Rabu, 30 November 2011
Bye Beckham
Ganteng.
Populer. Kaya. Prestasi okey, so what??! Aslinya, gw nggak ngerti bola, nggak
ngikutin storinya suaminya Victoria ‘Spice Girls”, tapi hanya dlm waktu tiga
hari doang di Indonesia, gw mau tidak
mau jadi nongkrongin TV, ngeliat ohhhh…ini ya, si tendangan gledek itu? Jujur,
emang ganteng siiih…pantes aja, sampai ada yang bela-belain bikin sanggul
spektakuler…hihihi..
Two
tumbs up, buat Beckham yang bisa menghipnotis massa di Indonesia. Gw juga
akhirnya nonton pertandingan antara timnas vs LA Galaxy (padahal di saat bersamaan ada Chris John tuh),
karena pengen tau, gimana sih dahsyatnya nih orang nendang bola… apa beda, sama
Firman Utina, Bambang Pamungkas, Andik
Vermansyah?? Kesimpulannya, sama aja tuh.. Memang secara strategi, mereka okey,
siap dan suka ngagetin tendangannya. But keseluruhan, tim kita juga bisa kok
main bagus..
Ada 5
fakta yang gw lihat:
1.
Mustinya, kita kasih jempol buat pemain
Indonesia. Meski sampai jumpalitan,
nyusruk, kena jegal dll, mereka mati-matian ngebela nama negara. Walaupun di
atas kertas, penonton udah under estimate duluan. Siapa sih yang nggak tau,
jebolan Manchester United ini? Tapi mereka pede aja tuh, tetap mengejar bola
sampai detik terakhir… Nggak malu-maluin, nggak lantas begitu saja dikalahkan…tapi
mereka kaalah terhormat…
2.
Bola itu bundar, siapa pun bisa berada di atas atau di
bawah. Nggak bisa ketebak. Bayangin aja udah berapa kali, pemain LA Galaxy
nembakin bola ke gawang, sekali mental kena sisi gawang kiri, tendang lagi
mental kena sisi gawang kanan… Sekalipun itu si tendangan mautnya Beckham pun,
kalau udah maunya mlipir ke luar, ya…tetep aja keluar. Nggak bakalan gol…
3.
Becandaannya temen-temen waktu nonton sambil BB-m dan ngetwitt
bilang… Legacy punya Beckham, kita punya ki…. (nggak etis sebutnya). Alias kita
dukunnya lebih sakti… Hahahaha…jadi biar kayaknya bola itu pasti masuk, Legacy
tendang berapa kali pun mental mlulu…Kalo gw sih jawabnya sama teman-teman, ya…Tuhan
masih sayang sama pemain kita. Nyatanya kalau kehendak Tuhan, bola itu nggak
bakal masuk, mau sampai siapa pun tendang seratus kali juga pasti mental lagi…
4.
Gw jadi tau, ada sanggul “khatulistiwa” yang “sesuatu”
banget itu ya… *sambil tepok jidat*…ya inilah dunia entertainmen.. Apa pun bisa
jadi “sesuatu”… entah tanggapannya positif, nyinyir, sambil ketawa atau kasih applaus,
itu suka-suka aja.
5.
Satu hal yang gw lihat, sportif itu perlu. Awal Beckham
datang, dieluk-elukan. Kayaknya dia “sesuatu” banget, dielukan, dipuja, and the
end..dicela juga tuh… Waktu dia bawa bola, teriakan penonton… woooo… Kalo dia
mainnya nggak oke, dicela-cela…ya udahlah,
namanya juga permainan.. Kalah, menang, jelek, bagus… Kayak pemain
timnas juga, waktu menang lawan Vietnam, dipuji-puji, eh giliran kalah lawan
Malaysia juga banyak yang berubah mencela. Alasan mereka kebanyakan main iklan
lah dll…
Bye,
Beckham…nice to see you (meski cuma di layar tv), senang baca twitt2 kocak
seputar kedatanganmu di Indonesia, hubungannya dengan sanggul khatulistiwa etc… Moga
next, lebih spektakuler dari yang sekarang… (itu pun kalo balik lagi siiihhh).
Peace! (ft: berbagai sumber)
Selasa, 29 November 2011
Minggu, 27 November 2011
Sahabat DIO
Tanah
merah lagiiii? Mmm, aku sudah ancang-ancang, marah. Emosi sampai di ubun-ubun
kepala, tinggal dimuntahkan . Melihat wajah Ridho yang pucat pasi dengan bibir
bergetar dan mata berkaca-kaca, kayak mau nangis, jadi nggak tega. Bocah
sekecil ini, mana bisa ngerti sih dibilangin… Paling denger sekali, besoknya
dia bakal lupain lagi. Apalagi kalau sudah ngumpul sama temen-temen
seumurannya, bebas dari pengawasan kita. Mmm, aku menarik nafas dalam-dalam,
berusaha meredam emosi.
“Udah
sekarang, taruh sepatu ke tempatnya dulu…” Ridho mengangguk, dengan tatapan
takut-takut, dia beringsut dari hadapanku. Nenteng sepatu dengan tangan kanan,
setengah berjingkat dia letakkan sepatunya ke rak yang sudah disediakan, deket
kamar tidurnya.
Sejak
kecil, begitu mengenal bangku sekolah, aku memang mengajarkan Ridho, putra
tunggalku mandiri. Ngelakuin beberapa hal kecil sendiri. Seperti pulang
sekolah, musti copot kaos kaki, sepatu, lantas ditaruh di rak-nya. Tas di
masukin kamar. Nggak dilempar saja, seenaknya. Seperti kulihat anak beberapa
kawanku.
Mereka
balik dari jalan atau sekolah, ngegelesot saja di lantai sambil copot sepatu
dan lempar seenaknya. Ntar pembantu atau mamanya yang pungutin, rapiin. Atau
malah parahnya, sampai rumah bocah-bocah itu langsung main, duduk depan
televisi atau tiduran di sofa, sementara pembantu repot, bantuin copotin kaos
kaki dan sepatu, bantuin ambilin tas, …Huh!! Bukan itu yang aku suka dan mau…
Untungnya,
Ridho cerdas, nggak cengeng dan tau kewajibannya, waktu aku ajarkan hal itu.
Musti tau, kalau sudah mengambil barang, main atau pakai apa pun, balikin ke
tempatnya semula. Sekolah, pakai sepatu..ambil sendiri di rak. Pulang-pulang
ya, balikin ke tempatnya. Meski kami punya pembantu, meski keluarga kami
terbilang cukup dan berlebih, tetap aja aku tidak ingin punya anak manja.
Sudah
semingguan ini, Ridho selalu pulang dengan tangan kotor. Banyak tanah merah
atau pasir, sampai-sampai kuku-kukunya ikutan kuning, kena tanah yang
mengering. Baju dan sepatunya juga belepotan. Jorok. Bener-bener, aku nggak
suka melihat anakku jorok-jorokan begitu..Pasti banyak kuman. Padahal secara,
tempat bermain di sekolah Ridho kan banyak alternatifnya. Ngapain musti
kotor-kotoran, main tanah?
“Ridho,
sebentar…Mama mau bicara…” tegurku, sore itu, pas kulihat Ridho lagi nonton
televisi. Matanya yang bulat dan jernih itu, beralih menatapku sambil tangannya masih mainin remote tv.
“Mama
nggak suka, kamu main tanah, jorok-jorokan di halaman… Bukan hanya karena
kotor, tapi kuman.. Jorok. Kan kamu bisa main yang lain? Baca buku atau pinjam mainan di ruang
bermain? “ Bocah berambut keriwil, hitam dan tebal itu, mata jernihnya kembali
menatapku dalam-dalam…
“Ya
Ma…Ridho nggak main kotor-kotoran lagi…”
“Janji?
“
Bocah
itu mengangguk, sambil menyilangkan jari kelingkingnya ke jari kelilingku.
Biasa. Kami kalau bikin satu perjanjian, suka beri tandanya dengan itu. Aku
tersenyum, lega. Ridho bukan bocah yang suka ngeyel. Mudah diberi pengertian…
Sayangnya…siang
ini, lagi-lagi aku mendapati Ridho belepotan dengan tanah merah. Kemarin dia
balik sekolah, aku masih bisa senyum. Lantas ngomongin dia sekali lagi, buat
pilih tempat bermain. Apalagi sekarang musim hujan…Kan becek dan kotor. Ridho
mengangguk, mengiyakan…Eh, lha kok hari ini dia ngelakuin kesalahan yang sama…
“Sudah
ma..” kata Ridho, takut-takut. Lamunanku buyar. Bocah berpipi chuby yang
wajahnya nurun banget sama Mas Raka itu,
ternyata sudah berdiri di depanku dari tadi kayaknya…
Aku
menghela nafas, berat. Ya sudahlah, biar bocah ini makan, istirahat. Pasti
capek. Ngapain kusambut dengan marah-marah…Ridho kugiring ke kamar mandi,
setelah sebelumnya mengambil kaos dan celana rumah dia..
Deg.
Sebuah luka seperti baret, kulihat begitu jelas di dekat tulang rusuknya. Satu
lagi, punggung kanannya, sedikit membiru. Jantungku serasa mau copot. Hatiku
ikutan sakit, kalau melihat anakku terluka…
“Ridho,
kenapa sampai lecet, luka begini? Masih
sakit? Mananya lagi yang luka?”
Ridho
menggeleng, sambil menatapku dengan tatapan polosnya itu.
“Nggak
apa-apa kok ma…Nggak sakit. Tadi Ridho hampir jatuh, waktu main prosotan.
Untung ditolongin sama Dino. Kalau nggak benjol…”
“Oh
Dino, temen satu kelas ya.. “
“Bukan
ma.. dia anak kelas lain, tapi sering main sama Ridho sekarang. Baik lho ma…”
Ridho sudah bersih. Ganti baju dan kami pindah ke ruang makan…
“Udah
bilang, terima kasih sama dia?”
“Udah
dong, ma… Kan mama selalu bilang, kita kalauditolongin orang atau dikasih
sesuatu, musti inget bilang terima kasih..” Aku senyum. Bocahku ini memang
pinter. Sungguh, bersyukur banget. Padahal kalau ingat, bagaimana perjuangan
keluarga kecil kami mendapatkan momongan…
Mas
Raka, cowok pengertian tersabar yang pernah kukenal. Kami menikah, tanpa restu
orangtua. Karena pekerjaan dia dulu masih nggak jelas. Kata Mama, ntar
anak-anakku dikasih makan apa… Nyatanya hanya dalam hitungan bulan, laki-laki
berkulit sawo matang, mata elang dan rambut ikal itu, berhasil memperoleh restu
mama. Kariernya juga membaik. Bahkan, kami berhasil pindah ke rumah milik kami
sendiri. Nggak nebeng orangtua.
Sayangnya,
kebahagiaan kami tidak didukung dengan hadirnya momongan. Tahun pertama, aku
keguguran. Jatuh, terpeleset di kamar mandi. Tahun kedua, janinku dinyatakan tidak
berkembang, sehingga harus dikuret. Sedih. Sakit banget hatiku, tiap menemui
kenyataan, calon anak kandungku meninggal sebelum waktunya melihat dunia…
Tahun
keempat, kami baru memiliki momongan. Ridho. Meski anak tunggal, karena belum
dikaruniai adik, dia kami biasakan tidak manja. Untungnya dia mengerti. Bahkan,
kadang sikapnya bisa lebih dewasa dari umurnya. Meski baru duduk di kelas nol
besar, tapi dia tahu semua pesan, nasehat yang kusampaikan.
*********
Tanah
merah…Lagi??? Kali ini kesabaranku habis, kayaknya. Ridho kuhukum, tidak boleh
nonton televisi atau main games seharian. Hanya boleh diam di kamar, nggak
kemana-mana.
“Mama
mau, Ridho inget-inget lagi…kalau main, jangan kotor-kotoran di tanah,
lapangan. Itu saja..Mudah kan?”
Mata
Ridho berkaca-kaca, dia lantas menunduk…
“Ridho
inget ma,.. Nggak pernah mau main kotor di lapangan…”
“Trus,
kenapa sekarang baju Ridho sekarang masih belepotan begini? Tuh lihat, dagu
kamu juga lecet… Kuman mudah masuk sayang. Kamu bisa sakit, cacingan juga.
Mau???”
Ridho
menggeleng, cepat. “Ridho cuma kasihan. Nggak tega sama Dino, main sendiri.
Nggak punya temen…”
“Ya,
boleh nolongin temen. Nggak boleh beda-bedain orang. Tapi Ridho kan bisa
ngajakin main di tempat bersih… Bilang, tanah itu kotor, jijik..banyak cacing
dan kuman….”
Ridho
diam, tertunduk. Sampai makan malam pun, dia lebih banyak diam dan tidak
bicara, kalau tidak kutanya. Esoknya, Ridho menepati janji. Bajunya bersih,
nggak berlepotan lumpur atau tanah merah lagi. Tapi dia banyak berubah. Lebih
diam, nggak becanda dan kocak seperti biasa.Hingga kami tidur, dia masih diam.
Nggak ngambek sih, hanya entah kenapa sikapnya berubah…murung.
Pagi
ini, sebelum berangkat sekolah…Ridho kuajak bicara…
“Ridho,
mama nggak marah dan nggak larang kamu main..tapi pilih tempat main yang
bersih…” Bocah itu mengusap matanya, sekilas dia menatapku takut-takut. Tangan
mungilnya menarik tanganku dan meletakkannya di dadanya…
“Bener,
mama nggak marah lagi? Ridho masih bisa main sama Dino kan…” Aku mengangguk,
mengiyakan… “Iya, tapi inget jangan kotor-kotoran…”
********
Mama
sakit. Hampir satu minggu ini, aku musti nengokin ke rumah mama, sekalian
nganterin makanan. Namanya orang sakit, kadang pengen makan masakan tertentu. Kasihan kalau nggak
dibikinin. Sementara pembantu mama, belum pandai bener memasak. Makanya aku
nggak sempat nungguin Ridho pulang. Paling ketemunya, pas dia lagi makan siang
atau sore, pas dia baru bangun dari tidur siangnya.
“Din,
kamu perhatiin Ridho nggak beberapa hari belakangan…” tegur Mas Raka,
mengejutkan, pas kami malam-malam berduaan saja di dapur, cari camilan. Aku
terkesiap, batinku mengatakan ada yang nggak beres. Soalnya nggak biasanya Mas
Raka sampai ngebahas serius…
“Ridho
kenapa mas? Sakit? Tadi siang aku masih nemenin dia makan siang, setelah pulang
dari nengokin mama…” kataku, sambil menyiapkan susu coklat hangat kesukaan
suamiku itu…
“Nggak
apa-apa… Aku kok tadi sempet ngelihat, bahu belakangnya bekas lebam. Mungkin
jatuh habis main kali ya… “
Deg.
Perasaanku nggak enak. Lebam lagi? Aduh tuh bocah, makin gede mustinya bisa
makin hati-hati.. Aku juga nggak mungkin, musti nungguin dan ngawasin dia main
di sekolah…
“Dia
cerita sama mas, kenapa bisa lebam ghitu?”
Mas
Raka menggeleng..
“Justru
itu, makanya aku nanya sama kamu. Soalnya dia bilang, nggak jatuh dan nggak
ngerasain apa-apa…. Semuanya sehat aja. Kucemas, dia kan masih kecil. Jadi
tidak peduliin badannya. Sakit dibilang baik-baik saja…”
Aku
menghela nafas, berat. Ya, kebiasaan Ridho suka nggak ngerasain sakitnya. Cuek.
Mustinya guru di sekolah bisa ngebantuin, ngawasin…apalagi untuk ukuran anak
seusia dia yang masih rentan celaka…
‘Ntar
mas, besok aku coba tanya ke gurunya di sekolah…” kataku, sambil menutup ember
pakaian yang setengah terbuka, di samping meja belakang. Astaga, kok… Kulihat
baju seragam Ridho yang setengah menyembul keluar… Tanah merah.. Lagi-lagi,
Ridho kotor-kotoran di lapangan??
********
Siang
ini, mendung. Lumayan, nggak begitu panas, pas aku ke sekolah Ridho.. Sengaja,
sejak semalam aku berniat menemui wali kelas Ridho buat menanyakan perkembangan
dia. Ngurusin mama, membuatku nggak sempat ngobrol atau mampir ke sekolah
seperti biasa kulakukan.. Bukannya reseh dan over protect sama anak sendiri
sih, tapi aku kan butuh tahu juga gimana dia di sekolah. Masalah apa yang bisa
aku bantu, pecahkan…
“Wah
kebetulan ibu datang… Kami sempat berpikir, buat memanggil ibu ke sekolah. Tapi
kata Ridho, ibu tengah sibuk mengurus keluarga yang sakit..” sambut Bu Winda,
wali kelas Ridho, hangat.
Pihak
sekolah berniat memanggilku? Berarti Ridho tengah menghadapi masalah serius?
Jangan-jangan dia buat keributan atau berkelahi dengan teman-temannya?
“Dia bandel
Bu? Melawan? Atau..terlibat perkelahian dengan teman-teman sekelasnya….Dia
nggak fokus menerima mata pelajaran?” pertanyaanku beruntun, bak peluru
dimuntahkan dari selonsongnya…
“Bukan..bukan
bu… Ridho alhamdulillah, anak baik. Penurut. Selalu perhatian sama
teman-temannya, suka membantu…” Bu Wilda, menarik nafas sejenak, bikin
jantungku ikutan berhenti berdetak rasanya…
“Tapi
dia belakangan suka main sendiri, ngobrol sendiri. Jarang mau gabung dengan
teman-temannya…Biasa juga dia mojok di deket lapangan, taman bermain. “
Glek…Oh, itu makanya bajunya suka kotor. Trus ngapain anakku main sendiri,
bukannya dia punya sahabat sekarang… Si.. Aku coba mengingat-ingat…Si…Si Dino!
“Kalau
Dino, boleh saya tau bu…Dia satu kelas juga dengan Ridho kan?”
Bu Winda
menatapku, kaget. Kelihatan banget dari sorot matanya…
“Ibu
pernah kenal dengan Dino? Dia memang pernah sekolah di sini.. Kelasnya juga
sama, kelas ini..Kalau masih sekolah, dia sudah naik kelas satu sekarang,” Bu
Winda menghentikan ucapannya, nadanya seperti menggantung.. Berat. “Sayangnya,
semester lalu jelang penerimaan raport, dia meninggal… Jatuh dari pohon di
samping taman. Gegar otak. “
Tubuhku
bergetar. Tanganku seperti mati rasa. Suara Bu Winda selanjutnya, tidak
kudengar… Kuingat kata-kata mama dulu, waktu datang nengokin kelahiran Ridho
bersama seorang wanita separuh baya yang katanya sih punya kelebihan buat
melihat “sesuatu” . Mama bilang, putraku nanti bakal menjadi anak kuat,
kebanggaan keluarga. Tapi dia juga sensitif dengan alam di sekitarnya, alias
memiliki kelebihan. Indra keenamnya lebih peka daripada indra keenam orang
lain..
Tubuhku
bergidik, merinding. Perasaan gamang, langsung menyergapku. Apakah bener,
selama ini Ridho ternyata bersahabat dengan Dino…yang dibilang Bu Winda sudah
meninggal?
“Mamaaaa…
Asyiikkk mama jemput Ridhoooo…” Bocah kebanggaanku itu, kelihatan melompat
girang pas melihatku di depan ruang guru pas jam bubaran sekolah tiba… Sambil
menggelendot manja, dia tarik tanganku mengajak pulang… Tiba-tiba, pas kami lewat
dekat taman, dia berhenti, lantas menoleh ke satu titik…
“Pulang dulu ya Dino! Mama aku udah
jemput nih.. Besok main lagi…” katanya sambil
mengibaskan tangannya, tanda dia mau pulang. Refleks aku ikutan menoleh,
pengen tahu Dino teman Ridho itu yang mana…Tapi…aku tidak melihat siapa-siapa
di sana. Hanya taman, lapangan bertanah merah. Kosong. Bbbrrr…. Tengkukku jadi dingin. Merinding!
Benarkah Ridho sudah melihat Dino yang kata Bu Winda sudah meninggal itu??? (Ft: berbagai sumber)
siluman ular
Bukkk! Ular bersisik
hijau keemasan itu masih menggelepar sebentar, matanya yang tajam itu seperti
berusaha mengenali kami semua yang ada di situ. Dia mengeliat sebentar, sebelum
akhirnya diam tidak bergerak sama sekali. Ular itu benar-benar mati.
Aldi
tertawa, puas. Tangannya masih menggenggam linggis yang berlepotan darah.
Sadis. Sungguh aku ngeri dan jijik melihat pemandangan di depan kami… Seekor
ular dengan diameter sebesar lengan manusia itu, tubuhnya berlumuran darah.
Nggak jauh dari tempat ular itu mati, seekor kelinci setengah tercabik, hingga
isi perutnya nyaris terburai keluar.
Ribut-ribut
subuh tadi, bikin aku terbangun. Kupikir ada pencuri yang tertangkap atau orang
tawuran di halaman belakang. Tahunya, Aldi. Sepupuku itu memergoki kelinci
peliharaannya, hampir dimangsa ular. Belum sempat dimakan sih…tapi kelincinya
sudah mati, lukanya digigit ular menganga. Dia kehabisan darah. Aldi emosi,
sekaligus panik mungkin…Refleks dia mengambil linggis yang selalu ada di deket
halaman, lantas dihajarnya ular itu tanpa ampun.
“Udah,
Om.. Jangan diusik ularnya, biarin balik ke asalnya. Kasihan,” teriak Keisha,
putriku semata mayang. Keisha memang orangnya nggak tegaan. Aku mau nimpuk
kucing liar yang sudah mencuri ikan gorengku saja, dia belain sampai segitunya…
“Biarin
sayang, Om matiin. Ntar kalau dia masih hidup, trus gigit Keisha gimana..” kata
Aldi, pas melihat mata Keisha berkaca-kaca. Keisha mendekati bangkai ular ini,
memandangnya lama-lama, seperti memandang peliharaan kesayangannya mati… Melihat kejadian ini, aku yang baru keluar
dari kamar hanya bisa bengong…
“Keshia,
udah yuk…kamu mandi aja. Ntar kesiangan ke sekolah lho,” kataku mencoba
mengalihkan perhatiannya. Untung Keshia mau mendengarkan kata-kataku. Kulihat
sekilas, Aldi tengah memindahkan bangkai ular dan kelinci itu ke dalam kardus..
Wajar
mungkin, ada ular nyelonong masuk andai rumah kami berada di daerah laut, deket
tambak atau sekelilingnya masih alami banget. Lha, kini kami tinggal di
kompleks perumahan. Masa ada ular segitu gedenya bisa masuk rumah? Kejadian hari itu, sebenarnya tidak ingin
kuingat. Apalagi memikirkannya, kalau saja imbasnya tidak mengenai Keisha.
*******
“Maafin
kami ya Om…maafin kami… Jangan ganggu keluarga Keisha. Tolong Om..Tolong,”
Keisha mengigau malamnya. Keringatnya membanjir, hingga bajunya basah. Tapi
kuraba keningnya, nggak panas.
“Maaf ya Om…Om
jangan marah…” katanya lagi, masih mengigau. Padahal aku sudah berusaha
membangunkannya. Berulangkali aku goyang-goyang badannya. Untung, akhirnya
Keisha bangun juga.. Dia langsung memelukku dan menangis.
“Mama, Om marah…
Anaknya disakitin,” katanya sambil terisak-isak.
“Om siapa? Om Aldi?
Kamu mimpi buruk ya..”
“Om ular yang pagi
tadi dibunuh Om Aldi… Papanya marah. Mau balas dendam sama kita..”
Glek. Ular?
Ingatanku langsung ke kejadian pagi tadi. Apa hubungannya dengan mimpi Keisha.
Kasihan. Pasti dia kepikiran, sampai kebawa mimpi..
“Udah sayang, kamu
itu terlalu mikirin ular tadi. Makanya sampai mimpi buruk..Nggak ada ular lagi
kok di rumah. Udah dibersihin sama Om Aldi. “
“Tapi ma…papa ular
itu, marah..”
Aku senyum. Bocah
yang baru duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar ini, memang sejak dulu sensitif
banget perasaannya. Mirip aku, kata Mas Arsha, suamiku yang kini tengah dinas
keluar kota.
“Udah sayang, nggak
ada apa-apa. Nggak ada yang marah..Kamu kan masih ada mama dan Om Aldi di
rumah. Kita semua jagain kamu, jagain seisi rumah ini…Okey? Tidur lagi ya..”
Keisha mengangguk,
lemas. Setelah kuusap-usap kepalanya, baru dia bisa pulas lagi… Aku berniat
kembali tidur, ketika kudengar suara aneh di luar sana.. Kelihatannya ada yang
barusan lewat depan kamar, langkahnya diseret, berat. Mmm, paling juga Aldi,
cari camilan di dapur.
Sepupuku yang
tinggal menyelesaikan tugas akhir di kampusnya itu, memang baru sebulan ini
tinggal bersama keluarga kecilku. Mas Arsha juga yang mengusulkan. Lumayan,
buat menjaga rumah. Soalnya suamiku mulai sering memperoleh dinas ke luar
kota.Artinya aku dan Keisha sendirian saja di rumah. Kata Mas Arsha, kalau
butuh apa-apa, atau andai ada orang asing masuk, kan repot.
Aldi tadinya kost,
keluarganya tinggal di Bandung. Kini, kuliahnya sudah tidak sepadat dulu.
Makanya sayang juga, kalau kost. Biaya kost di Jakarta kan mahal. Belum lagi
makannya… Kalau bareng aku, setidaknya meski seadanya, Aldi bisa makan bareng
di rumah. Nggak perlu sering-sering jajan.
“Di..Lagi cari
camilan ya? Tadi mbak beli mangga tuh di lemari es. Bagus-bagus. Kelihatannya
manis,” kataku, sambil menyusul ke dapur. Lho, kok… Aldi nggak ada. Padahal
jelas tadi kudengar suara-suara di dapur, seperti orang tengah mengambil atau
memindahkan sesuatu.
Astagaaaa..Aku
terkesiap, kaget. Kulihat, Aldi sudah tergeletak di lantai dapur. Wajahnya
pucat, tapi matanya terbelalak ketakutan. Seperti habis melihat sesuatu..
Kugoncang-goncang badannya, untung dia nggak pingsan. Andai pingsan, pasti aku
bingung gimana cara mengangkat atau menolongnya…
Aldi masih sadar,
dia hanya bengong, seperti habis menyaksikan sesuatu yang begitu dahsyat.
Kutepuk-tepuk pipinya, dia tak bereaksi. Kuambil segelas air, kucoba memaksanya
minum, agar tenang dulu…Cowok itu akhirnya bisa duduk, dia kelihatan begitu
lelah. Nafasnya sampai terdengar, memburu.
“Kamu sakit, Di? Ke
kamar aja.. tidur. Kubikinin minuman panas, mau?” Aldi menggeleng, lemas.
“Nggak usah, thanks
ya… Gue istirahat saja di kamar…” Aldi langsung masuk ke kamar dengan langkah
terhuyung-huyung. Wajahnya masih kelihatan sangat pucat. Syukur, kalau dia
nggak kenapa-napa. Malam itu kupikir,
Aldi hanya masuk angin atau pusing saja makanya sampai jatuh di dapur. Kenyataannya …
*******
Senin pagi, jalanan
biasa macet. Tapi tumben, Aldi yang
biasanya paling pagi sudah muncul di meja makan, belum nongol juga sampai
Keisha, sudah menyelesaikan sarapannya…
“Di, udah bangun
belum? Kesiangan ya… Mbak jalan dulu ya, sarapan sudah ada di meja…” kataku,
waktu lewat depan kamar Aldi… Aldi hanya melenguh, malas. Ya sudahlah, mungkin
semalam dia benar-benar nggak enak badan, hingga tidurnya nggak nyenyak…
Bukkk! Nyaris aku
melompat kaget, ketika tengah asyik memasak di dapur. Kupikir, aku tinggal di
rumah sendiri. Aldi pasti sudah berangkat tadi, waktu aku nganterin Keisha,
tapi kenapa ada suara berisik di kamar Aldi…
“Di, kamu di
rumah?” tegurku dari balik pintunya…
“Ya mbak..Aku masih
di rumah…” Oh, astagaaa… Lega aku dengernya. Bayangan pencuri yang tengah
menyelinap masuk, langsung hilang.
“Kamu nggak ke
kampus? Lagi ngerjain tugas ya.. Sarapan dulu gih, ntar masuk angin lho.”
Aldi nggak
menjawab. Ya sudahlah, mungkin dia masuk ke kamar mandi. Karena kamarnya memang
nyatu dengan kamar mandi..
Seharian, Aldi
membuatku was-was. Soalnya tidak biasanya cowok itu mengurung diri di kamar,
tanpa keluar sama sekali. Meskipun ada kamar mandi, tapi dia biasanya suka
menyeduh kopi atau susu coklat, kadang malah mencari-cari snack yang biasa
kusimpan di dapur. Tapi kok, hari ini, dia nggak menampakkan batang hidungnya
sama sekali…
Kesibukanku
memasak, menjemput Keisha pulang sekolah, dan beberes rumah, membuatku sejenak
melupakan Aldi. Apalagi Bik Imah pembantu kami nggak masuk pula hari
ini…Lengkap! Super mom, ledek Mas Arsha waktu aku bbm-an dengannya.
Malam ini, belum
sempat tidur pulas, kembali aku dikagetkan Keisha yang mengigau.. Dia berulangkali
memanggil-manggil seseorang, Om… Tapi Om siapa, nggak jelas…Sampai aku musti
menenangkannya. Keisha masih menganggap mimpinya itu benar-benar nyata. Dia
bilang Om itu marah, anaknya dibunuh…
Capek. Pegal
seharian, baru terasa malam ini. Ingin buru-buru pulas, nggak bisa. Sejak tadi
aku hanya bolak balik badan di kasur. Apalagi kurasakan malam ini, nggak
seperti biasanya. Lebih dingin… Sampai-sampai tengkukku rasanya merinding…
Buuukk! Astaga.
Apalagi itu…suaranya berasal dari arah dapur, seperti orang jatuh.
Jangan…jangan… Buru-buru aku ke arah suara itu berasal. Bener. Aldi sudah
tergeletak di lantai. Wajahnya pucat, bibirnya membiru dan matanya nyalang,
seperti orang ketakutan…
“Di, kamu kenapa?
Pusing ya…Sampai jatuh?” tanyaku panik. Kugenggam tangannya, begitu dingin.
Bibirnya kelihatan gemetar, giginya gemeretuk seperti menahan sesuatu…
Tatapannya nanar ke satu arah…
“Ampun, saya minta
maaf. Ampunnn…” Buggg! Aldi pingsan. Panik. Aku nggak pernah membayangkan
seorang diri, musti mengurus cowok segede Aldi yang nggak sadarkan diri.
Kutarik dia sebisanya, kuberi bantalan sofa di kepalanya. Lantas buru-buru
kutelpon tetangga yang kebetulan dokter.
Entah, berapa kali
aku musti bilang maaf sama itu dokter. Tengah malam kubangunin, minta ke rumah.
Untung beliau baik, bahkan ditemani istrinya kami akhirnya membawa Aldi ke
rumah sakit, karena membutuhkan bantuan alat medis yang lebih lengkap.
Bingung. Aku musti
memikirkan Keisha, juga Aldi. Untung, Bik Imah yang rumahnya di kampung
belakang kompleks rumahku, bisa kutelpon dan kuminta datang, buat menemani
Keisha. Aku nungguin Aldi di rumah sakit, sampai dia sadar.
Dokter belum bisa
mendiagnosa sakitnya apa. Hanya tekanan darahnya tinggi sekali. Katanya bahaya,
bisa stroke. Aku bingung, benar-benar panik malam itu… Sepanjang malam, dokter
dan perawat jaga juga melaporkan, Aldi tidurnya gelisah. Seperti mengingau dan
menyebut-nyebut seseorang, tapi tidak jelas siapa…
Keluarga Aldi langsung datang dari Bandung,
termasuk Pakde Marzuki, paman Aldi yang kukenal beliau memiliki padepokan dan
biasa membantu penyembuhan. Niat kami semua, mungkin dengan didoakan, Aldi bisa
cepat pulih.
Bener. Kondisi Aldi
makin stabil. Meski awalnya dia sempat mengamuk, meracau nggak jelas, sampai
bikin perawat kebingungan dan stress. Lega rasanya, melihat cowok itu balik ke
rumah dalam keadaan bugar. Nggak kelihatan sedikit pun kalau dia pernah kolaps.
Hanya herannya, dia minta pindah ke kostnya kembali. Entah, apa alasannya,
begitu dia keluar dari rumah sakit, Aldi langsung mengemasi barang-barangnya,
lantas dibantuin keluarganya pindahan ke kost lama.
*******
Malam
Minggu, semustinya aku bahagia melihat Mas Asha pulang dari luar kota. Bertiga
dengan Keisha, kami makan malam di kafe tempat pertama kalinya, aku ditembak
mantan pacarku itu… Tapi perasaan bersalah dan nggak enak masih mengganggu
pikiranku. Kepindahan Aldi, pasti karena dia tidak suka dengan sikapku atau
rumah kami tidak cukup nyaman? Jangan-jangan juga karena menu yang kupilih,
membosankan…
Mas Arsha
yang dengar ceritaku, hanya tertawa.
“Lha,
orang sedih, malah diketawain…” protesku, kesal…
“Ya
iyalah…kamu tuh sensitif orangnya. Aldi pindah, bukan karena kamu atau rumah
kita. Nggak ada masalah di rumah..”
“Trussss….
Kenapa dia pindahan gitu? Nggak kasih waktu pula, langsung dari rumah sakit
angkut-angkut barang…Kayak kita musuh bebuyutan…”
Mas Arsha
terdiam, kali ini tatapan matanya kelihatan menyembunyikan sesuatu. Wah,
jangan-jangan bener. Aldi selama ini sebel banget sama aku?
“Masalahnya
bukan sama kamu.. “
“Trus..kenapa
dong…” Aku mulai hilang kesabaran… Untung Keisha lagi main permainan anak-anak
yang ada di halaman depan kafe, tidak memperhatikan aku.
“Aldi
pernah salah. Bunuh ular yang nungguin halaman belakang rumah kita. Bukan ular
sembarang ular.. Dia ketulah, selalu dikejar bayangan kerabat ular itu..Untung Pakde kan tahu begituan,
kemarin pas nengokin langsung diberesin. Aldi trauma tinggal di tempat kita,
selain itu juga untuk menghindari masalah ke depannya, dia pindah..”
Glek. Tanganku mendadak terasa begitu
dingin. Berarti, Keisha kemarin nggak murni mengigau? (Ft:berbagai sumber)
Sabtu, 26 November 2011
Minggu, 06 November 2011
rumah pohon
Panas.
Mustinya sejak awal aku sudah panggil tukang, buat memperbaiki ac kamar.
Beberapa hari belakangan ini, bawaannya gerah. Sampai-sampai, tengah malam
selalu terbangun dengan badan basah. Banjir keringat. Sayangnya, belum ada
waktu. Proyek yang baru saja ditandatangai perusahaanku dengan sebuah
perusahaan property besar, membuat
aku bagian audit dan keuangan, musti mati-matian menyusun budjet anggaran.
Gokil
juga. Tanggungjawab baru itu kuterima bersamaan dengan pindahan rumah. Bukan
rumah baru sih, rumah mama yang diwariskan untukmu. Padahal sejak awal, aku
sudah menolak pindah. Meski masih ngontrak di kawasan Tangerang, setidaknya
dekat banget kalau mau ke kantorku yang ada di BSD, Serpong. Rumah mama? Kawasan
Jakarta Pusat… Alamakkk…Jauh dan macetnyaaa.
But,
kasihan juga. Mama wanti-wanti, rumah keluarga besar kami itu jangan dijual.
Kalau bisa, aku saja yang tinggali dan rawat. Pesan itu bukan hanya sekali dua
kali disampaikan mama, ketika aku, Edo dan Edward anak-anak mama ngumpul. Kini,
setelah mama meninggal, kedua kakakku menyerahkan sepenuhnya rumah dalam
tanggungjawabku. Mereka masing-masing sudah berkeluarga, punya rumah layak
huni, sementara aku…jomblo. Wanita karier yang keasyikan mengejar target,
sampai kelupaan married. Ghitu, ledekan teman-teman di kantor.
Nggak apa-apa sih,
daripada married cepat-cepat tapi hidup menderita? Bisa saja aku dapat suami
suka selingkuh, atau malah hubungan hambar. Karena kami sama-sama tidak pernah saling cinta, seperti
di sinetron-sinetron.
Masalah kedua,
selain jauhnya amit-amit juga karena
rumah mama itu terbilang gede banget, buat seorang wanita lajang seperti aku.
Rumah tua, memang ghitu. Banyak kamar, arsitekturnya ala Belanda, plus halaman
luas di belakang. Ngebersihinnya, capek. Nyaris tidak terkejar, antara
menyelesaikan pekerjaan kantor dengan mengurus rumah.
Mustinya aku bersyukur
banget, hari gini bisa punya rumah seluas ini. Kalau beli, harganya pasti
ampun-ampunan. Belum lagi di halaman belakang, mama dan papa almarhum punya
semacam rumah pohon.
Rumah-rumahan dari
papan yang menempel dua pohon besar, lengkap dengan tangga kayu buat naik ke
atas. Rumah kayu itu, sangat sederhana. Hanya berisi satu meja pendek, lantas
alas karpet. Kata mama, warisan dari oma. Mamanya papa…Yah, rumah kami memang
rumah warisan turun temurun.
“Waktu mama habis
married dan diboyong ke rumah ini, rumah pohon itu sudah ada,” dongeng mama,
waktu aku, Edo dan Edward masih sangat kecil. Kami suka main rumah-rumahan. Biasanya
aku main boneka dan membaca komik di sana, sampai ketiduran. Seisi rumah hafal
banget. Kalau aku tiba-tiba menghilang, pasti ditemukannya di rumah pohon.
Bing! Pesan singkat
masuk di BB. Lamunanku buyar. Fiiuhh, akhirnya aku dapat pembantu. Asyik! Yess!
Artinya, aku tidak perlu stress lagi memikirkan rumah, selain ada teman buat
ngobrol kalau pas iseng. Selama ini di rumah, temanku hanya tembok dan laptop.
*********
Weekend ini, meski
orang-orang bilang waktunya shopping, tanggal muda, aku malah seharian penuh di
rumah mengawasi tukang. Sudah diniatin sejak pertama pindah, musti renovasi
segera. Selain service ac, pompa air, aku juga minta tukang potong rumput, buat
membabat rumput depan dan belakang rumah, sekalian merapikan beberapa tanaman
yang baru kubeli bersama Bik Ade, pembantu baruku.
Rencananya rumah
pohon yang kini lapuk dan nggak terawat itu kubongkar. Pohon penopangnya juga
kutebang, karena nggak bermanfaat. Daun-daunnya rimbun banget, sering rontok,
hanya bikin sampah. Kasihan Bik Ade, membersihkan setiap hari. Lebih baik
kuganti dengan tanaman yang mudah perawatannya dan jauh lebih cantik.
“Apa nggak
sebaiknya, jangan ditebang Bu…Perbaiki saja rumah kayu-nya.. Lagipula sudah
terlalu lama ada, pamali…” saran Pak Fadil, salah satu tukang yang kelihatan
paling tua usianya, waktu aku memerintahkan buat menebang dua pohon itu.
“Ah, bapak…ada-ada
saja… Nggak apa, pak. Tebang saja. Malas saya, bikin kotor daunnya…”
“Ibu berani
tanggung resikonya? Hati-hati ya Bu…Jangan suka bengong atau melamun sendiri…”
tegur bapak itu lagi, bikin aku bete. Ih, suka-suka lagi. Malah nadanya
nakut-nakutin…
Pak Fadil
kelihatannya serius dengan kata-katanya. Sampai dia sendiri juga kelihatan
segan menebang pohon itu. Sekilas kulihat beberapa kali, bapak itu membaca doa.
Mmm, kuakui keimanannya kuat. Nggak seperti aku yang slengean.
***********
Beres! Puas juga,
melihat hasilku nongkrongin tukang dua hari ini…Halaman belakang rapi, kelihatan
terang, karena nggak tertutup rimbunnya rumah pohon. AC, pompa air, semua mesin
beres. Rumah juga rapi, karena Bik Ade cekatan dan sangat teliti. Tanpa aku
minta, dia sudah tahu kewajibannya.
Malam ini, baru terasa. Badan pegel semua.
Rencana selesai mandi, masuk kamar, langsung tewas. Kuingat besok sederet meeting penting musti dihadiri. But efek beresin rumah dua hari nonstop,
bikin badan sakit semua. Ingin tidur, susah banget. Gggrh, mungkin minum coklat
susu dulu kali, biar enakan…
Setengah malas, aku
beranjak ke dapur. Kulihat sekilas waktu melewati kamar Bik Ade, perempuan
setengah baya itu tertidur. Kecapekan juga pasti. Kasihan. Sambil menunggu air
panas mendidih, kubuka lemari es. Seingatku masih ada mangga…
“Cari apa bu? Mau
saya bikinin sesuatu?” Deg, kagettt. Kirain siapa…tahunya, Bik Ade sudah
berdiri di dekatku. Kelihatan wajahnya ngantuk, capek. Ya ampun, kebrisikan
suaraku kali ya…
“Duh, maaf
Bik…Pasti kebangun denger suara saya ya… Nggak perlu apa-apa kok. Nih, udah
bikin minuman hangat. Bibik tidur aja lagi…”
Bik Ade, hanya
senyum. Bersyukur, punya pembantu super pengertian. Sejak dia datang, nggak
pernah bikin masalah. Malah, akunya sering banget membuat dia kelimpungan…
Gila. Minum susu
coklat plus dua potong mangga, nggak juga bikin aku bisa pulas tidur. Ac pun
sudah super dingin. Entah, perasaanku nggak enak. Beberapa kali bolak balik
badan, padahal jam di dinding sudah menunjukkan tanda pukul dua pagi… Ampunnn!
******
“Kenapa tuh mata?
Kurang tidur? Libur dua hari nggak cukup?” tembak Hendy, begitu masuk ruang
kerjaku. Tangannya sudah membawa setumpuk map, alamakkk…jangan lagiiii….
“Nggak kok. Bukan
buat kamu. Geer!!!” katanya, seperti tahu apa yang tengah kupikirin. Dasar tuh
cowok, untuk dia sudah punya tunangan. Andai tidak, pasti kami diledekin
pacaran mlulu saking dekatnya.
Hendy memang
kuanggap seperti Edo, kakak kandungku sendiri. Usianya sama, kelakuannya nyaris
sama. Suka bercanda, super perhatian, meski kalau urusan pekerjaan dia juga
bisa galak.
“Husss…sekarang
malah melamun… Mikirin aku?” Hendy lagi! Aku menggeleng, ketawa.
“Nggak lah, rugi
tahu! Semalam susah tidur saja, masalahnya. Kecapekan kali. Dua hari penuh
ngurusin renovasi rumah.”
Hendy kali ini, duduk
tepat di depanku dengan tatapan serius. Cowok berambut cepak, hidung mancung
dan alis tebal itu, menghela nafas. Berat.
“Mungkin sudah
saatnya kamu membuka dirimu buat cowok…Biar ada teman berbagi di rumah, nggak
menanggung semuanya sendiri…”
“Ya, I see…. Ntar deh, kupasang pengumuman.
Cari cowok, kriteria macho seperti Brad Pitt, setia kayak Pierce Brossnan,…”
Aku belum menyelesaikan omonganku, ketika Hendy berdiri, geleng-geleng kepala,
lantas pergi. Pasti, tuh cowok kesel juga….he…he…he…
Balik kantor,
obrolanku dengan Hendy masih terngiang jelas. Ya, juga. Selama ini, bukannya
tidak ada cowok mau dekat. Tapi akunya yang langsung pasang tembok pembatas,
atau bahkan kabur. Takut. Trauma dengan
cinta pertamaku yang kandas, dua minggu jelang pertunangan kami. Anto,
selingkuh dengan adik kelasku dulu, bahkan tuh cewek sampai hamil.
Malam ini, kejadian
yang menyakitkan itu seperti diputar kembali dalam memoriku. Apalagi sejak naik
tempat tidur, pikiranku malah lari ke mana-mana. Meski mata sudah berusaha dipejamkan,
sampai pasang earphone dengan lagi penghantar tidur, sama! Gelisah. Jantung
juga seakan berdetak keras, lebih cepat dari biasanya…
Huhhh! Males
banget. Tapi nggak ada pilihan lain, musti ke dapur bikin coklat susu hangat.
Resep dari mama, biar tidurnya enakan. Lampu utama ruang tengah dan belakang
sudah dimatikan, hanya lampu kecil saja yang digunakan. Meski tidak begitu
jelas, tapi selesai makan buah, mataku menangkap ada bayangan orang melintas di
halaman belakang, dari jendela dapur… bertepatan dengan udara di sekelilingku
yang terasa dingin. Jauh lebih dingin dari biasanya…
Mungkin ada maling,
lompat tembok belakang? Wah,…tanganku yang tengah memegang cangkir bergetar. Prang!
Sendok yang kupegang jatuh, hingga menimbulkan suara nyaring, begitu kubalik
badan. Bik Ade! Astaga. Sejak kapan dia muncul, sampai aku nggak menyadari
kehadirannya…
Perempuan sebaruh
baya itu, buru-buru mengambil sendokku yang jatuh. Lantas menyodorkan sendok
baru.. Tanpa banyak bicara, Bik Ade mencucinya sekaligus dengan beberapa
peralatan dapur yang tadi kubuat mengupas buah.
“Maaf Bik,
malem-malem ngebangunin lagi…”
Bik Ade hanya
senyum. Mmm, aku jadi nggak enak hati bikin dia terbangun mlulu. Tapi jujur
saja, hatiku lebih tenang. Bayangan tadi mungkin halusinasi saja. Andaikan ada
maling, bukankah pintu dapur berlapis dan jendela juga menggunakan teralis.
Pasti tidak semudah itu, maling masuk…
****************
Gila. Hampir genap
seminggu, aku selalu diganggu mimpi buruk dan susah tidur. Andai bisa, pasti
baru pukul dua atau tiga pagi. Ritualku yang nggak pernah cari makanan
malam-malam, jadi berubah. Musti cari buah atau roti di dapur dan minum susu
coklat hangat. Baru bener-bener bisa tidur. Nggak enak hati juga sama Bik
Ade…Pembantu itu ikutan terjaga, gara-gara aku. Kalau nggak bantuin mencuci
perlengkapan yang kupakai, dia akan duduk menemaniku menghabiskan susu coklat
sambil mendengarkan ceraucauanku soal kantor atau keluarga kedua kakakku.
Sabtu Malam Minggu,
balik dari pesta ulang tahun Hendy di sebuah kafe, kulihat lampu utama rumah
sudah dimatikan. Sepi. Pasti Bik Ade sudah tidur. Setengah mengendap-endap, aku
ke dapur. Ingin memasukkan ice cream yang dikasih Hendy ke freezer, ketika
tiba-tiba begitu kututup lemari es…
“Capek Bu… Mau saya
bikinin teh manis?” Astaga. Bik Ade bikin kaget aku saja. Wanita itu sudah
berdiri tepat di samping lemari es.
Aku menggeleng.
Kasihan. Pasti dia juga kecapekan.
“Nggak usah, Bik.
Makasih. Bibik tidur saja…Maaf saya selalu bikin bibi terbangun malam-malam…”
“Ah, nggak kok Bu…
Saya biasa selesai beres-beres rumah, langsung tidur sampai pagi. Tumben saja
tadi, saya dengar suara ibu klitikan di dapur…”
“Bibik ada-ada
aja…Bukannya kemarin-kemarin selalu menemani saya bikin susu coklat, kadang
juga makan buah…”
Bik Ade menggeleng.
“Nggak pernah, Bu…
Bener. Kan baru kali ini, saya bilang melihat ibu pulang malem…”
Aku
bengong. Bik Ade amnesia kali. Masa biasa menemani aku malam-malam, masih
bilang nggak pernah. Ah, udahlah. Ngapain pusing? Sambil menenteng cangkir susu
coklat, kutinggalkan Bik Ade yang masih beres-beres di dapur, lantas belok mau
ke kamar. Dan tepat di depan kamar, tepatnya sebuah kursi yang biasa memang ada
di situ..kulihat seorang wanita separuh baya, tengah duduk di sana, sambil
senyum ketika melihat aku datang. Bik Ade!(ft: berbagai sumber)
Langganan:
Postingan (Atom)