunnya rumah pohon. AC, pompa air, semua mesin
beres. Rumah juga rapi, karena Bik Ade cekatan dan sangat teliti. Tanpa aku
minta, dia sudah tahu kewajibannya.
Malam ini, baru terasa. Badan pegel semua.
Rencana selesai mandi, masuk kamar, langsung tewas. Kuingat besok sederet meeting penting musti dihadiri. But efek beresin rumah dua hari nonstop,
bikin badan sakit semua. Ingin tidur, susah banget. Gggrh, mungkin minum coklat
susu dulu kali, biar enakan…
Setengah malas, aku
beranjak ke dapur. Kulihat sekilas waktu melewati kamar Bik Ade, perempuan
setengah baya itu tertidur. Kecapekan juga pasti. Kasihan. Sambil menunggu air
panas mendidih, kubuka lemari es. Seingatku masih ada mangga…
“Cari apa bu? Mau
saya bikinin sesuatu?” Deg, kagettt. Kirain siapa…tahunya, Bik Ade sudah
berdiri di dekatku. Kelihatan wajahnya ngantuk, capek. Ya ampun, kebrisikan
suaraku kali ya…
“Duh, maaf
Bik…Pasti kebangun denger suara saya ya… Nggak perlu apa-apa kok. Nih, udah
bikin minuman hangat. Bibik tidur aja lagi…”
Bik Ade, hanya
senyum. Bersyukur, punya pembantu super pengertian. Sejak dia datang, nggak
pernah bikin masalah. Malah, akunya sering banget membuat dia kelimpungan…
Gila. Minum susu
coklat plus dua potong mangga, nggak juga bikin aku bisa pulas tidur. Ac pun
sudah super dingin. Entah, perasaanku nggak enak. Beberapa kali bolak balik
badan, padahal jam di dinding sudah menunjukkan tanda pukul dua pagi… Ampunnn!
******
“Kenapa tuh mata?
Kurang tidur? Libur dua hari nggak cukup?” tembak Hendy, begitu masuk ruang
kerjaku. Tangannya sudah membawa setumpuk map, alamakkk…jangan lagiiii….
“Nggak kok. Bukan
buat kamu. Geer!!!” katanya, seperti tahu apa yang tengah kupikirin. Dasar tuh
cowok, untuk dia sudah punya tunangan. Andai tidak, pasti kami diledekin
pacaran mlulu saking dekatnya.
Hendy memang
kuanggap seperti Edo, kakak kandungku sendiri. Usianya sama, kelakuannya nyaris
sama. Suka bercanda, super perhatian, meski kalau urusan pekerjaan dia juga
bisa galak.
“Husss…sekarang
malah melamun… Mikirin aku?” Hendy lagi! Aku menggeleng, ketawa.
“Nggak lah, rugi
tahu! Semalam susah tidur saja, masalahnya. Kecapekan kali. Dua hari penuh
ngurusin renovasi rumah.”
Hendy kali ini, duduk
tepat di depanku dengan tatapan serius. Cowok berambut cepak, hidung mancung
dan alis tebal itu, menghela nafas. Berat.
“Mungkin sudah
saatnya kamu membuka dirimu buat cowok…Biar ada teman berbagi di rumah, nggak
menanggung semuanya sendiri…”
“Ya, I see…. Ntar deh, kupasang pengumuman.
Cari cowok, kriteria macho seperti Brad Pitt, setia kayak Pierce Brossnan,…”
Aku belum menyelesaikan omonganku, ketika Hendy berdiri, geleng-geleng kepala,
lantas pergi. Pasti, tuh cowok kesel juga….he…he…he…
Balik kantor,
obrolanku dengan Hendy masih terngiang jelas. Ya, juga. Selama ini, bukannya
tidak ada cowok mau dekat. Tapi akunya yang langsung pasang tembok pembatas,
atau bahkan kabur. Takut. Trauma dengan
cinta pertamaku yang kandas, dua minggu jelang pertunangan kami. Anto,
selingkuh dengan adik kelasku dulu, bahkan tuh cewek sampai hamil.
