Pulang
lagi? Nggak salah, tuh…Kalau kuhitung-hitung dalam dua bulan ini, hampir tiap
minggu Rani mudik. Padahal tahu sendiri, jarak Jakarta-Surabaya lumayan jauh.
Minimal bikin capek. Mondar mandir naik kereta api atau bis umum. Buat ukuran
anak kost seperti kami juga boros. Entah mengapa, belakangan cewek berambut
sebahu, berlesung pipit dan hidung mancung itu, suka banget pulang.
“Nggak
rontok badan kamu? Aku ngelihat kamu saja, capek banget. Lagian kita hampir
ujian semesteran lho. Stamina bisa drop…” tegurku, sore itu ketika kulihat
wajah cantiknya kelihatan pucat.
“Thanks,
Ut…Jangan khawatir, aku bisa jaga kondisiku. Mumpung masih ada waktu, sesering
mungkin aku pengen nengokin keluarga di rumah.”
“Biasanya kamu
sms atau telpon doang. Nggak sesering ini deh, mudik. Tumben…”
“Iya kan, selagi aku bisa nengokin… Kita nggak pernah
tahu, besok-besok bakal ada kejadian apa…Gempa, tsunami, perang…”
“Ih, kok serem
amat sih omongan kamu? Amit-amit deh…Jangan aneh-aneh,” protesku. Jujur saja,
aku suka phobia setiap mendengar berbagai bencana alam. Trauma, lebih tepatnya.
Bayangan Mas Iqbal, kakakku satu-satunya yang tewas ketika membantu korban
tanah longsor tidak pernah bisa hilang dari
ingatan. Bayangkan, siang itu aku masih sempat dia bawain ice cream sepulang
dari mall. Malamnya keluarga kami menerima kabar, Mas Iqbal meninggal dunia.
“Tuh kan,
bengong! Mikirin aku ya?” tegur Rani. Lamunanku buyar seketika. “Sudahlah,
nggak usah dipikirin segitunya. Kalau capek, vitamin juga banyak macamnya. Ntar
minum obat kuat…” candanya membuatku mau tidak mau, senyum juga.
“Janji ya,
makanan dan vitamin dijaga. Ntar kalau sakit, gara-gara kecapekan aku jitak
nih…”
“Janji!” Rani
langsung memelukku, hangat.
****
Home alone. Yup! Malam
minggu ini, lagi-lagi aku musti tinggal sendiri di kost-kostan. Penghuni kamar atas, mudik semua. Malena dan Aini
satu lantai denganku, keluar sama pacar mereka masing-masing. Sementara Rani
yang ngakunya mau ke Tanah Abang, mencari baju untuk oleh-oleh mudik, belum
juga kelihatan batang hidungnya. Tuh anak, memang kalau sudah belanja suka lupa
waktu… Bukan karena doyan ngeborong, tapi cewek manis itu gigih banget menawar.
Dia bisa betah berjam-jam, beredar dari satu toko ke toko lain untuk
mendapatkan harga yang diinginkan. Hebatnya selalu saja dia berhasil nego, beda
jauh dibanding aku yang gampang nyerah.
“Udahlah Ran,
kasih saja…Capek nih?!”
“Enak
saja…Kemahalan tahu! Nggak ah, kita cari di toko sebelah. Pasti bisa dapat
lebih murah…” komennya suatu siang, ketika kami tengah mencari perlengkapan
memasak. Eh, benar juga. Meski harus keluar masuk lima toko, akhirnya kami
mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga jauh lebih murah.
“Tuh
kan, apa kubilang? Kamu sih, boros dan nggak tegaan…” ledek Rani, sambil
mencibirkan bibirnya. Kalau sudah begitu, aku hanya bisa geleng-geleng kepala
melihat kelakuan cewek yang sudah kuanggap seperti adik kandungku sendiri itu.
Ingat kejadian itu, aku senyum-senyum sendiri.
Ada-ada saja… Tiga tahun lalu, ketika Rani pertama kali masuk kost ini, aku
tidak pernah membayangkan bisa kompakan dengannya. Dugaanku cewek ini manja,
sombong. Maklum, anak tunggal dari keluarga berada. Siapa sangka, dia sangat
menyenangkan, ringan tangan dan teman curhat yang seru. Meski kami beda empat
tahun, aku sudah bekerja di sebuah biro periklanan, sementara dia masih kuliah,
obrolan kami selalu nyambung. Tiap weekend, kami biasa habiskan waktu bersama.
Entah nonton film, berburu CD baru atau kuliner seru.
Masalah
keluarga, cowok-cowok yang berusaha mendekatinya sampai dosen killer di kampus,
salah satu bahan curhatannya. Sebaliknya, sebagai seorang kakak aku selalu
berusaha menjadi pendengar dan penasehat yang baik. Soal dia mau ngelakuin
saranku atau tidak, kembali terserah Rani. Untunglah tuh cewek pengertian dan
kesadarannya, luar biasa.
“Soreeee….”
Suara cempreng itu, membuyarkan lamunanku. Tanpa kusadari, Rani ternyata sudah
duduk di depanku.
“Sore? Malam
tahu…Lama bener belanjanya?”
“Nawarnya ribet.
Banyak pedagang jual mahal sekarang. Sombong mereka, ngotot harga pas. Hari
gini, pelit…”
“Kamu tuh yang
pelit. Mana ada, penjual mau untung seminimalis mungkin,” kataku lagi, sambil
menjewer telinganya. Rani terkekeh-kekeh, geli.
“Yah, maklumlah.
Anak kost. Musti hemat! Nggak apa-apa, capek dikit tapi aku puas. Tadi dapat
kaos lucu-lucu, boneka Upin Ipin buat keponakan dan baju untuk mama…”
cerocosnya, sambil nyodorin seplastik kripik singkong pedas, kegemaranku.
“Tadi ngelihat
camilan, sekalian beli…” katanya lagi. Duh, nih anak selalu saja ingat
menyenangkan orang lain. Sayang banget, pagi-pagi besok dia mudik lagi. Kali
ini dia bakal liburan di Surabaya, satu minggu. Artinya, hari-hariku bakal sepi
lagi nih.
****
Parah! Lagi-lagi
kompleks tempat aku tinggal, kena pemadaman bergilir. Batere handphone dan laptop
drop pula. Padahal beberapa proposal penting yang musti dibahas besok di
kantor, belum selesai aku revisi. Kok bisa ya, hujan lebat di luar sana dan
gelap begini, tetangga kamar tertidur lelap semua. Aku paling nggak bisa, tidur
tanpa kipas angin. Panas.
Braak! Astaga,
suara apa itu? Nyaris aku melompat dari tempat dudukku. Suaranya berasal dari
depan. Mungkinkah tadi ada yang lupa mengunci pintu? Jangan-jangan…
“Siapa ya?”
tanyaku, ragu. Sambil membawa lampu senter, kuberanikan diri melihat siapa yang
datang…Padahal jantungku berdebar kencang. Lidah rasanya kering dan kelu.
Bayangan yang serem-serem sudah terlintas di benakku. Gimana kalau perampok?
Atau…hantu? Hiiiih! Bulu kudukku meremang. Tiba-tiba saja, perasaanku gamang.
Nggak enak. Angin dingin seperti dihembuskan di tengkukku. Tangan yang
menggenggam lampu, bergetar hebat. Ya Tuhan…
Seorang
perempuan mengenakan cappucone dengan penutup kepala itu, berdiri tepat di
depanku. Nyaris, lampu senter yang kupegang terlepas. Bibirku bergetar…
“Siapa
ya?”
Sosok
asing itu tidak menjawab. Gila! Jantungku berdetak makin kencang. Bisa-bisa,
mati berdiri karena ketakutan…
“Rani…Maaf
kemalaman…” Perempuan itu pun membuka
penutup kepalanya yang basah, terkena hujan. Syukurlah! Rani?! Ngapain lagi tuh
anak pulang malam-malam begini, nggak bilang-bilang. Perasaan kemarin sms
terakhir, dia mengatakan memilih kereta malam dari Surabaya, biar sampai di Jakarta
pagi.
“Ampun
Raniii…Hujan gede begini, kirain siapa…Jantungku sudah mau copot tahu!
Kehujanan ya…Buruan ganti baju sana, ntar kubikinin susu coklat. Takut masuk
angin.” Tanpa menunggu dia menjawab, buru-buru aku balik ke dapur untuk membuat
susu coklat.
Untung,
listrik kembali menyala tidak lama setelah Rani datang. Kupastikan dia tertidur
lelap di kamarnya, setelah itu kukembali sibuk dengan laptopku. Malam ini,
pekerjaanku harus beres!
*****
Benar-benar
hari yang melelahkan. Pagi-pagi benar, sebelum seisi rumah jalan berangkat
kerja atau kuliah, aku sudah berangkat ke kantor. Maklum, hari Senin. Pasti di
mana-mana macet. Aku tidak mau, meeting
hari ini terlambat lagi. Koreksian proposal semalam juga belum aku print. Bisa gawat, kalau sampai Pak
Robby atasanku yang julukannya mr.
perfect saking perfeksionisnya itu datang lebih dulu. Dia pasti langsung
meminta laporanku.
Sembari
makan siang, kucoba menghubungi Rani. Rencananya ntar malam, aku pulang larut.
Padahal dia suka menungguiku, kadang malah menyediakan minuman hangat dan
camilan. Memang cewek itu sayang dan perhatian banget. Pantas kan, sebaliknya
aku juga menyayangi dia seperti adikku sendiri.
Heran.
Beberapa kali kutelepon, tapi nada HP-nya tidak aktif. Nggak biasanya. Mungkin
dia lupa ngecharge HP atau lagi ke kamar kecil? Ah, sudahlah. SMS saja, ntar
dia juga pasti baca.
Terlalu
banget, atasanku ini. Koreksian dariku, bukannya memperoleh pujian tapi justru
tambahan peer. Artinya, aku benar-benar pulang larut. Ffuih! Ya, beginilah
resikonya memperoleh kepercayaan dari boss.
Nyaris
tidak ada waktu buat ngobrol dengan Rani. Sampai rumah, kulihat kamarnya
tertutup. Pasti dia sudah tidur kelelahan, setelah kemarin pulang kemalaman
dari Surabaya. Ya, sudahlah. Setelah mandi dan minum secangkir coklat hangat,
aku pun terlelap dalam mimpi.
*****
Busyet!
Pagi-pagi berisik banget sih…Nggak tahu, orang lagi enak-enaknya tidur. Aku mengucek mataku yang masih berat. Suara
gaduh di depan, benar-benar membuatku terbangun. Padahal rencananya hari ini
aku ijin, datang agak siang ke kantor. Sejak semalam, badanku panas. Kepala
seperti mau pecah. Mungkin kecapekan dan masuk angin.
Kuambil
perlengkapan mandi, lantas dengan berat hati keluar kamar. Apa boleh buat,
tanggung… Kalau sudah bangun, aku sulit tidur lagi.
“Hei,
Ut…kamu semalam pulang jam berapa? Kami nggak ngelihat kamu balik…” tegur Malena, teman kost ketika melihatku keluar
dari kamar. Kulihat, wajahnya juga masih kusut masai. Kelihatan dia belum
mandi…
“Ya,
Ut. Banyak kerjaan. Kok berisik banget sih, pagi-pagi di depan…Ada apaan sih?”
Wajah
Malena, pucat. Matanya berkaca-kaca. Tangannya yang bergetar, mengusap-usap
bahuku. Kelihatan banget, dia seperti orang tengah berduka…
“Tabah
ya, Ut…Jangan kaget. Sabar, ikhlas…Kami semua juga sedih, apalagi kamu sahabat
terdekatnya…” ucapnya, setengah berbisik. Suara Malena parau dan terbata-bata,
membuatku makin bingung…
“Apaan?
Jangan bikin cemas dong…”
“Rani….
Rani, Ut… Sahabat kita satu kost…”
Aku
menggeleng-gelengkan kepala, nggak ngerti. Memang sih, semalam aku belum sempat
ketemu Rani. Kulihat dia sudah tidur duluan. Kamarnya terkunci….
“Iya,kenapa
Rani….”
“Rani
meninggalkan kita semua, Ut… Keluarganya baru sempat memberitahu, dua hari yang
lalu, sebelum ke stasiun kereta untuk balik ke Jakarta, dia terserempet bis.
Luka-lukanya sangat parah, hingga tidak terselamatkan. Dia meninggal dalam
perjalanan ke rumah sakit.”
Blarrr! Kepalaku berdenyut, pusing.
Dua hari yang lalu, Rani pulang ke kost-an tengah malam, saat hujan deras dan
lampu mati. Kami memang tidak sempat ngobrol apa-apa, karena kulihat dia pucat,
kecapekan. Benarkah itu kepulangannya yang terakhir? Mataku berkunang-kunang.
Sebelum akhirnya tubuhku limbung, ambruk ke lantai.(ft: berbagai sumber)
2 komentar:
weits.. cerita misteri lagii..
yang paling aku suka dari tulisannya mbak stey adalah, detil yang mengikuti setiap karakter, terutama karakter utama. Jadi kebayang dan terasa nyata.
tapiii... masukan aja nih mbak stey, alur ceritanya dibikin lebih mengejutkan doong.. kayak apa ya, aku lupa.. ceritanya mbak stey juga deh.. alurnya twisting..
kalo ini -hampir bisa ditebak, kalo si rani udah meninggal [maklum, hobinya baca cerita misterimu sih hehe...]
ditunggu yaa!!
sip sip!
ebuseeed.. baru baca itu jam posting-nya...
bused dah, jam 2 pagi.. sambil nonton bola ya mbak stey.. hihi...
Posting Komentar