Sabtu, 28 April 2012
Rabu, 18 April 2012
Rabu, 11 April 2012
Kamis, 05 April 2012
sahabatku "kegelapan"
GELAP! Lagi-lagi lampu, mati. Sudah tau, daya listrik di kost, terbatas.
Masih saja, penghuninya nggak mau tau. Masing-masing mau menang sendiri. Biasa
jam-jam anak kost ada di rumah, pasti listrik ngejeglek gara-gara kelebihan
beban. Yah, bayangin aja. Rata-rata membawa DVD player, TV, kipas angin…
bahkan, ada yang bawa pemanas air dan rice cooker. Jelas, aja. Beberapa kali,
dayanya langsung turun. Bukannya, aku nggak bisa toleran sama kondisi ini sih,
tapi jujur.. aku nggak bisa berada dalam gelap. Meski hanya sekian menit, saja
dan di tempat tinggalku sendiri.
Phobia gelap? Ya,
mungkin saja. Yang pasti, setiap listrik mati dan sekelilingku menjadi gelap,
badan ini langsung lemes. Gigi ini gemeretuk, lutut lemas, sampai mau gerak pun
sulit, nafas tersengal-sengal, mirip orang asma, keringat membanjir…Kepala
pusing. Lantai tempat aku berpijak, rasanya goyang, hingga sulit buat jaga
keseimbangan. Parahnya, kalau kelamaan aku bisa ambruk, terduduk lemas…di
manapun itu. Kesadaran suka hilang. Bangun-bangun, pasti sudah ditolongin
orang…Mereka bakal terheran-heran, melihatku pingsan.
Aneh? Ya, begitulah aku
yang paling takut dengan gelap. Rasanya separuh roh atau nafas ini, terenggut
keluar… Setengah mati. Beneran! Pengen marah, sebenernya. Rasanya mau nimpuk,
siapa saja yang menyebabkan listrik tiba-tiba mati di kost’an, hingga phobiaku
kambuh lagi.. tapi boro-boro marah. Masih bisa sadar saja, sampai lampu
akhirnya nyala kembali, sudah bagus..
Heran. Orang yang
mengenalku, sejak kecil pasti terheran-heran, nggak ngerti. Kenapa aku yang
dulunya tomboy banget, tidak pernah takut sama siapa pun, bahkan anak-anak
cowok yang badannya lebih gede pun kutantangin berantem, kini jadi penakut.
Khususnya takut gelap. Nggak masuk akal, karena di kamar pun, takutnya minta
ampun.
“Del, bukannya lo ada
di kamar lo sendiri? Ya, sekali pun listrik mati seharian, kan nggak
kemana-mana.. Orang luar pun nggak ada yang bisa ngegangguin lo di kamar,
tinggal kunci pintu aja. Gampang. Apalagi gue lihat, lo selalu sedia senter dan
lilin di meja, tempat tidur, sampai lemari.
Banyak banget..” Sadia, penghuni kamar
depan, negur aku ketika melihat aku masih gemetaran di kamar, sehabis lampu
mati.
Aku menggeleng, nggak
ngerti. Soal lilin dan senter, memang sejak awal masuk kost, aku sudah
meletakkannya di tempat-tempat strategis, meja, lemari, pinggir kasur, buat
jaga-jaga. Sampai-sampai, kalau ditanya, barang terbanyak di kamarku apa?
Jawabnya:: senter dan lilin. Konyol kan?!
“Nggak tau, Del.. Tiap
lampu mati, langsung lemes. Akal sehat nggak jalan lagi, mau jalan aja nggak
bisa. Lutut gemeteran..”
Adel menatapku dengan
pandangan heran, plus kasihan. Dia memang orang yang pertama kukenal, ketika
menginjakkan kaki di kost-an ini. Kami berdua, paling kompakan dibanding
penghuni yang lain. Orangnya nggak banyak bicara, tapi kalau udah nasehatin
atau ngebantuin orang lagi kesusahan, pasti bawelnya minta ampun. Sama, seperti
ketika dia melihatku ketakutan di kamar.Padahal kejadian ini, sudah kedua
kalinya dia lihat.
“Phobia itu kali ya.. Artinya,
musti dilawan dan bisa lo hilangkan. Pasti lo pernah trauma ya, entah waktu
kecil atau pas udah gedean. Adikku juga punya phobia, soal ketinggian.
Gara-gara dia ngeliat dengan mata kepala sendiri, sepupuku yang masih kecil
jatuh dari lantai dua, apartemennya.owok Sejak itu, dia menghindari gedung
tinggi. Kalau pun musti naik dan ada alternatifnya, dia memilih naik tangga
darurat atau eskalator, di banding lift.
Mungkin juga, aku
phobia gelap karena trauma waktu kecil, jelang usiaku mau masuk remaja. Mama
cerita, aku tomboy banget dari balita. Gaya kecowok-cowokan, ngomong sama siapa
pun berani, olahraga dan permainan juga cenderung pantang mengalah. Apa pun
dijabanin.
Inget banget, waktu itu
temen sekolahku baru pindahan ke apartemen barunya, di kawasan Kuningan,
Jakarta. Sejak awal, kami semua tau, dia anak gedongan. Berbeda dengan kami
yang rumahnya ada di kompleks perumahan.
“Del, lihat-lihat ke
atas yuk, view-nya bagus… Pengen deh, kapan-kapan ngajakin Papa ke sini. Siapa tau, kepikiran pindah,” kata
Maya, Ms. Gadjet yang kemana-mana musti ngetweet dan ngegosipin hoax di
Facebook. Cewek bermata bulat dengan
hidung mancung dan rambut ikal itu, memang paling bisa bikin kita ngiler,
karena kekayaan orangtuanya.
Aku mengangguk,
semangat. Ya, kapan lagi ngeliat fasilitas apartemen high class seperti ini.
Bertiga, bersama Retno, kami jalan beriringan ke lantai atas. Berlari-larian di
sepanjang lorong yang menghubungkan satu apartemen dengan apartemen lainnya,
sampai kamu tiba di pojokan yang kulihat, ruangannya setengah terbuka.
Sebuah patung Dewi
Aphrodite ada tepat di pojokan, hingga siapa pun yang ke ruangan itu, pasti bisa melihat,
patung ini. Aku tersenyum, melihat Retno yang paling suka narsis, nyamperin tuh
patung, lantas foto-foto. Sementara Sadia malah ngelongok-longok tempat yang
terbuka tadi.. Kayaknya sih, gudang. Karena isinya stok barang, perlengkapan
apartemen, termasuk tangga, sapu, sejumlah balok kayu, macam-macam alat
pembersih ruangan. Langkahku setengah berjingkat, menyusuri mendekati patung
Dewi Aphrodite.. Cantik. Sebenarnya, patung ini cantik banget.. andaikan dia
manusia, pasti bikin cowok-cowok tergila-gila…
Blaarrr! Listrik
tiba-tiba mati. Sekelilingku langsung gelap gulita. Kami sama sekali nggak
siaga, entah lilin atau senter pun nggak ada. Aku mencoba meraba dalam gelap,
sementara dari pojokan kulihat
kedip-kedip lampu HP…Tapi itu pun hanya sekian detik, lantas gelap gulita…
“Del, HP-ku low batt..
Mati malah, sekarang....” Retno teriak. Suaranya seperti bergetar, mungkin efek
lorong tempat kami berada sekarang. Kurasakan tengkukku dingin, bersamaan
dengan suara langkah kaki, seperti diseret…Suaranya yang jauh, makin lama makin
dekat…
“Sad… Sadia… kamu di
mana?” tanyaku, gemetar. Jujur aja, perasaan kok nggak enak. Lampu mati di
rumah atau di manapun sih, aku biasa. Bahkan seringkali, jalanan menuju ke
rumah, gelap gulita, pas listrik lagi drop.
Sadia nggak ngejawab.
Retno malah yang teriak… “Udah, situ aja, Del… Nggak usah kemana-mana. Ntar
malah nabrak-nabrak lho.. bisa nyasar…”
“Okey.. Aku di sini,
nggak kemana-mana.. Tapi kapan nyalanya? Lama bener?” Aku mulai gelisah. Angin
dingin bertiup, tepat di tengkuk. Sementara suara langkah yang diseret itu
makin jelas, menuju ke arahku…
“Udah deh, Sadia..
Nggak usah main petak umpet dan becanda… Mau ke sini, sini aja… Jangan
diseret-seret gitu,ah jalannya. Bikin mrinding, tau!”
Jrengg! Suaraku
bergetar sendiri, seperti tercekat di tenggorokan. Bodoh banget sih! Udah tau
ketakutan, malah pake nyebut-nyebut mrinding. Tapi bener lho, jujur saat itu
kok bulu kuduk tiba-tiba berdiri. Nggak biasanya, dingin di tengkuk, bersamaan
dengan suara krincingan, seperti kerincingan gelang kaki bayi.
“Siapa ya?” tanyaku,
lagi.
Nggak ngejawab.
Sreettttt….sreeettttt…
Lagi-lagi langkah diseret itu, mendekat. Makin dekat.. Kini aku bisa merasakan,
seperti hembusan nafas orang. Ya, Tuhan… Tubuhku menggigil. Siapa? Aku berusaha
menajamkan penglihatanku, tapi kayaknya percuma. Nggak berhasil ngeliat
apa-apa… Gemerincing gelang kali itu, sesekali terdengan, sementara dengusan
nafasnya makin berat… Kutebak, dia lebih gede dariku..Karena dengusannya berat.
“Sadia… Itu kamu ya?
Kok nafasmu berat banget.. punya asma ya?” tanyaku, khawatir. Iya, baru
kuinget… nafas memburu begitu, ciri asmanya lagi kambuh, seperti tanteku di
Bandung.
Dengusan nafas itu
sudah begitu dekat denganku. Pasti Sadia ngajak main-main nih, mau ngagetin
atau nakut-nakutin. Pelan-pelan aku berbalik ke arah suara orang itu berasal,
lantas tanganku meraih sebisanya… Kupastikan itu pundaknya yang kutepuk..
Buukk! Dingin.
“Heiii! Kena lo, Del!”
“Kena apaan? Aku di
siniiiii…” Adel teriak dari ujung, nadanya dia lagi jauh di depanku. Deg!
Lantas, siapa tadi yang langsung kutoyor pundaknya? Jantungku mau copot,… baru
kusadar, baunya beda dengan Adel yang suka banget pakai parfum wangi
buah-buahan. Kalo ini mah, baunya anyir.. seperti.. seperti darah?
Aku terkesiap,
bersamaan dengan sosok yang tadi kutepuk sudah berada persis di sampingku.
“Jauhi rumahku, nakkk!”
Jreng! Suara parau itu seperti berbisik, begitu jelas di telingaku. Pas
bersamaan dengan listrik nyala. Sosok wanita tua, bertubuh gempal dengan rambut
digelung, itu persis ada di sampingku. Dia menyeringai… Gigi-giginya kuning
kecoklatan, nggak beraturan… Bukkk! Aku langsung pingsan.
******
Gara-gara kejadian itu,
aku musti ijin nggak masuk sekolah sehari, karena demam tinggi. Kata Retno dan
Sadia, mereka menemukan aku pingsan di depan patung Aphrodite, pas di pojokan…
Padahal Retno dan Sadia lagi berada di koridor yang berlawanan arahnya
denganku. Mereka heran, ngapain aku pingsan. Selama lampu mati, mereka nggak
ngerasa ada orang lain di sana, selain kami bertiga. Anehnya lagi, begitu lampu
menyala pun, mereka nggak ngeliat siapa-siapa… Hanya ngeliat aku yang
tampangnya shock, lantas ambruk sendiri.
Amit-amit… jangan
sampai kejadian lagi, batinku. Gara-gara peristiwa itu, aku nggak mau lagi,
main ke apartemen, temanku itu. Apalagi kalau inget, sosok wanita separuh baya
yang menyeringai dengan giginya yang menjijikkan itu… Hih!
Untung, peristiwa itu
bisa aku lupakan. Sampai suatu sore, Retno mengajakku nengokin kakaknya yang
lagi dirawat di Rumah Sakit. Kasian. Seharian Mamanya nungguin di Rumah Sakit,
sampai mau nengokin pun dia nggak ada temennya jalan ke sana. Giliran Mamanya
pulang buat mandi, kami tinggal berdua saja… Kulihat, nggak ada camilan di
meja. Kasihan Retno atau kakaknya, kalau pas laper pengen ngemil.
“Aku ke bawah dulu ya..
cari camilan…” kataku, sambil menyambar tas yang tadi kuletakkan di kursi,
samping tempat tidur.
Buru-buru aku turun ke
bawah, melintasi lorong rumah sakit. Hari sudah makin malam. Jam bezoek
sebenernya sudah habis, hanya saja kaka Retno di VVIP, jadi masih boleh agak
bebas.
Bingg! Kupencet lift, …
mati? Baru kusadar, di samping lift ada tulisan, lagi dalam perbaikan.
Sebaiknya menggunakan lift di ujung sono. Mm, lumayan jauh. Padahal turun aja
pakai tangga juga cepet.. Kebelet pipis pula.. Aku langsung ngeloyor ke kamar
mandi dulu, untung sepi. Nggak pake ngantri.
Pas lagi di dalam
toilet, kudengar suara langkah orang di depan toiletku. Kayaknya ada cewek
masuk. Trus suara kran wastel. Mungkin dia perawat, jam segini masih di Rumah
Sakit. Aku merapikan bajuku, lantas keluar. Jrengg! Sepi… Nggak ada siapa-siapa
di kamar mandi! Tapi air kran wastafel masih terbuka. Huh, siapa sih, ngebuka
nggak nutup lagi? Aku mematikan kran air, pas giliran nengok ke kaca. Wusss!
Lidahku kelu. Satu sosok perawat kelihatan di cermin! Dia mengenakan seragam
perawat, tapi wajahnya nunduk, sebagian tertutup rambutnya…
Glekkk! Kenapa bulu
kudukku mendadak berdiri gini ya… Kakiku mau gerak, juga berat. Seperti ada
ribuan kilo besi, jadi pemberatnya. Aku beranikan diri, mau noleh, siapa sih
suster ini.. ngagetin aja..
Giliran aku noleh…
Byaarrr! Lampu mati! Ya, Tuhannn! Jantungku udah nggak beraturan detaknya.
Apalagi dingin ini, terasa membekukan. Tengkukku seperti ada yang meniup… Nekad,
aku mengeluarkan HP dari dalam tas slempangku, lantas kunyalakan, bersamaan
dengan HP-ku nyala, wajah seorang perempuan dengan baju perawat itu sudah
berada persis di sampingku. Dia begitu
dekatnya, sampai-sampai hembusan nafasnya pun terdengar. Tatapannya tajam
menusuk, senyumnya menyeringai.. aku nggak sempat berkata apa-apa, karena
tiba-tiba saja, semuanya gelap. Aku pingsan!
*****
Gara-gara kejadian yang
sering kualami, pas bersamaan dengan lampu mati, aku jadi phobia gelap. Padahal
aku sudah mencoba mengobatinya ke psikolog, tapi tetap saja.. nggak bisa
hilang. Aku bisa langsung pingsan, atau minimal seperti tercekik, kalau berada
dalam gelap. Makanya, malam ini wajar aku kesal. Listrik di kost’an mati lagi.
Aku langsung menyambar
HP di saku baju, kupencet nomer Rika, temenku yang ada di kamar sebelah.
Kudengar, sore tadi dia sudah pulang. Pasti lagi di kamar. Lebih baik, minta
tolong ditemenin ke sini…
“Rika?” kataku, begitu
nada tersambung… “Listrik mati dari PLN atau emang ngejeglek?”
“Pusat… “ katanya,
singkat
“Ya, udah.. aku temenin
dong.. Kamu ke siniiii.. Boleh nggak?”
“Yaaa.. tunggu ya…dasar
lho, chicken..hahahaha…” kali ini Rika ketawa. Sialan. Diledekin juga… Aku
menutup HP, lega. Pas bersamaan, kurasa tengkukku begitu dingin. Aku ngerasa,
ada yang dingin menyentuh kakiku…Jantungku berdebar kencang.. Aku mengeleng
sendiri. Nggakk! Nggak boleh takut! Halusinasi.. kamar, kamar aku sendiri,
nggak ada siapa-siapa… batinku sambil mengambil HP, mau menelpon Mama. Inget
belum bilang makasih sama transferannya.
Pas HPku pencet, lampunya nyala, detik itu juga kulihat,
seorang perempuan separuh baya ngegelesot di kakiku. Rambutnya panjang,
beruban. Kepalanya yang tadinya nunduk, langsung menatapku.. Bruukk! Gelap!(ft: berbagai sumber)
ketulah jeng Kunti...
Wangi dupa lagi? Pasti kerjaan Sakti, cowok yang tinggal
di lantai bawah, ujung sono. Padahal tuh
anak sudah diingetin, kalau pengen ruangannya wangi, jangan menggunakan dupa
atau hio. Cari saja pengharum ruangan, kan banyak dijual di pasaran. Kalau
nggak ya, lilin atau semacam hio tapi khusus buat aromaterapi. Beda kan dengan
dupa… karena identik buat sembahyang atau beribadah. Tapi ya..itulah, Sakti.
Nggak bisa dibilangin… Seenaknya sendiri. Kita-kita, satu kost’an juga tau, dia
dapatnya dupa juga bukan beli, tapi ngembat milik Harlan yang tinggal di kamar depan.
Pegawai bank swasta itu memang sering beribadah dengan menggunakan dupa.
Masalahnya, suka kaget saja..ketika Harlan tugas keluar kota sekian lama, kok
tiba-tiba kecium wangi dupa.
Keisengan Sakti memang
nggak hanya sebatas main-main dengan dupa saja. Tapi dia juga sering ngerjain
kami, penghuni kost dengan becandaannya yang tidak lucu. Gimana mau lucu…dia
suka pura-pura jadi pocong, memakai kain sprei buat menutupi sebagian tubuhnya,
ntar malem-malem pas kami ke kamar kecil atau jalan di koridor kost, dia bisa
tiba-tiba muncul, ngagetin. Pernah tuh, sekali dia kena tonjok, temen anak kost
di sini.
Gara-garanya, mereka
nginap semalam buat ngerjain tugas. Pas tengah malam, salah satu di antara
mereka ke kamar kecil. Sakti ternyata nungguin, di belokan dekat taman. Begitu
cowok itu lewat, jreenggg… Sakti nongolin diri dengan kostum pocongnya. Harapan
Sakti, mahasiswa asal Lampung itu bakal tunggang langgang, lari ketakutan atau
malah, pingsan. Nyatanya? Laki-laki yang bisa taekwondo itu, malah ngeluarin
jurus andalannya. Buuuukk! Gubraakkkk… Sakti langsung nyungsep. Gigi depannya
tanggal satu!
Antara kasihan dan
nyukurin, kejadian itu kami pikir bakal membuatnya jera. Nyatanya, nggak tuh…
Seperti malam itu, pas anak-anak lagi males keluar kamar, karena hujan sejak
sore tadi deras banget. Dingin, lagi. Enaknya memang ngeringkel di kamar,
masing-masing.
Rini, anak baru,
pindahan dari Yogya, baru saja selesai mandi. Dia memang paling sering mandi
malam-malam, tiba-tiba… ketika dia melewati taman, dekat belokan
kamar...doengg! Sakti muncul dengan mengenakan make up serem. Wajahnya putih,
berdarah-darah dengan kedua matanya menghitam..
Shock! Rini bener-bener
shock dan ketakutan. Dia langsung melempar semua perlengkapan mandinya, lantas
lari masuk ke kamarnya, sambil menangis histeris dan nyebut nama Gusti Allah,
berulangkali. Kasihan. Rini sampai shock dan bener-bener beberapa hari
berikutnya, dia nggak pernah berani keluar kamar malam-malam sendiri. Padahal
kami udah ngejelasin, itu kelakuan Sakti. Bukan hantu beneran…
Ridho, anak Fakultas
Teknik Industri yang suka ngeband itu sampai ngancam. Katanya, kalo Sakti bikin
ulah lagi, dia nggak segan rontokin semua giginya sekalian. Nggak hanya satu…
“Kapan sih, kamu sadar. Nggak main-main dengan
begituan.. Ntar suatu saat, disamperin beneran baru tau rasa…” kata Mega, anak
yang tinggal di lantai dua, ngingetin. Ya, kost’an kami memang campur, cowok
cewek, dua lantai. Bedanya, cowok bagian tengah ke depan, cewek bagian dalam.
Selama ini sih, kami bisa hidup berdampingan… alias nggak ada yang kurang
ajar cowoknya. Sebaliknya, ceweknya juga
nggak kecentilan, tebar pesona atau nggodain cowok-cowoknya.
“Nggak mungkinlah… Hari
gini ada hantu-hantuan, segala. Lagian, Pocong, Genderuwo, Kuntilanak, Jin atau
apa pun itu namanya, udah pada keder sama gue..
Nyantai aja lagiiii.. Mereka yang kabur, ngeliat gue. Bukan sebaliknya!”
Pede banget, Sakti ngebalikin teguran dari kami. Kalo sudah debat sama anak
ini, emang susah. Nggak bakalan, memang.
Sejak awal, dia masuk
ke kost ini, kami langsung bisa ngebaca tabiatnya yang keras kepala. Maklum,
anak tunggal. Pemilik perkebunan tembakau dan show room di daerah, pula. Mantap
kan? Tapi ya , gitu deh.. Bukannya disyukuri dan dimanfaatkan positif
kelebihannya, malah buat main-main. Kuliah bolong-bolong. Biasa nongkrong di teras atau di koridor
depan kamarnya, trus iseng nggodain cewek-cewek
atau ya..itu main hantu-hantuan. Efek positifnya, kami jadi kebal soal
kuntilanak, jin dan sebangsanya. Soalnya, tiap kali kejadian, pasti kerjaannya
Sakti.
*****
Malam ini, pas malam
Jum’at Kliwon. Kami semua sudah ngeringkuk di kamar masing-masing. Hanya
kedengaran suara genjreng-genjreng gitar dari kamar Ridho. Nggak terlalu
kenceng sih. Biar anak band, tapi Ridho tau juga jaga volume kalau udah malam
begini…
Kulihat, Sakti cengar cengir masuk ke kamarku. Tanpa
menungguku , mempersilahkan dia duduk, dia langsung lompat di kasurku sambil
ngeliatin aku yang masih ngetik, nyelesaiin tugas.
“Den, lo tau nggak,
anak baru yang datang dari Garut tadi pagi? Cantik lho! Gila! Sandra Dewi,
Nikita Willy, lewat semua dah.. “
Aku menghentikan
ketikanku, ngeliat wajahnya yang jahil bin kurang ajar itu dengan tatapan bete.
Dia sadar itu, tapi cuek aja. Malah dilanjutin ceritanya..
“Lo tau nggak, dia kan
orangnya cemen.. Penakut. Gue lihat tadi, dianter orangtuanya aja
nangis-nangis. Kayak mau kemana aja…padahal Garut Jakarta deket banget..”
“Udah deh, Saktiiii!
Kan sudah diinget Ridho, jangan usil lagi main begituan. Aku juga sama
dengannya.. Makhluk halus, jangan dibuat mainan. Ntar mereka marah beneran,
hati-hati lho.. Kesambet, kita semua nggak bisa nolongin kamu..”
Sakti ngakak, dia
menoyorku dengan buku yang ada di meja. Lantas dia ngeliat tumpukan buku agamis
yang ada di mejaku. Dia ketawa. “Ya ampun, teorinya banyak bener… Nggak ngaruh
kali, lo doa seharian, pagi siang sore, malem.. toh namanya jin iprit itu nggak
ada. Mereka takut sama gue, kalo mau lewat kost’an ini…”
Glondang! Tiba-tiba
terdengar suara kaleng, ngegelinding di depan kamarku. Aku terkesiap, kaget.
Sakti kulihat juga kaget, tapi lantas kembali ngakak..
“Parno, lho! Denger
gitu aja, pucat!” katanya, sambil berdiri dan ninggalin aku sendiri di kamar.
“Gue balik ke kamar. Ntar ya, liat aja, ntar anak Garut itu bakal
termehek-mehek sama gue…”
Aku melotot, mau nimpuk
dia dengan buku, tapi Sakti keburu lari, keluar kamar dan membanting pintuku
dengan suara gaduh. Buset. Kurang ajar tuh bocah. Malem-malem, main banting
pintu…
Aku ngelanjutin lagi,
ngerjain pekerjaanku. Banyak angka-angka yang belum match, musti dihitung
ulang. Pegal. Lamat-lamat kudengar senandung lirih, kayak tembang Jawa. Tapi
suaranya jauhhh banget..
Aku mengeryitkan dahi.
Siapa lagi, ada cewek malem-malem nembang. Aku nggak perduliin suara itu lagi.
Mataku terlanjur berat, capek banget. Buktinya, begitu naik kasur, aku langsung
terlelap.
******
Pagi-pagi, kost’an
gaduh. Aku ngeliat, beberapa teman lagi ngumpul di depan kamar Sakti. Sebagian
ada yang menutup mulutnya dengan tissue atau saputangan. Semuanya sih, cowok.
Cewek-ceweknya malah duduk di kursi, koridor kamar. Wajah mereka tegang campur
shock… Ada apaan sih?
Penasaran, aku samperin
mereka. Kulihat, kamar Sakti terbuka.. darah ada di mana-mana… Astagaaa?!
Sementara pembantu kost, berusaha ngebersihin lantai dan mencopot korden serta
sprei yang kena percikan darah.
“Dho, ada apaan nih?
Sakti kenapa?”
Ridho yang juga tengah
berdiri di dekat kamar Sakti, geleng-geleng kepala. Sesekali dia ngebantuin, menyingkirkan
barang-barang bersih, biar tempat itu gampang dirapiinnya.
Masalah Sakti, masih
tandatanya besar di kepala. Soalnya, pagi itu tidak ada satu teman pun yang
bisa cerita. Mereka hanya bilang, Sakti ditemukan pingsan, berdarah-darah di
kamarnya.
Jangan-jangan, anak
kost yang kesal, menghajar dia sampai babak belur? Sadis banget?!
Sore itu, sepulang dari
kantor kulihat kamar Sakti terkunci dari luar. Gemboknya menggantung di luar,
tanpa di dalam nggak ada orang. Masih belum pulang dari dokter kali ya?
Sakitnya segitu parahnya?
Kulihat Rini, jalan
melipir di depanku. Rini kaget, melihatku masih bengong di situ.
“Rin, Sakti kemana?
Belum pulang dari pagi?”
Rini menggeleng. Baru kutau darinya, Sakti memang
ditemuin berdarah-darah di kamar. Gara-garanya, semalam dia mau ngegangguin
anak baru yang dari Garut itu. Entah gimana, kayaknya dia beneran ketemu
kuntilanak.. Pantes saja, aku dengar senandung lirih yang jauh banget suaranya.
Kan katanya, kalau senandungnya keras, deket, malah Kuntilanaknya jauh. Tapi
kalau senandungnya seperti sayup-sayup, dia malah udah deket sama kita. Hihhhh!
Mungkin memang sudah waktunya, Sakti diberi pelajaran. Karena apa pun namanya,
kalo diusik pasti juga marah…
angie
Cantik! Wajah tirus,
berleher jenjang dengan rambut lurus sebahu itu, menatapku dalam-dalam. Matanya
yang sayu, berkaca-kaca. Seperti memendam kesedihan. Tapi lagi-lagi, aku nggak
diberi kesempatan bertanya, apa yang bisa kubantuin. Karena dia keburu balik
badan, pergi.
Angie. Aku menamainya
Angie… karena sampai detik ini, belum pernah bisa ngobrol langsung, nanyain
siapa namanya atau di mana tinggalnya. Tapi setidaknya, aku sudah menganggapnya
seperti teman. Tetangga-lah. Soalnya, tiap aku pulang kemaleman, selalu kulihat
dia di kali kecil, dekat rumah, seperti nungguin seseorang.
Dekat rumah, memang ada
kali kecil. Biasanya kalo angkot atau ojekku nggak lewat jalan utama, depan
gang, aku suka memilih turun dari depan kali situ. Trus jalan melewati sisi
kali yang remang-remang, karena tertutup
rimbunnya pohon. Penerangan di situ juga sangat terbatas. Mungkin warga yang
tinggal di sekitarnya, keberatan kalau dimintain iuran lagi buat bayar listrik
dan membeli bolam lampunya. Padahal banyak yang manfaatin jalan potong itu,
buat lalu lalang.
Soal kebersihan, memang
sih, boleh dibilang rada jorok. Ya, gimana lagi… Sudah jalanannya mlipir
begitu, warga nggak ada yang ngerasa memiliki. Mereka hanya bertanggungjawab
sama jalan yang ada di depan rumah masing-masing… Kasian ya… Pantes saja,
banyak rumput liar di sisi jalan, dibiarkan meninggi, belum lagi kalau ibu-ibu
atau pedagang sayuran dan makanan, buang sampah. Hadeeehhh, main lempar saja,
ke pojokan sono. Ntar giliran tukang sampah yang musti mungutin.
Untung saja, kali atau
sungainya nggak pernah banjir, sampai luber menggenangi rumah-rumah. Padahal
tetangga kanan kiriku juga suka, ngebuang sampah ke sungai. Memang nggak
terlalu dalam, tapi deras. Sebenernya, teman-teman sekantor udah menyarankan,
aku pindah kontrakan. Soalnya lingkungannya jorok. Tapi mau gimana lagi… Aku
suka di situ, karena dari kantor kalau lagi nggak males, jalan kaki pun bisa.
Nggak musti naik ojek atau angkot. Irit kan? Juga lebih nyantai… Ada apa-apa di
kantor, aku bisa langsung sampai dalam waktu singkat. Nggak kejebak macet.
Balik soal Angie…
Wajar, aku menaruh perhatian lebih sama cewek yang boleh dibilang seksi ini.
Bibirnya merah, hidung mancung, bulu matanya tebal dan lentik. Bahkan, seleb
yang biasa memakai bulu mata anti badai, kalah tuh lentik dan cantiknya! Nggak
tau, kenapa. Sejak pertama, melihatnya berdiri sendiri di sisi sungai, aku
tergerak buat menemaninya. Apa karena dia cantik kali ya? Naluriku sebagai
laki-laki normal yang masih membujang dan jomblo, tergerak buat mengenalnya
lebih jauh.
Angie nggak seperti
cewek-cewek di kompleks yang selalu obral senyum dan umbar sapaan, tiap ketemu
denganku di ujung gang atau waktu sore-sore, melintas depan rumah. Dia nggak
banyak bicara. Meski aku sudah berdehem, mencoba memancingnya buat nanya atau
negor, dia tetep saja diam seribu
bahasa.
Sore ini, hari sudah
mulai gelap. Gerimis, bikin udara di
sekelilingku dingin. Kulihat, Angie berdiri di sana dengan sebuah payung, warna
merah muda. Gila. Ngapain lagi, gerimis gini, nongkrong di sana? Okelah, kalau
cuaca cerah, meski jujur juga rada aneh.
Buru-buru, aku dekati dia, takut hujan makin gede.
“Gerimis… Nggak masuk
aja ke dalam rumah? Rumahnya di mana sih?” Wusss! Aku jadi malu sendiri.
Pertanyaan bodoh, langsung nanyain rumah. Pasti dia langsung berpikir, aku
cowok kecentilan.
Bener, kan?! Bukannya
senyum atau menjawab pertanyaanku, dia malah balik memunggungiku. Tatapannya
masih sama. Nanar. Matanya berkaca-kaca, sesekali dia mengusap pipinya yang
mulai basah dengan tissue. Astaga… kenapa dia jadi sedih gitu?
Dingin makin menggigit.
Tengkukku ngerasa nggak enak, serasa ada pemberat ratusan kilogram…
Jangan-jangan vertigo kambuh lagi. Aroma parfum cewek ini, juga makin membuatku
kliyengan. Tau deh, apa merknya. Kalau boleh ditebak… antara melati atau bunga sedap malam. Bbbrrr… Bulu kudukku
meremang, perasaan nggak enak kembali menyergap. Aku mengutuki ketololanku
sendiri. Masa parfum bunga sedap malam atau melati… kayak parfum orang mati
dong.
Beberapa kali, geledek
mulai terdengar. Tanganku juga mulai basah, gerimisnya makin deras. Kulihat
Angie, menoleh, melihatku sekilas. Jreengg! Tatapannya dingin dan sayu. Entah
kenapa, jantungku berdebar kencang. Rasanya, bulu kudukku meremang dan tengkuk
ini dingin. Dia nggak berkata apa-apa, hanya senyum sekilas, trus balik badan
dan pergi meninggalkanku sendirian. Perempuan aneh!
*******
Jakarta, membuatku
gila. Berangkat ke kantor, ketika hari masih gelap, dan pulang pun ketika
matahari sudah tenggelam. Bayangin, kapan aku pacarannya? Sudah tiga hari ini, aku ngerasa badanku
letih banget. Staminaku ngedrop, kecapekan kali ya. Sampai-sampai ngantor pun sering nggak konsen. Rasanya waktu cepet
banget berjalan. Aku baru duduk, mau kerja, tau-tau sudah malam, jatahnya
pulang.
Satu hal yang membuatku
kesal. Anak-anak di kantor juga lagi sibuk ngejar tender masing-masing.
Sampai-sampai kami nggak sempat lagi, makan bareng di kantin atau ngobrol di
salah satu meja kami yang kosong. Semuanya asyik dengan urusan masing-masing.
Sore ini, aku pulang
lebih cepat dari biasa. Angie kulihat, sudah berdiri di sana, ketika aku mau
menuju ke rumah. Tatapannya sama. Nanar dan dingin. Kali ini, aku harus bisa
mendekatinya. Minimal tau, kenapa dia suka banget nongkrong di situ… Tempatnya
kan jorok. Kadang bau air sungainya bercampur sampah. Kan enakan duduk di
rumah, putar televisi atau ngerjain pekerjaan perempuan lainnya.
“Angie.. “ Duuhh!
Bodoh, banget! Aku juga kaget sendiri. Kenapa gue panggil dia Angie?
Cewek itu nggak
menoleh. Dia juga nggak peduli, meski aku berdiri, makin dekat dengannya.
Tangannya yang memegang tissue, sesekali dia usapkan ke pipinya yang halus dan
pucat itu.
“Maaf, boleh tau, kamu
tinggal di mana? Ngapain sering berdiri di sini?” tanyaku hati-hati. Cewek itu,
cuek. Nggak menoleh,nggak senyum. Dingin.
Brrr… Lagi-lagi aroma
melati dan bau sedap malam, menusuk indra penciumanku. Tengkukku terasa ada
angin bertiup. Dingin. Badanku menggigil. Antara dingin atau merinding, sudah
nggak jelas lagi. Kuperhatiin Angie, dari ujung rambut, sampai ujung kaki,
normal kok… Bahkan konyolnya, aku ngelirik kakinya. Jangan-jangan nggak napak?
Orang bilang kan, di sungai suka ada kuntilanak. Weittts,… ada tuh kakinya dan napak! Aku
sampai senyum sendiri, menertawakan ketakutanku yang nggak beralasan.
“Aku pulang duluan ya…
Besok balik ke sini lagi. Kalau kamu mau balik, nggak usah nungguin aku…:”
Aku bengong. Wah,
akhirnyaaaaa.. Angie, mau juga ngomong. Suaranya yang lirih dan memendam
kesedihan itu, terdengar begitu berat. Seperti orang yang tengah memendam luka
begitu dalam.
“Oh ya, kenalin
aku Dewa. Nama kamu siapa? Tinggal di
mana?” Aku mengangsurkan tanganku, buat berjabat tangan. Tapi, Angie sama
sekali nggak peduli. Dia malah ninggalin aku, terbengong-bengong sendiri.
“Besok, besok aku akan
kembali…” katanya, lirih.
Bbbrrr. Perasaan nggak
enak, kembali menyergapku. Apalagi ketika kulihat, dia menghilang di tikungan
jalan, begitu cepat. Jangan-jangan…..
******
Malam ini, aku memang
pulang larut. Entah kenapa, aku suka ngelamun dan akhirnya hanya buang waktu di
kantor. Teman-teman udah cabut duluan, aku belakangan. Tidak seperti biasanya,
malam ini aku lihat Angie sudah berdiri di sana dengan membawa seikat bunga
mawar putih.
“Tumben, masih ada di
sini jam segini… Nggak takut masuk angin? Udara malam kan nggak bagus…” kataku
sambil merapatkan jaket. Bbbrrr. Lagi-lagi tulang-tulangku terasa linu,
dinginnya menusuk sampai ke dalam persendian. Aroma bunga mawar yang dia bawa,
makin bikin mabuk… baru aku nyadar, dari kemarin itu yang kucium bau mawar.
Bukan melati atau sedap malam. Suka banget nih cewek sama mawar…
“Buat siapa, bunganya?
Dikasih cowoknya ya?” Doengg! Nggak sopan, banget. Aku sampai pengen menoyor
kepalaku sendiri. Pertanyaan yang spontan banget, nggak bisa terkontrol akal
sehatku. Untung, Angie nggak marah. Dia hanya menoleh, sekilas. Trus balik
lagi, merhatiin arus air sungai yang deras.
“Ngapain kamu musti
lewat sini, tiap hari? Lewat jalan di depan sana, kan bisa…Sudah tau, tempatnya
bahaya. Licin, sungainya deras. Masih saja, bandel…” Angie ngomel, aku bengong.
Ya ampun, tau sih, aku selalu lewat sini?
“Pilih jalan pintas
saja kok… Kan kalau turun depan situ, masuknya lebih deket dari pinggir kali
ini. Lurus saja, sampai. Tuh, rumahku lima rumah dari sini…Mau mampir?” kataku,
sambil nunjuk rumah agak ke ujung.
“Nggak bisa ya, sekali-kali
denger saranku?”
“Iya, iya… maaf. Aku
bukan ngeles atau nggak menghargai pendapat kamu..” kataku, masih bingung.
“Tapi, kenapa kamu perhatian sih, sama aku? Kita kan belum kenalan…”
Aku menyodorkan
tanganku, tapi dia masih cuek. Matanya yang berkaca-kaca itu, sekilas
melirikku, lantas kembali memandang aliran sungai.
“Lain kali, kita
ngobrol lagi. Aku pulang dulu… “ Dia melemparkan bunga mawar putih itu ke
sungai, lantas balik badan, meninggalkan aku sendiri yang belum sempat, komen
apa-apa.
Ya, besok kita ngobrol
lagi, Angie, batinku bingung.
********
Minggu yang aneh… Yup!
Hampir seminggu ini, badanku sering meriang, kerja nggak tenang, ngelamun,
tau-tau udah sore. Pulang, trus gitu..Rutinitas yang membosankan dan kadang,
seperti lewat begitu saja. Tumben juga, temen-temen di kantor, malas
melimpahiku pekerjaan seperti biasa. Sampai-sampai, mejaku kosong. Kudengar dari meja sebelah, tugasku baru
mereka koreksi.
Pikir-pikir, kesempatan
istirahat kali. Ngapain juga sok pahlawan, minta kerjaan tambahan. Kulihat jam
di dinding, sudah waktunya pulang. Aku
memilih jalan kaki lagi, ya hitung-hitung olahraga dan hemat hahahaha… Kulihat
dari kejauhan, Angie sudah berdiri di sana… di samping sungai yang airnya, sore
ini kelihatan begitu deras.
“Soreee…” sapaku. Eh,
dia diem aja. Buset, dah. Senyumku yang selebar bintang iklan pasta gigi, juga
dicuekin.
“Hari ini, terakhir aku
ke sini ya… Besok aku pindah.. Jaga diri, aku pasti kangen kamu…”
Huaaaaaa… dia kangen
aku? Astaga! Untung aku cowok. Kalau cewek, mungkin sudah merah padam mukaku,
tersipu malu. Sejak kapan, dia jadi ngidolain aku? Kenal juga belum…
“Kamu mau kemana? Mau
pindah dari sini? Padahal rumahmu aja, belum tau.. Nama kamu??”
“Nggak usah pikirin aku
lagi ya… Aku bisa jaga diri. Kamu baik-baik di sana ya?” Mata gadis itu
memerah, air matanya kembali menitik. Bbbrrr… Kenapa dingin ya, badanku.
Perasaan nggak enak, apalagi pas dia menoleh dan menatapku dengan tatapan
dingin, sebelum akhirnya, dia pergi meninggalkan aku terbengong-bengong,
sendirian.
“Mas… udah Mas… Yuk,
kita pulang aja.. Mbak Via udah balik, nggak akan datang lagi besok..” celetuk
seorang bocah berwajah tirus, yang tiba-tiba saja sudah ada di belakangku.
Mungkin dari tadi dia ngikutin aku?
“Yuk, Mas… Kita
pulang…” Dia mau mengandeng tanganku, tapi aku mengelak. Geli. Nih bocah, aneh.
Ngapain juga ngajakin pulang berduaan. Ntar dikira penduduk sini, ada
apa-apanya kita.. Aku menggeleng. Buru-buru aku cabut dari situ, sambil
merapatkan jaketku. Bulu kudukku meremang. Pas deket rumah, kulihat cewek itu
sedang berbicara dengan warga di sini… Aku samperin, kali-kali saja ada yang
bisa kutau lebih banyak, soal Angie…
“Saya pamit ya, Pak…
Nanti kalau lagi nyekar ke makam, saya akan mampir ke sini..” Cewek itu
sepertinya sedih banget.”Saya titip, bungkusan ini buat keluarga Desta.”
Duhhh! Desta kan,
namaku?? Ngapain dia sebut-sebut…
“Ya, Nak.. nanti saya
sampaikan. Kasian juga keluarga nak Desta, terpukul banget waktu mereka dengar
putranya hanyut, tenggelam di sungai, waktu berusaha nolongin Rano, adiknya,
Mbak …”
Kepalaku mendadak
berdenyut. Pusing. Tiba-tiba, kurasa telapak tanganku ada yang menggenggam.
Dingin. Aku menoleh.Seorang bocah belasan
tahun yang tadi kulihat, sudah berada di sampingku…
“Yuk, Mas… Kita pulang aja…” Pulang?! (Ft; berbagai sumber)
Langganan:
Postingan (Atom)