Malam ini, kejadian
yang menyakitkan itu seperti diputar kembali dalam memoriku. Apalagi sejak naik
tempat tidur, pikiranku malah lari ke mana-mana. Meski mata sudah berusaha dipejamkan,
sampai pasang earphone dengan lagi penghantar tidur, sama! Gelisah. Jantung
juga seakan berdetak keras, lebih cepat dari biasanya…
Huhhh! Males
banget. Tapi nggak ada pilihan lain, musti ke dapur bikin coklat susu hangat.
Resep dari mama, biar tidurnya enakan. Lampu utama ruang tengah dan belakang
sudah dimatikan, hanya lampu kecil saja yang digunakan. Meski tidak begitu
jelas, tapi selesai makan buah, mataku menangkap ada bayangan orang melintas di
halaman belakang, dari jendela dapur… bertepatan dengan udara di sekelilingku
yang terasa dingin. Jauh lebih dingin dari biasanya…
Mungkin ada maling,
lompat tembok belakang? Wah,…tanganku yang tengah memegang cangkir bergetar. Prang!
Sendok yang kupegang jatuh, hingga menimbulkan suara nyaring, begitu kubalik
badan. Bik Ade! Astaga. Sejak kapan dia muncul, sampai aku nggak menyadari
kehadirannya…
Perempuan sebaruh
baya itu, buru-buru mengambil sendokku yang jatuh. Lantas menyodorkan sendok
baru.. Tanpa banyak bicara, Bik Ade mencucinya sekaligus dengan beberapa
peralatan dapur yang tadi kubuat mengupas buah.
“Maaf Bik,
malem-malem ngebangunin lagi…”
Bik Ade hanya
senyum. Mmm, aku jadi nggak enak hati bikin dia terbangun mlulu. Tapi jujur
saja, hatiku lebih tenang. Bayangan tadi mungkin halusinasi saja. Andaikan ada
maling, bukankah pintu dapur berlapis dan jendela juga menggunakan teralis.
Pasti tidak semudah itu, maling masuk…
****************
Gila. Hampir genap
seminggu, aku selalu diganggu mimpi buruk dan susah tidur. Andai bisa, pasti
baru pukul dua atau tiga pagi. Ritualku yang nggak pernah cari makanan
malam-malam, jadi berubah. Musti cari buah atau roti di dapur dan minum susu
coklat hangat. Baru bener-bener bisa tidur. Nggak enak hati juga sama Bik
Ade…Pembantu itu ikutan terjaga, gara-gara aku. Kalau nggak bantuin mencuci
perlengkapan yang kupakai, dia akan duduk menemaniku menghabiskan susu coklat
sambil mendengarkan ceraucauanku soal kantor atau keluarga kedua kakakku.
Sabtu Malam Minggu,
balik dari pesta ulang tahun Hendy di sebuah kafe, kulihat lampu utama rumah
sudah dimatikan. Sepi. Pasti Bik Ade sudah tidur. Setengah mengendap-endap, aku
ke dapur. Ingin memasukkan ice cream yang dikasih Hendy ke freezer, ketika
tiba-tiba begitu kututup lemari es…
“Capek Bu… Mau saya
bikinin teh manis?” Astaga. Bik Ade bikin kaget aku saja. Wanita itu sudah
berdiri tepat di samping lemari es.
Aku menggeleng.
Kasihan. Pasti dia juga kecapekan.
“Nggak usah, Bik.
Makasih. Bibik tidur saja…Maaf saya selalu bikin bibi terbangun malam-malam…”
“Ah, nggak kok Bu…
Saya biasa selesai beres-beres rumah, langsung tidur sampai pagi. Tumben saja
tadi, saya dengar suara ibu klitikan di dapur…”
“Bibik ada-ada
aja…Bukannya kemarin-kemarin selalu menemani saya bikin susu coklat, kadang
juga makan buah…”
Bik Ade menggeleng.
“Nggak pernah, Bu…
Bener. Kan baru kali ini, saya bilang melihat ibu pulang malem…”
Aku
bengong. Bik Ade amnesia kali. Masa biasa menemani aku malam-malam, masih
bilang nggak pernah. Ah, udahlah. Ngapain pusing? Sambil menenteng cangkir susu
coklat, kutinggalkan Bik Ade yang masih beres-beres di dapur, lantas belok mau
ke kamar. Dan tepat di depan kamar, tepatnya sebuah kursi yang biasa memang ada
di situ..kulihat seorang wanita separuh baya, tengah duduk di sana, sambil
senyum ketika melihat aku datang. Bik Ade!(ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar