GELAP! Lagi-lagi lampu, mati. Sudah tau, daya listrik di kost, terbatas.
Masih saja, penghuninya nggak mau tau. Masing-masing mau menang sendiri. Biasa
jam-jam anak kost ada di rumah, pasti listrik ngejeglek gara-gara kelebihan
beban. Yah, bayangin aja. Rata-rata membawa DVD player, TV, kipas angin…
bahkan, ada yang bawa pemanas air dan rice cooker. Jelas, aja. Beberapa kali,
dayanya langsung turun. Bukannya, aku nggak bisa toleran sama kondisi ini sih,
tapi jujur.. aku nggak bisa berada dalam gelap. Meski hanya sekian menit, saja
dan di tempat tinggalku sendiri.
Phobia gelap? Ya,
mungkin saja. Yang pasti, setiap listrik mati dan sekelilingku menjadi gelap,
badan ini langsung lemes. Gigi ini gemeretuk, lutut lemas, sampai mau gerak pun
sulit, nafas tersengal-sengal, mirip orang asma, keringat membanjir…Kepala
pusing. Lantai tempat aku berpijak, rasanya goyang, hingga sulit buat jaga
keseimbangan. Parahnya, kalau kelamaan aku bisa ambruk, terduduk lemas…di
manapun itu. Kesadaran suka hilang. Bangun-bangun, pasti sudah ditolongin
orang…Mereka bakal terheran-heran, melihatku pingsan.
Aneh? Ya, begitulah aku
yang paling takut dengan gelap. Rasanya separuh roh atau nafas ini, terenggut
keluar… Setengah mati. Beneran! Pengen marah, sebenernya. Rasanya mau nimpuk,
siapa saja yang menyebabkan listrik tiba-tiba mati di kost’an, hingga phobiaku
kambuh lagi.. tapi boro-boro marah. Masih bisa sadar saja, sampai lampu
akhirnya nyala kembali, sudah bagus..
Heran. Orang yang
mengenalku, sejak kecil pasti terheran-heran, nggak ngerti. Kenapa aku yang
dulunya tomboy banget, tidak pernah takut sama siapa pun, bahkan anak-anak
cowok yang badannya lebih gede pun kutantangin berantem, kini jadi penakut.
Khususnya takut gelap. Nggak masuk akal, karena di kamar pun, takutnya minta
ampun.
“Del, bukannya lo ada
di kamar lo sendiri? Ya, sekali pun listrik mati seharian, kan nggak
kemana-mana.. Orang luar pun nggak ada yang bisa ngegangguin lo di kamar,
tinggal kunci pintu aja. Gampang. Apalagi gue lihat, lo selalu sedia senter dan
lilin di meja, tempat tidur, sampai lemari.
Banyak banget..” Sadia, penghuni kamar
depan, negur aku ketika melihat aku masih gemetaran di kamar, sehabis lampu
mati.
Aku menggeleng, nggak
ngerti. Soal lilin dan senter, memang sejak awal masuk kost, aku sudah
meletakkannya di tempat-tempat strategis, meja, lemari, pinggir kasur, buat
jaga-jaga. Sampai-sampai, kalau ditanya, barang terbanyak di kamarku apa?
Jawabnya:: senter dan lilin. Konyol kan?!
“Nggak tau, Del.. Tiap
lampu mati, langsung lemes. Akal sehat nggak jalan lagi, mau jalan aja nggak
bisa. Lutut gemeteran..”
Adel menatapku dengan
pandangan heran, plus kasihan. Dia memang orang yang pertama kukenal, ketika
menginjakkan kaki di kost-an ini. Kami berdua, paling kompakan dibanding
penghuni yang lain. Orangnya nggak banyak bicara, tapi kalau udah nasehatin
atau ngebantuin orang lagi kesusahan, pasti bawelnya minta ampun. Sama, seperti
ketika dia melihatku ketakutan di kamar.Padahal kejadian ini, sudah kedua
kalinya dia lihat.
“Phobia itu kali ya.. Artinya,
musti dilawan dan bisa lo hilangkan. Pasti lo pernah trauma ya, entah waktu
kecil atau pas udah gedean. Adikku juga punya phobia, soal ketinggian.
Gara-gara dia ngeliat dengan mata kepala sendiri, sepupuku yang masih kecil
jatuh dari lantai dua, apartemennya.owok Sejak itu, dia menghindari gedung
tinggi. Kalau pun musti naik dan ada alternatifnya, dia memilih naik tangga
darurat atau eskalator, di banding lift.
Mungkin juga, aku
phobia gelap karena trauma waktu kecil, jelang usiaku mau masuk remaja. Mama
cerita, aku tomboy banget dari balita. Gaya kecowok-cowokan, ngomong sama siapa
pun berani, olahraga dan permainan juga cenderung pantang mengalah. Apa pun
dijabanin.
Inget banget, waktu itu
temen sekolahku baru pindahan ke apartemen barunya, di kawasan Kuningan,
Jakarta. Sejak awal, kami semua tau, dia anak gedongan. Berbeda dengan kami
yang rumahnya ada di kompleks perumahan.
“Del, lihat-lihat ke
atas yuk, view-nya bagus… Pengen deh, kapan-kapan ngajakin Papa ke sini. Siapa tau, kepikiran pindah,” kata
Maya, Ms. Gadjet yang kemana-mana musti ngetweet dan ngegosipin hoax di
Facebook. Cewek bermata bulat dengan
hidung mancung dan rambut ikal itu, memang paling bisa bikin kita ngiler,
karena kekayaan orangtuanya.
Aku mengangguk,
semangat. Ya, kapan lagi ngeliat fasilitas apartemen high class seperti ini.
Bertiga, bersama Retno, kami jalan beriringan ke lantai atas. Berlari-larian di
sepanjang lorong yang menghubungkan satu apartemen dengan apartemen lainnya,
sampai kamu tiba di pojokan yang kulihat, ruangannya setengah terbuka.
Sebuah patung Dewi
Aphrodite ada tepat di pojokan, hingga siapa pun yang ke ruangan itu, pasti bisa melihat,
patung ini. Aku tersenyum, melihat Retno yang paling suka narsis, nyamperin tuh
patung, lantas foto-foto. Sementara Sadia malah ngelongok-longok tempat yang
terbuka tadi.. Kayaknya sih, gudang. Karena isinya stok barang, perlengkapan
apartemen, termasuk tangga, sapu, sejumlah balok kayu, macam-macam alat
pembersih ruangan. Langkahku setengah berjingkat, menyusuri mendekati patung
Dewi Aphrodite.. Cantik. Sebenarnya, patung ini cantik banget.. andaikan dia
manusia, pasti bikin cowok-cowok tergila-gila…
Blaarrr! Listrik
tiba-tiba mati. Sekelilingku langsung gelap gulita. Kami sama sekali nggak
siaga, entah lilin atau senter pun nggak ada. Aku mencoba meraba dalam gelap,
sementara dari pojokan kulihat
kedip-kedip lampu HP…Tapi itu pun hanya sekian detik, lantas gelap gulita…
“Del, HP-ku low batt..
Mati malah, sekarang....” Retno teriak. Suaranya seperti bergetar, mungkin efek
lorong tempat kami berada sekarang. Kurasakan tengkukku dingin, bersamaan
dengan suara langkah kaki, seperti diseret…Suaranya yang jauh, makin lama makin
dekat…
“Sad… Sadia… kamu di
mana?” tanyaku, gemetar. Jujur aja, perasaan kok nggak enak. Lampu mati di
rumah atau di manapun sih, aku biasa. Bahkan seringkali, jalanan menuju ke
rumah, gelap gulita, pas listrik lagi drop.
Sadia nggak ngejawab.
Retno malah yang teriak… “Udah, situ aja, Del… Nggak usah kemana-mana. Ntar
malah nabrak-nabrak lho.. bisa nyasar…”
“Okey.. Aku di sini,
nggak kemana-mana.. Tapi kapan nyalanya? Lama bener?” Aku mulai gelisah. Angin
dingin bertiup, tepat di tengkuk. Sementara suara langkah yang diseret itu
makin jelas, menuju ke arahku…
“Udah deh, Sadia..
Nggak usah main petak umpet dan becanda… Mau ke sini, sini aja… Jangan
diseret-seret gitu,ah jalannya. Bikin mrinding, tau!”
Jrengg! Suaraku
bergetar sendiri, seperti tercekat di tenggorokan. Bodoh banget sih! Udah tau
ketakutan, malah pake nyebut-nyebut mrinding. Tapi bener lho, jujur saat itu
kok bulu kuduk tiba-tiba berdiri. Nggak biasanya, dingin di tengkuk, bersamaan
dengan suara krincingan, seperti kerincingan gelang kaki bayi.
“Siapa ya?” tanyaku,
lagi.
Nggak ngejawab.
Sreettttt….sreeettttt…
Lagi-lagi langkah diseret itu, mendekat. Makin dekat.. Kini aku bisa merasakan,
seperti hembusan nafas orang. Ya, Tuhan… Tubuhku menggigil. Siapa? Aku berusaha
menajamkan penglihatanku, tapi kayaknya percuma. Nggak berhasil ngeliat
apa-apa… Gemerincing gelang kali itu, sesekali terdengan, sementara dengusan
nafasnya makin berat… Kutebak, dia lebih gede dariku..Karena dengusannya berat.
“Sadia… Itu kamu ya?
Kok nafasmu berat banget.. punya asma ya?” tanyaku, khawatir. Iya, baru
kuinget… nafas memburu begitu, ciri asmanya lagi kambuh, seperti tanteku di
Bandung.
Dengusan nafas itu
sudah begitu dekat denganku. Pasti Sadia ngajak main-main nih, mau ngagetin
atau nakut-nakutin. Pelan-pelan aku berbalik ke arah suara orang itu berasal,
lantas tanganku meraih sebisanya… Kupastikan itu pundaknya yang kutepuk..
Buukk! Dingin.
“Heiii! Kena lo, Del!”
“Kena apaan? Aku di
siniiiii…” Adel teriak dari ujung, nadanya dia lagi jauh di depanku. Deg!
Lantas, siapa tadi yang langsung kutoyor pundaknya? Jantungku mau copot,… baru
kusadar, baunya beda dengan Adel yang suka banget pakai parfum wangi
buah-buahan. Kalo ini mah, baunya anyir.. seperti.. seperti darah?
Aku terkesiap,
bersamaan dengan sosok yang tadi kutepuk sudah berada persis di sampingku.
“Jauhi rumahku, nakkk!”
Jreng! Suara parau itu seperti berbisik, begitu jelas di telingaku. Pas
bersamaan dengan listrik nyala. Sosok wanita tua, bertubuh gempal dengan rambut
digelung, itu persis ada di sampingku. Dia menyeringai… Gigi-giginya kuning
kecoklatan, nggak beraturan… Bukkk! Aku langsung pingsan.
******
Gara-gara kejadian itu,
aku musti ijin nggak masuk sekolah sehari, karena demam tinggi. Kata Retno dan
Sadia, mereka menemukan aku pingsan di depan patung Aphrodite, pas di pojokan…
Padahal Retno dan Sadia lagi berada di koridor yang berlawanan arahnya
denganku. Mereka heran, ngapain aku pingsan. Selama lampu mati, mereka nggak
ngerasa ada orang lain di sana, selain kami bertiga. Anehnya lagi, begitu lampu
menyala pun, mereka nggak ngeliat siapa-siapa… Hanya ngeliat aku yang
tampangnya shock, lantas ambruk sendiri.
Amit-amit… jangan
sampai kejadian lagi, batinku. Gara-gara peristiwa itu, aku nggak mau lagi,
main ke apartemen, temanku itu. Apalagi kalau inget, sosok wanita separuh baya
yang menyeringai dengan giginya yang menjijikkan itu… Hih!
Untung, peristiwa itu
bisa aku lupakan. Sampai suatu sore, Retno mengajakku nengokin kakaknya yang
lagi dirawat di Rumah Sakit. Kasian. Seharian Mamanya nungguin di Rumah Sakit,
sampai mau nengokin pun dia nggak ada temennya jalan ke sana. Giliran Mamanya
pulang buat mandi, kami tinggal berdua saja… Kulihat, nggak ada camilan di
meja. Kasihan Retno atau kakaknya, kalau pas laper pengen ngemil.
“Aku ke bawah dulu ya..
cari camilan…” kataku, sambil menyambar tas yang tadi kuletakkan di kursi,
samping tempat tidur.
Buru-buru aku turun ke
bawah, melintasi lorong rumah sakit. Hari sudah makin malam. Jam bezoek
sebenernya sudah habis, hanya saja kaka Retno di VVIP, jadi masih boleh agak
bebas.
Bingg! Kupencet lift, …
mati? Baru kusadar, di samping lift ada tulisan, lagi dalam perbaikan.
Sebaiknya menggunakan lift di ujung sono. Mm, lumayan jauh. Padahal turun aja
pakai tangga juga cepet.. Kebelet pipis pula.. Aku langsung ngeloyor ke kamar
mandi dulu, untung sepi. Nggak pake ngantri.
Pas lagi di dalam
toilet, kudengar suara langkah orang di depan toiletku. Kayaknya ada cewek
masuk. Trus suara kran wastel. Mungkin dia perawat, jam segini masih di Rumah
Sakit. Aku merapikan bajuku, lantas keluar. Jrengg! Sepi… Nggak ada siapa-siapa
di kamar mandi! Tapi air kran wastafel masih terbuka. Huh, siapa sih, ngebuka
nggak nutup lagi? Aku mematikan kran air, pas giliran nengok ke kaca. Wusss!
Lidahku kelu. Satu sosok perawat kelihatan di cermin! Dia mengenakan seragam
perawat, tapi wajahnya nunduk, sebagian tertutup rambutnya…
Glekkk! Kenapa bulu
kudukku mendadak berdiri gini ya… Kakiku mau gerak, juga berat. Seperti ada
ribuan kilo besi, jadi pemberatnya. Aku beranikan diri, mau noleh, siapa sih
suster ini.. ngagetin aja..
Giliran aku noleh…
Byaarrr! Lampu mati! Ya, Tuhannn! Jantungku udah nggak beraturan detaknya.
Apalagi dingin ini, terasa membekukan. Tengkukku seperti ada yang meniup… Nekad,
aku mengeluarkan HP dari dalam tas slempangku, lantas kunyalakan, bersamaan
dengan HP-ku nyala, wajah seorang perempuan dengan baju perawat itu sudah
berada persis di sampingku. Dia begitu
dekatnya, sampai-sampai hembusan nafasnya pun terdengar. Tatapannya tajam
menusuk, senyumnya menyeringai.. aku nggak sempat berkata apa-apa, karena
tiba-tiba saja, semuanya gelap. Aku pingsan!
*****
Gara-gara kejadian yang
sering kualami, pas bersamaan dengan lampu mati, aku jadi phobia gelap. Padahal
aku sudah mencoba mengobatinya ke psikolog, tapi tetap saja.. nggak bisa
hilang. Aku bisa langsung pingsan, atau minimal seperti tercekik, kalau berada
dalam gelap. Makanya, malam ini wajar aku kesal. Listrik di kost’an mati lagi.
Aku langsung menyambar
HP di saku baju, kupencet nomer Rika, temenku yang ada di kamar sebelah.
Kudengar, sore tadi dia sudah pulang. Pasti lagi di kamar. Lebih baik, minta
tolong ditemenin ke sini…
“Rika?” kataku, begitu
nada tersambung… “Listrik mati dari PLN atau emang ngejeglek?”
“Pusat… “ katanya,
singkat
“Ya, udah.. aku temenin
dong.. Kamu ke siniiii.. Boleh nggak?”
“Yaaa.. tunggu ya…dasar
lho, chicken..hahahaha…” kali ini Rika ketawa. Sialan. Diledekin juga… Aku
menutup HP, lega. Pas bersamaan, kurasa tengkukku begitu dingin. Aku ngerasa,
ada yang dingin menyentuh kakiku…Jantungku berdebar kencang.. Aku mengeleng
sendiri. Nggakk! Nggak boleh takut! Halusinasi.. kamar, kamar aku sendiri,
nggak ada siapa-siapa… batinku sambil mengambil HP, mau menelpon Mama. Inget
belum bilang makasih sama transferannya.
Pas HPku pencet, lampunya nyala, detik itu juga kulihat,
seorang perempuan separuh baya ngegelesot di kakiku. Rambutnya panjang,
beruban. Kepalanya yang tadinya nunduk, langsung menatapku.. Bruukk! Gelap!(ft: berbagai sumber)
1 komentar:
MBAK STE MENYEBALKAN!!
BIKIN JANTUNGAN PAGIPAGI!
AAAAAH...
AAAAAH!!!!
*close tab*
xD.
Posting Komentar