Jumat, 16 November 2012

Berbagi Cinta

Berbagi Cinta @MNC TV setiap hari mulai tanggal 19 November pk 22.20
Cast: Bunga Citra Lestari, Angel Karamoy, Fendy Chow, Hardy Hartono, Roy Marten
Sutradara: Encep Masduki, Penulis Skenario: Hilman Hariwijaya

Senin, 05 November 2012

Ms Vampire




             Ms. Vampire! Itu julukan Vina di sekolah. Temen-temennya waktu SD yang promoin, sebutan itu. Gara-garanya, waktu SD cewek berambut sebahu, hidung mancung dan mata belok itu, selain punya dua gigi menyerupai taring,  Vina juga cungkring banget.  Bahkan, ada yang nyebut dia, orang-orangan sawah. Sadis emang.  Doi kan pernah keluar masuk rumah sakit, so beratnya turun drastis dan susah buat naikinnya, lagi. Tapi itu kan 7 tahun lalu. Long, long time ago.

Rabu, 31 Oktober 2012

Kamis, 25 Oktober 2012

Olga & Sepatu Roda 2

Cast: Pamela Bowie, Massayu Clara, Rendy Septino Aji, Sutradara Thomas Nawilis, MegaSinema RCTI Rabu, 31 Oktober pk 09.00  

Halloween Party



           Blaarrr! Lampu mati, bersamaan dengan suara guntur dan air yang seperti ditumpahkan dari langit. Deres banget. Kelas yang tadinya gaduh oleh suara dari CD Player yang biasa digunakan buat latihan ekskul dance,  langsung sepi. Hanya terdengar gemuruh hujan di luar sana. 

Si Olga Dan Sepatu Roda 2 RCTI (311012)

Senin, 27 Agustus 2012

Dia Balik Lagi


         
        Kreeetttt… Kreetttt! Hih! Keras kepala bener sih! Entah udah berapa kali, aku ngingetin, bahkan negur Mita, kalo tidur jangan suka brisik. Apalagi menggaruk-garuk dinding dengan jari-jarinya. Geli, tau! Bayangin saja, lagi enak-enaknya mau pules, dia malah enak-enakan ngegaruk dinding. Apa nggak ngilu ya di telinga? Belum lagi kukunya, kan kotor? Katanya sih, iseng.  Kalo belum beneran ngantuk, susah banget bisa tidurnya. Pelampiasannya ya, garuk-garuk dinding tadi. Nyebelin kan? Soalnya, bukan dia saja yang denger, aku temen sekamarnya juga.

Bagus & Bagas



             PRANGGG! Gelo!  Hampir aja,  aku terguling dari tempat tidur saking kagetnya. Pasti, Bik Wati lagi yang mecahin perlengkapan makan di dapur. Hadeeehh! Entah, berapa kali kubilang, kerja itu fokus. Jangan suka ngelamun atau malah mikirin hal lain yang belum tentu kejadian. 

Selasa, 07 Agustus 2012

Kata Peramal Dian


            
           Bosan!  Peramal gue bilang.. bla bla bla, gitu deh kalo kamu ngedengerin omongan  Dian yang masih sepupuan denganku.  Anak kuliahan kok percaya tahyul. Sebenernya, aku sih tau mitos orangtua jaman dulu, kadang ada benernya. Misalnya: jangan duduk di depan pintu,  menyapu atau menggunting kuku malam hari. Semua itu secara logika, bisa diterima. Bayangin saja, duduk di depan pintu? Jelas ganggu orang lewat. 

Minggu, 05 Agustus 2012

Penari Ronggeng


          
           Pernah denger goyang Karawang? Mungkin nggak jauh beda dengan tarian dari Jawa Barat itu, energik, goyangan penarinya yang rata-rata cewek dengan  ngikutin musiknya,  bikin laki-laki normal, seperti aku ini tergoda.  Sudah dua hari ini, aku tinggal di sebuah dusun,  beberapa kilometer dari pusat kota Garut. Ngakunya sih, nemenin Eka, teman kuliahku dulu yang kini satu kantor denganku di Jakarta. Dia pengen nengokin salah satu kerabatnya, sekaligus liburan lah. Ngadem… cari ketenangan, setelah tiap hari dihajar polusi Jakarta, macet dan orang-orangnya yang temperamental.  Nah, balik ke goyangan tadi, jujur aku bukan tipe cowok gaul yang deket sama banyak perempuan. Apalagi nonton hiburan, macam jaipongan gini.

Kamis, 19 Juli 2012

Mega Sinetron RCTI

tayang 16 Juli 2012 (foto: Dok. RCTI)

Mega Sinetron

tayang 17 Juli 2012 thanks GOD (foto: dok. RCTI)

Cerita dari Sebuah Gelang


             
             Cringgg! Cringgg! Cringgg! Lagi-lagi suara krincingan itu, terdengar. Entah, siapa yang suka mainin krincingan malam-malam gini. Nggak lucu!  Lihat saja, bawaannya bikin mrinding.  Paling nggak banget deh, tengah malam, ketika semua orang sudah lelap tidur, main klonengan. Sudah beberapa hari ini, tepatnya sejak aku pindahan ke rumah yang dulunya milik almarhumah  eyang putri. 

sahabat Yoga dari Gedong Sanga



            Miris, ngeliat evakuasi korban pesawat Sukhoi yang jatuh di gunung Salak, Bogor.  Beberapa relawan, petugas media dan polisi, menembus medan yang curam, penuh lumpur, batuan terjal, apalagi pas  abis hujan… belum lagi, kalo ada kabut karena sekelilingnya hutan dan gunung. Fiuuh, bukan sekali ini saja, aku ngeliat tayangan pesawat jatuh, tapi kondisi hutan dan jurang curam di kawasan gunung Salak itu yang membuatku mau tidak mau ingat kembali, kejadian beberapa tahun silam, waktu aku masih sering bolak balik naik gunung.

Pakde Roso


          
  Sumpah! Nggak boong… feeling-ku mengatakan, ada yang nggak bener di kost’an ini. Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah, berlantai empat ini, perasaanku langsung nggak enak.  Orang pinter bilang, auranya gelap.  Bener! Bener.. auranya jelek hingga membuatku sesak bernafas, terutama tiap kali naik ke lantai tiga dan empat.   Padahal ruang kuliahku di lantai empat, naik turun tiap hari biasa tuh. Tapi kok di kost’an, baru mau naik lantai tiga saja, rasanya seperti ada yang memberati kakiku, supaya tidak naik. Bbbrrr… dinginnya angin juga membuatku suka terhenyak dan bergidik, sendiri. 

Sabtu, 26 Mei 2012

Kami Bukan Malaikat



Produksi: MD Entertainment
Bintang : Oka Antara, Reza Pahlevi, Donita, Niken Andjani
Penulis  : Hilman Hariwijaya
Tayang 21 Juli - 20 Agustus
Foto: berbagai sumber


 

SARANGHAE DRAMA SERIES

Indosiar, Juli 2012 
Bintang: Revalina S. Temat - Tim Hwang Young Min - Ronald Gustav - Mike
Sutradara: Indrayanto
Produser : Rina Novita (DNA Prod.)
Penulis Skenario: Hilman Hariwijaya

Foto: dok. Ibu Rina Novita + berbagai sumber

Rabu, 16 Mei 2012

si Meong



            Hattssiiii! Hattssiiii! Gawat. Ntar lagi, pasti aku bakal dikejar-kejar dengan pertanyaan yang sama. Kapan mau ngebuang Si Meong? Kapan mau kasih kucing buduk itu sama temen kamu? Pusinggg. Oma, ibu dari Mama almarhum itu memang alergi sama hewan berbulu, seperti kucing dan anjing. Jangankan menyentuhnya, lewat jarak sekian meter saja, Oma sudah langsung bersin-bersin. Repot. Kasian juga sih… Soalnya, bersinnya susah dihentikan, sampai wajahnya memerah, mata berair dan nafas memburu, seperti orang asma. Tapi masalahnya, aku juga nggak mungkin tega ngebuang Si Meong. Ntar dia makannya gimana? Kalau hujan, kedinginan. Panas, kepanasan… belum lagi, kalau dibully sama kucing atau anjing liar di luar sana. Gimana kalo dia lagi nyebrang, kesrempet motor atau malah mobil?

Fortune Teller dimuat di Aneka Yess! Edisi 10/2012


Kamis, 05 April 2012

keburu jodoh

revisi judul ;    KEBURU JODOH
MNC TV setiap hari pk 21.00 wib
penulis skenario: Hilman Hariwijaya

sahabatku "kegelapan"



            GELAP! Lagi-lagi lampu, mati. Sudah tau, daya listrik di kost, terbatas. Masih saja, penghuninya nggak mau tau. Masing-masing mau menang sendiri. Biasa jam-jam anak kost ada di rumah, pasti listrik ngejeglek gara-gara kelebihan beban. Yah, bayangin aja. Rata-rata membawa DVD player, TV, kipas angin… bahkan, ada yang bawa pemanas air dan rice cooker. Jelas, aja. Beberapa kali, dayanya langsung turun. Bukannya, aku nggak bisa toleran sama kondisi ini sih, tapi jujur.. aku nggak bisa berada dalam gelap. Meski hanya sekian menit, saja dan di tempat tinggalku sendiri.
            Phobia gelap? Ya, mungkin saja. Yang pasti, setiap listrik mati dan sekelilingku menjadi gelap, badan ini langsung lemes. Gigi ini gemeretuk, lutut lemas, sampai mau gerak pun sulit, nafas tersengal-sengal, mirip orang asma, keringat membanjir…Kepala pusing. Lantai tempat aku berpijak, rasanya goyang, hingga sulit buat jaga keseimbangan. Parahnya, kalau kelamaan aku bisa ambruk, terduduk lemas…di manapun itu. Kesadaran suka hilang. Bangun-bangun, pasti sudah ditolongin orang…Mereka bakal terheran-heran, melihatku pingsan.
            Aneh? Ya, begitulah aku yang paling takut dengan gelap. Rasanya separuh roh atau nafas ini, terenggut keluar… Setengah mati. Beneran! Pengen marah, sebenernya. Rasanya mau nimpuk, siapa saja yang menyebabkan listrik tiba-tiba mati di kost’an, hingga phobiaku kambuh lagi.. tapi boro-boro marah. Masih bisa sadar saja, sampai lampu akhirnya nyala kembali, sudah bagus..
            Heran. Orang yang mengenalku, sejak kecil pasti terheran-heran, nggak ngerti. Kenapa aku yang dulunya tomboy banget, tidak pernah takut sama siapa pun, bahkan anak-anak cowok yang badannya lebih gede pun kutantangin berantem, kini jadi penakut. Khususnya takut gelap. Nggak masuk akal, karena di kamar pun, takutnya minta ampun.
            “Del, bukannya lo ada di kamar lo sendiri? Ya, sekali pun listrik mati seharian, kan nggak kemana-mana.. Orang luar pun nggak ada yang bisa ngegangguin lo di kamar, tinggal kunci pintu aja. Gampang. Apalagi gue lihat, lo selalu sedia senter dan lilin  di meja, tempat tidur, sampai lemari. Banyak banget..” Sadia,  penghuni kamar depan, negur aku ketika melihat aku masih gemetaran di kamar, sehabis lampu mati.
            Aku menggeleng, nggak ngerti. Soal lilin dan senter, memang sejak awal masuk kost, aku sudah meletakkannya di tempat-tempat strategis, meja, lemari, pinggir kasur, buat jaga-jaga. Sampai-sampai, kalau ditanya, barang terbanyak di kamarku apa? Jawabnya:: senter dan lilin. Konyol kan?!
            “Nggak tau, Del.. Tiap lampu mati, langsung lemes. Akal sehat nggak jalan lagi, mau jalan aja nggak bisa. Lutut gemeteran..”
            Adel menatapku dengan pandangan heran, plus kasihan. Dia memang orang yang pertama kukenal, ketika menginjakkan kaki di kost-an ini. Kami berdua, paling kompakan dibanding penghuni yang lain. Orangnya nggak banyak bicara, tapi kalau udah nasehatin atau ngebantuin orang lagi kesusahan, pasti bawelnya minta ampun. Sama, seperti ketika dia melihatku ketakutan di kamar.Padahal kejadian ini, sudah kedua kalinya dia lihat.
            “Phobia itu kali ya.. Artinya, musti dilawan dan bisa lo hilangkan. Pasti lo pernah trauma ya, entah waktu kecil atau pas udah gedean. Adikku juga punya phobia, soal ketinggian. Gara-gara dia ngeliat dengan mata kepala sendiri, sepupuku yang masih kecil jatuh dari lantai dua, apartemennya.owok Sejak itu, dia menghindari gedung tinggi. Kalau pun musti naik dan ada alternatifnya, dia memilih naik tangga darurat atau eskalator, di banding lift.
            Mungkin juga, aku phobia gelap karena trauma waktu kecil, jelang usiaku mau masuk remaja. Mama cerita, aku tomboy banget dari balita. Gaya kecowok-cowokan, ngomong sama siapa pun berani, olahraga dan permainan juga cenderung pantang mengalah. Apa pun dijabanin.
            Inget banget, waktu itu temen sekolahku baru pindahan ke apartemen barunya, di kawasan Kuningan, Jakarta. Sejak awal, kami semua tau, dia anak gedongan. Berbeda dengan kami yang rumahnya ada di kompleks perumahan.
            “Del, lihat-lihat ke atas yuk, view-nya bagus… Pengen deh, kapan-kapan ngajakin Papa  ke sini. Siapa tau, kepikiran pindah,” kata Maya, Ms. Gadjet yang kemana-mana musti ngetweet dan ngegosipin hoax di Facebook.  Cewek bermata bulat dengan hidung mancung dan rambut ikal itu, memang paling bisa bikin kita ngiler, karena kekayaan orangtuanya.
            Aku mengangguk, semangat. Ya, kapan lagi ngeliat fasilitas apartemen high class seperti ini. Bertiga, bersama Retno, kami jalan beriringan ke lantai atas. Berlari-larian di sepanjang lorong yang menghubungkan satu apartemen dengan apartemen lainnya, sampai kamu tiba di pojokan yang kulihat, ruangannya setengah terbuka.
            Sebuah patung Dewi Aphrodite ada tepat di pojokan, hingga siapa pun  yang ke ruangan itu, pasti bisa melihat, patung ini. Aku tersenyum, melihat Retno yang paling suka narsis, nyamperin tuh patung, lantas foto-foto. Sementara Sadia malah ngelongok-longok tempat yang terbuka tadi.. Kayaknya sih, gudang. Karena isinya stok barang, perlengkapan apartemen, termasuk tangga, sapu, sejumlah balok kayu, macam-macam alat pembersih ruangan. Langkahku setengah berjingkat, menyusuri mendekati patung Dewi Aphrodite.. Cantik. Sebenarnya, patung ini cantik banget.. andaikan dia manusia, pasti bikin cowok-cowok tergila-gila…
            Blaarrr! Listrik tiba-tiba mati. Sekelilingku langsung gelap gulita. Kami sama sekali nggak siaga, entah lilin atau senter pun nggak ada. Aku mencoba meraba dalam gelap, sementara  dari pojokan kulihat kedip-kedip lampu HP…Tapi itu pun hanya sekian detik, lantas gelap gulita…
            “Del, HP-ku low batt.. Mati malah, sekarang....” Retno teriak. Suaranya seperti bergetar, mungkin efek lorong tempat kami berada sekarang. Kurasakan tengkukku dingin, bersamaan dengan suara langkah kaki, seperti diseret…Suaranya yang jauh, makin lama makin dekat…
            “Sad… Sadia… kamu di mana?” tanyaku, gemetar. Jujur aja, perasaan kok nggak enak. Lampu mati di rumah atau di manapun sih, aku biasa. Bahkan seringkali, jalanan menuju ke rumah, gelap gulita, pas listrik lagi drop.
            Sadia nggak ngejawab. Retno malah yang teriak… “Udah, situ aja, Del… Nggak usah kemana-mana. Ntar malah nabrak-nabrak lho.. bisa nyasar…”
            “Okey.. Aku di sini, nggak kemana-mana.. Tapi kapan nyalanya? Lama bener?” Aku mulai gelisah. Angin dingin bertiup, tepat di tengkuk. Sementara suara langkah yang diseret itu makin jelas, menuju ke arahku…
            “Udah deh, Sadia.. Nggak usah main petak umpet dan becanda… Mau ke sini, sini aja… Jangan diseret-seret gitu,ah jalannya. Bikin mrinding, tau!”
            Jrengg! Suaraku bergetar sendiri, seperti tercekat di tenggorokan. Bodoh banget sih! Udah tau ketakutan, malah pake nyebut-nyebut mrinding. Tapi bener lho, jujur saat itu kok bulu kuduk tiba-tiba berdiri. Nggak biasanya, dingin di tengkuk, bersamaan dengan suara krincingan, seperti kerincingan gelang kaki bayi.
            “Siapa ya?” tanyaku, lagi.
            Nggak ngejawab.
            Sreettttt….sreeettttt… Lagi-lagi langkah diseret itu, mendekat. Makin dekat.. Kini aku bisa merasakan, seperti hembusan nafas orang. Ya, Tuhan… Tubuhku menggigil. Siapa? Aku berusaha menajamkan penglihatanku, tapi kayaknya percuma. Nggak berhasil ngeliat apa-apa… Gemerincing gelang kali itu, sesekali terdengan, sementara dengusan nafasnya makin berat… Kutebak, dia lebih gede dariku..Karena dengusannya berat.
            “Sadia… Itu kamu ya? Kok nafasmu berat banget.. punya asma ya?” tanyaku, khawatir. Iya, baru kuinget… nafas memburu begitu, ciri asmanya lagi kambuh, seperti tanteku di Bandung.
            Dengusan nafas itu sudah begitu dekat denganku. Pasti Sadia ngajak main-main nih, mau ngagetin atau nakut-nakutin. Pelan-pelan aku berbalik ke arah suara orang itu berasal, lantas tanganku meraih sebisanya… Kupastikan itu pundaknya yang kutepuk.. Buukk! Dingin.
            “Heiii! Kena lo, Del!”
            “Kena apaan? Aku di siniiiii…” Adel teriak dari ujung, nadanya dia lagi jauh di depanku. Deg! Lantas, siapa tadi yang langsung kutoyor pundaknya? Jantungku mau copot,… baru kusadar, baunya beda dengan Adel yang suka banget pakai parfum wangi buah-buahan. Kalo ini mah, baunya anyir.. seperti.. seperti darah?
            Aku terkesiap, bersamaan dengan sosok yang tadi kutepuk sudah berada persis di sampingku.
            “Jauhi rumahku, nakkk!” Jreng! Suara parau itu seperti berbisik, begitu jelas di telingaku. Pas bersamaan dengan listrik nyala. Sosok wanita tua, bertubuh gempal dengan rambut digelung, itu persis ada di sampingku. Dia menyeringai… Gigi-giginya kuning kecoklatan, nggak beraturan… Bukkk! Aku langsung pingsan.
******
            Gara-gara kejadian itu, aku musti ijin nggak masuk sekolah sehari, karena demam tinggi. Kata Retno dan Sadia, mereka menemukan aku pingsan di depan patung Aphrodite, pas di pojokan… Padahal Retno dan Sadia lagi berada di koridor yang berlawanan arahnya denganku. Mereka heran, ngapain aku pingsan. Selama lampu mati, mereka nggak ngerasa ada orang lain di sana, selain kami bertiga. Anehnya lagi, begitu lampu menyala pun, mereka nggak ngeliat siapa-siapa… Hanya ngeliat aku yang tampangnya shock, lantas ambruk sendiri.
            Amit-amit… jangan sampai kejadian lagi, batinku. Gara-gara peristiwa itu, aku nggak mau lagi, main ke apartemen, temanku itu. Apalagi kalau inget, sosok wanita separuh baya yang menyeringai dengan giginya yang menjijikkan itu… Hih!
            Untung, peristiwa itu bisa aku lupakan. Sampai suatu sore, Retno mengajakku nengokin kakaknya yang lagi dirawat di Rumah Sakit. Kasian. Seharian Mamanya nungguin di Rumah Sakit, sampai mau nengokin pun dia nggak ada temennya jalan ke sana. Giliran Mamanya pulang buat mandi, kami tinggal berdua saja… Kulihat, nggak ada camilan di meja. Kasihan Retno atau kakaknya, kalau pas laper pengen ngemil.
            “Aku ke bawah dulu ya.. cari camilan…” kataku, sambil menyambar tas yang tadi kuletakkan di kursi, samping tempat tidur.
            Buru-buru aku turun ke bawah, melintasi lorong rumah sakit. Hari sudah makin malam. Jam bezoek sebenernya sudah habis, hanya saja kaka Retno di VVIP, jadi masih boleh agak bebas.
            Bingg! Kupencet lift, … mati? Baru kusadar, di samping lift ada tulisan, lagi dalam perbaikan. Sebaiknya menggunakan lift di ujung sono. Mm, lumayan jauh. Padahal turun aja pakai tangga juga cepet.. Kebelet pipis pula.. Aku langsung ngeloyor ke kamar mandi dulu, untung sepi. Nggak pake ngantri.
            Pas lagi di dalam toilet, kudengar suara langkah orang di depan toiletku. Kayaknya ada cewek masuk. Trus suara kran wastel. Mungkin dia perawat, jam segini masih di Rumah Sakit. Aku merapikan bajuku, lantas keluar. Jrengg! Sepi… Nggak ada siapa-siapa di kamar mandi! Tapi air kran wastafel masih terbuka. Huh, siapa sih, ngebuka nggak nutup lagi? Aku mematikan kran air, pas giliran nengok ke kaca. Wusss! Lidahku kelu. Satu sosok perawat kelihatan di cermin! Dia mengenakan seragam perawat, tapi wajahnya nunduk, sebagian tertutup rambutnya…
            Glekkk! Kenapa bulu kudukku mendadak berdiri gini ya… Kakiku mau gerak, juga berat. Seperti ada ribuan kilo besi, jadi pemberatnya. Aku beranikan diri, mau noleh, siapa sih suster ini.. ngagetin aja..
            Giliran aku noleh… Byaarrr! Lampu mati! Ya, Tuhannn! Jantungku udah nggak beraturan detaknya. Apalagi dingin ini, terasa membekukan. Tengkukku seperti ada yang meniup… Nekad, aku mengeluarkan HP dari dalam tas slempangku, lantas kunyalakan, bersamaan dengan HP-ku nyala, wajah seorang perempuan dengan baju perawat itu sudah berada persis di  sampingku. Dia begitu dekatnya, sampai-sampai hembusan nafasnya pun terdengar. Tatapannya tajam menusuk, senyumnya menyeringai.. aku nggak sempat berkata apa-apa, karena tiba-tiba saja, semuanya gelap. Aku pingsan!
*****
            Gara-gara kejadian yang sering kualami, pas bersamaan dengan lampu mati, aku jadi phobia gelap. Padahal aku sudah mencoba mengobatinya ke psikolog, tapi tetap saja.. nggak bisa hilang. Aku bisa langsung pingsan, atau minimal seperti tercekik, kalau berada dalam gelap. Makanya, malam ini wajar aku kesal. Listrik di kost’an mati lagi.
            Aku langsung menyambar HP di saku baju, kupencet nomer Rika, temenku yang ada di kamar sebelah. Kudengar, sore tadi dia sudah pulang. Pasti lagi di kamar. Lebih baik, minta tolong ditemenin ke sini…
            “Rika?” kataku, begitu nada tersambung… “Listrik mati dari PLN atau emang ngejeglek?”
            “Pusat… “ katanya, singkat
            “Ya, udah.. aku temenin dong.. Kamu ke siniiii.. Boleh nggak?”
            “Yaaa.. tunggu ya…dasar lho, chicken..hahahaha…” kali ini Rika ketawa. Sialan. Diledekin juga… Aku menutup HP, lega. Pas bersamaan, kurasa tengkukku begitu dingin. Aku ngerasa, ada yang dingin menyentuh kakiku…Jantungku berdebar kencang.. Aku mengeleng sendiri. Nggakk! Nggak boleh takut! Halusinasi.. kamar, kamar aku sendiri, nggak ada siapa-siapa… batinku sambil mengambil HP, mau menelpon Mama. Inget belum bilang makasih sama transferannya.
            Pas HPku pencet, lampunya nyala, detik itu juga kulihat, seorang perempuan separuh baya ngegelesot di kakiku. Rambutnya panjang, beruban. Kepalanya yang tadinya nunduk, langsung menatapku.. Bruukk! Gelap!(ft: berbagai sumber)

ketulah jeng Kunti...



            Wangi dupa lagi?  Pasti kerjaan Sakti, cowok yang tinggal di  lantai bawah, ujung sono. Padahal tuh anak sudah diingetin, kalau pengen ruangannya wangi, jangan menggunakan dupa atau hio. Cari saja pengharum ruangan, kan banyak dijual di pasaran. Kalau nggak ya, lilin atau semacam hio tapi khusus buat aromaterapi. Beda kan dengan dupa… karena identik buat sembahyang atau beribadah. Tapi ya..itulah, Sakti. Nggak bisa dibilangin… Seenaknya sendiri. Kita-kita, satu kost’an juga tau, dia dapatnya dupa juga bukan beli, tapi ngembat milik Harlan yang tinggal di kamar depan. Pegawai bank swasta itu memang sering beribadah dengan menggunakan dupa. Masalahnya, suka kaget saja..ketika Harlan tugas keluar kota sekian lama, kok tiba-tiba kecium wangi dupa.
            Keisengan Sakti memang nggak hanya sebatas main-main dengan dupa saja. Tapi dia juga sering ngerjain kami, penghuni kost dengan becandaannya yang tidak lucu. Gimana mau lucu…dia suka pura-pura jadi pocong, memakai kain sprei buat menutupi sebagian tubuhnya, ntar malem-malem pas kami ke kamar kecil atau jalan di koridor kost, dia bisa tiba-tiba muncul, ngagetin. Pernah tuh, sekali dia kena tonjok, temen anak kost di sini. 
            Gara-garanya, mereka nginap semalam buat ngerjain tugas. Pas tengah malam, salah satu di antara mereka ke kamar kecil. Sakti ternyata nungguin, di belokan dekat taman. Begitu cowok itu lewat, jreenggg… Sakti nongolin diri dengan kostum pocongnya. Harapan Sakti, mahasiswa asal Lampung itu bakal tunggang langgang, lari ketakutan atau malah, pingsan. Nyatanya? Laki-laki yang bisa taekwondo itu, malah ngeluarin jurus andalannya. Buuuukk! Gubraakkkk… Sakti langsung nyungsep. Gigi depannya tanggal satu!
            Antara kasihan dan nyukurin, kejadian itu kami pikir bakal membuatnya jera. Nyatanya, nggak tuh… Seperti malam itu, pas anak-anak lagi males keluar kamar, karena hujan sejak sore tadi deras banget. Dingin, lagi. Enaknya memang ngeringkel di kamar, masing-masing.
            Rini, anak baru, pindahan dari Yogya, baru saja selesai mandi. Dia memang paling sering mandi malam-malam, tiba-tiba… ketika dia melewati taman, dekat belokan kamar...doengg! Sakti muncul dengan mengenakan make up serem. Wajahnya putih, berdarah-darah dengan kedua matanya menghitam..
            Shock! Rini bener-bener shock dan ketakutan. Dia langsung melempar semua perlengkapan mandinya, lantas lari masuk ke kamarnya, sambil menangis histeris dan nyebut nama Gusti Allah, berulangkali. Kasihan. Rini sampai shock dan bener-bener beberapa hari berikutnya, dia nggak pernah berani keluar kamar malam-malam sendiri. Padahal kami udah ngejelasin, itu kelakuan Sakti. Bukan hantu beneran…
            Ridho, anak Fakultas Teknik Industri yang suka ngeband itu sampai ngancam. Katanya, kalo Sakti bikin ulah lagi, dia nggak segan rontokin semua giginya sekalian. Nggak hanya satu…
             “Kapan sih, kamu sadar. Nggak main-main dengan begituan.. Ntar suatu saat, disamperin beneran baru tau rasa…” kata Mega, anak yang tinggal di lantai dua, ngingetin. Ya, kost’an kami memang campur, cowok cewek, dua lantai. Bedanya, cowok bagian tengah ke depan, cewek bagian dalam. Selama ini sih, kami bisa hidup berdampingan… alias nggak ada yang kurang ajar  cowoknya. Sebaliknya, ceweknya juga nggak kecentilan, tebar pesona atau nggodain cowok-cowoknya.
            “Nggak mungkinlah… Hari gini ada hantu-hantuan, segala. Lagian, Pocong, Genderuwo, Kuntilanak, Jin atau apa pun itu namanya, udah pada keder sama gue..  Nyantai aja lagiiii.. Mereka yang kabur, ngeliat gue. Bukan sebaliknya!” Pede banget, Sakti ngebalikin teguran dari kami. Kalo sudah debat sama anak ini, emang susah. Nggak bakalan, memang.
            Sejak awal, dia masuk ke kost ini, kami langsung bisa ngebaca tabiatnya yang keras kepala. Maklum, anak tunggal. Pemilik perkebunan tembakau dan show room di daerah, pula. Mantap kan? Tapi ya , gitu deh.. Bukannya disyukuri dan dimanfaatkan positif kelebihannya, malah buat main-main. Kuliah bolong-bolong.  Biasa nongkrong di teras atau di koridor depan kamarnya, trus iseng nggodain cewek-cewek  atau ya..itu main hantu-hantuan. Efek positifnya, kami jadi kebal soal kuntilanak, jin dan sebangsanya. Soalnya, tiap kali kejadian, pasti kerjaannya Sakti.
*****
            Malam ini, pas malam Jum’at Kliwon. Kami semua sudah ngeringkuk di kamar masing-masing. Hanya kedengaran suara genjreng-genjreng gitar dari kamar Ridho. Nggak terlalu kenceng sih. Biar anak band, tapi Ridho tau juga jaga volume kalau udah malam begini… 
            Kulihat,  Sakti cengar cengir masuk ke kamarku. Tanpa menungguku , mempersilahkan dia duduk, dia langsung lompat di kasurku sambil ngeliatin aku yang masih ngetik, nyelesaiin tugas.
            “Den, lo tau nggak, anak baru yang datang dari Garut tadi pagi? Cantik lho! Gila! Sandra Dewi, Nikita Willy, lewat semua dah.. “
            Aku menghentikan ketikanku, ngeliat wajahnya yang jahil bin kurang ajar itu dengan tatapan bete. Dia sadar itu, tapi cuek aja. Malah dilanjutin ceritanya..
            “Lo tau nggak, dia kan orangnya cemen.. Penakut. Gue lihat tadi, dianter orangtuanya aja nangis-nangis. Kayak mau kemana aja…padahal Garut Jakarta deket banget..”
            “Udah deh, Saktiiii! Kan sudah diinget Ridho, jangan usil lagi main begituan. Aku juga sama dengannya.. Makhluk halus, jangan dibuat mainan. Ntar mereka marah beneran, hati-hati lho.. Kesambet, kita semua nggak bisa nolongin kamu..”
            Sakti ngakak, dia menoyorku dengan buku yang ada di meja. Lantas dia ngeliat tumpukan buku agamis yang ada di mejaku. Dia ketawa. “Ya ampun, teorinya banyak bener… Nggak ngaruh kali, lo doa seharian, pagi siang sore, malem.. toh namanya jin iprit itu nggak ada. Mereka takut sama gue, kalo mau lewat kost’an ini…”
            Glondang! Tiba-tiba terdengar suara kaleng, ngegelinding di depan kamarku. Aku terkesiap, kaget. Sakti kulihat juga kaget, tapi lantas kembali ngakak..
            “Parno, lho! Denger gitu aja, pucat!” katanya, sambil berdiri dan ninggalin aku sendiri di kamar. “Gue balik ke kamar. Ntar ya, liat aja, ntar anak Garut itu bakal termehek-mehek sama gue…”
            Aku melotot, mau nimpuk dia dengan buku, tapi Sakti keburu lari, keluar kamar dan membanting pintuku dengan suara gaduh. Buset. Kurang ajar tuh bocah. Malem-malem, main banting pintu…
            Aku ngelanjutin lagi, ngerjain pekerjaanku. Banyak angka-angka yang belum match, musti dihitung ulang. Pegal. Lamat-lamat kudengar senandung lirih, kayak tembang Jawa. Tapi suaranya jauhhh banget..
            Aku mengeryitkan dahi. Siapa lagi, ada cewek malem-malem nembang. Aku nggak perduliin suara itu lagi. Mataku terlanjur berat, capek banget. Buktinya, begitu naik kasur, aku langsung terlelap.

******
            Pagi-pagi, kost’an gaduh. Aku ngeliat, beberapa teman lagi ngumpul di depan kamar Sakti. Sebagian ada yang menutup mulutnya dengan tissue atau saputangan. Semuanya sih, cowok. Cewek-ceweknya malah duduk di kursi, koridor kamar. Wajah mereka tegang campur shock… Ada apaan sih?
            Penasaran, aku samperin mereka. Kulihat, kamar Sakti terbuka.. darah ada di mana-mana… Astagaaa?! Sementara pembantu kost, berusaha ngebersihin lantai dan mencopot korden serta sprei yang kena percikan darah.
            “Dho, ada apaan nih? Sakti kenapa?”
            Ridho yang juga tengah berdiri di dekat kamar Sakti, geleng-geleng kepala. Sesekali dia ngebantuin, menyingkirkan barang-barang bersih, biar tempat itu gampang dirapiinnya.
            Masalah Sakti, masih tandatanya besar di kepala. Soalnya, pagi itu tidak ada satu teman pun yang bisa cerita. Mereka hanya bilang, Sakti ditemukan pingsan, berdarah-darah di kamarnya.
            Jangan-jangan, anak kost yang kesal, menghajar dia sampai babak belur? Sadis banget?!
            Sore itu, sepulang dari kantor kulihat kamar Sakti terkunci dari luar. Gemboknya menggantung di luar, tanpa di dalam nggak ada orang. Masih belum pulang dari dokter kali ya? Sakitnya segitu parahnya?
            Kulihat Rini, jalan melipir di depanku. Rini kaget, melihatku masih bengong di situ.
            “Rin, Sakti kemana? Belum pulang dari pagi?”
            Rini menggeleng. Baru kutau darinya, Sakti memang ditemuin berdarah-darah di kamar. Gara-garanya, semalam dia mau ngegangguin anak baru yang dari Garut itu. Entah gimana, kayaknya dia beneran ketemu kuntilanak.. Pantes saja, aku dengar senandung lirih yang jauh banget suaranya. Kan katanya, kalau senandungnya keras, deket, malah Kuntilanaknya jauh. Tapi kalau senandungnya seperti sayup-sayup, dia malah udah deket sama kita. Hihhhh! Mungkin memang sudah waktunya, Sakti diberi pelajaran. Karena apa pun namanya, kalo diusik pasti juga marah…